• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi pendekatan pendidikan matematika realistik Indonesia dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIII C SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus tahun ajaran 2012/2013.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi pendekatan pendidikan matematika realistik Indonesia dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIII C SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus tahun ajaran 2012/2013."

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

i

IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

REALISTIK INDONESIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN

MATEMATIKA DI KELAS VIIIC SMP BOPKRI 3 YOGYAKARTA PADA

MATERI PERSAMAAN GARIS LURUS TAHUN AJARAN 2012/2013

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Matematika

Disusun Oleh :

Bernadeta Yunita Kurniasari

NIM : 081414020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

…..Ku persembahkan karya ini bagi orang

-orang yang

mempunyai tempat di hatiku…….

Teruntuk :

...Tuhan Yesus Kristus

yang selalu setia menemaniku

dalam setiap langkah kehidupanku,

selalu mendengarkan keluh kesahku,

selalu memberi penguatan,

dan mengabulkan doa serta permohonanku.

...Bapak dan Ibuku Tercinta

yang telah mendidik, merawat,

dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan cinta.

…..

Dik Bagus dan Dik Luci

yang selalu memberikan keceriaan

di tengah keluarga.

…..

Sahabat-sahabatku

yang selalu memberi warna dalam hidupku.

...Almamaterku Universitas Sanata Dharma

yang telah memberikan

(5)
(6)

vi

ABSTRAK

Bernadeta Yunita Kurniasari, 2013. Pengamatan terhadap Implementasi Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia dalam Proses Pembelajaran Matematika di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada Materi Persamaan Garis Lurus Tahun Ajaran 2012/2013. Skripsi. Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pendekatan PMRI dan halangan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada materi persamaan garis lurus di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC dan guru SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Instrumen penelitian yang digunakan sebagai alat dalam mengumpulkan data terdiri dari : (1) Lembar pengamatan, (2) Lembar wawancara guru, (3) Alat dokumentasi. Data yang diperoleh kemudian ditranskripsikan dan dianalisis dengan metode kualitatif deksriptif yaitu dengan menyimpulkan hasil pengamatan secara keseluruhan dengan cara kualitatif.

Hasil dari pengamatan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pada materi persamaan garis lurus belum sepenuhnya mengimplementasikan PMRI, Hal itu dikarenakan beberapa karakteristik dalam PMRI belum nampak secara optimal. Guru sudah memunculkan permasalahan kontekstual, namun hal itu belum optimal sebab siswa tidak diberi kesempatan untuk mengekplorasi pemikirannya. Dalam pembelajaran juga tidak nampak pemodelan yang diharapkan. Guru menggunakan hasil pekerjaan siswa untuk menunjukkan konsep yang hendak dituju, namun kegiatan pembelajaran masih cenderung berpusat pada guru. Interaksi yang terjadi di kelas juga masih belum optimal. Siswa tidak terbiasa untuk mengungkapkan hasil pekerjaannya di depan kelas. Siswa cenderung pasif dan hanya menunggu pembahasan dari guru. Guru mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan yang sudah di dapat siswa pada tahapan pembelajaran sebelumnya. Hambatan yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI adalah : (1) Keterbatasan waktu, (2) Kurangnya ketersediaan materi dari tim PMRI, (3) Kemampuan siswa yang cenderung menengah ke bawah, (4) Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana.

Kata kunci : Implementasi, Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik

(7)

vii

ABSTRACT

Bernadeta Yunita Kurniasari, 2013. Observations on the Implementation of PMRI in the Learning Process of Mathematics in Junior High School Class VIIIC BOPKRI 3 Yogyakarta on the Material Straight Line Equation in Academic Year 2012/2013. Thesis. Mathematics Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.

This research is aimed to know the implementation of PMRI approach and add the obstacles faced by teachers in implementing PMRI on a straight-line equation material in class C of the grade VIII SMP BOBKRI 3 Yogyakarta in the academic year 2012/2013. The subjects of this research were the students of class C of the grade VIII and the mathematic teachers of SMP BOBKRI 3 Yogyakarta academic year 2012/2013. The research instruments used in collecting data consists of: (1) observation sheet, (2) teacher interviews sheet, (3) documentation tool. The data were obtained then transcribed and analyzed using descriptive qualitative method by concluding the overall observations qualitatively.

The result of the observation showed that the learning of mathematics in class C of the grade VIII SMP BOBKRI 3 Yogyakarta on a straight-line equation material have not been fully implemented PMRI. The reason was, some characteristics of the PMRI did not seem optimal. Teachers already generating contextual issues, but it was not optimal because the students were not given the opportunity to explore their thoughts. In the learning process there were no expected modeling study. Teachers used the results of student work to demonstrate the intended concept, but still learning activities tend to be centered on the teacher. Interactions that occur in the classroom was still not optimal. Students were not used to express the results of his work in front of the class. Students tend to be passive and just wait for the discussion of teachers. Teacher associated learning with existing knowledge to students in the earlier stages of learning. Barriers faced by teachers in implementing PMRI are: (1) Lack of time, (2) lack of availability of material from PMRI team, (3) ability students tend to lower middle, (4) lack of availability of facilities and infrastructure.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

senantiasa melimpahkan kasih karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis bisa

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan di Program Studi Pendidikan

Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Selama proses penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah membantu,

mendukung, membimbing dan memotivasi penulis. Oleh karena itu, melalui

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Metematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

3. Bapak Dr. M. Andy Rudhito, S.Pd. selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika.

4. Ibu Veronika Fitri Rianasari, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Paryadi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SMP BOPKRI 3 Yogyakarta

(10)

x

6. Ibu Dra. Adjeng selaku guru matematika kelas VIIIC SMP BOPKRI 3

Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan bantuan selama peneliti

melakukan penelitian.

