• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diterimanya beberapa permintaan peninjauan kembali atas perkara pidana yang diajukan jaksa oleh Mahkamah Agung, telah banyak menimbulkan perdebatan diantara para teoritisi maupun praktisi hukum Indonesia. Perbedaan pendapat yang muncul terjadi karena adanya perbedaan sudut pandang dalam melihat kasus yang terjadi. Satu sisi berpendapat dengan sudut pandang hukum positif dan di sisi yang lain berpendapat dengan sudut pandang pada nilai keadilan.

Terhadap permintaan peninjauan kembali beberapa perkara pidana yang diajukan oleh jaksa tersebut, pendapat Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukum sebagaimana termuat dalam putusan-putusan peninjauan kembali yang telah ada, pada intinya hampir terdapat persamaan. Kasus Muchtar Pakpahan sebagai kasus pertama dalam sejarah upaya hukum luar biasa peninjauan kembali di

Indonesia yang diajukan oleh jaksa, telah mengundang perhatian dan tidak sedikit mengundang perdebatan. Hal tersebut karena pengajuan permintaan peninjauan kembali atas perkara Muchtar Pakpahan yang diajukan oleh jaksa, dalam KUHAP sebagai pedoman hukum acara proses peradilan pidana, tidak ada ketentuan yang mengatur posisi jaksa dalam ketentuan peninjauan kembali. Putusan peninjauan kembali kasus Muchtar Pakpahan tersebut selanjutnya dijadikan acuan bagi hakim dalam mengadili perkara-perkara peninjauan kembali yang diajukan jaksa berikutnya.

Putusan kasus Muchtar Pakpahan dapat dikatakan sebagai pembentukan hukum acara mengenai peninjauan kembali. Hal tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi dalam penyelesaian suatu perkara, yang oleh Pontang Moerad dikatakan bahwa :

Pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding). Dengan kata lain, hakim/pengadilan dalam sistem hukum kita, yang pada dasarnya tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Karena itu walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem yang terbuka (open system).129

Berkaitan dengan pendapat diatas, Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, berpendapat bahwa fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan/ hakim diatas harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau

129 H. Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam

tidak ada.130 Berikut pendapat Mahkamah Agung dalam beberapa putusan peninjauan kembali.

1. Kasus Muchtar Pakpahan.

Pendapat Mahkamah Agung dalam menerima permintaan peninjauan kembali dari jaksa dalam perkara Muchtar Pakpahan adalah sebagai berikut :

Hukum terbentuk antara lain melalui putusan-putusan Hakim, seperti halnya dalam masalah permohonan kasasi Pasal 244 KUHAP yang menentukan, ”Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh Pengadilan lain selain dari Mahkamah Agung, terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Hal itu menegaskan bahwa permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan kecuali putusan bebas dapat dimintakan kasasi, atau dengan perkataan lain putusan bebas dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Akan tetapi, melalui penafsiran Pasal 244 KUHAP tersebut, hakim menentukan bahwa terdapat dua macam putusan bebas, yakni bebas murni dan bebas tidak murni. Putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, sedangkan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi.

Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan, ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan PK kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam perkara pidana terdapat dua pihak yang berkepentingan, yakni yang satu adalah terdakwa dan yang lainnya

130 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu

Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan umum/negara. Ketentuan Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut menyebutkan adanya ”pihak-pihak yang berkepentingan”. Jadi ”pihak-pihak-”pihak-pihak yang disebutkan diatas dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali.

Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan, ”Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”, berarti bahwa putusan pengadilan yang bukan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum dapat diajukan permintaan peninjauan kembali oleh terpidana atau ahli warisnya. Sedangkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak dengan tegas ditentukan atau tidak diatur. Dengan perkataan lain, tidak ada larangan untuk dimintakan peninjauan kembali oleh jaksa/penuntut umum. Dengan demikian, Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut adalah ditujukan kepada terpidana atau ahli warisnya.

