• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDEKOMPOSISIAN BAHAN SECARA ANAEROBIK (PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS)

B. PERLAKUAN AEROB PADA BAHAN BAKU

3. PENDEKOMPOSISIAN BAHAN SECARA ANAEROBIK (PROSES PEMBENTUKAN BIOGAS)

Penumpukkan sampah dapat menyebabkan terjadinya pendegradasian secara terbuka sehingga dapat terbentuknya gas metana yang secara langsung dapat menyebabkan pemanasan global. Sampah yang menumpuk dan mengalami pembusukan dapat menyebabkan gas metan menjadi terkumpul, pada akhirnya meledak dan dapat mengakibatkan longsor. Karakteristik dari metana murni adalah mudah terbakar (Lapp dan Robertson, 1981). Menurut Meynell (1976), metana juga dapat menyebabkan ledakan. Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan karbon dioksida (CO2) yang juga ikut memberikan kontribusi bagi efek rumah kaca (green house effect) yang bermuara pada

pemanasan global (global warming). Biogas memberikan perlawanan terhadap efek rumah kaca, yaitu biogas memberikan substitusi atau pengganti dari bahan bakar fosil untuk penerangan, memasak dan pemanasan. Metana (CH4) yang dihasilkan secara alami oleh kotoran dan sampah yang menumpuk merupakan gas penyumbang terbesar pada efek rumah kaca, bahkan lebih besar dibandingkan CO2. Pembakaran metana pada biogas mengubahnya menjadi CO2 sehingga mengurangi jumlah metana di udara. Dengan lestarinya hutan, maka CO2 yang ada di udara akan diserap oleh hutan yang menghasilkan oksigen yang melawan efek rumah kaca.

Menurut Gijzen (1987), dekomposisi anaerob pada biopolimer organik kompleks menjadi gas metana dilakukan oleh aksi kombinasi berbagai jenis mikroba. Reaksi dekomposisi ini memiliki jalur metabolik yang cukup kompleks, terutama pada tahap asedogenesis. Secara umum pendekomposisian bahan secara anaerobik ini meliputi beberapa tahapan, yaitu tahapan hidrolisis, asedogenesis, asetogenesis dan metanogenesis.

Substrat yang digunakan pada tahap anaerob adalah substrat yang sudah melalui pra perlakuan, sehingga substrat tersebut sudah mengandung sejumlah asam yang dapat langsung digunakan oleh bakteri. Substrat tersebut sudah mengalami proses hidrolisis dan asedogenesis sehingga pada perlakuan utama (anaerob) langsung masuk ke tahapan asetogenesis atau bahkan langsung masuk ke tahapan metanogenesis.

Pada tahapan fermentasi anaerob ini dilakukan penambahan kotoran sapi yang digunakan sebagai sumber nitrogen bagi mikroorganisme. Selain itu, kotoran sapi ini juga digunakan sebagai sumber inokulum bagi bakteri metanogen yang akan merombak asam asetat, CO2 dan H2 menjadi gas metan. Kotoran sapi merupakan substrat yang dianggap paling cocok sebagai sumber pembuat biogas, karena kotoran sapi telah mengandung bakteri penghasil gas metan yang terdapat dalam perut hewan ruminansia (Meynell, 1976). Keberadaan bakteri di dalam usus besar ruminansia tersebut membantu proses fermentasi, sehingga proses pembentukan biogas dapat dilakukan lebih cepat (Sufyandi, 2001). Pada penelitian ini, pada proses anaerob diberi variasi

perlakuan C/N rasio yaitu 20, 25, dan 30 serta variasi suhu dalam inkubasi yakni suhu 30, 35, dan 40°C.

1. Volume Biogas

Selain makanan dan energi, hal lain yang dapat mempengaruhi pertumbuhan produksi biogas oleh bakteri anaerobik adalah memperpanjang waktu tinggal (retention time). Menurut Tobing dan Loebis (1986), dengan waktu penahanan sekitar 40 sampai 50 hari dapat dihasilkan gas methan dalam jumlah yang cukup besar. Namun tentunya waktu penahanan yang terlalu lama akan menyebabkan proses pembentukan akan terganggu karena bakteri sudah tidak aktif lagi dalam merombak.

