Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari sisatanaman atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat digunakan untuk memperbaiki sifat fi- sik,kimia dan biologi tanah. Sumber pupuk organik berupa kompos adalahpro-duk pembusukan dari limbah pertanian atau hewan hasil perombakan dari fungi, bakteri atau aktinomisetes. Komposisi hara dalam pupuk organik atau komposter- sebut sangat tergantung dari sumber bahan organiknya.
Gulma sebagai tumbuhan pionir yang memiliki kemampuan tumbuh danadaptasi tinggi, telah banyak dimanfaatkan biomassanya sebagai mulsa atau pu-puk hijau karena secara optimal mengembalikan kesuburan lahan.Kaderi (2004) dan Hadipoentyantiet al., (2004) melaporkan bahwa biomassa gulma memilikikandungan hara dari sedang hinggatinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Biomassa gulma yang berpotensi sebagaisumber bahanorganik diantara-nya adalah Ageratum conyzoides var hirtum (Lamb) dan Tithonia diversifolia (Hamsley) A. Gray.Gulma tersebut mengandung unsur hara NPK tinggidiban-ding gulma lainnya (Kaderi, 2004). Komposisi hara A.conyzoides var
hirtum (Lam) adalah 6,66% N; 0,17% P; 2,03% K danT.diversifolia(Hamsley) A. Gray adalah 3,59% N; 0,34% P; dan 2,29% K. Kandungan hara gulma tersebutjugalebih tinggi daripupuk kotoran kambingyang hanya mengandung 1,15% N, 0,47% P dan 1,46% K (Bintoro et al. 2008). Selain gulma, limbah pertanian lainnya yang dapat digunakan sebagai sumber bahan organik adalah ampas sagu.
Ampas sagu mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman (Djoefrie dan Sudarman, 1996).Kandunganharanyaadalah53,92% C; 0,04% N; 0,02% P; 0,64% K; 1-3% Ca; 0,01% Mg; 22,1% selulosa dan 14,3% hemiselulosa (Rumawas et al.,1996). Ampassagujugamengandungpolifenol yang dapat dimanfaatkan sebagai herbisida nabati (Flach, 1997).Karakteristik kandungan polifenol pada pengomposan ampas sagu sekitar 72,67 ppm sedangkan pada
A.conyzoides var hirtum (Lam) danT.diversifolia(Hamsley) A. Gray masing- masing 322,07 ppm; 308,85 ppm (Bintoro et al., 2008).
Biomassa gulma maupunampas sagu dapatbermanfaat bagi tanah dan tanaman jika telah terdekomposisi.Secara alami proses pengomposan berlangsung lama sehingga perlu metoda yang tepat untuk memperpendek periode pengom- posan.Mikroorganisme perombak bahan organik dapat digunakan sebagai starter untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa, meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba, mempengaruhi kurangnya penyakit sehingga pemanfaataanya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah. Organisme perombak bahan organik atau dekomposer pengurai nitrogen dan karbon dari sisa jaringan tumbuhan atau hewan yaitu bakteri, fungi dan aktinomisetes.Menurut Erikson et al., (1989), umumnya kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling signifikan, dapat segera menjadikan bahan organik tanah terurai menjadi senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan nutrien disekitar tanaman. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gaur (1982) yang melaporkan bahwa fungi selulotik mesofilik yang digunakan sebagai inokulan pada pengom- posan limbah akan mempercepat proses pengomposan danmemperbaiki kualitas kompos.Beberapa mikroba dekomposer dapat bertahandalamkompos sehingga dapat
berperansebagaiagensiahayatipengendalipenyakittanamananterutamapatogentulart anah.
Gunalan(1996)danAryantha et al., (2002)menyebutkan mikroba yang berasaldaririzosfertanamanselainberperansebagai dekomposerdanpenyedia harajugamampumenghambatpatogen.Metabolit mikroba sepertiantibiotikyang bersifat antagonis dapat dimanfaatkan untuk menekan mikroba patogen tular tanah disekitar perakaran tanaman (Nasahi dan Ceppy, 2010).Mikrobagolonganbakteriantagonis (Bacillus spp, Actinomycetes,
Pseudomonasspp)dangolonganfungi antagonis (Trichodermaspp, Penicilliumspp,
Aspergillusspp) merupakanmikrobaterbanyakyangterdapat di dalamkompos(Chet danInbar 1994; Michel 2002).HasilpenelitianBonanomi et al., (2007) melaporkan
bahwa pupuk organik yang melibatkanmikroorganismedalam proses pengomposan mampu menekan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen tular tanah sebesar 45%.
