Bab 4: Hukum Klausul Denda
A. Klausul Denda Pada Kewajiban Utang
1. Pendapat Pertama
Menurut pendapat ulama klasik dan mayoritas ulama kontemporer, klausul
14
denda pada akad yang menimbulkan kewajiban hutang hukumnya haram.
Lembaga Hukum Islam International (Majma Fiqh-OKI) dalam pertemuan ke-12 di Riyadh tanggal 23-28 September 2000 memutuskan fatwa tentang syarth jaza’i sebagai berikut:
a) Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua pihak yang berakad atas penetapan sanksi denda yang dikenakan pada salah satu pihak atas keterlambatan menunaikan kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan sebagai pengganti kerugian pihak yang lain.
b) Syarth jaza’i atas keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi akad salam tidak dibolehkan, karena hakikat akad salam adalah utang. Syarth jaza’i pada akad istishna’ dibolehkan, selama tidak terjadi kondisi tak terelakkan (force majeure). Adapun akad ba’i bi al-taqsith (jual beli dengan angsuran) ketika pembeli (nasabah) terlambat membayar angsuran, pihak penjual (bank) tidak diperbolehkan mengenakan denda kepada pihak pembeli (nasabah), baik melalui kesepakatan klausul saat akad ditandatangani atau tanpa klausul, karena hal tersebut adalah riba yang
15
haram.
c) Klausul denda (syarth jaza’i) dapat dinyatakan pada waktu akad ditandatangani dan dapat pula dinyatakan setelah berlangsungnya akad, sebelum terjadi kerugian.
Dalil yang menjadi landasan pendapat ini antara lain:
1. Penetapan denda materi terhadap nasabah yang menunda-nunda pembayaran hutangnya merupakan bentuk riba yang diharamkan syariah. sebagaimana kaidah fiqih mengatakan, “Setiap hutang-piutang yang mendatangkan nilai tambah/manfaat bagi pemberi hutang adalah riba.”
2. Denda adalah tambahan dari pokok hutang akibat adanya keterlambatan. Bentuk seperti ini sama persis dengan praktik riba jahiliyah di mana ada kepekatan yang dikenal waktu itu: “Kamu bayar atau tambah pelunasannya!” (يبرت وأ ىضقت نأ امإ).
16
3. Hadis riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf: “Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. Bahwa pada dasarnya setiap orang diberi kebebasan menyatakan klausul dalam akad dan harus komitmen terhadap klausul tersebut, namun keabsahan klausul dibatasi dengan satu hal yaitu tidak menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal. Sedangkan kesepakatan kedua belah pihak dalam menentukan denda atas keterlambatan pembayaran hutang merupakan klausul yang bertentangan dengan ketentuan al-Qur’an dan Hadis, sehingga klausul tersebut terlarang dan tidak sah.
Sebagian ulama kontemporer seperti Mushtafa Az-Zarqa’ dan Abdullah al-Mani’ membolehkan adanya ganti rugi atas keterlambatan pembayaran utang akan tetapi penetapan dendanya tidak boleh disepakati pada saat akad melainkan dihitung berdasarkan kerugian riil yang dialami akibat penundaan
17
tersebut menggunakan konsep ta’widh.3
2. Pendapat Kedua
Sebagian ulama kontemporer membolehkan adanya klausul denda dalam akad yang menimbulkan kewajiban hutang seperti akad jual-beli murabahah secara cicil. DSN-MUI secara khusus mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut yaitu Fatwa NO: 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran yang berisi:
a) Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja;
b) Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur
3 Muhammad bin Abdul Aziz Yamani, asy-Syarth Jaza’i wa Atsaruhu fi ‘Uqud al-Mu’ashirah, Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, h. 212
18
tidak boleh dikenakan sanksi;
c) Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi;
d) Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya;
e) Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani;
f) Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.
