• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendekatan Tarjîh __________

Dalam dokumen METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS (Halaman 134-140)

55Ibn Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz XXII, h. 343

Tarjîh secara bahasa bermakna cenderung, dan mengalahkan. Secara istilah tarjîh adalah membandingkan dua dalil untuk menguatkan salah satunya untuk dapat diamalkan.56

Dari pengertian tersebut terlihat bahwa tarjîh adalah upaya mencari keunggulan salah satu dalil dari yang lainnya karena dua dalil yang bertentangan. Dengan demikian pendekatan tarjîh adalah memahami hadis-hadis yang bertentangan dengan cara membandingkannya dan memberi penguatan pada salah satunya.

Dasar adanya pendekatan tarjîh ini adalah realitas bahwa hadis-hadis Nabi berada dalam tingkatan kekuatan validitas yang berbeda. Kejelasan dilâlah-nya juga berbeda-beda. Hal ini wajar karena kemampuan sahabat dan periwayat hadis berbeda satu sama lainnya.

Secara umum metode dalam men-tarjîh hadis-hadis yang bertentangan dapat dilakukan pada beberapa sisi:

a. Tarjîh dari Segi Sanad

Tarjîh dari segi ini dapat dilakukan dengan meneliti kuantitas rawi, karena hadis-hadis Nabi yang diriwayatkan kepada kita memiliki jumlah rawi yang berbeda-beda. Itu sebabnya para ulama membagi hadis-hadis dari segi jumlah rawi ke dalam beberapa kategori di mana masing-masing kategori menduduki martabat yang tinggi di banding yang lainnya.

Di samping itu, sifat-sifat rawi juga memperlihatkan perbedaan satu sama lainnya. Ini juga dapat menjadi sisi __________

56Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad Syaukani, Irsyad al-Fuhûl, Dar al-Fikri, Beirut, t.t, h. 403

Metodologi dan Pendekatan | 129 pentarjihan. Para muhadditsin telah membuat ketegori hadis berdasarkan sifat-sifat rawi ini.

Pada sisi lain, cara perawi menyampaikan hadis juga menjadi bagian yang dapat di-tarjîh. Masing-masing rawi dapat menyampaikan dalam cara yang saling berbeda. Di antara cara tersebut ada yang memiliki nilai akurasi yang tinggi.

b. Tarjîh dari Segi Matan

Segi-segi yang dapat di-tarjîh dari segi matan adalah hadis-hadis memiliki lafaz ‘âm dan khâsh, kata hakikat dan majaz, larangan dan perintah atau bentuk redaksi hadis, qaul atau fi’li Nabi.

c. Tarjîh dari Segi Faktor Luar

Sedangkan tarjîh dari segi faktor luar adalah tarjîh dengan mempertimbangkan dukungan dari luar hadis itu sendiri. Misalnya, illat penetapan suatu ketentuan dan dalil-dalil lain berupa nash al-Qur’an dan hadis. ‘Illat yang jelas karena disebutkan dalam hadis itu sendiri, tentu menjadi lebih kuat kedudukannya dibanding hadis yang sama sekali tidak menyebutkan ‘illat dari suatu ketentuan.

Demikian pula adanya nash al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi dapat memperkuat salah satu dalil yang di-tarjîh bila nash tersebut sejalan dengan salah satu dalil yang bertentangan.

Dalam persoalan ‘azal—seorang suami mengeluarkan spermanya di luar farj (kemaluan isterinya)—misalnya, teradapat dua versi hadis, yakni hadis yang membolehkan dan hadis yang melarang.

؟لزعلا نع ملسو هيلع للها ىلص بينلا لئس لاق يردلخا ديعس يبأ نع :لاقف ملسم هاور .ردقلا وه انمإف مك اذ اولعفت نأ مكيلع لا

Hadis dari Abu Said al-Khudri katanya: Rasulullah saw pernah ditanya tentang ‘azal, maka beliau menjawab:

Tidak apa-apa kamu melakukannya, karena bila kamu melakukannya akan diberikan takdir padanya. HR. Muslim

غلبف ملسو هيلع للها ىلص للها لوسر دهع ىلع لزعن انك لاق رباج نع ملسم هاور .انهني ملف ملسو هيلع للها ىلص للها بين كلذ

Hadis dari Jabir katanya pada zaman Nabi kami pernah melakukan azal. Setelah disampaikan kepada Rasulullah, ia tidak melarangnya. HR. Muslim

للها ىلص للها لوسر لاقف ؟ لزعلا نع هولأس بهو تنب ةمادج نع :يهو ئرقلما نع هثيدح في للهاديبع داز يفلخا دأولا كلذ ملسو هيلع :ريوكتلا ( تلئس ةدؤولما اذإو ) 8

اور ملسم ه

Hadis dari Judamah binti Wahab bahwa orang-orang bertanya kepada Nabi tentang azal, maka Rasulullah menjawab: Itu adalah pembunuhan secara diam-diam.

