• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketersediaan bahan bakar fosil semakin berkurang sehingga perlu dicari alternatifnya. Bahan nabati yang telah dikonversi menjadi bahan bakar nabati (BBN) dapat menjadi substitusi bahan bakar fosil. Bioetanol merupakan salah satu jenis BBN yang berpotensi sebagai substitusi bensin. Kecenderungan penurunan cadangan minyak bumi pada periode tahun 2004-2013 merupakan fakta. Indonesia telah menjadi net importer BBM (bahan bakar minyak) sejak tahun 2004 (ESDM 2006). Produksi BBM pada tahun 2013 sebesar 825 ribu barel per hari (bpd) dengan konsumsi sebesar 825 ribu bph. Hal ini mengindikasikan terdapat defisit kebutuhan BBM sebesar 798 ribu bph (BP 2014). Berdasarkan peraturan presiden No 5 tahun 2006 tentang blue print pengelolaan energi nasional 2006-2025, penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) diproyeksikan sebesar 17% pada tahun 2025, dengan bahan bakar nabati menyumbang sebesar 5%. Hal ini berarti upaya pengembangan bioetanol dari bahan bakar nabati memiliki pijakan yang kuat. Bahan berlignoselulosa dari limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan merupakan sumber potensial untuk dikonversi menjadi bioetanol generasi kedua (Sun dan Cheng 2002). Peningkatan nilai tambah biomassa dalam konteks biorefinery didekati dengan pembentukan produk antara (intermediate) sebelum konversi berbagai polimer turunannya sebagai produk utama maupun produk sampingnya. Karbohidrat (selulosa dan hemiselulosa) merupakan sumber gula yang dapat dikonversi menjadi produk kimia yang bernilai tinggi seperti bioetanol. Konversi bahan-bahan ini menjadi bioetanol tidak mengganggu ketersediaan bahan baku pangan berkarbohidrat.

Bambu merupakan salah satu jenis lignoselulosa dari kelompok rumput- rumputan (graminae) sebagai sumber serat potensial yang memiliki pemanfaatan yang luas. Produksi pulp dan kertas, asam laktat, penguat komposit, metana, konstruksi, tekstil, makanan dan bioenergi merupakan contoh aplikasi dari pemanfaatan bambu. Mayoritas populasi bambu berada di Asia dan produksi bambu di Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan Tiongkok (Lobovikov et al.2007). Produktivitas biomasa bambu adalah yang tertinggi (Kant 2010) dibandingkan dengan tanaman bioenergi lain (poplar, switch grass,

mischantus, common reed, dan bagas (Sathitsuksanoh et al. 2010; Zhang 2008). Selain itu bambu mudah dan cepat diproduksi (Scurlock et al. 2000; Gratani et al. 2008).

Bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.f)) merupakan salah satu jenis bambu yang terpenting di Indonesia (Dransfield dan Widjaja 1995). Selain itu morfologi serat dan sifat fisis-kimia dari bambu betung dan kuning ini relatif lebih baik dari morfologi serat dan sifat fisis-kimia bambu bambu andong, tali/apus, ampel, dan bambu hitam (Fatriasari dan Hermiati 2008). Pada proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol, lignin dan struktur kristalin selulosa merupakan faktor pembatas utama. Untuk meningkatkan aksesibilitas enzim maka perlu dilakukan proses modifikasi struktur lignoselulosa dengan proses pra-perlakuan (Galbe dan Zacchi 2007).

Berbagai pilihan jenis pra-perlakuan dapat dilakukan dengan kelebihan dan kekurangannya. Metode dan kondisi terbaik dari pra-perlakuan sangat bergantung kepada jenis lignoselulosa (Taherzadeh dan Karimi 2008). Pra-perlakuan yang efektif jika tujuannya tercapai, tidak terjadi degradasi karbohidrat dan pembentukan produk hasil samping sebagai penghambat proses hidrolisis dan fermentasi, serta efektif biayanya (Sun dan Cheng 2002; Kheswani 2009).

