• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMAS

PENDAHULUAN Latar Belakang

Padi merupakan komponen utama dalam sistem ketahanan pangan nasional. Rata-rata peningkatan produksi padi nasional beberapa tahun terakhir masih rendah, yaitu 2.2 - 2.3 persen per tahun. Berdasarkan angka ramalan III bulan November 2010, produksi padi nasional tahun 2010 meningkat hingga 2.5 persen dan diprediksi mencapai 65.9 juta ton gabah kering giling (GKG), atau setara dengan beras sebanyak 36.9 juta ton (Suswono 2010). Berdasarkan angka tetap tahun 2009 produktivitas padi nasional 4.99 t/ha GKG (BPS 2010). Padahal dengan laju pertumbuhan penduduk yang mencapai 1.49% dan laju konsumsi beras nasional 1.34% per tahun, rata-rata produktivitas padi nasional seharusnya minimal 6.0 t/ha (Makarim dan Suhartatik 2006; Suswono 2010).

Upaya meningkatkan produktivitas padi terus dilakukan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan ratun. Ratun atau Singgang (Jawa) atau Turiang (Sunda) yaitu rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali setelah dipanen. Keuntungan penerapan ratun adalah cepat, mudah dan murah serta dapat meningkatkan produktivitas padi per unit area dan per unit waktu (Nair dan Rosamma 2002). Penerapan budidaya padi dengan sistem ratun melalui memanfaatkan varietas berdaya hasil tinggi, diduga dapat memberi andil dalam meningkatkan produktivitas padi nasional.

Secara genetik dilaporkan bahwa padi-padi lokal yang memiliki kekerabatan dengan spesies padi liar memiliki sifat ratun dan anakan sekunder. Spesies padi liar Oryza perennis Moench adalah nenek moyang dari Oryza sativa L. yang banyak ditemukan di Asia terutama di habitat lahan rawa. Spesies ini memiliki tipe perennial dengan potensi ratun yang tinggi dan mampu menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang banyak (Oka 1974). Demikian juga dengan Oryza minuta, yang jumlah anakan produktifnya dapat mencapai > 50 anakan setelah terbentuk anakan sekunder, sedangkan Oryza nivara dan Oryza glumaepatula mencapai > 20 anakan. Padi jenis ini, pada pertanaman awal jumlah anakannya sedikit, biasanya kurang dari sepuluh, disusul oleh anakan sekunder, sehingga jumlah anakan menjadi banyak (Suhartini et al. 2003).

Secara morfologi, ratun berbeda dengan tanaman utamanya, terutama jumlah anakan produktif yang umumnya lebih sedikit, dan batang lebih pendek (Vergara et al. 1988). Ratun yang dihasilkan dari buku yang lebih tinggi keluar lebih cepat dibanding yang tumbuh dari buku yang lebih rendah. Jumlah gabah per malai ratun yang fertil lebih sedikit, sedangkan ratun yang muncul dari buku yang lebih rendah menghasilkan jumlah gabah per malai yang lebih banyak, dengan persen fertil yang lebih tinggi (Vergara et al. 1988). Produksi ratun bervariasi, yaitu berkisar 0.7-5.8 t/ha. Beberapa varietas padi yang menghasilkan ratun lebih dari 2 t/ha banyak dilaporkan berkembang di India dan Filipina seperti varietas Tillak Kachari (hasil ratun 5.0 t/ha), Achra 108/1 (4.8 t/ha), Milbuen 5 (5.6 t/ha), IR28 (2.1 t/ha), dan IR42 (2.9 t/ha) (Krishnamurthy 1988).

