• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.9 Pendekatan Matematika Realistik

Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai pengertian, karakteristik, dan langkah-langkah pendekatan matematika realistik.

2.1.9.1 Pengertian

Freudenthal dan Treffers adalah tokoh-tokoh yang mengembangkan RME, yang pada awalnya terjadi di Belanda, dan digunakan sebagai pendekatan untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika, melalui kegiatan yang disebut pematematikaan (Muhsetyo 2012: 1.16). Adapun Dolk (2006) dalam Aisyah

(2007: 7.3) menyatakan bahwa Realistic mathematics education, yang selanjutnya diterjemahkan sebagai Pendidikan Matematika Realistik (PMR) adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan Hans Freudenthal (1905 – 1990) bahwa matematika adalah kegiatan manusia. Menurut pendekatan ini, kelas matematika bukan tempat memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah nyata. Di sini matematika dilihat sebagai kegiatan manusia yang bermula dari pemecahan masalah.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Uzel (2006: 1952) yang menyatakan:

RME is a promising direction to improve and enhance learners understandings in mathematics. RME has its roots in Hans

Freudenthal’s interpretation of mathematics as a human activity and

accentuates the actual activity of doing mathematics. This is an activity, which he envisaged should predominantly consist of organizing or mathematising subject matter, taken from reality.

Menurutnya, RME adalah suatu pemberian bimbingan untuk mengembangkan dan meningkatkan pemahaman siswa dalam matematika. RME berasal dari pandangan Hans Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan menekankan bahwa matematika dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas ini yaitu mengorganisasikan atau mematematikakan materi pelajaran yang diambil dari kehidupan nyata.

Hadi (2005) dalam Aisyah (2007: 7.3) menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa tidak dipandang sebagai penerima pasif, tetapi harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika di bawah bimbingan guru. Proses penemuan kembali ini dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan dunia nyata. Sependapat dengan Hadi, Wijaya

(2012: 20) mengatakan pernyataan “matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia” menunjukkan bahwa Freudenthal tidak menempatkan matematika sebagai suatu produk jadi, melainkan sebagai bentuk aktivitas atau proses. Menurut Freudenthal matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk jadi yang siap dipakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengkonstruksi konsep matematika. Freudenthal mengenalkan istilah

guided reinvention” sebagai proses yang dilakukan siswa secara aktif untuk

menemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan guru.

Freudenthal (1991) dalam Wijaya (2012: 20) menerangkan bahwa kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari Pendidikan Matematika Realistik. Proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa. Pandangan yang sejalan juga diungkapkan oleh CORD (1999) dalam Wijaya (2012: 20), “Suatu pengetahuan

akan menjadi bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu konteks atau pembelajaran menggunakan masalah realistik”.

Suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata (real world problem) dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari

siswa. Suatu masalah disebut “realistik” jika masalah tersebut dapat dibayangkan

(imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa. Suatu cerita rekaan, permainan atau bahkan bentuk formal matematika bisa digunakan sebagai masalah realistik. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, permasalahan realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau disebut juga sebagai sumber untuk pembelajaran (Wijaya 2012: 20-1).

2.1.9.2 Karakteristik

Setiap pendekatan pembelajaran tentunya memiliki karakteristik tersendiri. Begitu pun halnya dengan pendekatan matematika realistik. Beberapa karakteristik pendekatan matematika realistik menurut Suryanto (2007) dalam Aisyah (2007: 7.7), antara lain: (a) Masalah kontekstual yang realistik (realistic contextual problems) digunakan untuk memperkenalkan ide dan konsep matematika kepada siswa; (b) Siswa menemukan kembali ide, konsep, dan prinsip, atau model matematika melalui pemecahan masalah kontekstual yang realistik dengan bantuan guru atau temannya; (c) Siswa diarahkan untuk mendiskusikan penyelesaian terhadap masalah yang mereka temukan (yang biasanya ada yang berbeda, baik cara menemukannya maupun hasilnya); (d) Siswa merefleksikan (memikirkan kembali) apa yang telah dikerjakan dan apa yang telah dihasilkan; baik hasil kerja mandiri maupun hasil diskusi; (e) Siswa dibantu untuk mengaitkan beberapa isi pelajaran matematika yang memang ada hubungannya; (f) Siswa diajak mengembangkan, memperluas, atau meningkatkan hasil-hasil dari pekerjaannya agar menemukan konsep atau prinsip matematika yang lebih rumit, dan (g) Matematika dianggap sebagai kegiatan bukan sebagai produk jadi atau hasil yang siap pakai. Mempelajari matematika sebagai kegiatan paling cocok dilakukan melalui learning by doing (belajar dengan mengerjakan).

Treffers (1987) dalam Wijaya (2012: 21-3) merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, yaitu:

a) Penggunaan konteks

Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat

peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.

b) Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dari matematika tingkat konkret menuju pengetahuan matematika tingkat formal.

c) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Mengacu pada pendapat Freudenthal bahwa matematika tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi suatu konsep yang dibangun oleh siswa maka dalam Pendidikan Matematika Realistik siswa ditempatkan sebagai subjek belajar.

d) Interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

e) Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain.

Pendapat lain mengenai karakteristik pendekatan matematika realistik diungkapkan oleh Aisyah, dkk (2007: 7.18-19) yang berpandangan bahwa dalam merancang pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan matematika realistik, kita harus berpedoman pada karakteristik pendekatan matematika realistik, yaitu: (a) Pembelajaran harus dimulai dari masalah kontekstual yang diambil dari dunia nyata; (b) Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model yang harus sesuai dengan tingkat abstraksi yang harus dipelajari siswa; (c) Siswa dapat menggunakan strategi, bahasa, atau simbol mereka sendiri dalam proses mematematikakan dunia mereka sehingga siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan oleh guru; (d) Proses pembelajaran harus interaktif, dan (e) Hubungan

di antara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling kait mengait dalam penyelesaian masalah.

2.1.9.3 Langkah-langkah Pendekatan Matematika Realistik

Menurut Zulkardi (2002) dalam Aisyah (2007: 7.20) langkah-langkah pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan matematika realistik, yaitu:

a) Persiapan

Selain menyiapkan masalah kontekstual, guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.

b) Pembukaan

Pada bagian ini siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah dari dunia nyata. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.

c) Proses pembelajaran

Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan siswa atau kelompok lain dan siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hasil kerja siswa atau kelompok penyaji. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi tanggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum.

d) Penutup

Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

Dokumen terkait