Pra-perlakuangelombang mikro dan biologis merupakan jenis pra-perlakuan yang relatif ramah lingkungan. Jamur pelapuk putih merupakan agen penurun kadar lignin dalam pra-perlakuan biologis (Chen et al. 2009; Zang et al. 2007) dan diharapkan mengubah kelimpahan komposisi monomer penyusun lignin sehingga laju delignifikasinya meningkat. Peningkatan porositas substrat pada pra-perlakuan gelombang mikro merupakan efek utama terhadap peningkatan aksesibilitas enzim. Untuk meningkatkan kinerja pra-perlakuan ini dapat ditambahkan asam, ataupun basa dengan efek yang berbeda terutama pada pelarutan hemiselulosa dan lignin (Kheswani 2009).

Proses pra-perlakuan biologis ini telah diaplikasikan pada berbagai bahan berlignoselulosa. Namun hasil hidrolisis enzimatis dari pra-perlakuan ini belum optimal (selektifitas delignifikasi lebih kecil dari dua) (Giles et al. 2011), sehingga perlu diperbaiki misalnya dengan pemilihan strain jamur yang tepat. Aplikasi jamur Trametes versicolor (TV) selama 45 hari pada bambu betung dalam proses biopulping memberikan delignifikasi yang lebih baik dari aplikasi

Pleorotus ostreatus (PO) dan Phenerochaete chrysosporium (PC)(Fatriasari et al. 2011; Falah et al. 2011).

Kehadiran molekul polar sangat penting dalam iradiasi gelombang mikro. Iradiasi gelombang mikromenyebabkan molekul polar bervibrasi pada kecepatan tinggi dan terjadi friksi antara molekul polar dan melingkupi medium ketika dipanaskan (Kheswani 2009). Gelombang mikro dengan selektif memanaskan bagian yang lebih polar dan menciptakan “hot spot” dengan bahan yang tidak homogen. Pra-perlakuan gelombang mikro ini telah diaplikasikan pada

switchgrass (Kheswani 2009; Hu dan Wen 2008), rumput bermuda (Kheswani 2009), kayu jabon (Risanto et al. 2011), kayu sengon (Risanto et al. 2012), dan tandan kosong kelapa sawit (Anita et al. 2012). Pra-perlakuan gelombang mikro secara umum meningkatkan rendemen gula melalui perbaikan ketercernaan substrat ketika hidrolisis enzimatis. Iradiasi gelombang mikro juga dapat digunakan dalam proses hidrolisis selulosa. Hidrolisis berbantu gelombang mikro akan meningkatkan efektifitas proses dari segi waktu, dan rendemen gula. Efisiensi iradiasi dapat ditingkatkan dengan penambahan katalis pada medium tergantung produk targetnya (Tsubaki dan Azuma 2011). Selain itu untuk menurunkan kadar produk degradasi sekunder pada proses hidrolisis berbantu gelombang mikro dapat ditambahkan karbon aktif. Penambahan karbon aktif pada onggok terbukti memberikan peningkatan rendemen glukosa, mencerahkan warna hidrolisat, menurunkan hidroksimetil furfural (HMF) dengan suhu pemanasan yang lebih rendah (Hermiati et. al. 2012a).

