i
IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK INDONESIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI KELAS VIIIC SMP BOPKRI 3 YOGYAKARTA PADA
MATERI PERSAMAAN GARIS LURUS TAHUN AJARAN 2012/2013
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Disusun Oleh :
Bernadeta Yunita Kurniasari
NIM : 081414020
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
…..Ku persembahkan karya ini bagi orang
-orang yang
mempunyai tempat di hatiku…….
Teruntuk :
...Tuhan Yesus Kristus
yang selalu setia menemanikudalam setiap langkah kehidupanku,
selalu mendengarkan keluh kesahku,
selalu memberi penguatan,
dan mengabulkan doa serta permohonanku.
...Bapak dan Ibuku Tercinta
yang telah mendidik, merawat,
dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan cinta.
…..
Dik Bagus dan Dik Luci
yang selalu memberikan keceriaandi tengah keluarga.
…..
Sahabat-sahabatku
yang selalu memberi warna dalam hidupku....Almamaterku Universitas Sanata Dharma
yang telah memberikanvi
ABSTRAK
Bernadeta Yunita Kurniasari, 2013. Pengamatan terhadap Implementasi Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dalam Proses Pembelajaran Matematika di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada Materi Persamaan Garis Lurus Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pendekatan PMRI dan halangan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada materi persamaan garis lurus di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC dan guru SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Instrumen penelitian yang digunakan sebagai alat dalam mengumpulkan data terdiri dari : (1) Lembar pengamatan, (2) Lembar wawancara guru, (3) Alat dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian ditranskripsikan dan dianalisis dengan metode kualitatif deksriptif yaitu dengan menyimpulkan hasil pengamatan secara keseluruhan dengan cara kualitatif.
Hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus belum sepenuhnya mengimplementasikan PMRI, Hal itu dikarenakan beberapa karakteristik dalam PMRI belum nampak secara optimal. Guru sudah memunculkan permasalahan kontekstual, namun hal itu belum optimal sebab siswa tidak diberi kesempatan untuk mengekplorasi pemikirannya. Dalam pembelajaran juga tidak nampak pemodelan yang diharapkan. Guru menggunakan hasil pekerjaan siswa untuk menunjukkan konsep yang hendak dituju, namun kegiatan pembelajaran masih cenderung berpusat pada guru. Interaksi yang terjadi di kelas juga masih belum optimal. Siswa tidak terbiasa untuk mengungkapkan hasil pekerjaannya di depan kelas. Siswa cenderung pasif dan hanya menunggu pembahasan dari guru. Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan yang sudah di dapat siswa pada tahapan pembelajaran sebelumnya. Hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI adalah : (1) Keterbatasan waktu, (2) Kurangnya ketersediaan materi dari tim PMRI, (3) Kemampuan siswa yang cenderung menengah ke bawah, (4) Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana.
Kata kunci : Implementasi, Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
vii
ABSTRACT
Bernadeta Yunita Kurniasari, 2013. Observations on the Implementation of PMRI in the Learning Process of Mathematics in Junior High School Class VIIIC BOPKRI 3 Yogyakarta on the Material Straight Line Equation in Academic Year 2012/2013. Thesis. Mathematics Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.
This research is aimed to know the implementation of PMRI approach and add the obstacles faced by teachers in implementing PMRI on a straight-line equation material in class C of the grade VIII SMP BOBKRI 3 Yogyakarta in the academic year 2012/2013. The subjects of this research were the students of class C of the grade VIII and the mathematic teachers of SMP BOBKRI 3 Yogyakarta academic year 2012/2013. The research instruments used in collecting data consists of: (1) observation sheet, (2) teacher interviews sheet, (3) documentation tool. The data were obtained then transcribed and analyzed using descriptive qualitative method by concluding the overall observations qualitatively.
The result of the observation showed that the learning of mathematics in class C of the grade VIII SMP BOBKRI 3 Yogyakarta on a straight-line equation material have not been fully implemented PMRI. The reason was, some characteristics of the PMRI did not seem optimal. Teachers already generating contextual issues, but it was not optimal because the students were not given the opportunity to explore their thoughts. In the learning process there were no expected modeling study. Teachers used the results of student work to demonstrate the intended concept, but still learning activities tend to be centered on the teacher. Interactions that occur in the classroom was still not optimal. Students were not used to express the results of his work in front of the class. Students tend to be passive and just wait for the discussion of teachers. Teacher associated learning with existing knowledge to students in the earlier stages of learning. Barriers faced by teachers in implementing PMRI are: (1) Lack of time, (2) lack of availability of material from PMRI team, (3) ability students tend to lower middle, (4) lack of availability of facilities and infrastructure.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa melimpahkan kasih karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan di Program Studi Pendidikan
Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Selama proses penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu,
mendukung, membimbing dan memotivasi penulis. Oleh karena itu, melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
3. Bapak Dr. M. Andy Rudhito, S.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Matematika.
4. Ibu Veronika Fitri Rianasari, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Paryadi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMP BOPKRI 3 Yogyakarta
x
6. Ibu Dra. Adjeng selaku guru matematika kelas VIIIC SMP BOPKRI 3
Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan selama peneliti
melakukan penelitian.
7. Segenap dosen dan karyawan Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing,
membantu serta memberikan ilmunya kepada penulis selama belajar di
Universitas Sanata Dharma.
8. Keluarga yang selalu mengasihi dan mendukung penulis dengan caranya
masing-masing, Bapak Benediktus Basuki, Ibu Margaretha Dwi Sumartini, dik
Aloysius Bagus Cahyadi, dan dik Lucia Tri Kurnia Murti.
9. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu dan mendukung penulis:
Patricia Endah, Odilia Rani, Agustina Windarwanti, Florentina Erna, Gracia
Anggia, Rosiana Monika, Katarina Fitriyani, dan Putri.
10.Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2008.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak
kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun peneliti
selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang matematika realistik.