Faktor penentu keberhasilan ratun lainnya adalah vigor tunggul setelah panen tanaman utama, yang erat kaitannya dengan cadangan hasil proses fotosintesis. Aktivitas fotosintesis menentukan jumlah energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman yang dapat dimanfaatkan (Marschner 1995). Penyimpanan hasil fotosintesis ke bagian akar dan batang sangat diperlukan, agar batang tanaman padi yang telah dipanen (tunggul) tetap berwarna hijau. Dengan demikan asimilat yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tunas ratun (Vergara et al. 1988; Chauhan et al. 1989; Gardner et al. 1991; Wu et al. 1998). Terdapat hipotesis bahwa jika akumulasi karbohidrat berlangsung lama, maka potensi produksi ratun dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai dengan menunda penuaan daun. Status karbohidrat saat panen dan kemampuan ratun merupakan kesatuan yang sangat erat (Vergara et al. 1988). Pengaruh faktor lain terhadap potensi ratun belum banyak diinformasikan.

Saat ini informasi tentang ratun pada tanaman padi mulai berkembang dan tidak terbatas pada padi liar atau padi-padi lokal saja (Anonim 2006). Studi ratun pada padi varietas hibrida, inbrida maupun padi tipe baru (PTB) banyak dilakukan di China, sedangkan di Indonesia informasi tentang ratun masih sangat terbatas. Padahal beberapa varietas berdaya hasil tinggi, berumur pendek, toleran cekaman biotik dan abiotik telah banyak dihasilkan di Indonesia, seperti varietas Hipa-4, Hipa-5 Rokan, Ciherang, Batanghari, Cimelati, Fatmawati, Inpari-3, dan Inpara (Suprihatno et al. 2007).

Varietas padi tersebut baik hibrida, inbrida termasuk PTB, memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Varietas padi hibrida memiliki vigor yang tinggi, hasil 15-20% lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida, namun benih padi hibrida hanya dapat digunakan untuk satu musim tanam sehingga setiap kali tanam harus menggunakan benih baru. Varietas inbrida produksi tinggi, mutu beras baik dan tahan hama dan penyakit. Selain itu terdapat varietas-varietas yang memiliki keunggulan spesifik antara lain toleran keracunan Fe dan Al serta toleran rendaman, sehingga cocok dikembangkan pada lahan rawa (Sembiring dan Widiarto 2007). Keunggulan PTB yang dihasilkan selain tahan terhadap hama dan penyakit, juga menghasilkan malai yang lebat dan bernas, dengan morfologi daun tegak dan hijau serta sistem perakaran dalam, sehingga secara fisiologi akan berkorelasi dengan hasil (Khush 1995; Abdullah et al. 2005).

Pemanfaatan lahan pasang surut yang tersebar luas di Indonesia, sangat prospektif sebagai pengganti terbatasnya lahan subur di Jawa dan Bali. Beberapa varietas padi yang dihasilkan memiliki kesesuaian untuk dikembangkan di lahan pasang surut. Teknologi ratun juga sangat potensial dikembangkan, mengingat terdapat kebiasaan petani di lahan pasang surut yang membiarkan rumpun padi yang telah dipanen (tunggul) sebagai ratun, khususnya pada padi lokal. Berubahnya pola tanam menjadi padi unggul-padi lokal, tidak banyak mengubah kebiasan petani dalam berusahatani. Petani tetap membiarkan bekas pertanaman setelah panen, sampai panen ratun dilakukan baru mengolah tanah untuk tanam berikutnya (Hadrani, komunikasi pribadi 2007). Permasalahan usahatani padi di lahan pasang surut seperti tingkat kemasaman tinggi, kesuburan tanah rendah, adanya lapisan pirit, dan adanya periode genangan (air pasang) secara berangsur telah mampu diatasi.

Dalam rangka mendapatkan informasi tentang ratun dan upaya meningkatkan potensi ratun secara optimal, diperlukan serangkaian penelitian yang diawali dengan seleksi genotipe padi dan pengelolaannya. Selain itu dilakukan juga studi agronomi dan fisiologi untuk meningkatkan peran faktor lainnya dalam menghasilkan ratun, seperti pemupukan, tinggi pemotongan panen tanaman utama dan pengelolaan air. Bagan alur penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Penelitian bertujuan untuk memperoleh genotipe padi dengan potensi ratun tinggi, mendapatkan paket teknologi pengelolaan yang dapat meningkatkan produksi ratun, dan mengetahui karakter-karakter agronomi, morfologi dan fisiologi yang mempengaruhi produksi ratun.