Ubaidillah menambahkan dalam riwayatnya ayat al-Qur’an, yaitu: apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya (Q.S al-Takwir: 8) HR. Muslim

Dalam memahami hadis-hadis tersebut di atas, Yusuf Qardhawi melakukan pendekatan tarjih. Ia mentarjih

Metodologi dan Pendekatan | 131 hadis Nabi yang membolehkan. Adapun jalan pertarjihan dapat dilihat dalam beberapa sisi, yaitu:

a. Riwayat yang semakna dengan riwayat Jabir dan Sa’id sangat banyak. Jadi didukung oleh jalur rawi yang lebih banyak.

b. Melakukan ‘azal sudah menjadi realitas yang banyak dilakukan oleh sahabat

c. Hadis Judamah tidak tegas melarang perbuatan azal.

Pernyataan Nabi “ini pembunuhan diam-diam” belum tentu menunjukan keharaman

d. Beberapa riwayat mukharrij seperti Imam Malik, rawahu al-arba’ah, tidak menyebutkan bagian akhir dari riwayat Judamah tersebut.57

Demikian pula dalam persoalan junub sampai Shubuh pada waktu puasa misalnya, ada dua hadis yang tampak bertentangan.

هيلع للها ىلص للها لوسرل لاق لاجر نأ اهنع للها يضر ةشئاع نع ابنج حبصأ ينأ للها لوسر اي عسمأ انأو بابلا ىلع فقاو وهو ملسو حبصأ انأو ملسو هيلع للها ىلص للها لوسر لاقف موصلا ديرأ انأو ىعفاشلا هارو .مويلا كلذ موصأو لستغأف موصلا ديرأ انأو ابنج

Hadis dari Aisyah ra bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah di depan pintu. Aku mendengar (pertanyaannya): Ya Rasulullah aku dalam keadaan junub sampai Shubuh dan aku ingin berpuasa. Rasulullah __________

57Yusuf Qardhawi, Kajian Kritis Pemahaman Hadis: Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, Terj. A. Najiyullah, Judul Asli: al-Madkhal li Dirâsat al-Sunnah al-Nabawiyah, Islamuna Press, Jakarta: 1994, h. 172-176

menjawab: Aku juga pernah junub sampai waktu Shubuh, aku ingin berpuasa, aku mandi dan terus melaksanakan puasa pada hari itu. H.R. Syafi’i.

وبا نع ىعفاشلا هاور .مويلا كلذ رطفأ ابنج حبصأ نم لوقي ةريره

Hadis dari Abu Hurairah, katanya barangsiapa yang junub sampai Shubuh maka hendaklah ia tidak berpuasa pada hari itu. HR. Syafi’i.

Dari dua hadis ini terlihat pertentangan dalam menetapkan kebolehan berpuasa bagi orang yang junub hingga masuk pada waktu Shubuh. Pada hadis pertama Aisyah melaporkan ucapan jawaban Nabi kepada seorang sahabat di mana Nabi menjelaskan bahwa ia pernah dalam keadaan sampai waktu Shubuh tetapi tetap berpuasa pada hari itu. Sementara Abu Hurairah menyatakan bahwa orang yang junub sampai Shubuh hendaklah berbuka puasa pada hari itu.

Dalam pendekatan tarjîh yang dilakukan Imam Syafi’i, ia memilih hadis yang menyatakan kebolehan berpuasa meskipun junub sampai waktu Shubuh, dengan beberapa sisi pentarjihan, yaitu:

a. Hadis yang menyatakan kebolehan diriwayatkan oleh Aisyah sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Ummu Salamah. Dalam persoalan junub, maka kedua isteri Nabi ini tentu lebih mengetahuinya dari pada Abu Hurairah yang mendengar atau menerima khabar.

b. Sahabat yang meriwatkan hadis tentang kebolehan lebih banyak (Aisyah dan Ummu Salamah) dari hadis yang menyatakan ketidakbolehan (Abu Hurairah).

Metodologi dan Pendekatan | 133 c. Kebolehan melaksanakan puasa dalam keadaan junub sampai pada waktu Shubuh lebih sesuai denga akal pikiran, di mana jimak, makan dan minum adalah dibolehkan pada malam hari sampai sebelum fajar. Maka junub sebagai akibat jimak pada malam hari tidaklah berkaitan dengan larangan berpuasa. Sebab yang berkaitan dengan larangan berpuasa atau yang membatalkan puasa adalah jimaknya.58

Dalam dokumen METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS (Halaman 134-140)

Dokumen terkait