Yogyakarta, Agustus 2013
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah... 3
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Pembatasan Istilah ... 4
E. Pembatasan Masalah ... 6
F. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II LANDASAN TEORI ... 8
A. Teori-Teori Belajar ... 8
xii
2. Teori Bruner ... 10
B. Pengertian Belajar ... 14
C. Pembelajaran Matematika Kontekstual ... 15
D. Teori Konstruktivisme ... 16
E. Realistic Mathematic Education (RME)... 17
F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) ... 22
G. Standar PMRI ... 29
H. Hambatan dalam Pembelajaran ... 31
I. Kerangka Berpikir ... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35
A. Jenis Penelitian ... 35
B. Subyek Penelitian ... 35
C. Tempat dan Waktu Penelitian... 35
D. Bentuk Data dan Metode Pengumpulan Data... 36
E. Instrumen Penelitian ... 36
F. Metode Analisis Data ... 38
G. Langkah-Langkah Kerja Penelitian ... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 44
A. Deskripsi SMP BOPKRI 3 Yogyakarta ... 44
B. Pelaksanaan Penelitian ... 45
C. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika dan Proses Pengamatan .... 46
xiii
2. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan
Kedua ... 58
3. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Ketiga... 71
4. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Keempat ... 81
5. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Kelima ... 94
6. Gambaran Proses Tes Pada Pengamatan keenam ... 108
D. Analisis Pembelajaran Berdasarkan Karakteristik Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia ... 109
1. Penggunaan Konteks ... 109
2. Penggunaan Model Untuk Matematisasi Progresif ... 113
3. Pemanfaatan Hasil Konstruksi Siswa ... 114
4. Interaktivitas ... 121
5. Keterkaitan ... 124
E. Analisis Hasil Wawancara dengan Guru Mengenai Hambatan yang Dihadapi Guru dalam Mengimplementasikan PMRI ... 127
F. Analisis Soal Ulangan Harian Persamaan Garis Lurus ... 133
G. Pembahasan Implementasi Karakteristik PMRI ... 135
H. Pembahasan Hambatan dalam Menerapkan PMRI ... 139
xiv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141
A. Kesimpulan ... 141
B. Saran ... 144
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Matematika sebagai sebuah ilmu sering kali tidak mendapatkan tempat
dan minat dalam diri siswa untuk mempelajarinya. Matematika bahkan
menjadi momok yang ditakuti oleh para siswa, mulai dari SD, SMP, SMA,
bahkan sampai ke perguruan tinggi. Situasi tersebut dipicu oleh sejumlah
anggapan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa pelajaran matematika
dianggap sebagai ilmu yang abstrak. Anggapan ini muncul dikarenakan cara
guru dalam menyampaikan materi yang sulit diterima oleh siswa.
Kecenderungan guru dalam mengajar adalah dengan mengedepankan guru
sebagai sumber ilmu. Hal ini membuat siswa tidak lagi mempunyai ruang
untuk mengembangkan daya berpikir dan analisis mereka dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, terutama pada pelajaran
matematika. Sedangkan, pengetahuan selalu merupakan hasil kegiatan
mengkonstruksi, tak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima
secara pasif (Von Gaserfeld, 1992; Suparno 1997). Pengetahuan harus
dibangun sendiri secara aktif oleh setiap orang yang ingin mengetahui. Guru
harus mampu membuat siswa aktif sedemikian sehingga peran guru menjadi
Bertolak dari permasalahan di atas, pada tahun 2001 Indonesia mulai
mengembangkan suatu pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang
disebut dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang
diadaptasi dari teori belajar Realistic Mathematics Education (RME) yang
sudah berkembang di Belanda. RME muncul dari ide seorang ahli matematika
bernama Hans Freudenthal yang mengemukakan bahwa matematika adalah
aktivitas manusia, bukan sesuatu yang sudah ada yang dapat ditemukan
dengan mencari, namun sesuatu yang dibangun secara aktif dari pengalaman.
Oleh karena itu siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, dan
pembelajaran haruslah dimulai dari masalah-masalah yang realistik atau nyata
bagi siswa. PMRI tidak sama dengan RME, keduanya memiliki karakteristik
yang berbeda karena perbedaan budaya dan realitas di kedua negara tersebut,
namun demikian keduanya memiliki landasan yang sama.
PMRI mulai bergerak untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia
sejak tahun 2001 di 12 SD/MIN di tiga kota di Jawa yang dipelopori oleh 4
perguruan tinggi, yaitu : Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri
Surabaya, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Berbagai upaya terus dilakukan pada sekolah mitra tim PMRI
maupun yang belum bermitra untuk meningkatkan kemampuan guru dalam
mengajar matematika. Upaya tersebut antara lain dengan mengadakan
pelatihan, seminar matematika, dan juga workshop untuk guru matematika
Kini setelah 12 tahun PMRI diterapkan di Indonesia, sudah banyak
SD/MIN yang menjadi mitra PMRI. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya
berada di pulau Jawa saja, namun sudah tersebar hampir di seluruh bagian di
Indonesia. Selama 12 tahun tersebut, sudah banyak siswa-siswi dari SD/MIN
yang menerapkan PMRI telah lulus dan melanjutkan ke jenjang SMP/MTs.
Oleh sebab itu, pada tahun 2010, PMRI mulai diperkenalkan pada guru-guru
SMP/MTs, supaya siswa-siswi yang berasal dari SD/MIN yang sudah
mengenal cara pembelajaran PMRI, dapat melanjutkan cara belajar dengan
PMRI di SMP/MTs. Beberapa sekolah SMP/MTs di Yogyakarta dirangkul
untuk menjadi mitra dari tim PMRI Universitas Sanata Dharma. SMP
BOPKRI 3 Yogyakarta adalah salah satu SMP di Yogyakarta yang menjadi
mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma, dan telah beberapa kali
mengikuti pelatihan serta workshop PMRI.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian mengenai “PENGAMATAN TERHADAP IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI
SMP BOPKRI 3 YOGYAKARTA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
1. Bagaimana karakteristik PMRI direalisasikan dalam kegiatan
pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta
sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta?
2. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkan
PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP
BOPKRI 3 Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini
bertujuan untuk :
1. Mengetahui realisasi karakteristik PMRI dalam kegiatan
pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta
sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi oleh guru dalam
menerapkan PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas
VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta.
D. Pembatasan Istilah
Pada penelitian ini, terdapat istilah yang harus dibatasi. Tujuan dari
pembatasan istilah ini adalah untuk menjelaskan istilah-istilah yang digunakan
oleh peneliti, supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Istilah-istilah yang akan
1. Belajar adalah suatu aktivitas dan pengalaman yang dilakukan oleh
individu terhadap lingkungan yang melibatkan proses kognitif, yang
menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan,
dan nilai sikap.
2. Implementasi adalah penerapan. Implementasi PMRI adalah penerapan
PMRI dalam pembelajaran matematika yang dilihat dari penerapan
karakteristik PMRI.
3. Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang untuk belajar.
Pembelajaran dalam dunia pendidikan dapat dituliskan sebagai suatu
kegiatan yang utuh antara guru sebagai pengajar dengan siswa sebagai
pelajar untuk sama-sama belajar.
4. Hambatan adalah halangan atau rintangan. Hambatan dalam pembelajaran
adalah halangan atau rintangan yang ada dalam proses pembelajaran, baik
itu halangan guru dalam mengajar, ataupun halangan siswa dalam belajar.