Dari uraian fatwa di atas terlihat bahwa DSN membolehkan adanya klausul denda dalam akad yang menimbulkan hutang yaitu dengan adanya penentuan sejumlah denda pada saat akad yang harus dibayarkan nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran.
Beberapa faktor yang dijadikan pertimbangan DSN-MUI dalam
19
memutuskan fatwa di atas adalah:
a) Bahwa masyarakat memerlukan pembiayaan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berdasarkan pada prinsip jual beli maupun akad lain yang pembayarannya kepada LKS dilakukan secara angsuran;
b) Bahwa nasabah mampu terkadang menunda-nunda kewajiban pembayaran, baik dalam akad jual beli maupun akad yang lain, pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak;
c) Bahwa masyarakat, dalam hal ini pihak LKS, meminta fatwa kepada DSN tentang tindakan atau sanksi apakah yang dapat dilakukan terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran tersebut menurut syariah Islam;
d) Bahwa oleh karena itu, DSN perlu menetapkan fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran menurut prinsip syariah Islam, untuk dijadikan pedoman oleh LKS.
20
Klausul denda dalam fatwa DSN didasarkan pada konsep ta’zir yaitu bentuk hukuman yang semata-mata bertujuan untuk mendisiplinkan nasabah mampu yang menunda-nunda kewajiban bukan konsep ta’widh atau ganti rugi di mana penetapannya harus berdasarkan kerugian riil yang dialami oleh bank akibat penundaan nasabah. Hal ini terlihat dari ketentuan dalam fatwa tersebut yang menyatakan bahwa dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial, tidak diakui sebagai pemasukan bagi bank syariah. Artinya, bank syariah tidak mengambil manfaat dari denda yang dibayarkan oleh nasabah untuk menutupi kerugian yang ditimbulkan akibat penundaan kewajiban.
Terkait dengan konsep ta’widh sendiri DSN mengeluarkan Fatwa No.
43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti rugi (ta’widh). Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa:
a) Ganti rugi (ta‘widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain;
21
b) Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas;
c) Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan;
d) Besar ganti rugi (ta‘widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah);
e) Ganti rugi (ta‘widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah;
f) Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
22
Kemudian pada ketentuan khusus disebutkan:
a) Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya;
b) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak;
c) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Melihat fatwa tentang ganti rugi di atas, jelas bahwa konsep ta’widh ini tidak bisa diterapkan dalam denda keterlambatan sebagaimana yang ditetapkan dalam fatwa No. 17 tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran.
Dalam fatwa ta’widh ini ditetapkan bahwa jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tidak boleh dicantumkan dalam akad.
Sedangkan denda keterlambatan berdasarkan fatwa No. 17, besarannya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani. Ini menunjukkan adanya perbedaan antara konsep ta’zir dan konsep ta’widh yang
23
dipakai oleh DSN dalam kedua fatwa di atas.
Dalil dan argumen DSN-MUI yang membolehkan adanya klausul denda dengan konsep ta’zir dalam akad yang menimbulkan utang seperti jual-beli murabahah dengan sistem cicil/kredit antara lain adalah sebagai berikut:
1) Kaidah Fiqih “Pada dasarnya, segala bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Penetapan klausul denda terhadap nasabah yang mampu dan menunda-nunda pembayaran dianggap merupakan bentuk akad yang dibolehkan selama denda tersebut tidak diambil oleh pemberi pembiayaan (bank) melainkan disalurkan kepada pihak ketiga sebagai dana sosial.
2) Dalil umum tentang kewajiban memenuhi janji/akad. Yaitu firman Allah ﷻ surah al-Maidah ayat 1: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...”. Ayat ini menunjukkan bahwa akad yang disepakati di antara para pelaku akad hukumnya mengikat dan wajib dilaksanakan.
Tindakan menunda-nunda kewajiban oleh nasabah yang mampu
24
termasuk pelanggaran terhadap akad yang telah disepakati.
