• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN LAPANGAN

C. Pendapat Takmir/Tokoh Agama Tentang Arah Kiblat Di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga

Tokoh agama merupakan sebuah jabatan sosial yang mana orang tersebut diyakini akan kepiawaian atau ahli dalam bidang agama, dalam masyarakat islam sendiri penyebutan kyai itu bukan oleh sang pemilik jabatan tersebut meminta untuk dipanggil kyai. Akan tetapi jabatan itu didapatkan dengan sendirinya dari kepercayaan masyarakat yang diberikan kepada orang yang menyandang jabatan tersebut.

Dari beberapa wawancara yang telah dilakaukan penulis secara garis besar ada dua faktor yang sangat mempengaruhi dalam pandangan atau pendapat meraka yaitu:

1. Takmir/Tokoh agama yang berasal dari Pondok Pesantren

Ada 1 narasumber yang masuk dalam kategori ini yakni KH. Abda’ Abdul Malik. Beliau merupakan lulusan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin Tulung Wunut Klaten. Dalam pandangannya mengenai urgensi

76

penentuan arah kiblat sangat bertendensi, yakni beliau menekankan bahwa menyikapi tentang hal tersebut beliau langsung mengembalikan kepada madzhab yang beliau anut, Madzhab Syafi’i yang beliau ikuti mengenai arah kiblat harus ainul ka’bah dan minimal ainul ka’bah itu didapatkan dengan menggunakan Rubu’ Mujayyab. Selaian itu beliau juga menembahai keterangan bahwa ainul ka’bah yang mengarah adalah dadanya dan ketika diartikan secara mendalam adalah hatinya.

Beliau mengatakan minimal menggunakan Rubu’ Mujayyab karena di Pondok Pesantren yang beliau asuh sampai sekarang masih melestarikan metode tradisional tersebut. Dan juga memadukan alat bantu modern seperti Kalkulator Scientific.

Ketika beliau ditanya oleh penulis mengenai apa pemaknaan atau penafsiran tentang beliau menjawab bahwa kewenangan penasiran ayat Al-Quran tersebut hanya boleh dilakukan oleh Mujtahid Mutlaq atau Mujtahid Mutsaqil yaitu seperti Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali. Adapun ulama’ sekarang tidak ada yang memenuhi kriteria Mujtahid Mutlaq atau Mujtahid Mutsaqil.

Dari situ oleh penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa beliau termasuk dalam kategori ulama yang mana menutup pintu ijtihad, karena meyakini ulama sekarang tidak ada yang dapat memenuhi syarat-syarat mujtahid. Syaikh Abu Zahra berpendapat bahwa memang benar untuk kapasitas ulama terkini tidak ada yang dapat menyamai pada waktu itu akan tetapi beliau mengenai Tathbiq Al-Ahkam atau para mujtahid yang

77

berijtihad tentang penerapan hukum itu akan terus ada, dan syarat-syaratnya adalah:

a. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa arab, dikarenakan Al-Quran dan Sunnah berbahasa arab.

b. Mengetahui Al-Qur’an serta penafsiran Asbabun Nuzul ayat, yang mana tidak harus hafal.

c. Mengetahui Al-Sunnah termasuk ilmu yang berkaitan denagn hadits yaitu ilmu Wurudul Hadits dan ilmu Rijalul Hadits.

d. Mengetahui masalah-masalah ynag didalamnya sudah ada Ijma’. e. Mengetahui Qiyas dan cara mengaplikasikan dalam suatu masalah. f. Mengetahui tujuan-tujuan hukum, seperti:

1) Memelihara kemaslahatan 2) Tidak menimbulkan kesempitan

3) Memilih yang mudah bukan yang sukar kalaupun ada yang yang sukar dan memberatkan.

g. Pemahamannya baik, dan bisa memilih alasan-alasan mana yang lebih kuat, pola pikirnya baik, dan istimewa.

h. Mempunyai niat yang ikhlas (Djazuli dan Nurol, 2000:98).

Dalam mazhab Syafi’i mengartikan ( ) adalah Ka’bah bukan “Arah Masjidil Haram” oleh karenanya ketika shalat tidak menghadap persis ke Ka’bah walaupun itu jauh dari Mekah, maka shalatnya tidak sah. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori no 383:

78

Artinya: “Ketika Nabi SAW masuk kedalam Ka’bah, beliau berdoa di seluruh

sisinya dan tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau

kemudian shalat dua rakaat dengan memandang Ka’bah lalu bersabda:

inilah kiblat”(Lidwa Hadis).