Produksi biogas akan terus berlangsung selama proses pembentukannya. Dari data yang diperoleh, gas sudah terbentuk dari hari pertama pemasukan substrat hingga tidak ada lagi kenaikan produksi gas pada hari-hari berikutnya. Produksi dihentikan jika sudah tidak ada kenaikan lagi pada alat skala peningkatan produksi karena dengan tidak adanya kenaikan pada alat maka produksi gas telah terjadi secara optimum.

Gambar 14 menunjukkan volume gas yang dihasilkan pada suhu 30oC. Suhu ini divariasikan lagi dengan C/N yang berbeda, yaitu C/N 20, 25 dan 30.

0 2 4 6 8 10 12 14 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Hari V o lu m e G a s ( m l) C/N 20 C/N 25 C/N 30

Gambar 14. Akumulasi produksi gas pada suhu 30oC

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa produksi tertinggi pada suhu 30oC terdapat pada C/N 25 dengan rata-rata memproduksi gas sebesar 12,75 ml per 20 ml substrat. Produksi terendah terdapat pada C/N 20 yaitu memiliki rata-rata sebesar 8 ml per 20 ml substrat, sedangkan C/N 30 memproduksi gas rata-rata sebesar 12 ml per 20 ml substrat.

Berbeda dengan produksi gas pada suhu 30oC yang tidak banyak memproduksi gas, sedangkan pada suhu 35oC dan 40oC produksi gas yang dihasilkan jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu 30oC. Gambar 15 menunjukkan produksi gas pada suhu 35oC.

0 5 10 15 20 25 30 35 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Hari V o lu m e G as ( m l) C/N 20 C/N 25 C/N 30

Gambar 15. Akumulasi produksi gas pada suhu 35oC

Dari data yang diperoleh, perlakuan (inkubasi) pada suhu 35oC merupakan suhu inkubasi paling optimum. Produksi rata-rata gas yang dihasilkan, pada suhu 35oC ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu inkubasi yang lainnya. C/N rasio yang optimum yaitu C/N 30 dengan rata-rata gas yang di produksi sebesar 28,75 ml per 20 ml subatrat, sedangkan dengan C/N rasio 25 memiliki produksi rata-rata gas sebesar 25 ml per 20 ml substrat. C/N rasio 20 menghasilkan produksi rata-rata gas terendah yaitu sebesar 21,5 ml per 20 ml substrat. Dari hari pertama produksi, gas sudah terbentuk dan memiliki nilai yang tinggi.

Produksi biogas pada suhu 40oC rata-rata produksi gas lebih rendah bila dibandingkan dengan inkubasi pada suhu 35oC. Gambar 16 menunjukkan produksi rata-rata gas pada suhu 40oC.

0 5 10 15 20 25 30 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Hari V o lu m e G a s ( m l) C/N 20 C/N 25 C/N 30

Gambar 16. Akumulasi produksi gas pada suhu 40oC

Inkubasi pada suhu 40oC, menunjukkan produksi gas rata-rata pada C/N rasio 30 yaitu memproduksi gas rata-rata sebesar 24,5 ml per 20 ml substrat, sedangkan pada C/N rasio 25 produksi gas rata-rata sebesar 19,75 ml per 20 ml substrat dan C/N rasio 20 memproduksi gas rata-rata sebesar 22,25 ml per 20 ml substrat. Hasil yang diperoleh inkubasi suhu 40oC tidak jauh berbeda dengan inkubasi pada suhu 35oC. Inkubasi pada suhu 40oC gas telah terbentuk sejak awal pemasukan substrat dalam siringe dengan nilai produksi yang tinggi. Tingginya nilai produksi biogas pada awal proses produksi kemungkinan dikarenakan pada hari-hari pertama proses produksi biogas mikroba masih dalam keadaan segar sebagaimana keadaan dalam rumen, sedangkan pada hari-hari berikutnya mikroba telah terpengaruh oleh kondisi lingkungan sehingga pertumbuhannya terganggu (Palupi, 1994). Dari data yang diperoleh, maka suhu optimum untuk pembentukan gas bio yaitu inkubasi pada suhu 35oC, dan nilai produksi tertinggi yaitu pada substrat dengan C/N rasio 30.

