• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN TERNAK CIAWI-BOGOR

PENDAHULUAN Latar belakang

Kambing adalah salah satu ternak ruminansia yang paling banyak dipelihara di Indonesia. Populasi ternak kambing di Indonesia beberapa tahun terakhir (2005- 2006) cenderung meningkat. Tahun 2005, populasinya 13.409 ribu ekor, meningkat pada tahun 2006 menjadi 14.051 ribu ekor (BPS, 2007). Tipe kambing yang dipelihara di Indonesia sebagian besar merupakan tipe dwiguna sebagai penghasil daging dan susu.

Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan anaknya. Kambing perah yang umum dipelihara dengan baik adalah kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen. Kambing PE dan Saanen di daerah asalnya mampu menghasilkan susu yang banyak. Kambing PE mampu menghasilkan susu sekitar 136-253 kg/laktasi (Sutama, 2007), sedangkan kambing Saanen produksi susu per ekornya mencapai 800 kg/laktasi (Greenwood, 1997). Akan tetapi, produksi susu kambing PE dan Saanen di daerah tropis masih rendah, yaitu 0,3-0,8 kg/hari untuk kambing PE (Sutama et al., 1995) dan 1-3kg/hari untuk kambing Saanen (Devendra dan Burns, 1994).

Produktivitas ternak ditentukan oleh mutu genetik yang dimiliki oleh ternak dan dipengaruhi faktor lingkungan dimana ternak tersebut berada serta kemungkinan adanya interaksi antara keduanya. Produksi susu dipengaruhi oleh karakteristik bangsa, individu ternak, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi, metode pemerahan, dan iklim dimana ternak tersebut dipelihara.

Peningkatan produksi susu dari segi pemuliaan ditujukan ke arah perbaikan mutu genetik melalui seleksi pada pejantan karena 50% sifat diwariskan pejantan kepada keturunannya. Parameter dalam kegiatan seleksi yang digunakan adalah nilai heritabilitas sebagai dasar perhitungan nilai pemuliaan (Breeding Value). Seleksi dilakukan terhadap sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi, seperti bobot lahir dan bobot sapih. Bobot lahir dan bobot sapih berkorelasi genetik positif dengan produksi susu (Mandonnet et al., 1998). Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi nilai pemuliaan terhadap bobot lahir dan bobot sapih untuk mengetahui keunggulan pejantan yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi genetik pejantan melalui bobot lahir dan bobot sapih dari pejantan kambing PE dan Saanen yang terdapat di Balai Penelitian Ternak Ciawi-Bogor.

3 TINJAUAN PUSTAKA

Kambing

Kambing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi dan dipelihara oleh manusia untuk memproduksi daging, susu, kulit, dan serat (Gall, 1981). Kambing telah didomestikasi sejak 9.000-7.000 tahun sebelum masehi (Devendra dan McLeroy, 1982).

Kambing memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap mutu pakan yang rendah. Ternak ini mampu memanfaatkan bemacam-macam hijauan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh ternah ruminansia lain seperti domba dan sapi (Abdulgani, 1981). Kambing dapat makan rumput-rumputan yang sangat pendek dan daun-daun atau semak-semak yang biasa tidak dimakan oleh ternak ruminansia lain (Smith dan Mangkoewidjojo, 1987). Kambing merupakan ternak ruminansia yang cukup berperan di Indonesia terutama bagi kehidupan petani karena harganya relatif murah dan memiliki daya reproduksi lebih tinggi dibandingkan ternak besar (Ngadiyono et al.,1983).

Kambing Perah

Kambing perah merupakan jenis kambing yang dapat memproduksi susu dengan jumlah melebihi kebutuhan untuk anaknya. Kambing perah yang biasa dipelihara antara lain kambing Peranakan Etawah (PE) dan Saanen yang dapat hidup dengan baik di daerah tropis (Devendra dan Burns, 1994). Dalam usaha peternakan kambing perah, ternak merupakan unsur produksi yang langsung menghasilkan produk, maka jumlah dan mutu kambing perah sangat menentukan tinggi rendahnya produksi susu yang dihasilkan (Wodzika-Tomaszewska et al., 1993).