5. Pendekatan adalah cara umum memandang suatu masalah atau objek
kajian (Marpaung; 1992).
6. PMRI adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran
matematika pada beberapa sekolah di Indonesia yang diadaptasi dari
Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan di Belanda
E. Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini masalah yang akan dibahas dibatasi pada realisasi
karakteristik PMRI dan hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkan
PMRI pada proses pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Bopkri 3
Yogyakarta pada materi Persamaan Garis Lurus, sebagai mitra tim PMRI
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai
penerapan PMRI dalam kegiatan pembelajaran dan mengetahui hambatan
yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan PMRI di sekolah, sehingga
nantinya dapat digunakan oleh peneliti sebagai bekal menjadi calon
seorang guru untuk memperbaiki penerapan PMRI dan mengatasi
hambatan dalam penerapannya.
2. Bagi Guru
Bagi guru, penelitian ini dapat membantu guru untuk mengetahui, menilai,
dan mengevaluasi sejauh mana PMRI diterapkan dalam pembelajaran
matematika dan hambatan apa saja yang ditemui pada saat menerapkan
3. Bagi Universitas
Bagi Universitas, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi untuk lebih membina dan memperhatikan perkembangan mitra
tim PMRI Universitas Sanata Dharma dalam mengimplementasikan PMRI
pada pembelajaran matematika, sehingga PMRI dapat direalisasikan
dengan baik.
4. Bagi Pembaca
Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Teori – Teori Belajar
1. Teori Piaget
Dalam Teori Piaget yang berhubungan dengan proses berpikir
sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual
kongkrit ke abstrak (dalam Hudojo 1981), sangat bermanfaat bagi teori
belajar dari segi perkembangan kognitif. Piaget mengelompokkan tahap
perkembangan intelektual manusia menjadi empat tahap, yaitu :
a. Tahap sensori-motor (0-2 tahun)
b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)
c. Tahap operasional kongkrit (7-11 tahun)
d. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas)
Teori Piaget (dalam Hudojo 1981) menjelaskan perkembangan
intelektual sebagai suatu proses asimilasi dan akomodasi terhadap
informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah proses dimana
informasi dan pengalaman baru menyatukan diri ke dalam struktur mental.
Adapun akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali pikiran sebagai
akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Jadi pikiran itu tidak hanya
menerima informasi baru tetapi pikiran itu menstrukturkan kembali
Piaget (dalam Hudojo 1981) mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi perkembangan intelektual, yaitu :
a. Pertumbuhan psikologis dari otak dan sistem syaraf merupakan
suatu faktor penting di dalam perkembangan intelektual pada
umumnya. Proses pertumbuhan ini disebut kematangan. Piaget
juga mengenal pentingnya pengalaman di dalam pengembangan
intelektual. Piaget mengidentifikasi dua macam pengalaman,
yakni :
1) Pengalaman fisik merupakan interaksi setiap individu dengan
obyek-obyek di lingkungannya.
2) Pengalaman logika matematika (logico-mathematics) adalah
kegiatan mental yang ditampilakn perorangan dan struktur
kognitifnya disusun kembali menurut
pengalaman-pengalamannya.
b. Transmisi sosial adalah interaksi dan kerja sama seseorang
dengan orang lain. Hal ini amat penting bagi perkembangan
logika anak. Piaget percaya bahwa operasi formal tidak akan
berkembang di dalam pikiran tanpa adanya pertukaran dan
koordinasi pendapat di antara orang-orang.
c. Penyetimbangan merupakan proses dimana struktur mental anak
kehilangan stabilitas sebagai akibat pengalaman-pengalaman
akomodasi. Sebagai hasil dari penyetimbangan, struktur mental
berkembang dan menjadi matang.
Bagi Piaget, ketiga faktor di atas mempengaruhi perkembangan
intelektual. Masing-masing faktor itu harus ada agar seorang anak
berkembang dari satu tahap ke tahap berpikir yang lebih tinggi.
2. Teori Bruner
Jerome Bruner (dalam Hudojo 1981 : 29) berpendapat bahwa belajar
matematika yang cocok ialah belajar tentang konsep-konsep dan
struktur-struktur yang terdapat di dalam bahasan yang dipelajari serta mencari
hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Pemahaman terhadap konsep dan struktur sesuatu bahasan menjadikan
bahasan itu lebih komprehensif. Selain itu siswa juga lebih mudah
mengingat materi bahasan itu bila yang dipelajari itu merupakan pola yang
berstruktur. Dengan mengenal konsep dan struktur pada materi, akan
mempermudah siswa untuk memahami materi tersebut.
Di dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan
manipulasi material. Bruner mengungkapkan dalam teorinya (dalam
Hudojo 1981), bahwa dalam proses belajar, sebaiknya siswa diberi
kesempatan untuk memanipulasi benda-benda yang ada (alat peraga).
Melalui alat peraga tersebut, siswa akan melihat secara langsung
bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam alat peraga
belajar sangat dibutuhkan. Siswa akan lebih bersemangat untuk belajar,
ketika proses pembelajaran ini berlangsung di tempat yang dilengkapi
dengan benda-benda yang dapat digunakan untuk manipulasi oleh siswa.
Bruner (dalam Hudojo 1981) mengemukakan bahwa dalam
perkembangannya, siswa akan melalui tiga tahap, yaitu :
a. Tahap Enaktif
Pada tahap ini, siswa dihadapkan langsung pada obyek yaitu
alat peraga matematika yang dapat membantu siswa untuk
memahami materi yang sedang dipelajari. Dengan alat peraga
tersebut, siswa dapat menggunakannya sebagai alat bantu dalam
belajar.
b. Tahap ikonic
Dalam tahap ini, kegiatan siswa akan berkenaan dengan
mental, yang merupakan gambaran dari obyek-obyek (alat peraga).
Pada tahap ini, siswa sudah dapat menggambarkan gambaran dari
sifat-sifat pada benda (alat peraga) tersebut. Misalnya, pada saat
belajar matematika, seorang siswa sudah mampu menggambarkan
suatu benda dari soal cerita untuk kemudian digunakan menjawab
soal cerita, sehingga gambaran tersebut dapat membantu siswa dalam
memahami suatu permasalahan.
c. Tahap simbolik
Pada tahap ini, siswa memanipulasi simbol-simbol dari suatu
dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, siswa telah mampu
menggunakan symbol atau notasi tanpa perlu mengandalkan obyek
real.