3) Dalil umum tentang larangan menimbulkan bahaya dan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain. Yaitu hadits Nabi Muhammad ﷺ yang berbunyi (رارض لاو ررض لا) artinya: “Tidak boleh menimbulkan bahaya/kerugian untuk diri sendiri dan orang lain.” (H.R. Ibnu Majah).
Orang mampu yang menunda-nunda pembayaran merugikan orang lain, sehingga dinilai layak mendapatkan sanksi denda sebagai ganti rugi pihak yang memberi pembiayaan.
4) Hadis riwayat Muslim, “Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: menunda-nunda pembayaran hutang bagi yang mampu adalah kezhaliman, dan jika piutang salah seorang dari kalian dialihkan kepada orang yang kaya, maka terimalah”. Sikap orang mampu yang menunda-nunda pembayaran hutang yang telah jatuh tempo hukumnya haram karena perbuatan itu termasuk kezhaliman. Hal ini diqiyaskan kepada perbuatan ghashab yaitu memakai/merampas harta orang lain tanpa hak, seolah-olah pengemplang hutang dianggap merampas hak pemilik harta
25
untuk menggunakannya. Menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali seorang ghashib wajib membayar ganti rugi dari nilai manfaat barang yang di-ghashab selama barang itu ada di tangannya.4
5) DSN-MUI menggunakan maqashid syari’ah sebagai acuan dalam menetapkan fatwa dibolehkannya kesepakatan atas penetapan denda materi. Salah satu upaya dalam mewujudkan maqashid sayriah adalah melalui perlindungan terhadap harta benda. Penunda-nundaan pembayaran hutang oleh nasabah mampu merupakan tindakan yang dapat merugikan pihak Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) karena LKS terhalang menikmati manfaat hartanya selama masa penundaan.
Membiarkan tindakan tersebut tanpa sanksi terhadap pelakunya mengakibatkan persamaan antara orang yang jujur dan berkomitmen membayar hutang tepat waktu dengan orang zalim yang merugikan
4 Abu Umar Dubyan, al-Mu’amalat Maliyyah Ashalatan wa Mu’asharatan, jilid 5, h. 513
26
orang lain.5
B. Klausul Denda Pada Kewajiban Selain Utang
Klausul denda yang kedua yaitu yang ada pada akad di mana kewajiban akadnya bukan berupa pembayaran hutang melainkan jasa, pekerjaan atau yang lainnya. Contohnya akad istishna’ di mana shani’ (tukang pembuat) berkewajiban melakukan pekerjaan yaitu membuatkan barang yang dipesan oleh pelanggan.
Atau akad ijarah (akad sewa/jual-beli jasa) seperti jasa perantara/broker, jasa renovasi rumah, jasa desain grafis, jasa pembuatan website dan lain-lain. Dalam hal ini para ulama kontemporer terbagi menjadi dua pendapat:
1. Pendapat Pertama
Mayoritas ulama kontemporer membolehkan adanya klausul denda dalam
5 Zawawi, Fatwa Klausul Sanksi dalam Akad: Studi Komparatif Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Majma’ Fiqh Organisasi Konferensi Islam (OKI), Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol. 16, No. 2 (2016), h. 249
27
akad selain yang kewajiban akadnya adalah hutang. Di antaranya Majma’ Fiqih Islam OKI dalam pertemuannya yang ke-12 tahun 1421 H mengeluarkan keputusan nomor 109 sebagai berikut:
زويج
Mensyaratkan klausul denda hukumnya boleh dalam semua akad keuangan selain dari akad yang kewajiban dasarnya berupa hutang sebab itu merupakan riba yang nyata.