Phytophthora capsici merupakan patogen tular tanah penyebab busuk Phy- toptopthora dan mengancam produksi beberapa tanaman budidaya termasuk cabai. Penyakit tersebut sulit dikendalikan karena menginfeksi semua bagian tanaman termasuk akar, cabang, daun, bunga, buah dan mengakibatkan kehilangan hasil cabai,misalnyadi Illinois kehilanganhasilmencapai 100% (Babadoost, 2004), di BrebesJawa Tengah sekitar50% (Luther et al., 2007).
Penggunaanfungisidasintetissecara terus menerus untukmengendalikancendawanpatogenikdapat menyebabkandampaknegatifterhadapkeamananproduksertamasalahfitotok- sisitassehubungandenganpengunaanpetisidaberlebihansehinggaperludibatasipengu naannya. Sejumlahlaporanhasilpenelitianmenyebutkanpenggunaankompos se- bagainutrisidapatmeningkatkanketahanantanamanterhadapseranganpatogen.Komp
ossebagai substrat yang baikuntukpertumbuhansejumlahmikroorganismeagensiahayatisehinggaaplikasiko
mposkedalamtanahdapatmengurangiseranganpatogentanaman. Zhang et al.,
(1996) melaporkanbahwakomposyang diaplikasikanpadatanamanmentimundapatmeningkatkanketahanantanamanterhada
pPythiumspdanColletotrichumarbiculare (Berk& Mont) Arx.
HasilpenelitianSyamsudin (2002) menunjukkanaplikasiekstrakkomposdaribokashidan jerami
mampumenekaninfeksi Colletotrichumcapsicipada buah cabai masing-masing 43,3% dan 56,6%.
Sehubungan dengan potensi kompos yang mampu menekan perkembangan patogen, maka perlu pengkajian formula kompos sebagai penyedia hara dan juga berperan sebagai biokontrol untuk menekan patogen tular tanah terutamaP. capsi-
ciL. pada tanaman cabai. Pengendalian penyakit busuk phytophthora tesebut ma- sih sulit dilakukan. Yamaguchi (1996) melaporkan mikroba yang berasal dari ri-
zosfer tanaman secara biologis telah menyatu dengan ekosistemnya, mempunyai kemampuan secara fisik menekan patogen secara biologis. Sebab itu perlu dilaku- kan penelitian pemanfaatan dekomposer Trichodermaspp dan bakteri selulotik yang berasal dari rizosfer tanaman selain mempercepat proses pengomposanA.conyzoides var hirtum (Lam), T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan ampas sagu, diharapkan mikroba tersebut tetap bertahan dalam kompos dan berperan sebagai agen pengendali hayati. Kompos yang dihasilkan mampu menyediakan hara bagi tanaman budidaya sehingga mampu meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap P. capsici. L.
Tujuan
1. Memperoleh isolat Trichodermaspp dan bakteri selulotik yang mampu merombak selulosa.
2. Mempelajari laju pengomposan A.conyzoides var hirtum (Lam),T.diversifolia
(Hamsley) A.Gray dan ampas sagu akibat pemberian isolat
Trichodermasppdan bakteri selulotik.
3. Mengetahui pengaruh berbagai formula kompos terhadap pertumbuhan dan ketahanannya terhadap infeksi P. capsici Lserta hasil cabai.
Hipotesis
1. Pemberian isolat Trichoderma sppdanbakteri selulotik atau kombinasinya dapat mempercepat pengomposan A. conyzoides var hirtum (Lam), T. diversifolia (Hamsley) A. Gray dan ampas sagu.
2. Formula kompos sebagai pupuk organik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai dan meningkatkan ketahanan tanaman cabai terhadap infeksi P. capsiciL serta hasil buah cabai.
Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Gray, Ageratum conyzoidesvarhirtum(Lam)dan Ampas sagu.
