• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Pola Pengasuhan Anak Pemilik Warteg

4. Pendidikan Formal

Setiap anak wajib dan berhak mengikuti pendidikan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar yang dimaksud dihususkan pada pendidikan formal, yakni dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Anak pemilik warteg memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya untuk mengikuti pendidikan formal. Dalam hal pendidikan, para pemilik warteg membebaskan anak untuk sekolah dimanapun. Untuk Sekolah Dasar biasanya anak memilih sekolah yang lokasinya dekat dari rumah,

69

karena agar mudah untuk berangkat sekolah. Bisa sendiri ataupun dengan teman dekat rumahnya yang sekolah di tempat yang sama. Umumnya para pemilik warteg memiliki keinginan untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang tinggi, namun keinginan ini tidak terlalu kuat. Semuanya dikembalikan ke anak. Jika anak mau lanjut sekolah orangtua mau membiayai, tapi jika anak memutuskan untuk berhenti sekolah orangtua pun tidak memaksakan dan tidak mempermasalahkan. Seperti yang diutarakan oleh Ibu Kurniti sebagai berikut :

“... nyong ora maksa anak pan sekolah duwur apa ora. Nyong pengine

si bocah sekolah sing duwur. Tapi angger bocahe ora gelem ya ora tak paksa. Aziz, anake aku sing nomer telu wis lulus SMK langsung njaluk

kerja. Jare pan ndaftar neng toyota apa neng ndi kuwe mba “

“...saya tidak memaksa anak mau sekolah tinggi atau tidak. Saya penginnya sih anak sekolah yang tinggi. Tapi kalau anaknya tidak mau ya tidak saya paksa. Aziz, anak saya yang nomer tiga sudah lulus SMK langsung minta kerja. Katanya mau ndaftar di toyota atau dimana gitu mba “(wawancara pada tanggal 19 Maret 2013)

Penuturan orangtua pemilik warteg diatas menunjukkan bahwa ada keinginan para orangtua untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi, namun keinginan ini tidak dibarengi dengan tindakan membujuk dan memotivasi anak untuk melanjutkan sekolahnya. Orangtua terkesan menerima dan pasrah saja jika anaknya tidak lagi mau sekolah.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan anak pemilik warteg yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, umumnya mereka tidak memiliki keinginan untuk berprofesi sebagai pemilik warteg seperti orangtua mereka. Ketika ditanya tentang cita-cita, anak pemilik warteg ada yang bercita-cita menjadi Dokter, Polwan, Guru, dan sebagainya. Apa yang

diutarakan anak-anak pemilik warteg saat duduk di bangku Sekolah Dasar dapat saja berubah. Ketika mereka sudah mulai besar, merasa enak membantu orangtua bekerja di warteg dan mendapatkan uang, anak akan malas sekolah. Mereka berpikir untuk apa sekolah, membantu orangtua bekerja di warteg juga bisa menghasilkan uang. Orang-orang yang sekolah tinggi sekarang pun belum jaminan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sebagian kecil anak pemilik warteg ada yang melanjutkan sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi yakni perguruan tinggi. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Muhayah, Kepala Sekolah SDN Margadana 3 sebagai berikut :

“ Ada anak warteg yang kuliah mba, ada yang sudah sarjana. Yang mau melanjutkan sekolah tinggi biasanya itu anak-anak pemilik warteg yang lingkungan keluarga atau tempat tinggalnya dengan orang-orang atau saudara-saudaranya nya yang berpendidikan, misalnya saja guru. Lingkungan mendorong anak untuk lanjut kuliah, anak juga termotivasi dan akhirnya mau kuliah. Setelah jadi sarjana juga ada mba yang akhirnya tetap bekerja di warteg juga “(wawancara pada tanggal 14 Maret 2013)

Motivasi belajar anak pemilik warteg sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan orang-orang disekitar tempat tinggalnya. Untuk motivasi belajar anak disekolah, disampaikan oleh Ibu Muhayah sebagai berikut :

“ Motivasi belajar anak pemilik warteg terbilang rendah. Anak cenderung acuh tak acuh, mungkin karena orangtua hanya memantau dan menyuruh anak belajar sebatas lewat telepon. Motivasi belajar anak sangat bergantung dari motivasi yang diberikan oleh sekolah. Sekolah mengupayakan bagaimana caranya agar anak bisa belajar. Misal dengan membiasakan mengerjakan tugas, memberi PR, memberikan jam belajar tambahan di sore hari. “(wawancara pada tanggal 14 Maret 2013)