Pada konversi bahan berlignoselulosa menjadi bioetanol umumnya menggunakan pra-perlakuan tunggal dilanjutkan dengan hidrolisis enzimatik. Namun, rendemen gula yang diperoleh kurang maksimal. Penggunaan pra- perlakuantunggal (biologis atau gelombang mikro) pada bambu dengan hidrolisis berbantu gelombang mikro untuk memperbaiki rendemen gula hidrolisis enzimatis belum pernah dilaporkan sebelumnya. Selain itu, kombinasi pra- perlakuan biologis-gelombang mikro merupakan alternatif yang dapat diterapkan untuk memperbaiki rendemen gula, sehingga proses hidrolisisnya lebih efisien. Hal ini mengingat lebih optimalnya aktivitas degradasi lignin, pelarutan hemiselulosa, pelunakan substrat dan peningkatan porositasnya. Teknologi proses hidrolisis asam-gelombang mikro dengan katalis karbon aktif dapat menjadi pilihan metode untuk meningkatkan rendemen gula dan menurunkan kadar HMF, dan senyawa coklat. Sejauh ini belum ada penelitian yang melaporkan penggunaan kombinasi pra-perlakuanbiologis-gelombang mikro dengan hidrolisis asam berbantu gelombang mikro (asam-gelombang mikro) dengan atau tanpa karbon aktif ataupun hidrolisis enzimatis untuk mengkonversi bambu betung menjadi gula pereduksi.

1.2Perumusan Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana perubahan karakteristik selulosa dan lignin pada bambu setelah

pra-perlakuan biologis, gelombang mikro dan kombinasi biologis-gelombang mikro?

2. Bagaimana kondisi pra-perlakuan biologis dan gelombang mikro yang tepat untuk memperbaiki kinerja hidrolisis?

3. Apakah kombinasi pra-perlakuan biologis dan gelombang mikro dapat memperbaiki kinerja hidrolisis enzimatis dan asam-gelombang mikro?

4. Bagaimana kondisi terbaik dari hidrolisis enzimatis dan asam-gelombang mikro terhadap bambu setelah pra-perlakuan biologis, gelombang mikro, dan biologis-gelombang mikro?

5. Bagaimana pengaruh penambahan karbon aktif dalam hidrolisis asam- gelombang mikro dalam menurunkan kadar penghalang yang terbentuk selama proses hidrolisis asam-gelombang mikro?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Memahami kinerja kombinasi pra-perlakuanbiologis-gelombang mikro, pra- perlakuan tunggal (biologis dan gelombang mikro) pada bambu betung dalam memperbaiki kinerja hidrolisis asam-gelombang mikro (dengan atau tanpa karbon aktif) ataupun hidrolisis enzimatis. Pemahaman dilakukan melalui pendekatan perubahan karakteristik selulosa dan lignin sebelum dan setelah pra- perlakuanserta karakteristik produk hidrolisisnya.

Tujuan Khusus

1. Menganalisis perubahan karakteristik bambu setelah pra-perlakuan melalui analisis komponen kimia, morfologi, elemen penyusun, dan struktur selulosa alomorf.

2. Menganalisis perubahan jumlah lignin, kemudahan pengaruh pra-perlakuan terhadap syringyl dan guiacyl serta nisbah lignin/karbohidrat setelah pra- perlakuan melalui analisis komponen kimia dan FTIR.

3. Meningkatkan rendemen gula pereduksi melalui hidrolisis asam-gelombang mikro dan menurunkan kadar senyawa coklat dalam hidrolisat dengan penambahan karbon aktif.

4. Memperoleh kondisi pra-perlakuan dengan indikator karakteristik selulosa dan lignin dan kondisi hidrolisis terbaik berdasarkan perolehan rendemen gula pereduksi dan kadar senyawa inhibitor.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Informasi ilmiah terkait kondisi terbaik pra-perlakuan biologis, gelombang mikro dan kombinasi pra-perlakuan biologis-gelombang mikro pada bambu betung.

2. Informasi ilmiah pola perubahan karakteristik selulosa dan lignin yang terjadi pada bambu betung akibat pra-perlakuantersebut.

3. Informasi ilmiah perbandingan kinerja hidrolisis gelombang mikrodengan atau tanpa karbon aktif dan hidrolisis enzimatis.

1.5 Hipotesis Penelitian

1. Pra-perlakuan akan meningkatkan kadar relatif selulosa dan penurunan derajat kristalinitas selulosa, dan kemungkinan terjadi perubahan struktur selulosa alomorf Iα (triklinik) dari struktur selulosa Iβ (monoklinik). Terjadi penurunan

kadar kadar lignin sehingga kinerja hidrolisis lebih baik setelah pra-perlakuan.