2. Takmir/Tokoh agama yang bukan berasal dari Pondok Pesantren

Narasumber yang masuk dalam kategori ada 3 yakni Bapak K. Rahmat, K. Sri Mulyono dan KH. Totok Suroso. Secara garis besar pendapat mereka mengenai arah kiblat hanya mengartikan arah kiblat sebagai arah saja. Itu terlihat dari logika mereka bahwa kiblat itu barat, tanpa ada ikhtiar apapun lagi bagi meraka. Hal itu sudah dirasa cukup dan konstruksi masjid yang entah tepat atau tidak, bagi mereka dirasa tepat serta diyakini karena sudah menghadap kebarat.

Tidak jarang pula tindak lanjut sebagian tokoh agama yang setelah diadakan kalibrasi kemudian tidak terlalu ditanggapi secara urgen, semisal terbukti dengan tidak dijaganya garis yang menunjukan arah kiblat. Yang pastinya setelah dikalibrasi Kementrian Agama Kota Salatiga masjid atau mushola diberi tanda garis penunjuk arah kiblat. Atau ada juga yang menanggapi tidak secara sempurna seperti ketika ada pembenaran dari Kementrian Agama Kota Salatiga, yang diubah hanya arah sajadah Imam adapun yang shaff makmum tidak. Dan bahkan adapula yang tidak ada perubahan setelah adanya kalibrasi tersebut.

79

Gambar 4.2 Foto Masjid Yang Menghilangkan Tanda Garis Arah Kiblat

Gambar 4.3 Foto Masjid Yang Setelah Dikalibrasi Hanya Mengubah Arah Kiblat Pada Sajadah Imam.

Sayyid Abdurrohman bin Muhammad Al-Masyhur dalam kitab Baghyatul Mustarsyidin (1994:63) memberikan pejelasan bahwa:

80

Artinya: Pendapat yang unggul ialahharus menghadap kiblat secara tepat walau berada diluar Kota Mekah, berarti harus miring sedikit bagi mereka yang shalat dengan shaff panjang meskipun jauh dari Mekah sekira mereka memiliki dugaan kuat dia telah mengarah

tepat ke arah Ka’bah. Pendapat kedua yakni sudah dianggap

cukup menghadap ke arah kiblat (meskipun tidak secara tepat) dalam arti bagi orang yang jauh dari Ka’bah cukup menghadap

salah satu arah dari empat arah yang Ka’bah berada di sana, ini

pendapat yang kuat yang dipilih oleh Al Ghozali dishahihkan oleh Imam Al Jurjani, Ibnu Kajin dan Abi Asruun, Imam Mahali juga mantap dengan pendapat ini.

Imam Adzaru’i berkata sebagian sahabat berkata, pendapat ini baru (Qaul Jadid) tapi pendapat yang dipilih karena bentuk Ka’bah kecil yang mustahil seluruh penduduk dunia bisa menghadapnya (secara tepat) maka cukuplah arahnya saja, karenanya dihukumi sah orang-orang yang shalat dengan shaff barisan yang panjang dari Ka’bah meskipun maklum bila sebagian dari mereka keluar dari kiblat secara tepat.

Pendapat ini sesuai dengan apa yang dinukil dari Imam Abu

Hanifah “Arah timur adalah kiblatnya penduduk barat dan

sebaliknya, arah selatan adalah arah kiblat penduduk utara dan sebaliknya” dan pendapat Imam Malik “Ka’bah kiblatnya orang Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblatnya penduduk Mekah, Mekah kiblatnya penduduk Tanah Haram sedang Tanah Suci Haram kiblatnya penduduk dunia.

Sudah dicukupkan bagi orang-orang yang kesulitan dalam memahami petunjuk-petunjuk tentang Ainul Ka’bah dengan menggunakan Jihatul Ka’bah, akan tetapi bagi orang-orang yang

mampu menentukan Ainul Ka’bah maka terkena hukum wajib

menggunakan Ainul Ka’bah.

81

Dari penjelasan diatas maka dapat diambil garis besar bahwa ada dua pendapat dalam Mazhab Syafi’i. Pendapat pertama, harus menghadap kiblat secara tepat walau berada diluar Kota Mekah, berarti miring sedikit bagi mereka yang shalat dengan shaff panjang meskipun jauh dari Mekah. Sekira mereka memiliki dugaan kuat dia telah mengarah tepat ke arah Ka’bah. Pendapat ini adalah pendapat yang kuat dan ini adalah Qaul Qodim dari Imam Syafi’i, Yakni pendapat beliau ketika masih di Kota Baghdad.