Kambing perah yang tersebar di berbagi belahan dunia dikelompokkan berdasarkan daerah asalnya, sifat-sifat produksinya, dan karakteristiknya sebagai ternak penghasil susu. Ternak kambing perah yang dipelihara oleh petani ternak umumnya merupakan ternak asli atau lokal. Kambing lokal yang berkembang dengan baik di Indonesia yaitu kambing Peranakan Etawah (PE) (Murtidjo, 1993). Selain itu, ada kambing Saanen yang juga memiliki produksi susu tinggi dan mulai dikembangkan di Indonesia.

Kambing Peranakan Etawah

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Kacang dengan kambing Etawah, dengan demikian kambing ini memiliki sifat-sifat diantara kedua tetuanya (Joesoep, 1986). Kambing PE merupakan keturunan kambing Jamnapari (Etawah) yang diimpor dari India pada tahun 1920-an. Secara fisik kambing PE memiliki ciri yang hampir sama dengan kambing Etawah yaitu bertelinga panjang dan menggantung, profil muka cembung, bertanduk pendek, dan memiliki warna bulu putih, merah coklat dan hitam (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing PE digolongkan sebagai kambing tipe dwiguna yaitu sebagai penghasil susu dan daging (Adiati et al., 2000). Kambing PE memiliki kemampuan menghasilkan susu cukup baik sekitar 136-253 kg/ekor/laktasi dan masa laktasi cukup panjang sekitar 175-287 hari (Sutama, 2007). Komposisi genetik kambing PE sekarang ini sangatlah beragam sehingga produksi susunya masih sangat bervariasi. Oleh karena itu, perlu dicari program seleksi yang tepat untuk memperbaiki potensi genetiknya dalam menghasilkan susu.

Kambing Saanen

Kambing Saanen berasal dari daerah Swiss Barat. Jenis kambing ini banyak dipelihara sebagai ternak penghasil susu. Produksi susu per ekor dapat mencapai 800 kg/ekor/laktasi dengan kandungan lemak antara 3-4%/laktasi yang berlangsung selama 250 hari (Greenwood, 1997). Menurut Ensminger dan Parker (1986), kambing Saanen merupakan bangsa terbesar dan penghasil susu terbaik di Swiss.

Menurut Devendra dan Burns (1994), kambing Saanen mempunyai rata-rata produksi susu tertinggi dibandingkan dengan bangsa kambing perah manapun, dan karena alasan ini, bangsa kambing ini telah dimasukkan ke banyak negara. Kambing Saanen memiliki bulu pendek, umumnya tidak bertanduk, dan telinganya tegak mengarah ke atas. Kambing ini berwarna putih, krem pucat atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga, dan ambing.

Kambing Saanen memiliki konformasi tubuh yang baik sebagai penghasil susu. Bobot kambing Saanen pada saat dewasa dapat mencapai 65 kg pada betina dan 75 kg pada jantan. Tinggi kambing Saanen rata-rata 75-90 cm (Devendra dan

5 McLeroy, 1982). Kambing Saanen sangat sensitif terhadap cahaya sehingga pemeliharaanya harus menggunakan naungan (Sutama et al., 2000).

Sifat Pertumbuhan

Sifat-sifat pertumbuhan anak kambing penting untuk diperhatikan, karena sifat pertumbuhan tersebut berkorelasi genetik positif dengan produksi susu dan relatif mudah diukur (Mandonnet et al., 1998). Korelasi genetik adalah korelasi antara nilai pemuliaan aditif dari dua sifat atau diantara jumlah pengaruh aditif gen- gen yang mempengaruhi kedua sifat tersebut (Legates dan Warwick, 1990). Korelasi berdasarkan teori berkisar antara -1 sampai dengan 1. Korelasi genetik yang positif berarti bahwa seleksi untuk suatu sifat tidak saja berakibat diperbaikinya sifat tersebut, tetapi juga sifat keduanya yang berkorelasi.