2. Jamur pelapuk putih menyebabkan lignin terdegradasi sedangkan pra- perlakuan gelombang mikro peningkatan ketercernaan substrat akibat peningkatan porositas dan pelarutan hemiselulosa sehingga kinerja hidrolisisnya meningkat.

3. Kombinasi pra-perlakuan biologis-gelombang mikro memberikan kinerja hidrolisis yang lebih baik dibandingkan pra-perlakuan tunggal.

4. Rendemen gula pereduksi dari hidrolisis asam-gelombang mikro lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis enzimatis.

5. Penambahan karbon aktif meningkatkan efek pemanasan dengan munculnya titik-titik panas sehingga proses hidrolisis lebih baik (gula pereduksinya lebih tinggi). Selain itu karbon aktif membantu menurunkan kadar senyawa coklat dan berfungsi sebagai adsorben penghalang.

1.6 Novelty Penelitian

1. Informasi terkait metode pra-perlakuan alternatif (kombinasi pra-perlakuan biologis-gelombang mikro) terhadap bambu betung untuk memperbaiki ketercernaan bahan dalam proses hidrolisis enzimatik dan asam-gelombang mikro.

2. Informasi peranan pra-perlakuan biologis, gelombang mikro, dan kombinasi pra-perlakuan biologis-gelombang mikro terhadap perubahan karakteristik bambu betung berupa penurunan kadar lignin dan hemiselulosa, peningkatan porositas serat, kerusakan serat, perubahan indeks kristalinitas bahan dan struktur selulosa alomorf.

3. Informasi peranan penambahan karbon aktif dalam hidrolisis asam-gelombang mikro untuk menurunkan kadar senyawa coklat.

1.7 Kerangka Pemikiran

Secara keseluruhan penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji potensi pemanfaatan bambu untuk memproduksi gula sebagai produk antara menggunakan pendekatan kombinasi pra-perlakuan yang relatif ramah lingkungan yaitu biologis dan gelombang mikro. Pada tahap awal dilakukan karakterisasi bambu sebelum pra-perlakuan, dilanjutkan dengan proses pra-perlakuan. Penelitian ini dibatasi terhadap 3 kelompok pra-perlakuan yaitu pra-perlakuan tunggal (gelombang mikro dan biologis) sebagai pembanding dan pra-perlakuan kombinasi biologis-gelombang mikro. Kondisi pra-perlakuan kombinasi ini dimaksudkan untuk mengkaji perbedaan ketercernaan selulosa terhadap proses hidrolisis. Berdasarkan perlakuan masing-masing pra-perlakuan diperoleh kondisi terpilih berdasarkan perubahan karakteristik bambu setelah pra-perlakuan. Kondisi terpilih ini sebagai dasar untuk perlakuan pada hidrolisis enzimatis dan gelombang mikro dengan medium asam dengan atau tanpa karbon aktif sebagai adsorben terhadap senyawa inhibitor. Karakteristik hasil hidrolisis juga dilakukan untuk memilih kondisi terbaik dari proses hidrolisis yang dilakukan. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.1.

Latar Belakang

Bambu potensial dimanfaatkan -Pemanfaatannya luas

-1% luas hutan dunia (Kant 2010)

-Fotosintesa efisien (C4)

-Produktivitas tertinggi (20-40 ton/ha/tahun) (Khan 2010) -Produksi selulosa tinggi

-Cepat dan mudah diproduksi (Scurlock et al. 2000; Gratani

et al. 2008)

-Delignifikasi TV pada biopulping bambu lebih baik dibandingkan PO dan PC (Fatriasari et al. 2011; Falah

et al.2011)

Metode umum pra- perlakuan:

-kimia (asam, alkali,

green solvent) -biologis -fisik-kimia (steam explotion, afex, gelombang mikro- kimia) Metode umum hidrolisis: -asam -enzimatis Permasalahan Struktur lignoselulosa sebagai penghalang aksesibilitas enzim - Lignin -Struktur kristalin selulosa

