• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN

1. Pendampingan Korban

Perlindungan perempuan (isteri) korban KDRT dilakukan dengan membuat forum atau lembaga Perlindungan dan Penanganan Korban Kekerasan bagi Perempuan dan Anak. Forum atau lembaga sejenis memiliki pelindung, pengarah atau penasehat, ketua umum, ketua pelaksana yang akan berkaitan dengan instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat,

organisasi pemerhati korban kekerasan yang dibuat lembaga lain yang bergerak dalam hal perlindungan kekerasan. Hal mirip juga dijumpai di Amerika Serikat, ada lembaga nasional yang khusus yang menangani isu KDRT yang diperuntukkan bagi para korban (perempuan dan anak-anaknya). Lembaga ini disebut NCADV (National Coalition Against Domestic Violence). Lembaga ini sukses mendorong dan mengedukasi para anggota Kongres Amerika Serikat untuk mengeluarkan undang-undang yang mengamanatkan adanya perlindungan kepada korban KDRT agar memperoleh perlindungan hukum dari Negara.9 Diharapkan keberadaan forum/lembaga Perlindungan dan Penanganan Korban Kekerasan bagi Perempuan dan Anak akan berkontribusi positif terhadap perbaikan kualitas hidup perempuan atau anak korban KDRT seperti di Amerika Serikat.

Di Indonesia, sesuai dengan Pasal 22, 23 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, lembaga-lembaga tersebut akan mendampingi korban melalui pelayanan pekerja sosial atau relawan pendamping yang akan memberikan informasi kepada korban mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping, untuk memaparkan secara objektif KDRT yang dialaminya. Pekerja sosial atau relawan pendamping akan bekerja secara optimal

9 Latasha Jackson-McDougle, The Prosecutor's Role In Helping Domestic Violence Victims, Thesis Master Jurusan Criminology and Criminal Justice The University of Texas at Arlington, (2013), hlm. 10-12, permalink: https://uta-ir.tdl.org/uta-ir/bitstream/handle/10106/24095/JacksonMcDougle_ uta_ 2502M_12462.pdf?sequence=1&isAllowed=y. Akses tanggal 31 Desember 2016.

mendampingi perempuan korban KDRT dengan melibatkan berbagai komponen terkait. Hal ini selaras dengan pernyataan Nelfina bahwa komponen-komponen dalam pertolongan pekerja sosial meliputi: klien, pekerja sosial, badan sosial, tim staf pertolongan, sistem intervensi dan situasi pertolongan.10

Menurut Indrawati11 Kepala Seksi Perlindungan Kelompok Rentan Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Kota Yogyakarta bahwa khusus ditingkat Pemerintah Kota Yogyakarta, perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan sudah dilakukan dengan baik dan terpadu. Perlindungan terhadap korban dilakukan secara berjejaring dalam wadah Forum Penanganan Korban Kekerasan Berbasis Gender (FPK2BG) dibentuk pada Tahun 2006 dengan landasan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 62 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Layanan Terpadu bagi Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Trafficking di Kota Yogyakarta. Bentuk perlindungan terhadap perempuan (isteri) korban KDRT dengan mengoptimalkan kerjasama antar pemberi pelayanan sesuai tugas pokok dan fungsi. Pendampingan bagi korban KDRT di FPK2BG dilakukan bekerjasama

10 Nelfina, Etika Profesi Pekerjaan Sosial. (Padang: Departemen Sosial RI, 2009), hlm. 35.

11 Wawancara dengan Indrawati, Kepala Seksi Perlindungan Kelompok Rentan Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat Kota Yogyakarta, 25 November 2016.

dengan unsur-unsur lain yang tergabung dalam anggota forum dan dilaksanakan secara jejaring. Pelayanan ini di koordinasikan oleh pendamping yang secara intensif terlibat sejak awal kasus diterima. Pelayanan dilakukan secara terpadu meliputi penanganan psikologis dan spiritual, medis, hukum, dan sosial ekonomi bagi korban kekerasan berbasis gender dan trafficking melalui mekanisme rujukan secara komprehensif dan berkesinambungan dengan pembiayaan dibebankan kepada pemerintah. Hal ini didukung oleh testimoni sebut saja ES12 sebagai berikut:

ES telah mengalami KDRT selama 15 tahun. Setelah melapor ke FPK2BG Kota Yogyakarta, mendapatkan konseling, selanjutnya dalam mengajukan gugatan cerai ES didampingi oleh seorang pendamping dan Advokat, mendapatkan fasilitas pembiayaan beracara di Pengadilan Agama dari FPK2GB Kota Yogyakarta. Pendampingan sejak pendaftaran, penyusunan gugatan, sidang di pengadilan, menghadirkan saksi-saksi sampai putusan akhir. Pasca putusan cerai mendapatkan pemulihan berupa penguatan diri dan pelatihan ketrampilan beserta permodalan untuk bekal kemandirian ekonomi.