Menurut Maynard dan Loosli (1956), pertumbuhan adalah pertambahan masa tubuh dalam kurun waktu tertentu yang sifatnya spesifik bagi masing-masing hewan. Tetapi bukan berarti setiap pertambahan bobot tubuh merupakan pertumbuhan. Hewan yang telah mencapai dewasa tubuh biasanya tidak mengalami pertumbuhan lagi, sehingga istilah yang sering dipakai untuk hewan dewasa adalah penggemukan.

Berdasarkan waktu pengukuran berat badan sebagai indikator laju pertumbuhan pada periode tertentu, maka pertumbuhan ternak dapat digolongkan dalam tiga periode, yaitu pertumbuhan sebelum lahir, sebelum sapih, dan sesudah disapih (Lasley, 1963; Harjosubroto, 1994). Pola pertumbuhan setelah lahir pada semua spesies dari hewan mamalia hampir sama yaitu berkarakteristik sigmoid (bentuk-S). Bobot badan mendekati maksimum setelah masa pubertas dan mulai menurun setelah hewan dewasa (Campbell dan Lasley, 1973), namun kecepatan pertumbuhan tersebut tidak terlepas dari faktor genetik dan lingkungan (Hardjosubroto, 1994).

Tampilan turunan merupakan hasil kombinasi antara pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga diperlukan koreksi pengaruh faktor lingkungan pada sifat pertumbuhan seperti umur beranak dan tipe kelahiran (Kosum et al., 2004). Untuk mengestimasi nilai pemuliaan dari sifat pertumbuhan anak-anak pejantan yang diuji, dilakukan dengan cara membandingkan terhadap tampilan keturunan pejantan lain (Wiggans et al., 1984).

Bobot Lahir

Bobot lahir adalah bobot pada saat dilahirkan, yaitu bobot hasil penimbangan dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir merupakan faktor penting yang mempengaruhi produktivitas ternak, karena bobot lahir sangat berkorelasi dengan laju pertumbuhan, ukuran dewasa, dan daya hidup kambing (Devendra dan Burns, 1994). Bobot lahir yang lebih tinggi di atas rataan umumnya akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi. Selain itu bobot lahir juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur induk, kondisi induk selama kebuntingan, dan jumlah anak sekelahiran (Hardjosubroto, 1994). Rata-rata bobot lahir anak kambing sekitar 1/15 atau 6,67% dari bobot induk (Gall, 1981). Bobot Sapih

Penyapihan adalah waktu ketika anak kambing berhenti menyusu. Bobot sapih merupakan indikator dari kemampuan induk untuk menghasilkan susu dan kemampuan anak kambing untuk mendapatkan susu dan tumbuh. Bobot sapih dipengaruhi oleh bobot lahir, jenis kelamin, umur penyapihan, dan bangsa (Abdulgani, 1981). Bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih, umur induk, dan produksi susu induk. Bobot sapih juga ditentukan oleh bobot lahir yang merupakan akumulasi pertumbuhan embrio sampai fetus (Devendra, 1978).

Bobot sapih mempunyai korelasi positif dengan bobot lahir, artinya bobot lahir yang tinggi akan menentukan bobot sapih yang tinggi pula. Berdasarkan hasil pengamatan Joesoep (1986), bobot sapih kambing PE mencapai puncaknya pada kelahiran yang ke-4. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor induk yang telah cukup matang dalam mengandung dan membesarkan anak. Selain itu mungkin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan tata laksana pemeliharaan.

Sifat Produksi Susu

Susu kambing memiliki butiran lemak yang halus dan menyebabkan proses pencernaan berlangsung mudah. Susu kambing juga tidak mengandung antigen penyebab alergi dalam proteinnya. Kualitas susu kambing juga tidak kalah dari susu sapi dan sangat baik diberikan kepada orang yang mengalami gangguan pencernaan (Devendra dan Burns, 1994).