Tujuan Khusus

1. Mengevaluasi dan mendapatkan genotipe padi yang memiliki potensi ratun tinggi.

2. Meningkatkan produktivitas ratun melalui pemupukan dan pengaturan tinggi pemotongan tunggul di tingkat lapang serta pengelolan air.

3. Mendapatkan informasi agronomi ratun pada beberapa ketinggian air. Hipotesis

1. Terdapat genotipe padi yang mampu menghasilkan ratun dengan produktivitas tinggi.

2. Diperlukan hara N, P dan K untuk meningkatkan produksi tanaman utama dan ratun di lapangan.

3. Terdapat tinggi pemotongan tunggul dan penggenangan setelah panen tanaman utama yang memacu dan meningkatkan produksi ratun.

Gambar 1. Diagram

alir penelitian

Uji/seleksi potensi ratun

beberapa genotipe padi : hibrida, unggul, tipe

baru dan galur-galur terpilih

Percobaan 1:

Keragaan varietas dan galur-galur harapan

padi tipe baru dalam sistem ratun

Percobaan 3 :

Kajiantinggi pemotongan panen

tanaman utama terhadap produksi ratun

Percobaan 4 :

Peran Hara N, P dan K terhadap pertumbuhan

dan perkembangan ratunberapa genotipe padi

P

pe

Hasil akhir yang diharapkan

Teknologi budidaya padi dengan sistem rat

Evaluas

ratun pad

Penelitian II :

Studi agronomi beberapa genotipe

padi penghasil ratun

TINJAUAN PUSTAKA

Ratun Tanaman Padi

Ratun tanaman padi merupakan tunas yang tumbuh dari tunggul batang yang telah dipanen dan menghasilkan anakan baru hingga dapat dipanen (Krishnamurthy 1988). Praktek budidaya tanaman padi-ratun telah lama dilakukan petani di daerah tropis dan di daerah beriklim sedang (Gardner et al. 1991). Di Indonesia, budidaya ini banyak dilakukan untuk padi lokal yang berumur panjang. Hasil ratun sering disebut sebagai padi singgang atau turiang. Padi lokal yang berumur panjang, setelah panen tanaman utama, akan dibiarkan oleh petani hingga musim tanam tahun berikutnya. Dalam periode tersebut petani akan memanen ratun dalam waktu sekitar setengah dari periode tanaman utama, dengan produksi berkisar antara 40-60% dari panen tanaman utamanya (Vergara et al. 1988). Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan ratun antara lain : (a) biaya produksi lebih rendah karena tidak perlu pengolahan tanah dan penanaman ulang, (b) pupuk yang dibutuhkan lebih sedikit, yaitu setengah dari dosis yang diberikan pada tanaman utama, (c) umur panen lebih pendek, dan (d) hasil yang diperoleh dapat memberikan tambahan produksi dan meningkatkan produktivitas (Krishnamurthy 1988; Nair dan Rosamma 2002).

Kemampuan tanaman padi menghasilkan ratun dapat ditentukan oleh sifat genetik dan lingkungan, seperti ketersediaan air, tingkat kesuburan tanah, sinar matahari, suhu, dan keadaan hama dan penyakit tanaman (Mahadevappa 1988). Secara genetik, setiap jenis padi memiliki kemampuan menghasilkan ratun yang berbeda-beda. Beberapa varietas padi dilaporkan menghasilkan ratun antara 1.4- 3.8 t/ha. Varietas-varietas tersebut adalah IR8 menghasilkan ratun 1.4 t/h di India (Mahadevappa dan Yogeesha 1988), IR 29 menghasilkan ratun 3.8 t/ha di China, IR28 dan IR 42 masing-masing menghasilkan ratun 2.1 t/ha dan 2.9 t/ha di Filipina (Krishnamurthy 1988). Padi hibrida jenis Ai You 4 menghasilkan ratun lebih tinggi yaitu 5.0-5.8 t/ha di China (Anonim 2006). Dari evaluasi yang dilakukan terhadap 57 padi hibrida, diketahui hibrida IR19677-34-2-2-3-3A/IR36 merupakan hibrida yang mampu menghasilkan ratun tertinggi di Filipina (Chauhan 1988).

