• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pembangunan ekonomi selama ini terkesan lepas dari kebijakan lingkungan dan sosial. Pada tataran pelaksanaan baru dilakukan pada tingkat pembicaraan ataupun koordinasi antar instansi yang terkait. Koordinasi yang dimaksud masih terbatas pada tahap pembicaraan rencana pelaksanaan dan belum terwujud. Alasannya belum ada perangkat aturan yang dapat memberikan rujukan tolak ukur untuk menjawab masalah tersebut. Misalnya perkembangan ekonomi yang meningkat sekian persen maka berapa seharusnya target untuk perbaikan lingkungan dan sosial yang mampu ditunjang oleh ekonomi secara proposional.

Adrianto et al. (2005) mengemukakan pertumbuhan ekonomi memiliki keterbatasan hingga suatu titik dimana ekonomi menuju kondisi stabil (steady state economy). Seoptimis apapun teknologi yang mampu dihasilkan, sudut pandang bahwa ekonomi bukan tak terbatas merupakan pandangan yang penting dalam koridor keberlanjutan (sustainability condition).

Dalam konteks dan pertimbangan seperti diuraikan diatas, Adrianto et al. (2005) berargumen perlunya perubahan paradigma lingkungan dalam pembangunan ekonomi dimana keduanya (ekonomi dan lingkungan) harus dipandang sebagai sebuah integrasi dan interaksi aktif satu sama lain serta tidak terpisah seperti yang terjadi selama ini sehingga menjadi sangat diametris satu sama lain. Salah satu penghalang terkuat dari bersatunya ekonomi dan ekologi adalah cara pandang dan asumsi bahwa sistem ekologi dan sistem ekonomi adalah dua sistem yang terpisah dan tidak perlu dipahami secara bersamaan.

Para ekonom berpikir bahwa sistem ekonomi terpisah dari sistem alam sehingga beberapa isu yang terkait dengan sistem di luar sistem ekonomi akan dianggap sebagai eksternalitas, sementara pemerhati lingkungan tidak jarang

memandang sistem alam dan lingkungan sebagai sebuah sistem yang terpisah dari dinamika ekonomi. Sehingga pemikiran alternatif yang mampu memberikan penjelasan bagaimana sistem ekonomi bekerja dalam sebuah delineasi ekosistem (biosphere) menjadi sangat diperlukan untuk diwujudkan. Alternatif ini ditawarkan oleh konteks utama ekologi ekonomi (mainstream ecological economic) yang memfokuskan diri pada hubungan yang kompleks, non-linier dengan kerangka waktu (time-frame) yang lebih panjang antara sistem ekologi dan ekonomi. Komitmen normatif dari mainstreem ini adalah berusaha mewujudkan terciptanya „masyarakat yang bukan tanpa batas‟ (frugal society), dalam arti bahwa kehidupan masyarakat berada dalam keterbatasan sistem alam baik sebagai penyedia sumberdaya maupun penyerap limbah (Fauzi 2010).

Selanjutnya dengan mengubah paradigma dari cara pandang pembangunan ekonomi dan lingkungan sebagai sebuah kesatuan, maka konsep daya dukung merupakan salah satu alat (tools) yang dapat diimplementasikan sebagai salah satu nilai normatif dalam kebijakan pembangunan ekonomi secara keseluruhan yang tidak terlepas pada paradigma keberlanjutan ilmu pengetahuan (sustainability sciences).

Terumbu karang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia diantaranya adalah merupakan objek pariwisata yang merupakan sumber pendapatan bagi daerah sehingga secara tidak langsung dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Ikan-ikan karang pada umumnya memiliki nilai jual yang sangat tinggi, sehingga banyak nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang dan kepiting dari terumbu karang lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sekurangnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia (White & Trinidad 1998).

Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi yang baik menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun produksi perikanan Cesar (1996).

Cesar (1996) juga memperkirakan bahwa daerah terumbu karang yang masih asli dengan daerah perlindungan lautnya (marine sanctuary) dapat menghasilkan US$24.000/km2/tahun apabila penangkapan ikan dilakukan secara berkelanjutan (sustainable). Terumbu karang dengan kondisi yang sangat baik tanpa daerah perlindungan laut di atasnya dapat menghasilkan US$12.000/km2/tahun jika penangkapan dilakukan secara berkelanjutan. Terumbu karang yang rusak akibat penangkapan dengan racun dan bahan peledak atau kegiatan pengambilan destruktif lainnya (seperti penambangan karang, perusakan dengan jangkar, dan lain-lain) menghasilkan jauh lebih sedikit keuntungan ekonomi. Kawasan terumbu karang yang sudah rusak/hancur 50% hanya akan menghasilkan $6.000/km2/tahun, dan daerah yang 75% rusak menghasilkan hanya sekitar $2.000/km2/tahun. Apabila terumbu karang sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) oleh cukup banyak nelayan maka keuntungan ekonomi akan menurun sangat tajam.

Terumbu karang juga mempunyai nilai lain selain nilai ekonomi termasuk keuntungan ekonomi dan kemungkinan pengembangan pariwisata, perlindungan garis pantai, dan keanekaragaman hayati. Di Filipina diperkirakan bahwa 1km2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara US$15.000-45.000 dari perikanan secara berkelanjutan, US$2.000-20.000 dari keuntungan pariwisata, dan keuntungan ekonomi sekitar US$5000-25.000 dari perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan total keuntungan/pendapatan potensial antara US$32.000-113.000/km2/tahun (White & Trinidad 1998).

Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat-NTB adalah sekitar 611.34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp48.731.275/ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi untuk pariwisata bahari sekitar Rp69.117.180,36. Hasil penelitian yang serupa dilakukan oleh Wawo (2000) di Pulau Nusa Laut Maluku menghasilkan nilai ekonomi total terumbu karang adalah Rp4.265.174/ha/tahun serta penelitian Dahuri (1999) di kawasan Barelang dan Bintan Rp1.614.637.864/ha/tahun.

Hiew dan Lim (1998) in Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi adalah sebesar US$34.871,75 atau dengan asumsi US$1 setara dengan Rp9.500 maka

nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai pencegah erosi adalah sebesar Rp331.281.625/ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai segi. Sementara itu Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$15/ha/tahun atau sekitar Rp142.500/ha/tahun.

Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan kedalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstratif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker & Koeoniam 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstratif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2006), yaitu nilai ekonomi ekstratif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Selain itu kawasan Selat Lembeh memiliki nilai ekonomi non-ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan menyelam, transportasi dan taxi air, dimana dari kegiatan penyelaman telah memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp300 juta/tahun, taxi air Rp90 juta/tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp25 juta/tahun.