7 Produksi susu dipengaruhi oleh karakteristik bangsa, individu ternak, umur, masa bunting, pakan, kesehatan, kondisi lingkungan, frekuensi, dan metode pemerahan (Sasimowski, 1987). Selain faktor-faktor tersebut, iklim suatu tempat sangat berpengaruh terhadap produksi susu (Bath et al., 1985).

Produksi susu pada ternak dengan umur tua lebih tinggi daripada ternak dengan umur muda, sebab ternak muda masih mengalami pertumbuhan. Pendistribusian zat-zat makanan pada ternak muda hanya sebagian untuk produksi susu dan sebagian lagi untuk pertumbuhan, termasuk kelenjar ambing yang masih pada tahap perkembangan (Phalepi, 2004).

Kambing PE berpotensi untuk menghasilkan susu, walaupun tingkat produksinya masih sangat beragam yakni sekitar 0,45-2,2 l/hari pada kambing PE dewasa (Obst dan Napitupulu, 1984), dan 0,3-0,8 kg/hari pada kambing PE muda (Sutama et al., 1995). Produksi susu akan meningkat sejak induk beranak, kemudian akan turun hingga akhir masa laktasi (Blakely dan Bade, 1992). Rataan produksi pada awal laktasi sekitar 500 gram/hari, kemudian meningkat dan mencapai produksi tertinggi antara minggu ke-3 sampai minggu ke-5, setelah itu menurun. Kambing Saanen memiliki rata-rata produksi susu di daerah tropis adalah 1-3 kg per ekor per hari (Devendra dan Burns, 1994).

Seleksi

Perbaikan mutu genetik ternak dapat dilakukan melalui seleksi dan persilangan. Persilangan biasanya dilakukan untuk pembentukan bangsa baru dengan introduksi gen baru dari luar (Gatenby, 1991). Seleksi ternak merupakan tindakan untuk mempertahankan sekelompok ternak tertentu sebagai tetua untuk menghasilkan keturunan pada generasi berikutnya serta menghilangkan kesempatan pada kelompok lain untuk berproduksi (Minkema, 1993). Seleksi menunjukkan keputusan yang diambil oleh pemulia untuk menurunkan keragaman ternak pada generasi berikutnya dan menyisihkan ternak yang tidak diinginkan untuk menghasilkan keturunan (Warwick et al., 1990).

Menurut Noor (2000), seleksi diartikan sebagai suatu tindakan untuk membiarkan sejumlah ternak untuk tetap bereproduksi, sedangkan ternak yang lainnya tidak diberikan kesempatan untuk bereproduksi. Seleksi meliputi pemilihan individu yang didasarkan atas fenotip terarah (seleksi fenotipik), seleksi dengan

memanfaatkan informasi kerabat (silsilah dan turunan), dan seleksi sifat yang diwariskan secara sederhana atau simply inherited(Bourdon, 1997).

Seleksi menyebabkan frekuensi gen pembawa sifat yang diinginkan akan muncul lebih tinggi pada populasi berikutnya. Jika seleksi dilakukan untuk lebih dari satu sifat, maka diperlukan informasi korelasi genetik (Warwick et al.,1990). Seleksi akan lebih efektif dan memberikan respon lebih besar, jika sifat yang dijadikan kriteria seleksi memiliki keragaman yang tinggi. Seleksi individu memberikan hasil yang baik bila sifat kuantitatif yang diseleksi memiliki nilai heritabilitas tinggi atau sedang. Seleksi individu yang paling cepat jika dilakukan pada sifat-sifat yang dapat diukur pada ternak jantan dan betina sebelum dewasa.

Heritabilitas

Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa heritabilitas merupakan rasio yang menunjukkan rata-rata persentase keunggulan tetua yang diwariskan kepada keturunannya. Secara teoritis, heritabilitas dapat berkisar antara 0 sampai 1, tetapi angka ekstrim ini jarang diperoleh untuk sifat-sifat kuantitatif ternak. Menurut Martojo (1992), dengan dapat diestimasinya nilai heritabilitas untuk sifat-sifat kuantitatif dapat dipakai untuk meramalkan atau menduga besarnya nilai pemuliaan individu ternak, sehingga dapat menyusun rancangan pemuliaan ataupun menduga besar respon seleksi.