Pra-perlakuan kimia: tidak ramah lingkungan

Pra-perlakuan fisik-kimia: konsumsi energi tinggi, tidak ramah lingkungan Pra-perlakuan biologis: lama waktunya Proses asam : -Tidak ramah lingkungan -Senyawa penghalang Proses enzimatis -mahal -lama -rendemen gula rendah Pemecahan Masalah -Pemanfaatan biomassa bambu sebagai bahan baku gula

-Pemilihan metode pra- perlakuan dan hidolisis yang tepat

Rekayasa proses pra- perlakuan : kombinasi pra-perlakuan biologis dan gelombang mikro (relatif ramah lingkungan) untuk mendegradasi lignin dan hemiselulosa

Rekayasa proses hidrolisis

-iradiasi gelombang mikro medium asam -karbon aktif untuk adsorbsi penghalang dan meningkatkan rendemen gula Tujuan dan hasil yang diharapkan -Informasi karakteristik bahan awal dan setelah pra-perlakuan -Konsentrasi dan

rendemen gula hasil hidrolisis, senyawa coklat

-Disain kombinasi proses pra-perlakuan

-Kondisi terpilih pra- perlakuan

-Informasi perubahan karakteristik spesifik hasil pra-perlakuan lignin dan selulosa

-Informasi pengaruh karbon aktif dalam memperbaiki proses hidrolisis

-Disain proses hidrolisis terbaik

Bahan Pretreatment Hidrolisis

1.8 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri atas enam tahap yang meliputi perubahan karakteristik lignin dan selulosa setelah pra-perlakuan biologis, pra-perlakuan gelombang mikro dalam medium air, setelah kombinasi pra-perlakuan biologis-gelombang mikro, evaluasi kinerja hidrolisis enzimatis dan gelombang mikro pada pra- perlakuan biologis, setelah pra-perlakuan gelombang mikro, dan setelah kombinasi pra-perlakuan biologis-gelombang mikro.

Penelitian tahap pertama, dimaksudkan utamanya untuk memperoleh kondisi pra-perlakuan biologis yang terpilih. Indikator penentuan pra-perlakuan terpilih dari kehilangan berat, kehilangan lignin dan selulosa, perubahan struktur selulosa alomorf, dan indeks kristalinitas bahan. Penelitian tahap kedua dimaksudkan untuk memperoleh informasi kondisi pra-perlakuan gelombang mikro terpilih dengan indikator penentuan seperti tahap-1. Penelitian tahap ketiga ditujukan untuk mengevaluasi kinerja kombinasi pra-perlakuan biologis dengan gelombang mikro berdasarkan indikator seperti pada tahap-1 dan 2. Studi pada tahap 4 dimaksudkan untuk memperoleh informasi kinerja hidrolisis enzimatis dan asam-gelombang mikro dari pra-perlakuan biologis terpilih dengan indikator data rendemen gula pereduksi, dan senyawa coklatnya. Seperti tahap 4, untuk tahap 5 dan 6 ini hidrolisis enzimatis dan asam-gelombang mikro dilakukan pada pra-perlakuan gelombang mikro dan kombinasi pra-perlakuan biologis gelombang mikro dengan indikator yang sama dengan tahap 4. Pengaruh penambahan katalis karbon aktif sebagai adsorben senyawa coklat juga dikaji pada tahap-4, 5 dan 6. Untuk mencapai tujuan penelitian maka penelitian ini dibagi dalam tahap-tahap penelitian yang disajikan dalam bentuk diagram alir penelitian setiap tahapnya (Gambar 1.2).