Pendapat kedua, dianggap cukup menghadap ke arah kiblat (meskipun tidak secara tepat) dalam arti bagi orang yang jauh dari Ka’bah cukup menghadap salah satu arah dari empat arah yang Ka’bah berada di sana, ini pendapat yang kuat yang dipilih oleh Imam Al Ghozali dishahihkan oleh Imam Al Jurjani, Ibnu Kajin dan Abi Asruun, Imam Mahali juga mantap dengan pendapat ini.

Imam Adzaru’i berkata sebagian sahabat berkata, pendapat ini baru

Qaul Jadid Imam Syafi’i ketika beliau sudah di Mesir. Karena bentuk Ka’bah kecil yang mustahil seluruh penduduk dunia bisa menghadapnya secara tepat maka cukuplah arahnya saja, karenanya dihukumi sah orang-orang yang shalat dengan shaff barisan yang panjang dari Ka’bah meskipun maklum bila sebagian dari mereka keluar dari kiblat secara tepat.

Pendapat ini sesuai dengan apa yang dinukil dari Imam Abu Hanifah “Arah timur adalah kiblatnya penduduk barat dan sebaliknya, arah

82

selatan adalah arah kiblat penduduk utara dan sebaliknya” dan pendapat Imam Malik “Ka’bah kiblatnya orang Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblatnya penduduk Mekah, Mekah kiblatnya penduduk Tanah Haram sedang Tanah Haram kiblatnya penduduk dunia.

Pendapat diatas sesuai menjelaskan tentang upaya menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia menghadap kepada satu titik, yakni tepat di fisik bangunan Ka’bah. Adalah merupakan suatu hal yang mustahil, karena fisik bangunan Ka’bah itu berukuran + 13 m x 12 m. Sebagaimana telah maklum bahwa banyak sekali masjid dan mushola kaum muslimin di berbagai penjuru dunia yang berukuran lebih besar dibanding ukuran bangunan Ka’bah tersebut di atas.

Misalkan ada sebuah masjid yang berukuran 30 m x 30 m, dan takmir masjid atau mushola tersebut mengukur arah kiblat dari mihrab imam, katakanlah hingga pas dengan arah fisik bangunan Ka’bah. Imam dan para makmum yang berada di sebelah kiri atau kanan imam sepanjang 12 meter, mungkin bisa menghadap pas ke fisik Ka’bah. Sebab sesuai dengan ukuran Ka’bah. Namun para makmum yang berposisi melewati ukuran tersebut, tidak mungkin mereka menghadap pas ke fisik bangunan Ka’bah. Bila diilustrasikan dalam gambar sebagai berikut:

83

Gambar 4.4 Ilustrasi Bangunan Masjid Yang Menghadap Kiblat Ka’bah

Pada masjid atau mushola yang ukurannya lebih besar dari ukuran fisik Ka’bah, orang yang bisa menghadap pas ke bangunan fisik Ka’bah, hanyalah imam dan makmum no. 9 hingga no. 15 saja. Adapun makmum yang lainnya, maka hanya bisa menghadap ke arah Kiblat saja, bukan ke fisik bangunan Ka’bah. Shalat mereka dinilai sah berdasarkan pendapat QaulJadid Imam Syafi’i.

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari bab-bab yang terdahulu, selanjutnya penulis akan memberikan kesimpulan guna untuk menjawab rumusan masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Yaitu sebagai berikut:

1. Kondisi arah kiblat masjid dan mushola di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga bisa dikatakan banyak yang belum tepat. Kebanyakan dari masjid dan mushola yang penulis temui dalam penentuan arah kiblatnya menyesuaikan dengan konstruksi bangunan. Arah kiblat masjid dan mushola di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga pada sampel 32 masjid dan 20 mushola mendapatkan hasil 55,8% berada di jarak deviasi 1º-5º, 17,3% berada di jarak 6º-10º, 9,6% berada di jarak 11º-15º , 11,5% di jarak 16º-20º dan 5,8% di jarak 21º-25º.

Adapun masjid dan mushola yang masih dalam batas toleransi kemlencengannya yakni 1º adalah Masjid Miftahul Jannah (Butuh), Masjid Radlotul Muttaqin (Klumpit), Masjid Darussalam (Kalilondo), Masjid Al-Hidayah (Perum Tingkir Indah), dan Al-Muttaqin (Kalibening). Sedangkan yang mushola hanya 2 yakni Mushola Nurul Hidayah (Jl. Taman Pahlawan no 28, Kalioso) dan Mushola Rahmatassalam Rohimallaah (Perum Tingkir Indah).