13

Faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan menghasikan ratun adalah panjang pemotongan, pemupukan dan pengelolaan air. Panjang pemotongan dapat mempengaruhi jumlah anakan, periode pertumbuhan, vigor ratun dan hasil biji (De Datta dan Bernasor 1988). Pada beberapa genotipe, ratun tumbuh dari ruas yang lebih tinggi, sedang ratun yang tumbuh dari ruas yang rendah atau dekat dengan tanah lebih banyak yang mati daripada yang bertahan hidup. Ditemukan juga ratun tumbuh dari setiap buku yang terdapat pada tunggul. Pemotongan yang lebih tinggi atau jika tanaman utamanya masih tertinggal 2-3 ruas (15-20 cm), dapat mendorong pertumbuhan tunas ratun lebih baik, dan menekan kehilangan hasil (Vergara et al. 1988).

Pupuk merupakan salah satu input yang sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil ratun. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung pada komposisi, waktu pemberian dan tingkat dosis pupuk yang diberikan pada tanaman utama dan tanaman ratun, terutama pupuk N. Pupuk N secara nyata berpengaruh terhadap penampilan tanaman ratun, meningkatkan rumpun dan hasil ratun (McCauley et al. 2006). Di Louisiana USA hasil ratun meningkat, jika N diaplikasikan sebanyak 34-41 kg pada saat 15 hari sebelum panen tanaman utama, dan sebanyak 13.6-20.4 kg N pada saat 15 hari setelah panen (Jason 2005). Pemberian N pada tanaman utama saat 14 hari sebelum panen meningkatkan hasil ratun 10%, tetapi menurunkan hasil tanaman utama (Vergara et al. 1988). Padi hibrida yang dipupuk dengan dosis 96-125 kg N/ha menghasilkan ratun 5.0-5.6 t/ha (Charoen 2003).

Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), unsur N bagi tanaman merupakan unsur penyusun asam amino, asam nukleat, dan klorofil yang bagi tanaman padi sawah dapat mempercepat pertumbuhan (pertambahan tinggi dan jumlah anakan) dan meningkatkan ukuran daun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan kandungan protein gabah. Dengan demikian, unsur N berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, seluruh komponen hasil dan hasil padi sawah. Menurut Witt (1999), pada kondisi normal produksi biomassa padi sangat ditentukan oleh suplai unsur hara N. Kebutuhan unsur hara makro P dan K pada padi sawah sangat tergantung pada suplai unsur hara N. Menurut Harada dan Yamazaki (1993), pertumbuhan akar padi sawah yang mendapat

perlakuan pemupukan N jauh lebih berkembang dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan N. Sebaliknya penggunaan pupuk lain, yaitu P dan K dilaporkan tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ratun. Di Taiwan P dan K tidak berpengaruh terhadap hasil ratun, dan di Texas P dan K yang diaplikasikan pada tanaman ratun tidak berpengaruh jika tanaman utama menerima cukup pupuk tersebut (McCauley et al. 2006).