Selanjutnya Bruner (dalam Hudojo 1981) merumuskan empat
teorema umum tentang belajar matematika sebagai berikut :
a. Teorema konstruksi
Teorema konstruksi menyatakan bahwa cara terbaik bagi
seorang siswa untuk mulai belajar konsep, prinsip atau aturan di
dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep, prinsip
atau aturan itu. Untuk dapat menciptakan suatu ide atau gagasan
tertentu dalam pikiran siswa, siswa diharuskan untuk menguasai
konsep-konsep terlebih dahulu, dengan cara mencoba melakukannya
sendiri. Sehingga apabila siswa aktif dan terlibat pada kegiatan yang
dilakukan untuk mempelajari dan memahami konsep, maka siswa
akan lebih memahami konsep tersebut.
Menurut Bruner, khususnya anak-anak kecil, mereka harus
mengkonstruksikan sendiri ide-ide tersebut; lebih baik lagi bila siswa
itu menggunakan benda-benda konkrit di dalam merumuskan ide-ide
tersebut. Apabila di dalam merumuskan dan mengkonstruksikan
ide-ide itu, siswa-siswa itu dibantu dengan benda-benda konkrit, mereka
akan cenderung ingat ide-ide itu dan kemudian mengaplikasaikannya
b. Teorema Notasi
Teorema notasi menyatakan bahwa konstruksi permulaan
dibuat lebih sederhana secara kognitif dan dapat dimengerti lebih
baik oleh para siswa jika konstruksi itu merupakan notasi yang cocok
dengan tingkat perkembangan mental siswa. Dengan sistem notasi
tersebut, memungkinkan pengembangan ide-ide yang berupa
prinsip-prinsip dan bahkan kreasi prinsip-prinsip-prinsip-prinsip baru.
c. Teorema kekontrasan dan variasi
Teorema kekontrasan dan variasi menyatakan bahwa prosedur
belajar ide-ide matematika yang berjalan dari konkrit menuju yang
lebih abstrak haruslah disertakan pertentangan dan variasinya. Suatu
konsep matematika biasanya akan berarti bagi siswa bila konsep itu
dibandingkan dengan konsep yang lain.
d. Teorema konektifitas
Teorema konektifitas menyatakan bahwa di dalam matematika,
setiap konsep, struktur dan ketrampilan dihubungkan dengan konsep
struktur dan ketrampilan yang lain.
Dari teorema-teorema tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa harus
berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Bruner mengemukakan
bahwa peran aktif siswa dapat terlaksana di dalam proses belajar apabila
siswa diberi kesempatan untuk menggunakan penemuannya. Dengan
menemukan keteraturan dan pola struktur dalam bahasan yang dipelajari,
hanya sekedar belajar dengan stimulus-respon. Dengan demikian potensi
intelektualnya berkembang. Dengan belajar bagaimana menemukan, siswa
akan lebih mudah mengingat struktur-struktur atau rumus-rumus yang
telah ditemukannya. Dengan demikian faktor memori mendapat perhatian
sepenuhnya dalam proses belajar.
B. Pengertian Belajar
Pengertian belajar menurut beberapa ahli, antara lain :
1. Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan, belajar adalah suatu
perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan
yang diperkuat. (Rebber, dalam Muhibbin 2008 : 66)
2. Belajar dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu
yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan yang melibatkan proses kognitif. (Muhibbin 2008 : 68)
3. Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-nilai
sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. (Winkel 1996 : 53)
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu hal yang baru dalam interaksi dengan lingkungan,
sehingga menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku ke arah yang
C. Pembelajaran Matematika Kontekstual
Matematika kerap dianggap sebagai hal yang abstrak bagi banyak siswa.
Kurangnya keterkaitan antara pelajaran matematika di sekolah dengan
kehidupan sehari-hari siswa, membuat siswa malas dan enggan untuk
mempelajari matematika lebih mendalam. Hal ini mendorong berkembangnya
pemikiran bahwa pembelajaran matematika sebaiknya bersifat kontekstual,
dimana pembelajaran matematika sebaiknya dijalankan dengan menggunakan
konteks pada dunia nyata. Konteks dalam dunia nyata, tidaklah harus selalu
menggunakan peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, namun dapat
juga dengan menggunakan peristiwa atau kejadian yang dapat dibayangkan
dan sesuai dengan tahap perkembangan siswa.
Dalam Suwarsono (2002) manfaat pembelajaran matematika secara
kontekstual, dijabarkan secara eksplisit sebagai berikut :
1. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa
sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak,
namun pembentukan dan pengembangan konsep-konsep tersebut
seringkali berdasar pada fenomena-fenomena yang ada di dunia
nyata.
2. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa
sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak,
banyak diantara konsep-konsep tersebut mempunyai banyak
3. Memberikan pemahaman pada siswa mengenai hal-hal yang terkait
dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Memberikan pemahaman pada diri siswa mengenai aspek-aspek
yang terkait dengan masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang
ada dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana matematika bisa
berperan dalam membantu manusia untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut atau menganalisis peristiwa-peristiwa tersebut.
5. Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari matematika. Ini
didasarkan pada adanya pemahaman pada diri siswa mengenai
manfaat matematika bagi kehidupan sehari-hari mereka.
D. Teori Konstruktivisme
Filsafat konstruktivisme (menurut Von Glaserfeld dalam Bettencourt,
1989) menyatakan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan)
kita sendiri. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang yang
mengetahui kepada mereka yang sedang belajar. Walaupun seorang guru
berusaha sekuat tenaga menjelaskan suatu konsep kepada siswa dan siwa
berusaha memahaminya, namun hasil pemahaman itu tetap berbeda. Dalam
memahami sesuatu, seseorang harus melakukan interpretasi terhadap
informasi yang diterimanya. Kemampuan menginterpretasikan ini
berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Ini memperkuat pendapat
bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari pikiran seseorang ke pikiran
Peran guru yang dibutuhkan oleh siswa dalam membangun konstruksi
berpikirnya adalah dengan memberikan sedikit struktur, petunjuk, dorongan
untuk terus mencoba, dan sebagainya. Terkadang seorang siswa mendapati
kesulitan untuk menyelesaikan suatu masalah secara sendiri, dia akan dapat
menyelesaikannya dengan baik apabila mendapat bantuan dari seseorang yang
lebih dewasa atau berkolaborasi dengan teman yang lebih pandai. Dalam
pemikirannya, siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, tetapi ia
tidak dapat menjelaskannya. Oleh karena itu peran serta guru untuk
mendampingi siswa sangat dibutuhkan.
E. Realistic Mathematic Education (RME)
Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan
pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda, sebagai reaksi
terhadap gerakan matematika modern yang waktu itu dipelopori oleh Negara
Amerika. Dalam Marpaung (2011), Realistic Mathematic Education (RME)
pertama kali dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970, berdasarkan ide dari
Hans Freudenthal seorang ahli matematika di Belanda. Hans Freudental
berpendapat bahwa matematika adalah aktivitas manusia (human activity)(de
Lange, 1999; Gravemeijer; 1994; van den Heuvel-Panhuizzen, 1996; dalam
makalah Marpaung, 2003).