Tithonia diversifolia(Hamsley) A. Graymerupakan tumbuhan yang banyak tumbuh sebagai semak di pinggir jalan, tebing, dan sekitar lahan pertanian.Tingginya dapat mencapai 2,5 m, menghasilkan biji dan apabila dipangkas akan ter-jadi pertumbuhan vegetatif kembali. Tumbuhan tersebut lebih dikenal dengan bunga matahari liar atau bunga matahari Meksiko, bunganya berwarna kuning, daun dan ca- bangnya lunak sehingga dibeberapa negara digunakan sebagai kayu bakar
Biomassa T. diversifolia (Hamsley) A. Gray cukup besar dan dianggap se- bagai gulma namun dapat dimanfaatkan untuk melindungi tanah pertanian, pupuk hihijau dan mulsa (Nyasim et al., 1997).Tanaman tersebut menyebar hampir di seluruh dunia, dan sudah dimanfaatkan sebagai kompos oleh petani di Kenya, namun di Indonesia belum banyak dimanfaatkan (Hartatik, 2007). Kandungan hara
T.diversifolia (Hamsley) A. Graycukup tinggi terutama N, P, K yaitu 3.5%, 0.38% dan 4.1%, Pemanfaatan T. diversifolia (Hamsley) A. Gray sebagai kompos ternyata mampu meningkatkan pH tanah, menurunkan Al-dd serta meningkatkan kandungan P, Ca dan Mg tanah serta mampu mensubtitusi N dan K pupuk buatan pada tanah ultisol(Hartatik, 2007). Hakim dan Agustian, (2008) melaporkan bahwa komposT. diversifolia (Hamsley) A. Graydapat menggantikan 50% pupuk buatan, selain itu pemberian T.diversifolia (Hamsley)A.Graydapat meningkatkan kesuburan tanahdan meningkatkan produktivitas tanaman.
Ageratum conyzoidesvarhirtum(Lam)adalah sejenis gulma pertanian anggota suku Asteraceae, berasal dari Amerika tropis, khususnya Brazil. Gulma tersebut banyak ditemui di lahan pertanian Indonesia dan lebih dikenal dengan babandotan atau babadotan (Sd.); wedusan (Jw.); dus-bedusan (Md.); serta Whiteweed (Inggris), Chick weed, Goatweed, dinamakan Goatweed karena bau yang dikeluarkannya menyerupai bau kambing.Gulma
A.conyzoidesvarhirtum(Lam)termasuk tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak, tingginya mencapai 30-90 cm dan bercabang.Kandungan hara biomassanya adalah
6,66% N; 0,17% P dan 2,03% K (Bintoro et al., 2008).Gulma A.conyzoides var
hirtum (Lam) memiliki daya racun terutama pada daunnya sehingga dinegara Baratbadotan dimanfaatkan sebagai insektisida dan nematisida. Senyawa volatil yang terdapat pada A.conyzoides varhirtum (Lam)yang berkontribusi sebagai alelopati adalah precocenes, turunan monoterpen dan seskuiterpen. Noguchi (2001) melaporkan bahwa ekstrak tajuk A.conyzoides var hirtum (Lam) mampu menghambat perke-cambahan Amaranthus caudatus, rumput Digitaria sanguinalis (L) Scop dan sela-da (Lactuca sativa L).Tiga asam fenolat yang berperan sebagai senyawa alelopati pada daun A.conyzoidesvarhirtum(Lam) adalah asam galat, asam koumalat, as-sam proto-katekuat.Senyawa alelopati tersebut akan meningkat ketika tanaman ditanam dalam kondisi kekurangan hara atau terinfeksi oleh jamur dan kutu.
Sifat umum gulma T.diversifolia (Hamsley) A. Gray dan A.conyzoides var
hirtum (Lam) adalah mempunyai daya adaptasi yang kuat dan daya persaingan tinggi sehingga populasinya melimpah di alam. Selain itu pada biomassa kedua gulma tersebut mengandung senyawa fenol dan derivatnya yang dapat dimanfaat- kan selain sebagai herbisida, juga insektisida dan fungisida.