Pengelolaan air sebelum dan sesudah panen tanaman utama dapat mempengaruhi kemampuan ratun. Secara normal hanya sekitar 60% air yang diperlukan untuk tanaman utama, tetapi ketersediaan air setelah panen sangat penting untuk keberhasilan ratun. Penggenangan selama beberapa hari setelah panen tanaman utama mendorong pertumbuhan ratun dan meningkatkan jumlah malai (McCauley et al. 2006). Waktu penggenangan dan panjang pemotongan dapat mempengaruhi hasil ratun. Penggenangan yang dimulai 4-6 hari setelah panen dengan panjang pemotongan yang lebih rendah, mendapatkan ratun yang lebih baik dibandingkan penggenangan yang dilakukan 1 hari setelah panen dengan panjang pemotongan yanhg sama. Banyak anakan yang mati ketika digenangi 5 cm pada panjang pemotongan tepat di atas permukaan tanah. Di India dan Taiwan, adanya irigasi pada tanaman ratun menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang non irigasi (De Datta dan Bernasor 1988).

Fisiologi untuk Meningkatkan Produktivitas Padi - Ratun

Proses fisiologi meliputi semua peristiwa di dalam tubuh tumbuhan. Dua proses terpenting yang terjadi pada semua tanaman tingkat tinggi adalah fotosintesis dan respirasi. Secara sederhana proses fotosintesis adalah proses pembentukan fotosintat oleh tumbuhan hijau, sedangkan respirasi adalah proses pemanfaatan fotosintat. Secara teori, untuk meningkatkan hasil tanaman, maka fotosintesis harus dimaksimalkan sedangkan respirasi harus diminimalkan (Sharma-Natu dan Ghildiyal 2005).

Sinar matahari atau cahaya sangat berperan dalam proses fotosintesis. Dari semua radiasi matahari yang dipancarkan, hanya panjang gelombang yang berada pada kisaran cahaya tampak (400-700 nm) yang dimanfaatkan tumbuhan untuk proses fotosintesis. Dalam fotosintesis terdapat dua tahap utama, yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Reaksi terang terjadi pada grana (granum), dimana energi

15

radiasi diabsorbsi dan digunakan untuk mengkonversi energi cahaya menjadi energi kimia, sehingga menghasilkan senyawa berenergi tinggi yaitu ATP dan NADPH. Pada reaksi gelap, senyawa berenergi tinggi (ATP dan NADPH) yang diperoleh dari reaksi terang dimanfaatkan untuk menambat dan mengubah CO2 menjadi karbohidrat (Taiz dan Zeiger 2002).

Tanaman padi yang tergolong tanaman C3, menggunakan ATP dari fotofosforilasi untuk mengubah ribulose-5-phosphat menjadi RuBP (ribulose 1,5 bisphosphate) yang berfungsi untuk menangkap CO2 atmosfer. Siklus photosynthetic carbon reduction (PCR) terdiri atas karboksilasi, reduksi dan regenerasi. Reaksi karboksilasi menghasilkan 3-phosphoglycerate (3-PGA). Reaksi ini dikatalis oleh enzim ribulose bisphosphate carboxylase oxygenase (Rubisco), yaitu enzim kunci dalam fotosintesis dan merupakan protein daun yang sangat berlimpah. ATP dan NADPH hasil reaksi terang, digunakan untuk mengubah 3-PGA menjadi glukosa dan senyawa organik lainnya. Keseluruhan proses ini disebut siklus Calvin yang berlangsung di sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002; Makino et al. 2000). Total energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman padi tergantung laju fotosintesis per unit area dan luas bagian tanaman yang menerima cahaya (Long et al. 2006).

Strategi peningkatan produksi tanaman padi umumnya dirancang untuk memaksimalkan penyerapan cahaya dan meningkatkan penggunaan cahaya. Hal ini dapat ditentukan antara lain oleh : (a) umur tanaman, terutama yang berhubungan dengan daya vigor yang lebih panjang (setelah antesis), (b) bentuk kanopi, (c) kondisi daun, dan (d) kandungan pigmen fotosintesis. Kemampuan memperpanjang umur dan mempertahankan kehijauan daun, akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman dan produksi biomassa (Long et al. 2006). Dalam hubungannya struktur kanopi, padi dengan sudut daun lebih tegak akan memiliki potensi produksi lebih tinggi dibandingkan yang bersudut daun datar (Long et al. 2006). Selain itu saat cahaya matahari penuh, fotosintesis pada bagian atas kanopi yang tegak akan terjadi secara langsung dan cepat, sehingga jumlah pati yang terbentuk tinggi dan dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan butir pati di kloroplas, serta di batang dan kortek untuk pertumbuhan berikutnya (Murchie et al. 2002).