Filosofi RME mengacu dari pendapat Hans Freudenthal yang
mengemukakan bahwa matematika haruslah dikaitkan dengan realita dan
dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Yang
dimaksud dengan aktivitas disini terutama adalah aktivitas mental. Mereka
yang belajar harus aktif merekonstruksi atau menemukan kembali (reinvite)
pengetahuan itu di dalam pikirannya dengan merepresentasikannya dengan
berbagai cara. Atas dasar tersebut, de Lange menggambarkan sifat RME
dalam suatu model sebagai berikut :
Gambar 2.1 Matematisasi konseptual
Dari gambar di atas, hendak dijelaskan bahwa pembelajaran sebaiknya
dimulai dari masalah-masalah yang realistik/kontekstual. Kemudian siswa
diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka
masing-masing, sesuai dengan pola berpikirnya. Siswa kemudian diberi kesempatan
untuk sharing dan mengemukakan hasil pekerjaannya masing-masing. Guru
membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dari hasil pekerjaan siswa.
Secara perlahan siswa dilatih untuk menemukan dan membangun konsep dari
kesimpulan yang telah didapat, dan kemudian digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah kontekstual.
Situasi realistik
Matematisasi dalam aplikasi dan refleksi
Abstrak, formal
Konsep
1. Prinsip - Prinsip Realistic Mathematic Education
a. Menurut Gravemeijer (1994)
Gravemeijer mengungkapkan tiga prinsip utama pendidikan
matematika realistik sebagai berikut :
1) Penemuan Terbimbing dan Matematisasi Progresif (Guided
Reinvention and Progressive Mathematization)
Diupayakan agar dalam mempelajari matematika, siswa
mempunyai pengalaman menemukan sendiri berbagai konsep
dan prinsip, dengan bimbingan guru.
2) Fenomenologi Didaktis (Didactical Phenomenologhy)
Dalam mempelajari konsep dan prinsip pada matematika,
siswa bertolak dari masalah-masalah kontekstual.
3) Mengembangkan Model-model Sendiri (Self-Developedmodel)
Dalam mempelajari konsep, prinsip dan materi matematika
yang bertolak dari permasalahan kontekstual. Karena bermula
dari masalah kontekstual dan akan menuju pada bentuk
matematika formal, maka siswa diberi kebebasan untuk memilih,
menggunakan, dan mengembangkan model penyelesaian yang
akan digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan masalah yang
diberikan.
b. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (1999)
Van den Heuvel-Panhuizen mendeskripsikan prinsip-prinsip RME
1) Prinsip aktivitas (activity principle)
Prinsip aktivitas menyatakan bahwa matematika adalah
aktivitas manusia, sehingga matematika paling baik dipelajari
dengan melakukannya sendiri. Siswa haruslah aktif, baik secara
fisik maupun mental dalam pembelajaran matematika. Siswa
tidak hanya pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru,
tetapi aktif, baik secara fisik maupun secara mental dengan
mengolah dan menganalisis informasi, serta mengkonstruksi
pengetahuan matematika mereka.
2) Prinsip realitas (reality principle)
Prinsip realitas menyatakan bahwa pembelajaran
matematika sebaiknya dimulai dari masalah-masalah dunia nyata
yang dekat dengan pengalaman siswa. masalah realistik lebih
menarik bagi siswa daripada masalah formal. Apabila
pembalajaran dimulai dengan masalah-masalah yang konkrit dan
bermakna bagi mereka, maka siswa akan tertarik untuk belajar.
Kemudian siswa dibimbing ke masalah-masalah matematis
formal.
3) Prinsip penjenjangan (level principle)
Prinsip penjenjangan menyatakan bahwa pemahaman siswa
terhadap matematika melalui berbagai jenjang, dari menemukan
penyelesaian masalah kontekstual secara informal melalui
mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara
formal. Model yang pada mulanya merupakan gambaran dari
suatu situasi, berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi
model untuk semua masalah yang ekuivalen.
4) Prinsip jalinan (inter-twinement)
Prinsip jalinan menyatakan bahwa materi matematika di sekolah
sebaiknya tidak dipandang sebagai aspek-aspek yang terpisah,
melainkan sebagai suatu kesatuan yang terjalin satu sama lain,
sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi yang satu
dengan yang lain. Secara psikologis, segala sesuatu yang saling
berkaitan akan lebih mudah diingat dan dipahami daripada
hal-hal yang tidak terkait antara satu dengan yang lain.
5) Prinsip interaksi (interaction principle)
Prinsip interaksi menyatakan bahwa belajar matematika dapat
dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas
individu. Siswa perlu diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya kepada teman yang lain supaya teman lain dapat
memperhatikan hasil pemikiran dari temannya tersebut dan dapat
menanggapinya. Dengan berdiskusi, pemahaman siswa mengenai
suatu masalah dapat lebih mendalam dan siswa juga terdorong
untuk melakukan refleksi yang mungkin akan menghasilkan buah
6) Prinsip bimbingan (guidance principle)
Prinsip bimbingan menyatakan bahwa siswa perlu diberi
kesempatan untuk menemukan kembali pengetahuan matematika,
dan guru membimbing siswa dalam mengkonstruksikan
pengetahuannya.
F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah suatu
gerakan inovasi yang berusaha memperbaiki kualitas pendidikan matematika
di Indonesia, terutama pendidikan matematika di sekolah. PMRI yang sedang
mulai diimplementasikan pada beberapa SMP merupakan hasil adaptasi dari
Realistic Mathematic Education (RME). PMRI mempunyai banyak kesamaan
dengan RME, namun ada beberapa perbedaan dikarenakan konteks budaya
dan lingkungan yang berbeda.
Landasan filosofi PMRI juga mengacu dari pendapat Hans Freudenthal
yang mengemukakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human
activity), bukan sesuatu yang sudah ada dan ditemukan dengan mencari, tetapi
sesuatu yang dibangun secara aktif dari pengalaman. Matematika harus
dikaitkan dengan dunia nyata. Konteks dunia nyata kemudian dipakai sebagai
sumber pengembangan konsep dan sebagai lahan aplikasi, melalui proses
matematisasi, baik horizontal maupun vertical (de Lange, 1987 dalam makalah
PMRI tidaklah identik dengan RME. Prinsip dalam PMRI mengacu dari
prinsip-prinsip RME yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Adapun beberapa
karakteristik PMRI adalah sebagai berikut :
Treffers (1987) (dalam Ariyadi 2012 : 21) merumuskan lima
karakteristik Pendidikan Matematika Realistik yang juga dipakai sebagai
karakteristik PMRI, yaitu :
a. Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal
pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia
nyata, namun bias dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga,
atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan
dalam pikiran siswa.
b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam
melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi
sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat
konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.
c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Mengacu pada pendapat Hans Frudenthal bahwa matematika tidak
diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi
sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa, maka dalam Pendidikan
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi
pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang
bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk
landasan pengembangan konsep matematika.
d. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu
melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses
belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa
saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.
e. Keterkaitan
Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun
banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu,
konsep-konsep matematika tidak diperkenalkan kepada siswa secara
terpisah atau terisolasi satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik
menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika
sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.
Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa
mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara
bersamaan.
Sedangkan Marpaung (2008) menjabarkan karakteristik PMRI sebagai
berikut :
Menurut Freudenthal, penggagas pembelajaran realistik,
matematika adalah aktivitas manusia (human activity). Itu berarti, bahwa
ide-ide matematika ditemukan orang (pebelajar) melalui kegiatan/
aktivitas. Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif
berpikir (kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan
lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak, abstrak) dan tubuh (jasmani,
konkrit atau real).
b. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah
kontekstual/ realistik
Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila
dia melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau melihat
manfaat matematika bagi dirinya. Salah satu manfaat itu ialah dapat
memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi masalah kontekstual atau
realistik adalah masalah yang berkaitan dengan situasi dunia nyata (real)
atau dapat dibayangkan oleh siswa.
c. Berikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara
sendiri (siswa mengembangkan strategi sendiri)
Suatu masalah tidak hanya dapat diselesaikan dengan satu cara,
melainkan dapat menggunakan banyak cara. Cara-cara tersebut sangat
tergantung pada struktur kognitif siswa (pengalamannya). Guru tidak
perlu mengajari siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah. Mereka
harus berlatih menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya. Dalam
informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa untuk dilalui.
Itupun dilakukan jika semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana
menyelesaikan masalah.
d. Guru berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
Dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menghargai
anak-anak sebagai manusia maka perlahan-lahan sikap dan motivasi
siswa dapat dikembangkan dan hal ini akan memberikan dampak
meningkatkan prestasi belajar mereka.
e. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam
kelompok (kecil atau besar)
Belajar dengan bekerja sama (sinergi) lebih efektif dari pada
belajar secara individual. Memang harus diakui bahwa ada banyak tipe
belajar, ada yang lebih senang belajar individual, ada yang lebih senang
belajar dalam kelompok; ada yang cenderung visual, ada yang auditif,
ada yang kinestetik (enaktif). Saling tukar informasi penting untuk
memahami sesuatu. Informasi yang bertentangan dengan yang dimiliki
seseorang dapat membuat pemahaman orang itu terhadap suatu masalah
menjadi lebih baik. informasi yang baru dapat menyebabkan informasi
lama ditransformasi. Tugas guru membantu siswa agar informasi baru
dapat memperkuat atau memperbaiki pengetahuan yang dia miliki. Maka
interaksi dan negosiasi sangat perlu dalam pembelajaran matematika.
dengan guru merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan
efektif.
f. Pembelajaran tidak perlu selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di
lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data)
Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau
berbuat sesuatu, termasuk untuk berpikir. Orang memerlukan variasi
untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik.
Variasi ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam
belajar. Susunan tempat duduk yang sama terus menerus, suasana ruang
yang sama terus menerus, cara belajar di kelas yang sama terus menerus,
dan penampilan guru yang sama terus menerus menimbulkan rasa bosan
pada siswa. Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan
variasi pembelajaran: variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi
kelas, variasi penampilan guru, variasi metode pembelajaran dan
sebagainya. Perlu ada perencanaan yang dilakukan oleh guru, kalau
perlu dengan meminta usul dan saran dari siswa.
g. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi
Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi. Siswa
perlu belajar untuk mengemukakan idenya kepada orang lain
(kawan-kawannya atau gurunya), supaya mendapat masukan berupa informasi
yang melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki atau meningkatkan
kualitas pemahamannya. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang
kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah,
jangan menertawakan, tetapi menghargai pendapatnya.
h. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur
kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan
model)
Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya
menggunakan berbagai modus representasi (enaktif, ikonik atau
simbolik) untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah. Dalam
pembelajaran matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat
dibawa ke level formal, tetapi diberi banyak waktu bermain atau berbuat
dengan menggunakan benda-benda konkrit, manipulatif atau
model-model.
i. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani)
Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari
siswa atau mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam
belajar. Guru dapat membimbing siswa jika mereka melakukan
kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau
sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari
strateginya menyelesaikan masalah.
j. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan
dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan.
Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi
membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan
sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan siswa
(Caine, et al., 2005). Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan
lewat ancaman atau hukuman, tetapi dapat lewat sikap empatik,
penghargaan atau pujian.
G. Standar PMRI (Dirumuskan oleh Tim-PMRI)
1. Standar Guru PMRI (Standards for a PMRI teacher)
Marpaung (2012) (dalam artikel yang ditulis pada blog P4MRI USD)
menjabarkan Standar Guru PMRI sebagai berikut :
a) Guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai tentang
matematika dan PMRI serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran
matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
b) Guru memfasilitasi siswa dalam berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi
untuk mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.
c) Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan
gagasan dan menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka
sendiri.
d) Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja
sama dan berdiskusi dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan
siswa.
e) Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep dan
2. Standar Pembelajaran Menurut PMRI (Standards for a PMRI Lesson)
a) Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar
kompetensi dalam kurikulum.
b) Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa
termotivasi dan terbantu belajar matematika.
c) Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi
masalah yang diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat
saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.
d) Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat
pembelajaran lebih bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh.
e) Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk
menyarikan fakta, konsep, dan prinsip matematika yang telah
dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat
pemahaman.
3. Standar Bahan Ajar PMRI (Standards for a PMRI Teaching Materials)
a) Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
b) Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi
siswa dan membantu siswa belajar matematika.
c) Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait
sehingga siswa memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna
dan utuh.
d) Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan
e) Bahan ajar dirumuskan/ disajikan sedemikian sehingga
mendorong/memotivasi siswa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif serta
berinteraksi dalam belajar.
H. Hambatan dalam Pembelajaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hambatan berarti kendala,
halangan, rintangan, faktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi, atau
mencegah pencapaian sasaran; kekuatan yang memaksa pembatalan
pelaksanaan dalam pembelajaran. Sehingga hambatan pembelajaran adalah
suatu keadaan dalam kegiatan proses pembelajaran yang menghalangi
pencapaian dari tujuan pembelajaran tersebut. Kegiatan dalam proses
pembelajaran meliputi kompetensi yang harus dicapai, pengaturan
penggunaan waktu luang, pengaturan ruang dan alat perlengkapan pelajaran di
kelas serta pengelompokkan siswa dalam belajar.