Menurut Noor (2000), nilai heritabilitas dikatakan rendah jika nilainya berada antara 0-0,2, sedang antara 0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4. Nilai heritabilitas tinggi menunjukkan perbedaan fenotip hewan sebagian besar disebabkan oleh perbedaan nilai pemuliaan, bukan disebabkan oleh pengaruh kombinasi gen (dominan dan epistasis) maupun pengaruh lingkungan. Jika h2 suatu sifat rendah, maka perbedaan fenotip hanya sedikit dipengaruhi perbedaan nilai pemuliaan dan lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor lainnya (Bourdon, 1997).

Tabel 1. Nilai Heritabilitas Bobot Lahir pada Kambing dan Domba

Ternak Nilai h2 Sumber

Kambing PE 0,32 Prihartini (2000)

Kambing Boer >< PE 0,33±0,04 Sulastri dan Dakhlan (2006)

9 Ada beberapa cara untuk mengukur nilai heritabilitas yang menurut Johansson dan Rendel (1968) adalah 1) dengan cara populasi isogenik, 2) dengan percobaan seleksi, dan 3) dengan cara populasi intrakelas dan adanya korelasi antara individu yang mempunyai hubungan keluarga. Cara populasi intrakelas ini terdiri dari tiga metode yaitu hubungan induk-anak (daughter-dam), hubungan saudara kandung (full-sibs) dan hubungan saudara tiri (half-sibs). Dari berbagai cara tersebut yang paling sering digunakan adalah cara half-sib, karena cara ini menghasilkan nilai yang mendekati kebenaran. Hal ini adalah karena tidak mengandung ragam dominan, sedikit mengandung ragam epistasis, dan tidak mengandung pengaruh induk bila dibandingkan dengan metode lain. Adapun tujuan pendugaan nilai heritabilitas adalah menyatukan ragam aditif dan memperkecil semua pengaruh lingkungan (Warwick et al.,1990). Data nilai heritabilitas beberapa bangsa ternak kambing dan domba disajikan pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 2. Nilai Heritabilitas Bobot Sapih pada Kambing dan Domba

Ternak Nilai h2 Sumber

Kambing Boer >< PE 0,25±0,12 Sulastri dan Dakhlan (2006)

Domba Priangan 0,24±0,10 Rahmat et al.(1997)

Uji Zuriat

Evaluasi keunggulan sifat produksi susu pejantan dapat dilakukan melalui uji zuriat, yakni penilaian atas dasar kemampuan produksi keturunannya. Pejantan tidak menghasilkan susu, sehingga kemampuan pejantan dapat diduga dari produksi susu anak-anaknya, mengingat pejantan mewariskan sifat yang dipunyai sekitar 50% kepada keturunannya (Schmidt dan Van Vleck, 1974). Pemilihan pejantan sebaiknya dilakukan sedini mungkin dengan demikian nilai genetik pejantan tersebut akan cepat diketahui, untuk dapat diambil keputusan dalam pemilihan pejantan (Diggins dan Bundy, 1961).

Ada berbagai cara dalam mengevaluasi pejantan berdasarkan performans anak-anaknya (Hardjosubroto, 1994) yaitu :

1. Perbandingan produksi antar-anak

Cara seleksi pejantan yang mula-mula sekali adalah membandingkan produksi antar anak betina dari pejantan satu dengan pejantan lainnya. Metode ini di-

kenal dengan Daughter-Comparison. 2. Membandingkan produksi anak-induk

Cara ini dikenal dengan Daughter-Dam Comparison. Metode ini merupakan cara yang paling sederhana dan didasarkan atas perbandingan antara rataan produksi susu anak dengan rataan produksi susu induknya. Metode ini dapat digunakan apabila paling sedikit diperoleh lima pasang perbandingan. Menurut Bath et al. (1985), kelemahan dari metode ini disamping adanya perbedaan waktu antar produksi induk dengan anaknya, juga sering induk tidak mempunyai catatan produksi yang lengkap. Perhitungan ini pada sapi perah adalah produksi susu distandarisasi berdasarkan masa laktasi 305 hari, frekuensi pemerahan dua kali, dan setara dewasa (mature equivalent). Metode ini kemudian berkembang menjadi Equal Parent Index dan Regression Index.