71

Usia anak-anak Sekolah Dasar yakni sekitar 6-12 tahun, usia dimana anak masih sangat membutuhkan bimbingan dari orangtuanya untuk belajar, anak perlu disuruh dan diingatkan berkali-kali untuk belajar. Mendampingi anak saat belajar sangat efektif untuk mengawasi dan membantu anak ketika mengalami kesulitan dalam belajar. Kegiatan menemani anak belajar ini tidak dapat dilakukan oleh para orangtua yang berprofesi sebagai pemilik warteg. Seperti yang diutarakan oleh Viona Putri Larasati yang masih duduk di kelas 5 SD sebagai berikut :

“ Ibu kalo nelpon seringe nyuruh aku belajar, kalau ada PR jangan lupa dikerjain. Biasanya si kalo belajar aku sendiri mba, kalau ada PR yang susah nanti tanya sama om. Aku tinggale sama mbah kakung sama om juga si “(wawancara pada tanggal 27 Maret 2013)

Para pemilik warteg memantau seluruh kegiatan anaknya sehari-hari sebatas melalui telepon, ini jelas tidak banyak membantu anak khususnya dalam hal belajar. Anak tidak bisa menanyakan PR nya pada orangtua melalui telepon, dan kalaupun bisa belum tentu orangtua dapat menjawab pertanyaan anak. Anak pemilik warteg umumnya belajar sendiri, jika mengalami kesulitan anak meminta bantuan orang rumah yang sekiranya bisa mengajarinya yakni dengan kakak/paman/bulik. Anak pemilik warteg yang hanya tinggal dengan kakek/neneknya akan sangat kesulitan ketika tidak dapat mengerjakan PR, jadi belajar atau tidaknya anak pemilik warteg di rumah bergantung dari kesadaran anak itu sendiri, karena orangtua yang seharusnya siap sedia mendampingi anak belajar tidak ada di rumah. Anak

pemilik warteg jadi malas belajar , karena notabene anak-anak usia Sekolah Dasar lebih senang dan lebih memilih bermain ketimbang belajar.

Dalam hal kedisiplinan di sekolah, anak pemilik warteg terbilang kurang disiplin. Seperti yang diutarakan oleh Ibu Susi Purwanti, guru di SDN Cabawan 1 sebagai berikut :

“ Anak-anak pemilik warteg itu kurang disiplin mba, biasanya terlambat kalau berangkat sekolah. Memang tidak semuanya. Tapi pasti ada yang terlambat, entah itu dua atau tiga orang. Parahnya itu kalau mau ujian, terkadang dari sekolah sampai mengirimkan guru ke rumah anak untuk membangunkan anak, atau sehari sebelumnya minta tolong tetangga rumah anak untuk membangunkan anak. Biasanya yang seperti itu yang di rumah hanya sama mbahnya. Mbahnya itu nggak tau kalau anak mau ujian, jadi pas anak tidak mau bangun dibiarkan saja. Tapi anak ya nggak bisa disalahkan mba, usia-usia segitu ditinggal orangtua ke kota “(wawancara pada tanggal 18 Maret 2013)

Ibu Susi Purwanti dan guru-guru SD lainnya di Kecamatan Margadana yang memiliki siswa dengan orangtua berprofesi sebagai pemilik warteg harus mengetahui betul kondisi anak agar benar-benar dapat membantu dan memotivasi anak dalam belajar.

Kesulitan belajar biasanya dialami oleh anak-anak pemilik warteg yang masih duduk di kelas 1-3 SD. Anak-anak ini masih sering ikut orangtuanya ketika bekerja ke luar kota. Ada yang ikut selama satu minggu, bahkan ada yang sampai 3 atau 4 bulan. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Muhayah sebagai berikut :

“ Anak-anak warteg yang masih kecil, kelas 1 sampai 3 biasanya itu nangis kalau ditinggal orangtuanya kerja, minta ikut. Orangtuanya nggak tega mba, akhirnya diajak. Kalau sudah kembali ke Tegal anak ketinggalan pelajaran. Misal, sebelum ikut orangtua ke luar kota anak sudah bisa baca. Setelah kembali dari ikut orangtuanya, anak sudah lupa lagi ” (wawancara pada tanggal 14 Maret 2013)

73

Kerjasama antara pihak sekolah dengan orangtua murid diperlukan untuk mengkomunikasikan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan sekolah anak. Seperti kasus diatas, pihak sekolah beberapa kali mencoba menghimbau orangtua untuk tidak membawa anaknya turut serta bekerja di luar kota. Himbauan diberikan ketika ada pertemuan orangtua/wali murid. Namun hal ini tidaklah mudah karena orangtua pemilik warteg jarang hadir ketika ada pertemuan, diwakilkan oleh agen sosialisasi pengganti anak. Agen sosialisai pengganti pun umumnya berpendidikan rendah, sehingga sangat sulit untuk memberikan pengertian dan pemahaman.

Dokumen terkait