Uji ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa suhu dan C/N rasio memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini berarti bahwa variasi suhu 30, 35 dan 40oC memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik biogas yang dihasilkan. Begitu juga halnya dengan variasi C/N rasio 20,

25 dan 30, sedangkan interaksi antara suhu dan C/N rasio tidak memberikan pengaruh yang nyata pada biogas yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa suhu 30oC, 35oC dan 40oC memberikan pengaruh secara signifikan terhadap biogas yang dihasilkan. C/N rasio 20 dan 25 tidak memberikan pengaruh secara signifikan, begitu juga dengan C/N rasio 25 dan 30, sedangkan C/N rasio 20 dan 30 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap biogas yang dihasilkan. Gambar 17 menunjukkan pengaruh COD terhadap volume biogas yang diproduksi.

0 5 10 15 20 25 30 35 20,00 25,00 30,00 35,00 40,00 45,00 50,00 55,00

COD (mg/L)

V

o

lu

m

e g

a

s (

m

l)

Gambar 17. Pengaruh COD terhadap volume biogas yang diproduksi. Dari gambar dapat dilihat bahwa residu COD mempengaruhi produksi biogas. Semakin besar residu, maka semakin besar pula produksi biogas. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil residu, maka semakin sedikit pula biogas yang diproduksi. Tabel 4 menunjukkan perbandingan volume gas yang dihasilkan dari penelitian ini dengan volume biogas dengan bahan baku buah dan sampah kota.

Tabel 4. Perbandingan produksi biogas dengan bahan baku sayuran, buah dan sampah kota

Bahan baku Metode Total volume biogas yang di produksi

Sayuran Aerob dan anaerob 0,2295 L Buah Aerob dan anaerob 0,563 L Sampah kota Aerob dan anaerob 0,3425 L

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa produksi biogas terendah yaitu produksi biogas dengan bahan baku sayuran. Hal ini terjadi karena sayuran mengandung serat yang tinggi sehingga menyebabkan produksi dari biogasnya rendah. Serat adalah bahan yang sulit untuk terdegradasi.

Pengolahan 1 ton sampah sayur memerlukan air sebanyak 1000 liter dan EM4 sebanyak 1 liter. Kebutuhan kotoran sapi untuk penambahan pada proses anaerob yaitu sebanyak 536,02 liter. Gas yang diperoleh sebesar 2900,15 liter.

Analisis ekonomi untuk pembuatan biogas dengan metode yang dilakukan pada penelitian ini antara lain investasi yang dilakukan meliputi kegiatan pembelian EM4, aerator, biodigester, pengangkutan sampah dan kotoran sapi, penggalian lubang tempat biodigester, pembuatan alat untuk proses aerob, pemasangan batu bata, plester dan acian untuk bak pencampur, pemasangan biodigester.

Analisis biaya investasi untuk pekerjaan menggali lubang, pembuatan alat untuk proses aerob, pemasangan batu bata, plester dan acian untuk bak pencampur, pemasangan biodigester dan biaya untuk pengangkutan sampah dan kotoran sapi didasarkan pada analisa harga satuan pekerjaan dengan pendekatan harga satuan pekerjaan teori dan lapangan disesuaikan dengan daerah yang akan digunakan sebagai tempat untuk proses pembuatan biogas.

2. COD

Selama proses fermentasi, substrat akan mengalami penurunan jumlah bahan organik yang dikandungnya, sehingga nilai COD juga akan mengalami penurunan. Besarnya nilai penurunan COD tergantung pada banyaknya bahan organik yang terdekomposisi menjadi biogas. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar penurunan nilai COD maka dapat menjadi indikator besarnya volume biogas yang dihasilkan. Besarnya penurunan nilai COD pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 18, 19 dan 20. 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 20 25 30 C/N rasio CO D ( m g /L ) Awal Akhir

Gambar 18. Penurunan nilai COD pada suhu 30°C

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 20 25 30 C/N rasio CO D ( m g /L ) Awal Akhir

Gambar 19. Penurunan nilai COD pada suhu 35°C 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 20 25 30 C/N rasio CO D ( m g /L ) Awal Akhir

Gambar 20. Penurunan nilai COD pada suhu 40°C

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan COD terbesar terjadi pada suhu 35oC dan C/N rasio 30 yakni dengan terjadinya penurunan COD sebesar 5000 mg/L, sedangkan penurunan terkecil terjadi pada suhu 20oC dengan terjadinya penurunan sebesar 1700 mg/L. COD merupakan salah satu parameter terjadinya pendegradasian selama proses. Semakin besar terjadinya penurunan COD, maka semakin besar pula terjadinya produksi biogas. Begitu juga sebaliknya, semakin kecil penurunan nilai COD maka semakin kecil pula terjadinya produksi biogas. Hasil pengamatan COD juga dapat mengindikasikan bahwa pada suhu 35°C dengan C/N rasio 30 menghasilkan volume biogas tertinggi. Volume biogas terendah dihasilkan pada pada suhu inkubasi 30°C dengan C/N rasio 20.