Limbah sagu merupakan ampas empulur yang telah diambil patinya.Limbah sagu tersebut telah banyak digunakan sebagai substrat untuk budidaya ja-mur, pakan ternak, produksi enzim dan absorban, selain itu limbah tersebut meru- pakan alternatif sumber bahan organik untuk kompos.Penambahan bahan organik ampas sagu meningkatkan pH tanah, nisbah C/N, P tersedia, jumlah basa, KTK tanah serta menurunkan Al-dd. Ampas sagu perlu didekomposisikan terlebih da-hulu sebelum digunakan sebagai media tanam karena mengandung selulosa deng-an nisbah C/N tinggi.Menurut Djoefrie dan Sudarman (1996), ampas sagu banyak mengandung unsur hara yang bermanfaat bagi tanaman.Kandungan haranya adalah 53,92% C; 0,04% N; 0,02% P; 0,64% K; 1-3% Ca; 0,01% Mg; 22,1% selulosa dan 14,3% hemiselulosa (Rumawas et al.,1996). Flach (1997) menya-takan bahwa dalam batang sagu terdapat kandungan polifenol.Senyawa tersebut dapat dimanfaatkan sebagai herbisida
nabati sekaligus difungsikan sebagai mulsa dan tambahan bahan organik bagi tanaman.
Mikroorganisme perombak bahan organik
Mikroorganise perombak bahan organik merupakan aktivator biologis yang tumbuh alami atau sengaja diberikan untuk mempercepat pengomposasn dan meningkatkan mutu kompos. Jumlah dan jenis mikroorganisme menentukan ke- berhasilan proses pengomposan. Proses pengomposan bahan organik di alam tidak dilakukan oleh satu mikroorganisme monokultur tetapi dilakukan oleh konsorsia mikroorganisme. Beberapa jenis bakteri termasuk beberapa jenis aktinomisetes juga mampu mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin namun ke- mampuan degradasinya lebih rendah dibanding fungi. Bakteri lebih berperan pada degradasi polisakarida sederhana.
Bakteri perombak bahan organik dapat ditemukan di tempat yang me- ngandung senyawa organik berasal dari sisa-sisa tanaman yang telah mati. Bakteri mampu memutuskan ikatan rantai C penyusun senyawa lignin (bahan berkayu), selulosa (bahan berserat) dan hemiselulosa yang merupakan komponen penyusun bahan organik pada sisa tanaman, namun proses perombakannya lebih lambat bila dibanding senyawa polisakarida sederhana (amilum, disakarida dan monosakari- da). Fungi mempunyai kemampuan yang lebih baik dibanding bakteri dalam mengurai sisa-sisa tanaman (selulosa, hemiselulosa dan lignin). Umumnya, mi- kroba yang mampu mendegradasi selulosa juga mampu mendegradasi hemi- selulosa.
Mikroorganisme dapat mempercepat proses pengomposan tergantung kom- posisi kimia bahan organik yang komposkan. Selulosa merupakan polimer glu- kosa yang saling berikatan oleh ikatan β-1-4 glikosidik, banyak ditemukan pada tumbuhan.Mikrorganisme selulotik mampu merombak selulosa pada tumbuhan tersebut karena mampu menghasilkan enzim selulase. Enzim selulase merupakan kelompok enzim yang mampu memutuskan ikatan β-1-4 glikosidik dalam molekul selulosa, selodekstrin, selobiosa dan turunan selulosa lainnya yang ter-
dapat pada tanaman.Mikroorganisme menggunakan enzim tersebut untuk meng- hidrolisis selulosa menjadi gula terlarut yang selanjutnya digunakan sebagai sumber karbon dan nutrisi bagi pertumbuhannya. Enzim selulase hanya dapat di- hasilkan oleh fungi dan bakteri selulotik..Enari (1983) melaporkan bahwa fungi menunjukkan aktivitas selulotik lebih tinggi dibandingkan bakteri dan aktinomi- setes. Fungi yang ditemukan mempunyai kemampuan tinggi dan efisien dalam merombak selulosa antara lain Trichodermasp, Aspergilussp, Penicilliumsp,
Sporotrichum sp, Fusariumsp dan Chaetomium sp (Gaur, 1982). Trichoderma viride merupakan organism pertama yang dipilih untuk digunakan dalam produksi selulase untuk hidrolisis selulosa secara enzimatik. Spesies tersebut mampu meng- hasilkan selulase dalam jumlah banyak dibanding fungi lain seperti Humicola grisea, Sporotrichum thermophila dan Gliocladium viride sehingga berpotensi untuk agen perombak selulosa (Hardjo et al., 1989). MenurutReese et al., (1950) fungi selulotik mampu memecah substrat selulosa secara sinergis karena mem- punyai enzim C1 (aktif menghidrolisis selulosa alami) dan Cx (aktif merombak selulosa terlarut, misalnya CMC). Trichodermasp adalah salah satu contoh fungi dekomposer selulosa yang mempunyai kombinasi enzim C1 dan Cx dari tiga komponen enzim selulase (Wiseman, 1981).