Terhadap Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan peninjauan kembali, apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan”, Mahkamah Agung berpendapat Pasal 263 ayat (3) KUHAP tersebut ditujukan kepada jaksa/penuntut umum. Oleh karena dalam hal ini jaksa/penuntut umum adalah pihak yang paling berkepentingan, yaitu jaksa/penuntut umum telah berhasil membuktikan dakwaannya dimuka sidang dan hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya, akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan dalam putusan hakim sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Oleh karena itu jaksa/penuntut umumlah dalam hal ini yang paling berkepentingan agar putusan pengadilan tersebut dirobah. Oleh karenanya, putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tersebut, diikuti dengan pemidanaan atas diri terpidana.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dengan landasan asas legalitas dan dalam rangka menerapkan asas keseimbangan antara hak asasi pihak-pihak peninjauan kembali sebagai perseorangan atau sebagai manusia seutuhnya, berwujud kepentingan perseorangan atau golongan tertentu sebagai satu pihak, dan kepentingan umum, bangsa dan masyarakat termasuk kepentingan ”Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebagai kepentingan masyarakat Indonesia seluruhnya pada pihak lainnya, yang tidak terpisah dari Kejaksaan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Mahkamah Agung dalam tingkat peninjauan kembali selaku badan peradilan tertinggi mempunyai tugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara diterapkan secara tepat dan adil.

Mengenai dapat tidaknya diajukan permohonan peninjauan kembali perkara ini, masih menjadi masalah hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara a quo ingin menciptakan hukum acara sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang jaksa/penuntut umum tersebut, dengan menyatakan bahwa permintaan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali (jaksa penuntut umum) secara formal dapat diterima. Oleh karenanya dapat diperiksa

apakah pihak yang meminta peninjauan kembali dapat membuktikan, bahwa putusan bebas tersebut sudah tepat dan adil.

2. Kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The Gandhi Memorial School).

Pendapat Mahkamah Agung dalam kasus Ram Gulumal alias V. Ram (The

Gandhi Memorial School) sepanjang mempertimbangkan jalan masuk (access) untuk

peninjauan kembali, Majelis Hakim kasus ini setuju terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan, sepanjang menyangkut kewenangan/hak peninjauan kembali oleh jaksa. Selanjutnya dalam konteks Pasal 263 KUHAP, pada prinsipnya Mahkamah Agung dalam perkara ini berpendapat sebagai berikut :

a. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum berhak mengajukan peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana atau ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali dalam hal

vrijspraak (bebas) dan onslag van rechtvervolging (lepas dari segala tuntutan

hukum). Dalam hal ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan-alasan tersebut pada Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

b. Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisannya, sebab cenderung akan merugikan yang bersangkutan. oleh karenanya, logis apabila Jaksa/Penuntut Umum diberikan hak untuk peninjauan kembali melalui pasal ini. Hal ini pernah diatur dalam Reglement op de

Rechtsvordering (Rv) dan Perma Nomor 1 Tahun 1969 serta Perma Nomor 1

tahun 1980, yaitu Jaksa Agung dapat mengajukan peninjauan kembali. Atas dasar kewajiban Mahkamah Agung untuk memelihara keseragaman putusan

(consistency in court decision), sekalipun tidak menganut asas ”stare decisis” (The binding force of precendent), maka Mahkamah Agung cenderung untuk mengikuti pendapat Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 (kasus Mukhtar Pakpahan) di atas yang logika hukumnya bisa dipertanggungjawabkan (reasonable).

Pendapat tersebut di atas dapat dikatakan merupakan bentuk konsistensi Mahkamah Agung mengenai kewenangan jaksa mengajukan peninjauan kembali. Dengan demikian adalah suatu hal yang sangat wajar jika jaksa dapat mengajukan peninjauan kembali, karena telah sesuai dengan praktik hukum yang berlaku di Indonesia.