3. Membandingkan produksi Herdmate-nya

Metode ini dikenal dengan sebutan Herdmates Comparison, atau kadang- kadang disebut pula dengan Daughter-Herdmate Comparison. Produksi dari anak- anak pejantan dibandingkan dengan produksi dari Herdmate-nya yang beranak pada waktu yang hampir bersamaan. Dikemukakan oleh Johanson dan Rendel (1968), bahwa selain laktasi pertama, anak betina yang telah melengkapi produksi laktasi kedua dan ketiga serta rataan produksi bangsa ternak itu sendiri juga diperhitungkan.

Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukan kesamaan lingkungan diantara peternakan, kecuali itu induk yang tidak mempunyai catatan masih dapat dipergunakan. Pengujian ini mempergunakan produksi susu selama laktasi. Maksud dari analisis ini adalah menghilangkan pengaruh dari kandang, tahun, dan musim.

Beberapa asumsi yang digunakan dalam metode ini yaitu : (1) Semua hewan yang digunakan dalam evaluasi genetik adalah sampel acak dari populasi genetik dari tiap bangsa, (2) Tidak ada tren genetik dalam setiap bangsa, (3) Herdmates semua sapi mempunyai kesempatan yang sama untuk disingkirkan, (4) Setiap sapi dan hertmates-nya mendapat perlakuan yang sama (Bath et al., 1985).

4. Contemporary Comparison

Metode ini adalah metode uji zuriat dengan cara membandingkan produksi susu anak betina pejantan yang diuji dengan anak betina pejantan lain yang

11 berproduksi pada tempat, tahun, dan musim yang sama (Ensminger, 1986). Pada dasarnya metode Contemporary Comparisonmempunyai prinsip yang sama dengan Herdmate-Comparison. Penggunaan metode ini dapat mengurangi kesalahan akibat faktor lingkungan yang disebabkan oleh umur.

5. Modified Contemporary Comparison(MCC)

Pada metode ini dibandingkan catatan produksi ternak betina dengan produksi ternak lain yang diperah pada waktu yang sama. Analisis yang dilakukan telah memperhitungkan tingkat perbedaan genetik diantara peternakan satu sama lainnya, serta kemungkinan adanya perbedaan manajemen. Penggunaan simpangan terhadap rataan produksi kelompok, telah memungkinkan untuk menghitung nilai Ramalan Beda Produksi (Predicted Different) dari setiap pejantan, yang merupakan ramalan perbedaan antara rataan keunggulan anak betinanya terhadap populasinya kelak dikemudian hari. Ramalan Beda Produksi ini merupakan penyempurnaan dari perhitungan Predicted Difference (PD) yang sudah ada, yaitu yang didasarkan atas CC. Perhitungan PD atas dasar MCC oleh karenanya sering disingkat dengan PD 74. Menurut Bath et al. (1985), metode MCC lebih sulit dihitung bila data yang digunakan sedikit.

6. Cummulative Difference(CD)

Metode Cumulative Difference merupakan pengembangan dari metode Contemporary Comparison, dengan memasukkan unsur pejantan pembanding. Metode ini menggunakan dua sumber informasi, yaitu informasi dari pejantan yang sedang diuji saat itu (saat t) dan informasi yang berupa rataan nilai genetik pejantan lain pada saat sebelumnya. Kebaikan metode ini disamping dapat menilai kemampuan seekor pejantan juga dapat menilai kemajuan genetik yang telah dicapai sebelumnya.