85

2. Adapun metode yang takmir/tokoh agama gunakan dalam menentukan arah kiblat: narasumber 1 KH. Abda’Abdul Malik menggunakan Rubu’ Mujayyab, narasumber 2 K. Rahmat mengikuti konstruksi bangunan masjid atau mushola yang ditentukan oleh tokoh agama dahulu. Narasumber 3 K. Sri Mulyono mengikuti pendapat ahli atau penetapan arah kiblat yang dilakukan oleh ahli falak di sini, beliau mengikuti pendapat KH. Abda’ Abdul Malik dan hasil Kalibrasi Kementrian Agama Kota Salatiga melalui KH. Abdul Basith. Dan narasumber yang terakhir no 4 yaitu KH. Totok Suroso, beliau mengikuti pendapat temannya, yang mana dulu temannya adalah guru agama. Kemudian setelah adanya kalibrasi dengan hasil penentuan terdahulu belum tepat, yakni melenceng 11° tidak terlalu berdampak adanya perubahan arah kiblat di masjid yang berada di sekitar beliau. Dikarenakan kemantapan hati atau keyakinan adalah dasar beliau.

Sehingga yang mengetahui tentang pentingnya arah kiblat dan mengetahui penerapan metode penentuan arah kiblat diantara narasumber yang penulis temui hanya satu, yaitu beliau KH. Abda’Abdul Malik.

3. Mengenai pendapat para takmir/tokoh agama tentang urgensinya ada dua pendapat yakni, pertama langsung mengembalikan masalah ini langsung pada mazhab yang diikuti seperti yang dilakukan oleh KH. Abda’ Abdul Malik. Karena beliau mengikuti Mazhab Syafi’i berarti Ainul Ka’bah tepat secara persis walau itu jauh dari Ka’bah. Ijtihad

86

beliau tentang Ainul Ka’bah dengan menggunakan Rubu’ Mujayyab. Bagi yang mengikuti Mazhab Syafi’i ketika tidak Ainul Ka’bah dalam penentuan arah kiblat maka shalatnya tidak sah. Begitu pula dengan perilaku beberapa tokoh agama yang masih memepertahankan arah kiblatnya sesuai dengan konstruksi bangunan masjid padahal sudah diketahui salah atau meleset setelah dikalibrasi maka shalatnya adalah tidak sah.

Kedua, pendapat takmir/tokoh agama yang menganggap cukup ketika arah kiblatnya sudah menghadap ke barat. Anggapan atau paradigma ini terlihat ketika penulis mewancarai narasumber K. Rahmat, K Sri Mulyono dan KH. Totok Suroso. Shalat mereka tetap dinilai sah berdasarkan pada QaulJadid Imam Syafi’i.

B. Saran

1. Kepada Pemerintah Kota Kota Salatiga melalui Kementrian Agama Kota Salatiga, diharapkan setelah mengetahui kondisi SDM di Kota Salatiga yang minim pada SDM ahli bidang falak, maka sudah saatnya melakukan sosialisasi dan pelatihan sesering mungkin khususnya kepada generasi muda islam di Kota Salatiga. Hal ini sangatlah penting karena ilmu falak adalah implementasi dari kemajuan dan pelestarian khazanah umat islam.

2. Kepada takmir/tokoh agama yang berada di Kota Salatiga dan khususnya Kecamatan Tingkir, walau dalam penelitian yang dilakukan

87

penulis hanya 4 (empat) narasumber. Akan tetapi dapat dilihat bahwa masih banyaknya masjid dan mushola yang setelah dilakukan kalibrasi belum atau diadakan tindak lanjut. Diharapkan setelah adanya penelitian ini para takmir/tokoh agama menindaklanjuti apa yang telah Kementrian Agama Kota Salatiga lakukan. Selain itu diharapkan pula tokoh agama melakukan pendampingan terhadap masjid dan mushola, pendampingan berupa penjelasan kepada masyarakat khususnya jamaah masjid atau mushola tentang urgensi penentuan arah kiblat serta implikasinya terhadap sah atau tidaknya shalat. Serta pendampingan terhadap masjid atau mushola baik bangunan lama atau baru untuk dikalibrasi oleh Kementrian Agama Kota Salatiga.

3. Mengingat keterbatasan penulis yang melakukan wawancara hanya beberapa narasumber dan ketika melakukan pengecekan melalui aplikasi Android dan website online dan perhitungan kalkulator untuk arah kiblatnya baik masjid dan mushola di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga belum tentu benar 100%, namun dapat dijadikan rujukan atau refresensi guna mengetahui pendapat-pendapat tokoh agama di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga secara umum tentang urgensi penentuan arah kiblat masjid dan mushola.