3. Kasus Soetiyawati.

Sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap perkara terpidana Soetiyawati, Mahkamah Agung dalam putusan peninjauan kembali perkara ini berpendapat sebagai berikut :

a. Ditinjau dari teori dan praktek yurisprudensi, dibenarkan melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule maupun depature. Akan tetapi, ada yang berpendapat penafsiran ekstensif tidak dibenarkan dalam bidang hukum acara. Alasannya, hukum acara (terutama acara pidana) adalah “hukum publik” yang bersifat “imperatif”. Prinsipnya sebagai hukum publik yang bersifat imperatif, berfungsi sebagai the rule of the game, Tidak boleh dikesampingkan melalui penafsiran luas oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ketentuan hukum acara tidak boleh dikesampingkan melalui tindakan diskresi (discretion) atau kebijaksanaan. Tindakan yang seperti itu dianggap

mengakibatkan terjadinya proses pemeriksaan yang tidak sesuai dengan hukum acara atau undue process. Setiap pemeriksaan yang undue process, merupakan pelanggaran dan perkosaan terhadap hak asasi tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu, proses penyelesaian perkara yang menyimpang dari hukum acara, dikualifikasikan sebagai unfair trial (peradilan yang tidak jujur).

Bertitik tolak dari argumentasi ini, pada prinsipnya tidak boleh melakukan penafsiran atau diskresi yang luas dalam penerapan hukum acara. Setiap tindakan yang mengesampingkan ketentuan acara, dianggap melanggar asas due process dan fair trial. Oleh karena itu, penafsiran luas terhadap hukum acara dapat menjerumuskan penegakan hukum ke arah : where law ends, tyranny begin (ungkapan ini tertulis pada pintu masuk Departement of justice di Washington DC).

Sehubungan dengan itu, putusan Nomor 55 PK/Pid/1996 yang mengembangkan (to growth) atau menyimpangi (overrule) ketentuan Pasal 263 KUHAP atas alasan kepentingan umum dan keadilan moral, tidak dapat dibenarkan. Hal itu karena melanggar prinsip due process dan fair trial serta sifat imperatif yang menjurus kepada peradilan “tirani”. Akan tetapi, sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum publik yang berifat imperatif, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi, apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice.

Pendapat umum yang berkembang mengatakan, tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut, dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik memang diakui imperatif, tetapi tidak seluruhnya absolut. Ada ketentuan yang dapat dilenturkan (flexible) dikembangkan (growth) bahkan disingkirkan (overrule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality of justice

and to reduce injustice.

Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, yaitu kasus Natalegawa dalam perkara Nomor 275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini, Mahkamah Agung telah mewujudkan case

law yang telah menjadi stare decisis melalui “extensive interpretation”.

1) Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberi hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” (Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penunut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas).

2) Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperatif yang melekat pada ketentuan ini dilenturkan, bahkan disingkirkan (overrule) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan, bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Berarti penerimaan kasasi

yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau bertentangan dengan undang-undang (dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya to improve the quality of justice and to reduce

in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa.

Motivasi tersembunyi yang paling dalam meng-contra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan. Dalam hal tersebut akan dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu, sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas, demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin.

Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis Hakim Peninjauan Kembali dalam kasus Muchtar Pakpahan melenturkan atau mengembangkan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa

pembebasan yang dijatuhkan pengadilan tidak adil (injustice) karena didasarkan ada alasan nonjuridis.

b. Pengadilan mempunyai kedudukan penting dalam sistim hukum kita, karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtvorming) dan penemuan hukum (rechtvinding). Dengan kata lain, hakim/pengadilan dalam sistem hukum kita, yang pada dasarnya tertulis itu, mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law). Karena itu, walaupun sistem hukum Indonesia merupakan sistem hukum tertulis, tetapi merupakan sistem yang terbuka (open system). Fungsi membentuk hukum (baru) oleh pengadilan/hakim di atas harus dilakukan olehnya untuk mengisi kekosongan dalam hukum dan mencegah tidak ditanganinya suatu perkara karena hukum (tertulis) tidak jelas atau tidak ada. c. Fungsi, kewajiban dan tugas dari pengadilan/hakim berdasarkan Undang-undang

Nomor 4 Tahun 2004, dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1) Pasal 5 ayat (1) menentukan, bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda bedakan orang.