Persiapan sampel Drum chipper Ring Flaker Hammer mill Disk mill Bambu 2 tahun tanpa kulit serbuk berukuran 40-60 mesh Karakteristik awal Pra-perlakuanbiologis

Persiapan inokulum stok

Hasil pra- perlakuan biologis Karakteristik selulosa dan lignin SEM-EDS, FTIR, XRD Pra-perlakuan gelombang mikro Persiapan sampel Inokulasi Penyaringan Residu Pulp Karakteristik selulosa dan lignin SEM-EDS, FTIR, XRD Kondisi terpilih (A)

Kondisi terpilih (B)

Persiapan sampel Iradiasi gelombang

mikro

Hasil pra-perlakuanbiologis-gelombang mikro (C)

Kondisi terpilih A/B/C

Hidrolisis asam-gelombang mikro Hidrolisis enzimatis Hidrolisis tanpa karbon aktif Hidrolisis dengan karbon aktif Penyaringan Hidrolisat Residu Hidrolisat Residu Karakteristik hasil hidrolisis Rendemen gula, konsentrasi gula, nisbah hidrolisis, senyawa coklat

Penelitian Tahap-1, 2 dan 3

Penelitian tahap-4,5,6

2

PENGARUH KONSENTRASI INOKULUM DAN WAKTU

INKUBASI PADA PRA-PERLAKUAN BIOLOGIS

TERHADAP PERUBAHAN KARAKTERISTIK PADA

BAMBU BETUNG

2.1 Pendahuluan

Peningkatan perhatian terhadap dampak lingkungan mendorong pengembangan pendekatan pra-perlakuan yang memiliki input energi rendah, kondisi proses yang lunak, tanpa konsumsi bahan kimia dan kebutuhan prosedur dan peralatan yang sederhana (Sun dan Cheng 2002). Pra-perlakuan biologis merupakan teknik yang menjanjikan yang menggunakan mikroorganisme yang menghilangkan lignin secara efisien dari dinding sel tanaman (Hakala et al. 2005; Eriksson et al. 1990). Jamur pelapuk putih merupakan famili “basidiomycetes” yang dapat digunakan untuk pra-perlakuan biologis bahan berlignoselulosa (Sun dan Cheng 2002; Hakala et al. 2005; Eriksson et al. 1990). Jamur ini mengeluarkan enzim pendegradasi ligninolitik seperti lignin peroxidase (LiP),

laccase, mangan peroxidase (MnP) dan versatile peroxidase untuk berpenetrasi dalam dinding sel tanaman yang kemudian melakukan aktivitas degradasi bahan berlignoselulosa (Messner dan Srebotnik 1994). Proses degradasi biologis lignoselulosa merupakan proses yang kompleks dimana jenis jamur, kondisi kultur, mekanisme oksidatif dan sekresi enzimatis jamur mempengaruhi hasil yang diperoleh (Guillen et al. 2000; Wan dan Li 2010). Faktor ini dapat mempengaruhi selektifitas delignifikasi yang akan mendorong peningkatan rendemen gula dari hidrolisis enzimatis jika nilai selektifitasnya lebih besar dari dua (Giles et al. 2011). Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa aplikasi jamur TV pada bambu betung menunjukkan kadar lignin sisa yang lebih rendah daripada aplikasi jamur Pleurotus ostreatus (PO) dan Phanerochaete chrysosporium (PC) (Fatriasari et al. 2011; Falah et al. 2011).

Bambu merupakan tanaman yang termasuk dalam kelompok rumput- rumputan yang memiliki kemampuan fotosintesa yang efisien yang ditunjukkan oleh produktivitas biomasa yang tinggi (20-40 ton/ha/tahun). Lebih lanjut, dibandingkan dengan bahan sumber bioenergi lain (poplar, switchgrass, miscanthus, common reed, dan bagas tebu) (Shathitsuksanoh et al. 2010; Zhang 2008), produksi biomasa bambu tergolong unggul. Tanaman bambu ini meliputi 1% luas hutan dunia (Kant 2010) dan 65% dari populasinya terdapat di Asia. Produksi bambu Indonesia menduduki rangking ketiga (5%) setelah India (30%) dan China (14%) (Lobovikov et al. 2007). Bambu mudah dan cepat diproduksi (Scurlock et al. 2000; Gratani et al. 2008). Bambu betung merupakan jenis bambu yang sangat penting di Indonesia (Dransfield dan Widjaja 1995) dan merupakan kultivar endemik Indonesia.

