• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.1 LATAR BELAKANG

Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk yang terus meningkat di Indonesia menyebabkan pertambahan konsumsi energi di segala sektor kehidupan seperti transportasi, listrik, dan industri. Hal ini mengingat pemakaian energi per kapita masih rendah dibandingkan dengan negara lainnya. Konsumsi per kapita pada saat ini sekitar 3 SBM (setara barel minyak) yang setara dengan kurang lebih sepertiga konsumsi per kapita rerata negara ASEAN. Pertumbuhan populasi dunia diperkirakan dapat menyebabkan krisis energi di tahun 2030. Konsumsi energi

dunia meningkat sebesar 49 persen atau 1.4 persen per tahun dari 495 x 1015 Btu

di tahun 2007 menjadi 739 x 1015 Btu di tahun 2035 (IEO, 2010). Di Indonesia

diperkirakan kebutuhan energi nasional akan meningkat dari 674 juta SBM tahun 2002 menjadi 1680 juta SBM pada tahun 2020, meningkat sekitar 2,5 kali lipat atau naik dengan laju pertumbuhan rerata tahunan sebesar 5,2% (KNRT, 2006). Sedangkan cadangan energi nasional semakin menipis apabila tidak ditemukan cadangan energi baru. Sehingga perlu dilakukan berbagai terobosan untuk mencegah terjadinya krisis energi.

Untuk mengantisipasi hal tersebut Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan

blueprint pengelolaan energi nasional tahun 2005-2025. Penyusunan Kebijakan Energi Nasional dimulai dengan dituangkannya dokumen Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE). KUBE yang telah dirumuskan oleh Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) mulai tahun 1981 hingga yang terakhir tahun 1998 terdiri dari lima prinsip pokok, yaitu : diversifikasi energi, intensifikasi energi, konservasi energi, mekanisme pasar dan kebijakan lingkungan. Kemudian dilanjutkan dengan Kebijakan Energi Nasional tahun 2003 dengan kebijakan utama meliputi intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi energi.

Kebijakan energi ini khususnya ditekankan pada usaha untuk menurunkan ketergantungan penggunaan energi hanya pada minyak bumi. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dirumuskan bahwa perlu adanya peningkatan pemanfaatan sumber

energi baru dan sumber energi terbarukan. Sasaran Kebijakan Energi Nasional adalah tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari satu pada tahun 2025 dan

terwujudnya energy mix yang optimal meliputi penggunaan minyak bumi menjadi

kurang dari 20%. Termasuk di dalamnya adalah energi baru dan terbarukan (termasuk biomassa) menjadi lebih dari 5%.

Salah satu energi yang terbarukan yang mempunyai potensi besar di Indonesia adalah pemanfaatan sekam padi untuk kompor sekam. Kisaran industri padi di Indonesia dapat memproses lebih dari 40 juta ton padi menjadi beras

dengan rendemen 60% - 80% (Irzaman et al, 2008).

Budidaya padi menghasilkan tiga produk yaitu jerami padi, vegetatif residu setelah panen, dan sekam padi/beras dedak setelah penggilingan padi. Berdasarkan produksi tahunan gabah 2,2 juta ton, output sekam padi adalah 0.44 juta ton di Malaysia dan potensi bimassa sekam padi di Indonesia adalah 14,3 juta

ton (Irzaman et al, 2008). Residu sekam memiliki berbagai aplikasi diantaranya

sebagai pupuk, sumber energi, abu sekam (silika), semen dan keramik manufaktur dan sebagai filler di lignoselulosa komposit serat termoplastik. Silika (20% dari abu) hadir dalam epidermis luar sel-sel yang tebal. Dengan meningkatnya biaya telah mendorong upaya untuk mengembangkan teknologi yang efisien tidak hanya potensi penuh sekam padi sebagai bahan bakar untuk produksi energi, tetapi juga sebagai sumber seperti amorphous silika, silika karbon campuran, kalium silikat dan karbon aktif (Jain, 1995).

Karbon atau zat arang merupakan salah satu unsur yang berbentuk padat, cair, maupun gas yang terdapat di dalam perut bumi, di dalam batang pohon, ataupun di udara (atmosfir). Sumber terciptanya karbon yang berada di udara dapat berasal dari pembakaran minyak dan gas dari kendaraan, industri, pembakaran hutan, asap yang keluar dari letusan gunung berapi, kayu yang dibakar, ataupun proses pelapukan tumbuh-tumbuhan.

Konsentrasi karbon yang berlebihan di udara bukanlah merupakan suatu hal yang baik bagi kondisi lingkungan, karena karbon yang terlepas ke udara secara berlebihan dapat mengakibatkan peningkatan suhu bumi atau pemanasan global (global warming). Bersama gas-gas hasil pencemaran lain, gas karbon membentuk

lapisan yang dapat menahan panas bumi keluar dari atmosfer sehingga menyebabkan suhu udara di bumi semakin panas (Sugiono, 2008).

Gelombang ultrasonik merupakan gelombang suara yang berada pada wilayah di atas wilayah pendengaran manusia, frekuensi di atas 20 kHz. Sedangkan batas atas dari frekuensi ultrasonik tidak terdefinisikan dengan baik, namun biasa digunakan batas frekuensi 5 MHz untuk gas dan batas frekuensi 500 MHz untuk zat cair dan zat padat (Cheeke, 2002).

Dengan pemanfaatan gelombang ultrasonic teknik-teknik baru selalu ditambahkan untuk pengolahan air salah satunya melalui teknik kavitasi untuk aplikasi pengolahan air (Gogate, 2002). Kavitasi didefinisikan sebagai pembentukan suatu gelembung dalam zat cair, yang diakibatkan karena perubahan tekanan. Pada awal pembentukannya akan mengalami pertumbuhan hingga mencapai ukuran maksimum yang kemudian akan diikuti oleh keruntuhan ukuran gelembung secara drastis, siklus refraksi-kompresi ini akan berlangsung secara berulang bergantung kondisi dari cairan yang digunakan. Namun, secara umum kavitasi yang muncul dalam cairan hanya mengalami satu atau dua kali siklus sebelum akhirnya gelembung tersebut terpecah menjadi gelembung-gelembung kecil lainnya.

Dengan metode kavitasi ini, pemanfaatan asap (gas karbon) dari tungku sekam merupakan salah satu upaya pencarian energi alternatif, dalam penelitian ini akan dikembangkan metode baru untuk pemanfaatan karbon yang dihasilkan dari tungku sekam sebagai salah satu energi alternatif yang ramah lingkungan, dan sebagai upaya mengurangi pemanasan global.

1.2 Tujuan

Menciptakan energi alternatif baru dengan bahan campuran minyak/bioetanol, air dan asap (gas karbon) dari pembuangan kompor sekam.

1.3 Objek Penelitian

Penggunaan generator pembangkit yang menghasilkan getaran ultrasonik pada air dan minyak/bioetanol menghasilkan uap kering. Setelah itu, gas karbon (asap) dari tungku sekam dialirkan pada hasil kavitasi campuran air dan minyak/bioetanol. Akibat pecahnya kavitasi akan timbul uap kering dengan molekulnya sangat kecil yang akan bercampur dengan asap (gas) karbon yang dapat digunakan untuk bahan bakar.

Dokumen terkait