Mikroba selulotik seperti bakteri dan fungi selulotik menghasilkan enzim selulase yang menghidrolisis selulosa kristal menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa yang berfungsi sebagai sumber karbon dan unsur hara bagi pertumbuhan mikroba tersebut. Selain berperan penting dalam dekomposisi karbon, mikroorganisme selulotik juga ada yang mampu menyerang patogen tumbuhan atau fungi antagonis (Ilmen et al., 1997).Mikroba tersebut mampu mempercepat proses pengomposan sekitar 2-3 minggu, kemudian tetap bertahan hidup dalam kompos dan aktif berperan sebagai agen pengendali hayati untuk mengendalikan patogen tanah saat diberikan ke tanah.
Aktivitas mikroba selulotik dipengaruhi oleh ketersediaan nitrogen, suhu, aerasi atau difusi oksigen ke dalam kompos, kelembaban, pH, keberadaan karbohidrat dan proporsi relatif lignin dalam residu.Beberapa bakteri penghasil selulase adalah genus Acetobacter, Bacillus, Cellulomonas, Cythopaga,Pseudo-
monas, Sarcina, dan Vibrio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa bak- teri yang dapat menghasilkan selulase antara lain: Pseudomonas flurescent var
cellulose,Cellulomonas fimi, Bacillus subtilis, Clostridium thermocellum,
Acetobacter xylinum (Heck et al., 2002).
Pengomposan
Sharmaet al., (1997) mendefinisikan pengomposan sebagai proses de- komposisi oksidatif-biologi dari penyusunan bahan-bahan organik dalam keadaan terkendali. Sebagai proses biologi, pengomposan memerlukan keadaan yang khusus seperti suhu, kelembaban, pH, aerasi, dan rasio C/N. Hasil akhir proses pengomposan yaitu humus, unsur-unsur kimiawi terutama unsur karbon, nitrogen, fosfor dan kalium yang bisa dengan mudah dibebaskan dalam bentuk tersedia bagi tanaman. Pengomposan meliputi tiga fase yaitu proses awal pengomposan komponen-komponen yang mudah terdegradasi, kemudian fase termofilik yaitu degradasi bahan-bahan seperti selulosa melalui aktivitas oksidasi mikroorganisme dan terakhir fase maturasi dan stabilisasi. Proses pengomposan melibatkan bahan- bahan organik, mikroorganisme dan faktor lingkungan sehingga terjadi proses transformasi kimia, biologi dan fisik substrat di bawah keadaan lingkungan yang terkendalimenghasilkan kompos (Gambar1).
Gambar 1. Proses umum pengomposan limbah padat organik (dimodifikasi dari Rynk, 1992)
Pramono et al., (2003) mengemukakan bahwa limbah organik merupakan bahan pokok pengomposan sekaligus sumber pupuk organik potensial. Salah satu indikator pengomposan berlangsung adalah munculnya suhu termofil pada tumpu- kan bahan organik.Pada kisaran suhu tersebut dianggap kompos telah matang dan berbagai penyakit dan bibit gulma yang terbawa telah mati sehingga jika diaplika- sikan pada tanaman tidak memberikan dampak merugikan pada lingkungan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju pengomposan adalahukuran dan- struktur bahan, suhu, ketersediaan oksigen, rasio C/N, kadar air pada tumpukan dan pH.
Struktur dan Ukuran Bahan Baku
Laju pengomposan bahan organik tergantung dari sifat bahan yang dikom- poskan. Sifat bahan diantaranya jenis tanaman, umur dan komposisi kimia tana- man. Semakin muda umur tanaman, proses dekomposisi akan berlangsung cepat disebabkan kadar airnya masih tinggi, nitrogen tinggi, nisbah C/N serta kandung- an lignin rendah.
Ukuran bahan organik mempunyai pengaruh positif terhadap proses pengomposan. Makin kecil ukuran partikel bahan organik makin besar permukaan yang dapat diserang mikroorganisme. Ukuran yang terlalu kecil menghambat ge- rakan air dan O2 ke dalam tumpukan kompos dan pergerakan CO2 keluar. Ukuran
partikel terlalu besar menyebabkan luas permukaan yang diserang mikroor- ganisme lebih sedikit dan proses pengomposan berjalan lambat (Dalzell et al., 1987). Ukuran partikel yang sesuai untuk pengomposan ditinjau dari aspek sirku- si udara adalah 5-10 cm.