Oleh karenanya, klausul denda ini boleh misalnya dalam akad muqawalah (pengadaan
28
jasa/pekerjaan) bagi muqawil (pengada jasa/pekerjaan), akad taurid (akad pengadaan barang) bagi muwarrid (pengada barang), akad istishna’ (akad pembuatan barang) bagi shani’ (tukang pembuat) jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan komitmen/kewajibannya atau terlambat dalam pelaksanaannya. Dan (klausul denda) hukumnya tidak boleh misalnya dalam akad jual-beli cicil/kredit akibat keterlambatan dalam membayar cicilan baik karena tidak mampu atau sengaja menunda-nunda, begitu pun tidak boleh dalam akad istishna’ bagi mustashni’ (pemesan pembuatan barang) jika terlambat membayar kewajibannya.
Keputusan di atas juga didukung oleh fatwa dari Dewan Ulama Besar (Haiah Kibar Ulama) Kerajaan Arab Saudi, fatwa Darul Ifta Mesir dan juga fatwa Dewan Syariah Bait at-Tamwil Kuwait.6
Kebolehan klausul denda ini dibatasi dengan syarat besaran denda tersebut harus wajar, tidak ada unsur kezhaliman dan tidak melebihi nilai dari potensi
6 Muhammad bin Abdul Aziz Yamani, asy-Syarth Jaza’i wa Atsaruhu fi ‘Uqud al-Mu’ashirah, Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, h. 218
29
kerugian yang terjadi.
Beberapa dalil yang dijadikan landasan pendapat pertama ini antara lain:
1) Hukum asal syarat dalam akad adalah boleh selama tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Terkait dengan klausul denda, tidak ada dalil yang tegas melarangnya sehingga hukumnya boleh.
2) Hadits Nabi Muhammad ﷺ yang melarang tindakan merugikan diri sendiri dan orang lain (رارض لاو ررض لا). Berdasarkan hadits tersebut setiap tindakan yang berpotensi merugikan orang lain seperti pelanggaran atau penundaan terhadap komitmen dalam akad dibolehkan adanya penetapan ganti rugi (ta’widh).
3) Terdapat kemaslahatan dalam penetapan klausul denda yaitu mendorong orang untuk memenuhi kewajibannya dan mencegah tindakan mempermainkan akad/perjanjian yang mana hal itu sesuai dengan substansi dari firman Allah ﷻ dalam surah al-Maidah ayat 1: “Hai
30
orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...” 7
2. Pendapat Kedua
Sebagian ulama kontemporer mengharamkan adanya klausul denda dalam semua akad termasuk yang kewajiban dasarnya bukan hutang. Tokoh-tokohnya antara lain Dr. Abdur Razzaq as-Sanhuri, Syekh Ali al-Khafif, Dr. Syafiq Syahatah, dan lain-lain. Argumen pendapat ini antara lain:
1) Klausul denda atau asy-syarth al-jaza’i mengandung jahalah, gharar dan qimar (spekulasi) sebab penetapan dendanya tidak berdasarkan perhitungan kerugian yang benar-benar terjadi melainkan dengan jumlah yang disepakati di awal. Boleh jadi denda tersebut sesuai dengan jumlah kerugian, atau lebih tinggi, lebih rendah atau bahkan kerugian itu tidak pernah terjadi.
7 Lihat: Muhammad bin Abdul Aziz al-Yamani, asy-Syarth al-Jaza’i wa Atsaruhu fi al-‘Uqud al-Mu’ashirah, Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah, h. 217-222
31
2) Menurut kelompok ulama kedua ini penentuan jumlah ganti rugi seharusnya dilakukan oleh hakim bukan berdasarkan kesepakatan antara pelaku akad sebagai mana yang terjadi dalam klausul denda.
Sebab hal tersebut akan menimbulkan potensi perselisihan antara para pelaku akad.
3) Ganti rugi tidak boleh berdasarkan perkiraan atas adanya potensi kerugian di masa depan melainkan harus berdasarkan perhitungan terhadap kerugian yang nyata-nyata dialami dan tentu itu baru dapat dilakukan setelah kerugian tersebut terjadi. Jika tidak, akan berpotensi memakan harta orang lain secara batil sebab pelanggaran atau penundaan terhadap perjanjian tidak selalu menimbulkan kerugian.