Studi secara mendalam terhadap perubahan struktur karbohidrat dan lignin setelah pra-perlakuan pada biomasa non kayu bambu yang berasal dari Indonesia masih jarang dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini menitikberatkan pada evaluasi perubahan struktur selulosa dan lignin setelah pra-perlakuan biologis pada bambu betung menggunakan jamur pelapuk putih, TV. Dalam penelitian ini,

substrat diberikan perlakuan waktu inkubasi dan konsentrasi inokulum TV karena perlakuan ini kemungkinan dapat mempengaruhi kinerja hidrolisis.

2.2 Bahan dan Metode 2.2.1 Bahan

Bambu betung (Dendrocalamus asper) segar tanpa kulit yang berumur kurang lebih 2 tahun dari kebun bambu Puslit Biomaterial LIPI, Cibinong, Indonesia digunakan dalam penelitian ini. Bambu tersebut dikuliti, dicacah dan dibuat serpih dengan drum chipper, ring flaker, hammermill dan selanjutnya dibuat serbuk dengan disk mill dan disaring untuk memperoleh ukuran 40-60 mesh. Serbuk ini selanjutnya akan digunakan dalam proses pra-perlakuan.

2.2.2 Metode

2.2.2.1 Pra-perlakuan Biologis

Serbuk bambu (40-60 mesh) diberi air dengan perbandingan 1:4 sambil diaduk hingga rata. Serbuk bambu yang telah basah kemudian dimasukkan ke dalam botol selai dan dikukus selama 30 menit pada suhu ± 100 °C. Setelah dingin, botol selai yang berisi serbuk yang telah dikukus tersebut disterilisasi dengan autoclaf selama 20 menit pada suhu 1210C dengan tekanan 1 atm.

Biakan jamur pelapuk putih, TV yang diperoleh dari Puslit Kimia LIPI Serpong dikultur pada medium slant Malt Extract Agar (MEA) (8.875 g MEA dilarutkan ke dalam 250 ml aquades selama 7-14 hari. Sebanyak 5 ml medium JIS

(Japan Industrial Standard) Broth dimasukkan ke dalam setiap slant, jamur kemudian dirontokkan dengan ose. Suspensi tersebut kemudian dituangkan ke dalam 95 ml medium JIS Broth (dalam 1 L aquades ditambahkan 3 g KH2PO4, 2 g

MgSO4.7H2O, 25 g glukosa, 5 g pepton, dan 10 g malt extract) dan diinkubasi

selama 7-8 hari dalam kondisi stasioner. Sebanyak 10 g corn steep liquor (CSL) dituangkan ke dalam 100 ml inokulum, kemudian dihomogenkan dengan waring blender model HGB TWT (tegangan 240 VAC, frekuensi 50-60 Hz, arus 3.6 A) pada kecepatan tinggi (22.000 RPM) selama dua kali 20 detik. Campuran homogen ini digunakan sebagai stok inokulum.

Serbuk bambu sebanyak 15 g yang telah dikukus dan disterilisasi, kemudian didinginkan dan media siap diinokulasi dengan variasi inokulum sebesar 5 dan 10% (w/v). Media bambu kemudian diinkubasi pada suhu 270C dalam inkubator selama 15, 30 dan 45 hari.

2.2.2.2 Perubahan Karakteristik Selulosa dan Lignin 2.2.2.2.1 Penentuan Komponen Kimia

Penentuan komponen kimia bambu dilakukan sebelum dan setelah pra- perlakuan untuk membandingkan perubahan sifat tersebut. Kadar air bambu diukur sebelum pengukuran komponen kimia berdasarkan TAPPI T12 os-75. Sebelum penentuntuan komponen struktural dinding sel, serbuk bambu diekstrak dengan etanol-benzene (1:2), kemudian serbuk bebas ekstraktif ditentukan kadar lignin tidak larut asam (TAPPI T13 os-54), holoselulosa (TAPPI T9m-54).