Suhu
Suhu sangat berpengaruh pada proses pengomposan karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Pada tahap awal proses pengomposan secara aerobik berlangsung cepat, hal tersebut disebabkan adanya mikroorganisme yang terlibat membutuhkan oksigen dan air untuk merombak bahan organik dan
mengasimilasikan sejumlah karbon, nitrogen, fosfor, belerang dan unsur lain untuk sintesis protoplasma sel tubuhnya. Asimilasi karbon lebih banyak dgunakan sebagai sumber energi untuk membentuk protoplasma dan memperbanyak diri. Hasil metabolik utama adalah CO2, humus, air dan energi. Energi digunakan un-
tuk pertumbuhan mikrooganisme dan sisanya dalam bentuk panas sehinggamenyebabkan suhu meningkat dalam tumpukan. Suhu akan menurun sesuai de-ngan kandungan karbon yang dapat dikomposkan.
Suhu optimum pengomposan adalah 40-60°C dengan suhu maksimum 75°C. Menurut Gaur (1982) pada suhu 40°C, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Bila suhu mencapai 60°C aktivitas jamur berhenti dan proses dekomposisi dilanjutkan oleh aktinomisetes dan bakteri. Suhu dibagian tengah tumpukan kompos pada awal pengomposan bisa mencapai 55-75°C setelah itu berangsur-angsur turun ke suhu lingkungan (25°C) yang menandakan kompos telah matang. Suhu tinggi tersebut merupakan keadaan yang baik untuk menghasilkan kompos steril karena selama suhu pengomposan lebih dari 60°C (dipertahankan selama 3 hari) mikroorganisme patogen parasit dan benih gulma akan mati. Kurva suhu timbunan bahan kompos tergantung pada nisbah volume timbunan terhadap permukaan. Makin tinggi timbunan bahan yang dikomposkan dalam wadah pengomposan, makin besar isolasi panas dan timbun- an menjadi panas.
Pembalikan yang dilakukan secara teratur juga menyebabkan bahan yang ada dibagian luar yang kurang panas dipindahkan ke bagian tengah yang lebih panas.
Ketersediaan Oksigen dan Pembalikan
Kadar oksigen yang ideal dalam proses pengomposan adalah 10-18%., ke- kurangan oksigen mengakibatkan mikroorganisme aerobik mati dan akan terganti- kan oleh mikroorganisme anaerobik. Aerasi sangat diperlukan untuk mengurangi kadar air yang tinggi pada bahan organik yang akan dikomposkan dan menjaga
agar pada proses pengomposan selalu ada udara segar dan menghindari kondisi anaerob.
Bahan baku kompos terdiri atas campuran berbagai bahan organik yang me- miliki sifat terdekomposisi berbeda, ada yang mudah dan sukar terdekomposisi. Oleh sebab itu selama proses pengomposan, campuran bahan baku kompos perlu diaduk sehingga mikroba perombak bahan baku bisa menyebar secara merata dan aktivitasnya bisa lebih efektif. Pengadukan sebaiknya dilakukan seminggu sekali.
Nisbah C/N
Nisbah C/N merupakan faktor terpenting dalam laju pengomposan. Trans- formasi bahan organik menjadi pupuk melibatkan aktivitas mikroorganisme sang- at tergantung pada kadar karbon dan nitrogen yang terdapat dalam bahan. Nisbah C/N sangat penting untuk memasok hara yang diperlukan mikroorganisme selama proses pengomposan. Karbon diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen diperlukan untuk membentuk protein. Perubahan residu or- ganik menjadi pupuk dipengaruhi oleh nisbah C/N residu yang dikomposkan. Rasio C/N untuk proses pengomposan berkisar antara 30-40, tetapi proses peng- komposan dapat berlangsung lebih baik jika rasio C/N antara 25-35.
Setiap bahan organik memiliki nisbah C/N yang berbeda. Limbah ternak memiliki nisbah C/N lebih rendah dibanding C/N tanaman, oleh sebab itu pengg- gunaan limbah ternak sebagai bahan baku kompos harus dicampur dengan bahan organik yang memiliki nisbah C/N tinggi sehingga dapat menghasilkan imbangan C/N optimal. Selama pengomposan akan terjadi penurunan nilai nisbah C/N aki- bat terbentuknya CO2 sementara nilai N cenderung konstan (Dalzel et al., 1987).