7. Indeks Pemuliaan (Breeding Index)

Metode ini dimulai di Selandia Baru. Pejantan yang akan diukur, dibandingkan dengan nilai genetik pada tahun 1960. Tahun 1960 sebagai tahun dasar penilaian. Indeks Pemuliaan (IP) akhir ternak dihitung berdasarkan informasi IP tetua dan IP turunannya. Sebagai contoh, misalnya ternak mempunyai IP 120 pada tahun 1983. Nilai tersebut menunjukkan bahwa ternak yang diuji 20% lebih baik

keunggulan genetiknya daripada IP 100 pada tahun 1960 (Holmes dan Wilson, 1984).

8. Best Linier Unbiased Prediction(BULP)

Metode ini adalah kombinasi dari indeks seleksi dengan teknik analisis Least square. Metode ini sangat baik, karena kesalahan pendugaan sangat diminimalkan dengan korelasi antara yang diduga dengan pendugaan maksimum. Bath et al. (1985) mengemukakan bahwa beberapa ahli berpendapat bahwa metode BULP adalah salah satu cara evaluasi genetik yang paling akurat. Metode BULP merupakan metode baru dalam uji zuriat (Abe, 1993).

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Balai Penelitian Ternak dari Mei sampai dengan Juli 2010 dengan mengambil data pertumbuhan anak kambing PE dan Saanen dari Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Materi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data yang berasal dari data sekunder pencatatan tahun 2006 hingga tahun 2009 di Balai Penelitian Ternak Ciawi- Bogor. Kelengkapan data antara lain meliputi nomor pejantan, nomor induk, tanggal kawin, nomor anak, tanggal lahir, tipe kelahiran, jenis kelamin, tanggal sapih, dan bobot sapih.

Penelitian ini menggunakan kambing PE dan Saanen. Kambing PE yang digunakan adalah 133 ekor anak dari delapan ekor pejantan. Anak kambing PE terdiri atas 62 ekor anak jantan dan 71 ekor anak betina dengan tipe kelahiran tunggal (61 ekor) dan kembar dua (72 ekor). Kambing Saanen yang digunakan adalah 48 ekor anak dari dua ekor pejantan. Kambing Saanen terdiri atas 25 ekor anak jantan dan 23 ekor anak betina dengan tipe kelahiran tunggal (26 ekor) dan kembar dua (23 ekor).

Prosedur

Data yang dikumpulkan meliputi bobot lahir (BL) dan bobot sapih (BS) pada anak kambing PE dan Saanen. Standarisasi dilakukan untuk mengeliminasi faktor- faktor yang mempengaruhi bobot lahir dan bobot sapih yaitu faktor koreksi tipe lahir

dan jenis kelamin anak yang diperoleh dari perbandingan nilai Least Square Means.

Bobot lahir kambing Saanen distandardisasi berdasarkan jenis kelamin jantan dan tipe kelahiran tunggal. Bobot lahir kambing PE distandarisai berdasarkan jenis kelamin betina dan tipe kelahiran kembar dua (PE). Bobot sapih distandarisasi pada umur sapih 120 hari. Data terstandardisasi digunakan untuk perhitungan nilai heritabilitas.

Faktor koreksi digunakan untuk menstandardisasi bobot lahir dan bobot sapih (Kurnianto et al., 2007) :

Keterangan :

BLst = Bobot lahir terstandarisasi

FKTL = Faktor koreksi tipe kelahiran FKJK = Faktor koreksi jenis kelamin

BSst = BL + [( x 120) x FKTL]

Keterangan :

BSst = Bobot sapih standarisasi umur 120 hari

FKTL = Faktor koreksi tipe kelahiran

BS = Bobot sapih sesungguhnya

BL = Bobot lahir sesungguhnya

Umur = Umur saat sapih

Analisis Data 1. Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Perbedaan rataan bobot badan baik pada bobot lahir dan bobot sapih antara jantan dengan betina dan antara kelahiran tunggal dengan kembar dianalisis

Dokumen terkait