Selain itu FPK2BG juga melakukan pencegahan melalui sosialisasi dan berbagai kegiatan lainnya untuk mengantisipasi tindak kekerasan berbasis gender dan trafficking. Forum juga membangun sistem pendataan kasus kekerasan berbasis gender dan trafficking yang ditangani oleh anggota jaringan maupun penyedia layanan di luar anggota jaringan. Pemerintah melalui forum ini membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak

12 Wawancara dengan ES, perempuan (isteri) korban KDRT di Kota Yogakarta pada tanggal 25 November 2016.

(P2TPA) yang berupa rumah aman (shelhter), bagi perempuan dan anak korban kekerasan sebagai wujud nyata perlindungan terhadap korban kekerasan.

Lebih lanjut Indrawati menambahkan bahwa jumlah kasus yang dilaporkan ke P2TP2A Kota Yogyakarta dari tahun ke tahun meningkat.13 Perempuan korban KDRT lebih memilih melaporkan kasus kekerasan yang dialami ke lembaga-lembaga perlindungan seperti ini, karena kerahasiaan, kemudahan mengakses, keterpaduan pelayanan dan dampak yang ditimbulkan setelah pelaporan lebih aman bagi korban. Tidak semua korban KDRT mau atau mampu menyatakan keluhannya kepada orang lain, apalagi melapor kepada pihak yang berwajib, sebagian kasus justru tidak dilaporkan. Oleh karenanya tenaga kesehatan, konselor, psikolog, pekerja sosial dan lain-lain adalah profesi yang kadang-kadang menjadi orang yang pertama yang mengetahui terjadinya KDRT pada seorang perempuan.14

Selain itu, banyak korban yang tidak mau melaporkan tindakan kekerasan yang dialami dalam rumah tangganya pada pihak berwajib seperti polisi dengan berbagai alasan strukturtal maupun kultural. Alasan struktural karena belum semua aparat hukum memiliki sensitifitas yang berpihak pada

13 Data FPK2BG Kota Yogyakarta pada tahun 2011 kasus berjumlah 142 kasus, Tahun 2012 berjumlah 265 kasus, Tahun 2013 berjumlah 691 kasus, Tahun 2014 berjumlah 642 kasus, Tahun 2015 berjumlah 626 kasus, dimana 80 % dari kasus tersebut adalah kasus KDRT.

14 Abdul Aziz Hoesein, Pengetahuan Praktis Tentang Terhadap Perempuan dan Anak Korban Kekerasan,(Jakarta: Kementrian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, 2001), hlm. 12.

korban KDRT, masih banyak aparat hukum yang justru menyalahkan korban. Alasan kultural karena kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah yang berkaitan erat dengan bias gender yang biasa terjadi pada masyarakat patriarkal dimana distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan timpang, sehingga kaum laki-laki mendominasi institusi sosial dan tubuh perempuan15. Selain itu, Gelles & Strauss juga mengidentifikasi dominasi laki-laki dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence)16. Alasan kultural ini juga sesuai pengalaman HY17 sebagai berikut: HY telah mengalami KDRT selama 19 tahun. Walaupun HY telah mendapatkan kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi dalam kurun waktu yang lama, HY memutuskan cukup bercerai dari suami saja. HY tidak ingin memperpanjang masalah ini dengan lapor ke polisi, karena HY khawatir perkembangan anak-anak akan terganggu, selain itu saran keluarga masalah ini tidak perlu diperpanjang agar tidak menjadi aib di masyarakat. Selama proses pengajuan gugatan cerai, HY tinggal di rumah aman.

Oleh karena itu Rumah aman18 adalah salah satu tempat tinggal sementara bagi perempuan dan anak-anak korban kekerasan, yang akan memberikan perlindungan, kesejahteraan, dan pertolongan agar korban terhindar dari kekerasan serta mampu menyelesaikan masalahnya. Pada

15 Gadis Arivia, Mengapa perempuan disiksa?, Jurnal Perempuan, Vol. 1, (1999), hlm. 3-8. 16 Gelles, R.J., Strauss, M.A., Determinant of Violance in the Family, (New York: The Free Press,

1985), hlm. 98.

17 Wawancara dengan HY, perempuan (isteri) korban KDRT di Kota Yogyakarta pada tanggal 28 November 2016.

18 Febri Yulliani, Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Riau: Universitas Riau, 2008), hlm. 37.

umumnya, korban dibawa ke rumah aman ini, karena korban merasa tidak aman tinggal di rumah sendiri. Rumah aman ini bukan sekedar menginap atau kost saja, namun sangat penting terhadap perempuan atau istri yang mengalami KDRT yang sangat lama atau melalui proses traumatik yang lama dan mengalami penderitaan psikis. Korban seperti ini sangat tidak berdaya, oleh karena itu sebuah rumah aman yang dibangun oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat mempunyai visi misi yang jelas, yaitu ingin melindungi dan memulihkan kondisi korban dan mempunyai keberpihakan kepada perempuan serta tidak menyalahkan perempuan dimana harus mencoba mengerti tentang keadaan dan kondisi korban khususnya perempuan. Selain itu juga memastikan korban kekerasan berbasis gender dan trafficking khususnya perempuan dan anak mendapatkan layanan yang terpadu, komprehensif dan berkesinambungan. Serta memudahkan bagi lembaga pemberi layanan di Kota Yogyakarta menyangkut prosedur penanganan dan rujukan korban kekerasan berbasis gender.

Dokumen terkait