Rochaeni et al., (2003) menyatakan bahwa rasio C/N kompos matang berkisar 10- 20.
Kelembaban (RH).
Kadar air atau kelembaban ideal untuk proses pengomposan aerobik berki- sar 40-60% dengan kadar air terbaik 50%. Kadar air tersebut harus dipertahankan
untuk memperoleh jumlah populasi mikroorganisme terbesar karena semakin be- sar populasinya maka makin cepat proses dekomposisinya.
Derajat Kemasaman (pH)
Salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah derajat ke- masaman (pH). Pada awal pengomposan pH bahan kompos turun (cenderung agak asam) karena bahan organik dirombak menghasilkan asam organik, setelah bebe- rapa hari nilai pH akan naik akibat dekomposisi protein yang membebaskan amoniak. Kemasaman yang terlalu tinggi pada kondisi awal akan menghalangi aktivitas mikroorganisme (Dalzell et al., 1987). Jika nilai pH tinggi biasanya di- turunkan dengan menambahkan bahan yang bereaksi asam (mengandung nitro- gen) seperti urea atau kotoran hewan. pH ideal dalam proses pengomposan adalah antara 6-8 dengan tingkat masih diterima adalah pH 5 (Rochaeni et al., 2003).
Pemanfaatan Kompos
Pemanfaatan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas lahan per- tanian telah lama dilakukan oleh petani dalam sistem membudidayakan berbagai komoditas pertanian.Pupuk kandang, pupuk hijau, kompos, limbah pemotongan hewan atau kotoran hewan merupakan jenis bahan organik yang biasa digunakan pada lahan pertanian. Bahan organik yang berasal dari sisa tanaman mengandung bermacam-macam unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman setelah mengalami proses pengomposan. Menurut Gaur (1982), kompos yang berkualitas mengandung 1.0%-1.5% Nitrogen, 0.44% Fosfor dan 1.25% Kalium, tidak berbau, strukturnya remah, warnanya coklat tua hingga kehitaman.
Proses pengomposan melibatkan mikroorganisme selulotik dan lignolitik dari kelompok bakteri, fungi dan aktinomisetes. Organisme tersebut memperoleh energi dan karbon dari hasil pengomposan bahan organik. Iklim tropis Indonesia sangat mendukung keragaman mikroba termasuk mikroba aktivator yang berperan dalam proses pengomposan bahan organik menjadi kompos. Pemanfaatan kompos
yang diperkaya mikroba aktivator sangat penting dan bermanfaat bagi petani dalam meningkatkan daya dukung lahan untuk peningkatan produksi.
Pemanfaatan kompos dalam budidaya tanaman memiliki peranan positif baik secara fisik, kimia maupun biologi.Penggunaan kompos dapat memperbaiki struktur tanah dan menjadi unsur utama dalam budidaya tanaman secara organik, selain itu kompos mendukung tersedianya unsur hara sehingga dapat diman- faatkan tanaman untuk pertumbuhan.Keberadaan mikroba dalam kompos juga dapat menekan populasi patogen tular tanah. Beberapa mikroba golongan bakteri antagonis (Bacillus spp, Actinomycetes, Pseudomonas spp) dan golongan fungi antagonis (Trichoderma spp, Penicillium spp, Aspergillus spp) merupakan mikro- ba terbanyak yang terdapat dalam kompos (Chet dan Inbar 1994; Michel,2002). Sejumlah laporan hasil penelitian menyebutkan penggunaan kompos dapat me- ningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen.Kompos sebagai subs- trat yang baik untuk pertumbuhan sejumlah mikroorganisme agens hayati seperti
Trichoderma spp.,Fusarium oxysporum non patogenik (FoNP), Bacillus sp sehingga aplikasi kompos ke dalam tanah dapat mengurangi serangan patogen tanaman.
Zhang et al., (1996) melaporkan bahwa kompos yang diaplikasikan pada tanaman mentimun dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap Pythium sp dan Colletotrichum arbiculare (Berk & Mont) Arx. Pengujian yang telah dilakukan oleh peneliti di Jerman, Jepang, Israel dan AS menunjukkkan bahwa penggunan kompos dalam bentuk ekstrak kompos efektif untuk pengendalian be-