Sampel hasil holoselulosa selanjutnya dianalisis kadar alfa selulosa dengan Mokushitsu Kagaku Jiken Manual (2000). Hemiselulosa diperoleh sebagai hasil pengurangan holoselulosa dengan alfa selulosa. Penentuan kehilangan berat mengacu pada Pandey dan Pitman (2003), sedangkan selektifitas delignifikasi dihitung sebagai nisbah kehilangan lignin terhadap kehilangan selulosa (Yu et al. 2009). Komposisi komponen kimia dihitung berdasarkan persamaan 2.1, sedangkan kehilangan berat komponen kimia dihitung dengan memperhatikan kehilangan berat setelah pra-perlakuan sebagai faktor pengurang (persamaan 2.2). Komponen kimia akhir (%) =

(2.1)

Kehilangan komponen kimia (%) =

(2.2)

2.2.2.2.2 Perubahan Struktur Selulosa dan Lignin

Perubahan struktur selulosa dan lignin bambu diobservasi melalui analisis gugus fungsional dari spektra infra merah yang diambil dengan Fourier Transform Infrared Spectrometry (FTIR) ABB MB 300. Serbuk bambu kering sebanyak 4 mg dicampur dengan 200 mg KBr (Kalium Bromida) grade spektroskopi, dan dibentuk pellet dengan tekanan 6 ton sehingga menjadi pelet berdiameter sekitar 1.3 cm dan tebal sekitar 0.5 cm. Pola spektrum inframerahnya dianalisis pada 5 pemindaian dengan resolusi 16 cm-1. Spektrum dicatat dalam modus absorpsi dalam kisaran 3500-700 cm-1.

2.2.2.2.3 Penentuan Indeks Kristalinitas Bahan

Sampel berukuran 40-60 mesh diletakkan di atas pegangan gelas sampel dan dianalisis di bawah kondisi ruang X-ray diffraction (XRD) direkam dengan seri Shimadzu XRD-700 MaximaX. Radiasi NI disaring dengan CuKα pada bilangan gelombang 0.1542 nm. Sinar X dioperasikan pada voltase 40 kV dan 30 mA. Scan sudut 2Ɵ sebesar10-40o setiap 2o per menit.

Penghitungan indeks kristalinitas (CI) bahan berdasarkan formula Zao et al.(2005) dan Foscher et al.(2001) yang dihitung dari data intensitas difraksi dengan rumus berikut:

CI=

(2.3) Dimana Fc merupakan daerah kristalin, dan Fa merupakan daerah non kristalin/amorf. Intensitas total dihitung menggunakan software yang terdapat dalam Shimadzu MaximaX diffractometer.

2.2.2.2.4 Penentuan Struktur Kristal Selulosa Alomorf

Penentuan fungsi Z-diskriminan mengikuti formula yang dikembangkan oleh Wada et al.(2001) untuk membedakan struktur kristalin selulosa (monoklinik dan triklinik). Fungsi Z-diskriminan digunakan dengan memisahkan selulosa Iα

equator jarak d: 0.59-0.62 nm (d1) dan 0.52-0.55 nm (d2). Formula untuk

menentukan fungsi Z-diskriminan tersebut adalah:

Z =1693 d1 (nm)-902 d2 (nm)-549 (2.4) Dimana Z>0; mengindikasikan tipe bakteri alga (Iα, kaya struktur triklinik) dan Z <0 mengindikasikan tipe kapas-rami (didominasi struktur Iβ/monoklinik) (Wada et al. 2001).

2.2.2.2.5 Ukuran Kristal Selulosa

Penentuan ukuran kristal ditentukan menggunakan pola difraksi yang diperoleh dari ketiga bidang kisi (101, 10-1 dan 002) dan (040) dengan formula

Dokumen terkait