Pasal 5 ayat (2) menentukan, bahwa pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

2) Pasal 16 ayat (1) menentukan, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan

dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

3) Pasal 28 ayat (1) menentukan, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

d. Sejalan dengan jiwa ketentuan-ketentuan undang-undang tersebut, pendapat Hamaker dalam karangannya Het recht en de maatschappij dan juga Recht, Wet

en Rechter, antara lain menyatakan bahwa hakim seyogyanya mendasarkan

putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat ketika putusan itu dijatuhkan. Bagi Hymans (dalam karangannya Het recht der werklijkheid), hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan hukum dalam makna sebenarnya (het recht der werkelijkheid).

e. Dari putusan Mahkamah Agung Nomor 55 PK/Pid/1996 tanggal 25 Oktober 1996, Nomor 3 PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 4 PK/Pid/2000 tanggal 28 Nopember 2001, dapat disimpulkan secara global alasan diterimanya secara formal permintaan peninjauan kembali dari Jaksa Penuntut Umum dan Pihak ketiga yang berkepentingan, sebagai berikut :

1) Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, sebab logikanya tidak mungkin terpidana/ahli warisnya akan mengajukan peninjauan kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle rechtsvervolging. Karena dalam

konteks ini yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.

2) Konsekuensi logis aspek demikian, maka Pasal 263 ayat (3) KUHAP yang menentukan, ”Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak dikuti oleh suatu pemidanaan”, juga tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan. Oleh karenanya, dalam hal ini adalah logis apabila hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali tersebut diberikan kepada Jaksa Penuntut Umum.

3) Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak, disamping perseorangan (terdakwa), atas kepentingan umum yang dimiliki oleh Jaksa Penuntut Umum, dapat pula mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap, yang merupakan putusan bebas dan atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Alasan ini adalah sesuai dengan model yang tertumpu pada konsep

daad-daderstrafrecht yang oleh Muladi disebut model keseimbangan

kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara,

kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan. Selaras pula dengan tujuan hukum dari pandangan hidup Pancasila, yaitu Pengayoman, dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun yang menjadi korban tindak pidana.

4) Berdasarkan asas legalitas dan pengawasan horizontal serta ketentuan pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, maka Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh undang-undang. Untuk mengisi kekosongan atau kekurangan hukum, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menentukan mengenai permohonan Peninjauan Kembali hanya dimungkinkan bagi terpidana atau ahli warisnya, dalam perkara pidana ini dilenturkan berdasarkan kekurangan atau kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara. Oleh karenanya, mencakup juga permintaan peninjauan kembali oleh “Pihak ketiga yang berkepentingan”, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa Agung atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.

5) Meskipun hukum acara pidana tidak menganut asas stare decisis atau the

binding force of precedent, namun untuk memelihara keseragaman putusan

Mahkamah Agung (consistency in Court decision), Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali kasus The Gandhi

tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996 dalam kasus Muchtar Pakpahan, yang logika hukumnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (reasonable). In casu Mahkamah Agung akan pula mengikuti putusan Mahkamah Agung tanggal 20 November 2001 Nomor 4 PK/Pid/2000. Alasan lain untuk mengikuti putusan-putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya tersebut, karena putusan-putusan a quo merupakan “pedoman“ dalam memeriksa dan mengadili perkara yang sama, dan selain itu merupakan pula sumber hukum dan pembentukan hukum.

f. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman, disebutkan bahwa ”Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat di dakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya. In casu khususnya Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum, korban tindak pidana dan pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Oleh karenanya, akan ada pergeseran prespektif dari ketentuan hukum

pidana yang offender oriented menjadi victim oriented, dan keadilan retributif menjadi keadilan sosiologis atau yang dikenal sebagai keadilan restoratif.

g. Berdasarkan kajian teoritik melalui pandangan doktrin dari Arif Gosita dan J.E. Sahetapy, bahwa korban mempunyai hak antara lain menggunakan upaya hukum (recht middelen). Menurut Mahkamah Agung hal itu merupakan perlindungan korban kejahatan dalam ruang lingkup prosedural, yang telah dimiliki pula oleh Jaksa Penuntut Umum, yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun secara individual. Bagi korban kejahatan baik secara kolektif maupun secara individual harus dapat diberikan

Dokumen terkait