BAB II LANDASAN TEORI
F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah suatu
gerakan inovasi yang berusaha memperbaiki kualitas pendidikan matematika
di Indonesia, terutama pendidikan matematika di sekolah. PMRI yang sedang
mulai diimplementasikan pada beberapa SMP merupakan hasil adaptasi dari
Realistic Mathematic Education (RME). PMRI mempunyai banyak kesamaan
dengan RME, namun ada beberapa perbedaan dikarenakan konteks budaya
dan lingkungan yang berbeda.
Landasan filosofi PMRI juga mengacu dari pendapat Hans Freudenthal
yang mengemukakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human
activity), bukan sesuatu yang sudah ada dan ditemukan dengan mencari, tetapi
sesuatu yang dibangun secara aktif dari pengalaman. Matematika harus
dikaitkan dengan dunia nyata. Konteks dunia nyata kemudian dipakai sebagai
sumber pengembangan konsep dan sebagai lahan aplikasi, melalui proses
matematisasi, baik horizontal maupun vertical (de Lange, 1987 dalam makalah
PMRI tidaklah identik dengan RME. Prinsip dalam PMRI mengacu dari
prinsip-prinsip RME yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Adapun beberapa
karakteristik PMRI adalah sebagai berikut :
Treffers (1987) (dalam Ariyadi 2012 : 21) merumuskan lima
karakteristik Pendidikan Matematika Realistik yang juga dipakai sebagai
karakteristik PMRI, yaitu :
a. Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia
nyata, namun bias dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga,
atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan
dalam pikiran siswa.
b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam
melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi
sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat
konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.
c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Mengacu pada pendapat Hans Frudenthal bahwa matematika tidak
diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi
sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa, maka dalam Pendidikan
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi
pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang
bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk
landasan pengembangan konsep matematika.
d. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu
melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses
belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa
saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.
e. Keterkaitan
Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun
banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu,
konsep-konsep matematika tidak diperkenalkan kepada siswa secara
terpisah atau terisolasi satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik
menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika
sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.
Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa
mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara
bersamaan.
Sedangkan Marpaung (2008) menjabarkan karakteristik PMRI sebagai
berikut :
Menurut Freudenthal, penggagas pembelajaran realistik,
matematika adalah aktivitas manusia (human activity). Itu berarti, bahwa
ide-ide matematika ditemukan orang (pebelajar) melalui kegiatan/
aktivitas. Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif
berpikir (kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan
lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak, abstrak) dan tubuh (jasmani,
konkrit atau real).
b. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah
kontekstual/ realistik
Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila
dia melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau melihat
manfaat matematika bagi dirinya. Salah satu manfaat itu ialah dapat
memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi masalah kontekstual atau
realistik adalah masalah yang berkaitan dengan situasi dunia nyata (real)
atau dapat dibayangkan oleh siswa.
c. Berikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara
sendiri (siswa mengembangkan strategi sendiri)
Suatu masalah tidak hanya dapat diselesaikan dengan satu cara,
melainkan dapat menggunakan banyak cara. Cara-cara tersebut sangat
tergantung pada struktur kognitif siswa (pengalamannya). Guru tidak
perlu mengajari siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah. Mereka
harus berlatih menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya. Dalam
informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa untuk dilalui.
Itupun dilakukan jika semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana
menyelesaikan masalah.
d. Guru berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
Dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menghargai
anak-anak sebagai manusia maka perlahan-lahan sikap dan motivasi
siswa dapat dikembangkan dan hal ini akan memberikan dampak
meningkatkan prestasi belajar mereka.
e. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam
kelompok (kecil atau besar)
Belajar dengan bekerja sama (sinergi) lebih efektif dari pada
belajar secara individual. Memang harus diakui bahwa ada banyak tipe
belajar, ada yang lebih senang belajar individual, ada yang lebih senang
belajar dalam kelompok; ada yang cenderung visual, ada yang auditif,
ada yang kinestetik (enaktif). Saling tukar informasi penting untuk
memahami sesuatu. Informasi yang bertentangan dengan yang dimiliki
seseorang dapat membuat pemahaman orang itu terhadap suatu masalah
menjadi lebih baik. informasi yang baru dapat menyebabkan informasi
lama ditransformasi. Tugas guru membantu siswa agar informasi baru
dapat memperkuat atau memperbaiki pengetahuan yang dia miliki. Maka
interaksi dan negosiasi sangat perlu dalam pembelajaran matematika.
dengan guru merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan
efektif.
f. Pembelajaran tidak perlu selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di
lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data)
Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau
berbuat sesuatu, termasuk untuk berpikir. Orang memerlukan variasi
untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik.
Variasi ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam
belajar. Susunan tempat duduk yang sama terus menerus, suasana ruang
yang sama terus menerus, cara belajar di kelas yang sama terus menerus,
dan penampilan guru yang sama terus menerus menimbulkan rasa bosan
pada siswa. Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan
variasi pembelajaran: variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi
kelas, variasi penampilan guru, variasi metode pembelajaran dan
sebagainya. Perlu ada perencanaan yang dilakukan oleh guru, kalau
perlu dengan meminta usul dan saran dari siswa.
g. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi
Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi. Siswa
perlu belajar untuk mengemukakan idenya kepada orang lain
(kawan-kawannya atau gurunya), supaya mendapat masukan berupa informasi
yang melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki atau meningkatkan
kualitas pemahamannya. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang
kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah,
jangan menertawakan, tetapi menghargai pendapatnya.
h. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur
kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan
model)
Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya
menggunakan berbagai modus representasi (enaktif, ikonik atau
simbolik) untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah. Dalam
pembelajaran matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat
dibawa ke level formal, tetapi diberi banyak waktu bermain atau berbuat
dengan menggunakan benda-benda konkrit, manipulatif atau
model-model.
i. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani)
Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari
siswa atau mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam
belajar. Guru dapat membimbing siswa jika mereka melakukan
kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau
sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari
strateginya menyelesaikan masalah.
j. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan
dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan.
Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi
membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan
sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan siswa
(Caine, et al., 2005). Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan
lewat ancaman atau hukuman, tetapi dapat lewat sikap empatik,
penghargaan atau pujian.