Kondisi tanaman setelah panen tanaman utama menunjukkan bahwa kelebihan asimilat yang tersusun dalam bentuk karbohidrat, lipid, dan protein, akan dimanfaatkan tanaman sebagai cadangan makanan dan sebagian akan ditranslokasikan ke daerah pemanfaatan vegetatif. Akar dan batang pada tunggul adalah bagian pemanfaatan hasil fotosintesis selama pertumbuhan ratun. Proporsi sisa hasil fotosintesis yang dimanfaatkan akar dan batang mempengaruhi pertumbuhan anakan ratun yang akan muncul dari tunggul (Gardner et al. 1991). Jika asimilat tersedia cukup, dan tingkat kesuburan batang dapat dipertahankan, maka tunas ratun dapat muncul antara hari kedua hingga hari kesepuluh setelah panen tanaman utama (De Datta dan Bernasor 1988 ; Charoen 2003). Penundaan penuaan daun dapat meningkatkan karbohidrat tunggul tanaman utama, dan perkembangan ratun menjadi lebih baik (Vergara et al. 1988; McCauley et al. 2006). Jumlah anakan ratun menjadi lebih banyak pada konsentrasi karbohidrat yang tinggi saat panen (Vergara et al. 1988).

Ratun Padi di Lahan Pasang Surut

Di lahan pasang surut, kebiasaan sebagian besar petani meratun cukup populer. Walaupun awalnya hanya dilakukan terhadap padi lokal, dengan berubahnya pola tanam menjadi padi unggul-padi lokal, kebanyakan petani tetap membiarkan bekas pertanaman setelah panen, baik panen padi lokal maupun panen padi unggul, sampai panen ratun dilakukan; baru mengolah tanah untuk tanam berikutnya.

Pengamatan terhadap pola tanam padi dua kali setahun yang mulai berkembang di lahan pasang surut, terdapat dua istilah yang berhubungan dengan musim tanam, yang sering disebut “Asep dan Okmar” yang diartikan sebagai musim tanam I dari bulan April hingga September dengan menaman padi unggul dan musim tanam II dari bulan Oktober hingga Maret, petani sering menanam padi lokal. Dalam dua musim, pola yang dilakukan petani adalah : jika petani sudah selesai menaman padi unggul pada awal bulan April, maka panen dapat dilakukan pada pertengahan bulan Juli. Dengan alasan belum turun hujan maka bekas-bekas panen dibiarkan hingga menjelang musim tanam II datang, yaitu bulan Oktober. Dalam periode itu petani akan memanen ratun sekali yaitu pada

17

bulan Agustus hingga pertengahan September. Jadi periode pertumbuhan dan panen ratun adalah Juli – September.