Dalam kegiatan pembelajaran terdapat beberapa hal yang ikut
menentukan keberhasilan pembelajaran tersebut diantaranya adalah
pengaturan proses pembelajaran dan pembelajaran itu sendiri. Kedua hal
tersebut saling ketergantungan satu sama lain. Kemampuan mengatur proses
pembelajaran yang baik akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak
belajar, sehingga menjadi titik awal keberhasilan proses pembelajaran
tersebut. Hambatan yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran
antara lain berkaitan dengan perencanaan yang meliputi kompetensi yang
dihadapi institusi dalam hal ini sekolah adalah ketersediaan alat dan bahan,
sumber belajar seperti media, alat peraga dan buku serta fasilitas pendukung
yang lain.
I. Kerangka Berpikir
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) merupakan suatu
pendekatan pembelajaran matematika yang mulai diperkenalkan dan
dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001 di tiga kota besar di Jawa, yaitu
Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. PMRI merupakan hasil adaptasi dari
RME (Realistic Mathematic Education). PMRI mulai menerapkan perubahan
paradigma pembelajaran matematika dari Sekolah Dasar kelas I. Kemudian
pada tahun 2010 PMRI mulai diperkenalkan kepada guru-guru SMP/MTs.
SMP BOPKRI 3 Yogyakarta adalah salah satu sekolah yang sering mengikuti
workshop atau seminar yang diadakan oleh tim PMRI. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini, peneliti ingin mengamati dan mengetahui bagaimana PMRI
diimplementasikan dalam pembelajaran matematika dengan melihat
karakteristik PMRI yang muncul dalam pembelajaran dan hambatan apa saja
yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada pembelajaran
matematika di SMP dengan materi persamaan garis lurus pada tahun ajaran
2012/2013.
Karakteristik yang akan digunakan untuk melihat implementasi PMRI
yang dikemukakan oleh Treffers (dalam Ariyadi Wijaya; 2011) yang meliputi
lima karakteristik, yaitu :
1. Penggunaan masalah kontekstual
2. Penggunaan model matematisasi progresif
3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
4. Interaktivitas
5. Keterkaitan.
Pembelajaran realistik mengacu dari pemikiran Hans Freudenthal yang
mengemukakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, sehingga siswa
dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, dan pembelajaran haruslah
dimulai dari masalah-masalah yang realistik, yaitu masalah yang dapat
dibanyangkan oleh siswa. Dalam PMRI, guru tidak lagi menjadi sumber ilmu
dan pusat pembelajaran, melainkan siswalah yang menjadi pusat
pembelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk memecahkan masalah dengan
cara mereka masing-masing. Pendekatan ini sesuai dengan teori
konstruktivisme yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengkonstruksi pemikirannya sendiri. Pembelajaran dengan pendekatan
realistik membimbing siswa dengan menyajikan masalah-masalah yang
konkrit. Siswa diharapkan mampu mengkonstruksikan pengetahuan yang
dimilikinya untuk memecahkan masalah matematika.
Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui implementasi
PMRI dengan melihat karakteristik PMRI yang muncul dalam kegiatan
PMRI. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti hendak mengamati apakah
proses pembelajaran matematika pada materi persamaan garis lurus di kelas
VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 sudah
mengimplementasikan pendekatan pembelajaran matematika realistik, dan
hambatan apa yang ditemui guru dalam mengimplementasikan PMRI pada
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian kualitatif
deskriptif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data berupa kata-kata tertulis dari obyek yang diamati. Penelitian deskriptif
bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan atau
fenomena yang ada di lapangan (Moleong: 1998).
Pada penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan atau menggambarkan
keadaan atau fenomena dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIIIC
pada SMP yang menjadi mitra dari tim PMRI.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa-siswa dan guru matematika kelas
VIIIC SMP Bopkri 3 Yogyakarta. Sedangkan obyek penelitian ini adalah
proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di kelas VIIIC
SMP BOPKRI 3 Yogyakarta.
C. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta,
D. Bentuk Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan oleh peneliti pada penelitian ini berupa
kata-kata atau kalimat dan data tertulis. Metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data yaitu :
1. Pengamatan atau observasi
Peneliti melakukan pengumpulan data yang berupa kata-kata atau
kalimat dengan melakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan
pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di kelas. Peneliti dan
observer mencatat proses pembelajaran dari awal sampai akhir
pembelajaran pada lembar observasi.
2. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut (Moleong, 2009 : 186).
Pada penelitian ini peneliti mewawancarai guru matematika SMP
Bopkri 3 Yogyakarta. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk
memperoleh informasi dari guru terkait dengan hambatan yang dihadapi
guru dalam mengimplementasikan PMRI dalam kegiatan pembelajaran
matematika.
E. Instrumen Penelitian
1. Lembar Observasi (Pengamatan)
Lembar observasi merupakan salah satu alat pengumpulan data yang
digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tingkah laku
seseorang atau proses yang sedang terjadi dalam situasi yang sebenarnya.
Pengamatan difokuskan pada :
1) Sikap guru, yang meliputi metode mengajar guru, kegiatan guru dalam
memotivasi siswa untuk ikut aktif dalam pembelajaran, penggunaan
alat peraga atau penggunaan konteks dalam kehidupan sehari-hari
siswa yang dapat mendukung dan membantu siswa dalam memahami
tujuan pembelajaran, peranan guru dalam pembelajaran, dan lain
sebagainya.
2) Sikap siswa, yang meliputi perhatian siswa terhadap kegiatan
pembelajaran, minat siswa dalam mengikuti pelajaran, keaktifan siswa
dalam mengkonstruksikan pemikirannya dan menemukan penyelesaian
masalah dengan caranya sendiri, keaktifan siswa dalam berdiskusi dan
memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok,
keberanian siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya kepada
teman-temannya, dan keaktifan siswa dalam bertanya serta menjawab
pertanyaan.
3) Interaksi kelas, yang meliputi interaksi antara siswa dengan guru
2. Lembar wawancara guru
Lembar wawancara guru ini berisi pertanyaan mengenai pendapat
guru tentang PMRI, bagaimana penerapan PMRI di kelas dan hambatan
yang dihadapi guru dalam menerapkannya.
3. Rekaman video
Rekaman video ini berisi tentang kegiatan pembelajaran matematika
dari awal sampai akhir pembelajaran, pada lima kali pertemuan.
Perekaman video ini dilakukan dengan maksud untuk membantu peneliti
dalam memperoleh informasi dan mendukung/melengkapi data penelitian.
F. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini, analisis data dilakukan dengan tahapan-tahapan
sebagai berikut :
1. Transkripsi Data
Setelah diperoleh rekaman video hasil pembelajaran, peneliti
melihat rekaman video secara berulang-ulang untuk menemukan
peristiwa-peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik
PMRI pada proses pembelajaran. Kemudian rekaman video tersebut
ditranskripsikan dan menjadi data penelitian. Proses pembuatan
transkripsi dan pengumpulan data dilakukan dengan memutar video
hasil rekaman secara berulang-ulang sehingga diharapkan
peristiwa-peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik PMRI yang
Kemudian, untuk meningkatkan validitas, peneliti juga
melakukan pengecekan ulang dalam pembuatan transkripsi.
Data-data yang telah ditranskripsikan dibaca kembali dengan teliti untuk
menemukan peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik
PMRI pada proses pembelajaran. Kemudian peristiwa tersebut
dijadikan topik data. Topik data merupakan deskripsi singkat
mengenai bagian data yang mengandung makna tertentu sesuai
dengan yang diteliti.
2. Proses Pembelajaran
Setelah diperoleh data penelitian dari transkripsi video,
selanjutnya data tersebut dijabarkan dengan menggambarkan proses
pembelajaran yang berlangsung di kelas. Penggambaran proses
pembelajaran ditujukan untuk lebih memperjelas hasil transkripsi
video yang masih merupakan data mentah dari rekaman video hasil
pembelajaran. Pada gambaran proses pembelajaran, akan lebih
tampak bagaimana proses pembelajaran di kelas tersebut
berlangsung, dan juga bagaimana penerapan karakteristik PMRI
dilaksanakan dalam proses pembelajaran.
3. Pengkategorian Data ke dalam Karakteristik PMRI
Setelah data dijabarkan dalam penggambaran proses
pembelajaran, selanjutnya data dipilih dan dikelompokkan ke dalam
karakteristik PMRI. Peneliti menggunakan karakteristik PMRI yang
yaitu penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi
progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan
keterkaitan. Peneliti menganalisis data dan melihat karakteristik yang
muncul dalam pembelajaran pada pertemuan pertama sampai dengan
pertemuan kelima dan kemudian mengelompokkannya ke dalam
karakteristik PMRI.
Setelah pengelompokan data selesai dilakukan, kemudian
peneliti menganalisis secara keseluruhan mengenai pembelajaran
matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta berdasarkan pendekatan
PMRI.
Peneliti juga mengumpulkan data dari rekaman wawancara
dengan guru yang akan dianalisis untuk mengetahui hambatan yang
dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI dalam kegiatan
pembelajaran.
4. Penjabaran Data Mengenai Hambatan yang dihadapi Guru dalam
Mengimplementasikan PMRI
Data mengenai hambatan yang dihadapi guru dalam
mengimplementasikan PMRI diperoleh dari hasil wawancara antara
peneliti dengan guru yang dilakukan setelah rangkaian kegiatan
pembelajaran selesai dilaksanakan. Dalam wawancara tersebut,
peneliti mencari data mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi
diperoleh, kemudian peneliti mengolah data tersebut, kemudian
menjabarkannya.
5. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mendeskripsikan
kegiatan pembelajaran di kelas terkait dengan implementasi PMRI
pada proses pembelajaran, dan juga dengan merangkum hasil
wawancara dengan guru terkait dengan hambatan yang dihadapi guru
dalam mengimplementasikan PMRI pada proses pembelajaran di
kelas.
G. Langkah-Langkah Kerja Penelitian
Berikut langkah-langkah kerja selama penelitian :
1. Pembuatan proposal
Peneliti membuat proposal yang kemudian diajukan dan
dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, yang nantinya akan
dilampirkan pada surat permohonan penelitian dari pihak Universitas yang
ditujukan kepada sekolah yang bersangkutan.
2. Permohonan ijin kepada Kepala Sekolah dan Guru Kelas
Peneliti meminta ijin untuk penelitian kepada Kepala Sekolah dan
Guru Kelas dengan memberikan surat permohonan penelitian dari pihak
3. Melakukan observasi
Peneliti melakukan kegiatan observasi sebanyak dua kali di kelas.
Observasi dimaksudkan agar peneliti mengenal keadaan kelas yang
hendak diamati terlebih dahulu sekaligus untuk mempermudah dan
membantu peneliti dalam menyusun instrumen yang akan digunakan untuk
pengambilan data.
4. Penyusunan instrumen penelitian
Peneliti menyusun instrumen penelitian yang akan digunakan untuk
pengambilan data, kemudian mengkonsultasikannya kepada dosen
pembimbing.
5. Pengambilan data
Pada pengambilan data, peneliti menggunakan lembar observasi
sebagai instrumen pokok dan lembar wawancara serta rekaman video
sebagai instrumen pendukung. Observasi dilakukan oleh peneliti dari awal
sampai akhir kegiatan pembelajaran. Hasil pengamatan dicatat oleh
peneliti pada lembar observasi dan direkam menggunakan handycam.
Wawancara dilakukan di hari terakhir pengamatan pada guru.
6. Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan lembar observasi
sebagai hasil pengamatan dan rekaman video yang kemudian dianalisis
dari sudut pandang pembelajaran dan karakteristik PMRI, serta
7. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mendeskripsikan kegiatan
pembelajaran yang terkait dengan implementasi karakteristik PMRI dan
juga dengan merangkum hasil wawancara dengan guru terkait hambatan
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi SMP BOPKRI 3 Yogyakarta
Penelitian dilaksanakan di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta yang
merupakan salah satu sekolah mitra PMRI di Yogyakarta. Beberapa guru
matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pernah beberapa kali
mengikuti pelatihan dan workshop yang diadakan oleh tim PMRI di
Yogyakarta, yang salah satunya adalah Ibu Dra. Adjeng.
Siswa-siswa yang bersekolah disini merupakan siswa yang
mempunyai nilai Ujian Nasional pada rentang menengah ke bawah.
Informasi ini didapat peneliti dari guru yang bersangkutan. Penelitian
dilaksanakan di kelas VIIIC dengan jumlah siswa 28 orang, dengan materi
ajar Persamaan Garis Lurus.
Pertimbangan peneliti memilih kelas VIIIC adalah atas dasar saran
dari guru yang bersangkutan. Subyek dari penelitian ini adalah siswa-siswi
kelas VIIIC dan guru matematika, sedangkan obyek dari penelitian ini
adalah adalah proses pembelajaran matematika dengan pendekatan
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Penelitian ini menggunakan
satu sekolah mitra PMRI, dikarenakan peneliti ingin mengetahui
implementasi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di sekolah