Uji ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa suhu dan C/N rasio memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap penurunan nilai COD. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada suhu 30 dan 40oC tidak memberikan pengaruh secara signifikan pada penurunan nilai COD, begitu

juga dengan suhu 40 dan 35oC. C/N rasio 20 dan 25 tidak memberikan pengaruh secara signifikan, sedangkan C/N rasio 25 dan 30 memberikan pengaruh secara signifikan terhadap nilai COD begitu juga dengan C/N rasio 20 dan 30 yang memberikan pengaruh secara signifikan terhadap nilai COD.

3. VFA

VFA (Volatile Fatty Acid) juga merupakan parameter untuk membuktikan terjadinya perombakan selama proses pembentukan biogas. Analisis ini dilakukan pada awal dan akhir fermentasi agar dapat mengetahui nilai kenaikan atau penurunan yang terjadi selama proses. Nilai VFA cenderung mengalami kenaikan karena pada proses anaerobik masih terjadinya tahap asetogenesis, yaitu terjadinya proses perombakan senyawa organik menjadi asam lemak menguap selama proses.

Selama fermentasi anaerobik terjadi pembentukan asam lemak menguap (VFA), asam asetat, etanol, dan senyawa lainnya dari monomer hasil fermentasi polimer organik. Nilai VFA pada setiap perlakuan baik awal dan akhir proses anaerobik disajikan pada Gambar 21, 22 dan 23.

0 2 4 6 8 20 25 30 C:N r as io VF A ( m g/ l) awal akhi r

0 5 10 15 20 25 30 C:N rasio VF A ( m g /l ) awal akhir

Gambar 22. Kenaikan nilai VFA pada suhu 35oC

0 2 4 6 8 10 20 25 30 C:N ras io VF A ( m g /l ) awal akhi r

Gambar 23. Kenaikan nilai VFA pada suhu 40oC

Pada suhu 30oC, kenaikan VFA terbesar terjadi pada C/N rasio 25 (4,5 mg/l) dan pada C/N 20 kenaikan VFA hanya sebesar 3,45 mg/l. Pada suhu 35oC, kenaikan terbesar terjadi pada C/N rasio 30 (9,75 mg/l) dan pada C/N rasio 20 kenaikan VFA hanya sebesar 5,25 mg/l. Pada suhu inkubasi 40oC, kenaikan terbesar terjadi pada C/N rasio 20 (5,2 mg/l) dan kenaikan terendah terdapat pada C/N rasio 30 yakni sebesar 4,8 mg/l.

Dari data yang diperoleh diketahui bahwa kenaikan VFA terbesar terdapat pada suhu 35oC dengan C/N rasio sebesar 30 dan kenaikan VFA terkecil terdapat pada suhu 30oC dengan C/N rasio 20. Hal ini berarti

bahwa pada suhu 35oC dengan C/N rasio 30 telah terjadi perombakan yang lebih besar bila dibandingkan dengan variasi perlakuan yang lainnya. Semakin banyak senyawa organik yang terdekomposisi, maka semakin banyak pula biogas yang diproduksi. Begitu juga sebaliknya, semakin sedikit senyawa organik yang terdekomposisi, maka semakin sedikit pula biogas yang diproduksi.

Uji ANOVA pada taraf 5% menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh nyata pada nilai VFA, sedangkan C/N rasio dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai VFA. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa suhu 30oC dan 40oC tidak memberikan pengaruh secara signifikan terhadap nilai VFA, sedangkan pada suhu 35oC ada pengaruh secara signifikan terhadap nilai VFA. C/N rasio 20 dan 25 tidak memberikan pengaruh secara signifikan, begitu juga dengan C/N rasio 25 dan 30, sedangkan C/N rasio 20 dan 30 memberikan pengaruh yang signifikan.

Dokumen terkait