Periode pertanaman padi lokal yang cukup panjang dilakukan beriringan dengan pertanaman padi unggul. Lahan-lahan yang ditanami varietas unggul pada bagian pinggir disisakan sekitar 2 meter hingga batas galengan. Lahan sempit ini digunakan untuk melakukan penugalan (yaitu persemaian benih padi lokal dengan cara menaman benih dalam jumlah cukup banyak ke dalam lubang sedalam sekitar 5-10 cm). Lama tugalan 30-45 hari (umumnya dilakukan pada pertengahan bulan Mei). Selanjutnya bibit dari tugalan tersebut dipindahkan dengan cara menanam kembali sebanyak 3-4 bibit per lubang, yang disebut ampak (umumnya dibiarkan selama 25-35 hari, dan dilakukan pada pertengahan bulan Juni) hingga anakan per rumpun cukup banyak. Beriringan dengan panen padi unggul maka sebagian anakan dari ampak dipisah kembali dan ditanam menjadi anakan lacakan pada seperempat areal yang akan diusahakan. Ini berlangsung selama 70-85 hari. Kemudian bibit lacakan ditanam pada areal tanam sebagai pertanaman MT II yang dimulai pada bulan Oktober (Syafaat et al. 1997). Sebagian petani ada yang membiarkan lacakan sekaligus pertanaman MT II pada areal yang diusahakan atau tanpa mengalami pemisahan anakan kembali dan langsung ditanam di areal pertanaman yang luas. Jadi pertanaman pada MT II anakan yang ditanam sudah berbatang kokoh dan agak tinggi. Pada bulan Oktober, tanaman padi akan mengalami genangan beberapa centimeter dalam waktu yang cukup lama (periode pasang), dan ketika air kering (periode surut), maka padi akan mulai memasuki fase reproduktif, dan akan panen pada bulan Pebruari.

Petani akan membiarkan ratun hingga dapat dipanen pada akhir bulan Maret atau April, sambil menyiapkan lahan musim berikutnya. Dalam budidaya ratun, petani umumnya hanya membiarkan tanaman ratun tumbuh apa adanya, tanpa memupuk atau melakukan pemeliharaan lainnya, sehingga produksi rendah dan kadang-kadang sebagian besar hampa. Produksi yang diperoleh berkisar antara 0.5-1.0 t/ha tergantung varietas yang ditanam dan kondisi lahan setelah panen, seperti kelembaban tanah atau ketersediaan air setelah panen tanaman utama (Hadrani, komunikasi pribadi 2007).

KERAGAAN VARIETAS DAN GALUR-GALUR HARAPAN PADI TIPE BARU DALAM SISTEM RATUN

Performance of New Plant Type Varieties and Lines in Ratoon System

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi 18 varietas dan galur-galur padi tipe baru (PTB) Indonesia dalam menghasilkan ratun. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah total/malai dan jumlah gabah isi/malai, adalah karakter dengan keragaman genetik luas, dengan variasi yang tinggi, sehingga perbaikan potensi ratun cukup baik berdasarkan karakter tersebut. Kemampuan menghasilkan ratun juga berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif tanaman sebelum panen. Varietas PTB memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dan menghasilkan ratun lebih tinggi dibandingkan galur lainnya. Tunas-tunas ratun mulai berkembang 2-7 hari setelah panen, dengan jumlah rata-rata 2-4 daun per batang. Jumlah anakan berkisar antara 6.0-30.0 per rumpun. Jumlah gabah 38.0-228.2 butir/malai, dan bobot biji/rumpun 10.4-31.2 g/rumpun. Rata-rata umur panen ratun adalah 68 hari setelah panen tanaman utama. Pengelompokan kemampuan menghasilkan ratun berdasarkan analisis hirarki menghasilkan tiga kelompok, yaitu sembilan genotipe memiliki potensi ratun tinggi, lima genotipe mempunyai potensi sedang, dan empat genotipe memiliki potensi rendah. Studi ini menunjukkan bahwa ratun berpotensi untuk meningkatkan indeks tanam di Indonesia. Genotipe dengan kemampuan ratun tinggi, perlu dievaluasi lebih lanjut untuk melihat kinerja agronomi di lapangan.

Kata kunci : padi tipe baru, kemampuan menghasilkan ratun.

ABSTRACT

The objective of the experiment was to evaluate 18 varieties and lines of new plant type (NPT) of Indonesia to produce ratoon. The experiment was arranged in randomized complete block design with three replications. Eighteen Indonesian new plant type (NPT) rice genotypes were evaluated for ratooning ability. The results showed the character of the number of productive tillers, the total of grain