7. Segenap dosen dan karyawan Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing,

membantu serta memberikan ilmunya kepada penulis selama belajar di

Universitas Sanata Dharma.

8. Keluarga yang selalu mengasihi dan mendukung penulis dengan caranya

masing-masing, Bapak Benediktus Basuki, Ibu Margaretha Dwi Sumartini, dik

Aloysius Bagus Cahyadi, dan dik Lucia Tri Kurnia Murti.

9. Teman-teman seperjuangan yang telah membantu dan mendukung penulis:

Patricia Endah, Odilia Rani, Agustina Windarwanti, Florentina Erna, Gracia

Anggia, Rosiana Monika, Katarina Fitriyani, dan Putri.

10.Teman-teman Pendidikan Matematika angkatan 2008.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak

kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun peneliti

selanjutnya yang tertarik untuk meneliti tentang matematika realistik.

Yogyakarta, Agustus 2013

Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Pembatasan Istilah ... 4

E. Pembatasan Masalah ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Teori-Teori Belajar ... 8

(12)

xii

2. Teori Bruner ... 10

B. Pengertian Belajar ... 14

C. Pembelajaran Matematika Kontekstual ... 15

D. Teori Konstruktivisme ... 16

E. Realistic Mathematic Education (RME)... 17

F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) ... 22

G. Standar PMRI ... 29

H. Hambatan dalam Pembelajaran ... 31

I. Kerangka Berpikir ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Subyek Penelitian ... 35

C. Tempat dan Waktu Penelitian... 35

D. Bentuk Data dan Metode Pengumpulan Data... 36

E. Instrumen Penelitian ... 36

F. Metode Analisis Data ... 38

G. Langkah-Langkah Kerja Penelitian ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ... 44

A. Deskripsi SMP BOPKRI 3 Yogyakarta ... 44

B. Pelaksanaan Penelitian ... 45

C. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika dan Proses Pengamatan .... 46

(13)

xiii

2. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan

Kedua ... 58

3. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Ketiga... 71

4. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Keempat ... 81

5. Gambaran Proses Pembelajaran Matematika Pada Pertemuan Kelima ... 94

6. Gambaran Proses Tes Pada Pengamatan keenam ... 108

D. Analisis Pembelajaran Berdasarkan Karakteristik Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia ... 109

1. Penggunaan Konteks ... 109

2. Penggunaan Model Untuk Matematisasi Progresif ... 113

3. Pemanfaatan Hasil Konstruksi Siswa ... 114

4. Interaktivitas ... 121

5. Keterkaitan ... 124

E. Analisis Hasil Wawancara dengan Guru Mengenai Hambatan yang Dihadapi Guru dalam Mengimplementasikan PMRI ... 127

F. Analisis Soal Ulangan Harian Persamaan Garis Lurus ... 133

G. Pembahasan Implementasi Karakteristik PMRI ... 135

H. Pembahasan Hambatan dalam Menerapkan PMRI ... 139

(14)

xiv

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 141

A. Kesimpulan ... 141

B. Saran ... 144

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Matematika sebagai sebuah ilmu sering kali tidak mendapatkan tempat

dan minat dalam diri siswa untuk mempelajarinya. Matematika bahkan

menjadi momok yang ditakuti oleh para siswa, mulai dari SD, SMP, SMA,

bahkan sampai ke perguruan tinggi. Situasi tersebut dipicu oleh sejumlah

anggapan, yang salah satunya mengungkapkan bahwa pelajaran matematika

dianggap sebagai ilmu yang abstrak. Anggapan ini muncul dikarenakan cara

guru dalam menyampaikan materi yang sulit diterima oleh siswa.

Kecenderungan guru dalam mengajar adalah dengan mengedepankan guru

sebagai sumber ilmu. Hal ini membuat siswa tidak lagi mempunyai ruang

untuk mengembangkan daya berpikir dan analisis mereka dalam

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada, terutama pada pelajaran

matematika. Sedangkan, pengetahuan selalu merupakan hasil kegiatan

mengkonstruksi, tak dapat ditransfer kepada mereka yang hanya menerima

secara pasif (Von Gaserfeld, 1992; Suparno 1997). Pengetahuan harus

dibangun sendiri secara aktif oleh setiap orang yang ingin mengetahui. Guru

harus mampu membuat siswa aktif sedemikian sehingga peran guru menjadi

(16)

Bertolak dari permasalahan di atas, pada tahun 2001 Indonesia mulai

mengembangkan suatu pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang

disebut dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) yang

diadaptasi dari teori belajar Realistic Mathematics Education (RME) yang

sudah berkembang di Belanda. RME muncul dari ide seorang ahli matematika

bernama Hans Freudenthal yang mengemukakan bahwa matematika adalah

aktivitas manusia, bukan sesuatu yang sudah ada yang dapat ditemukan

dengan mencari, namun sesuatu yang dibangun secara aktif dari pengalaman.

Oleh karena itu siswa dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, dan

pembelajaran haruslah dimulai dari masalah-masalah yang realistik atau nyata

bagi siswa. PMRI tidak sama dengan RME, keduanya memiliki karakteristik

yang berbeda karena perbedaan budaya dan realitas di kedua negara tersebut,

namun demikian keduanya memiliki landasan yang sama.

PMRI mulai bergerak untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia

sejak tahun 2001 di 12 SD/MIN di tiga kota di Jawa yang dipelopori oleh 4

perguruan tinggi, yaitu : Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri

Surabaya, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Berbagai upaya terus dilakukan pada sekolah mitra tim PMRI

maupun yang belum bermitra untuk meningkatkan kemampuan guru dalam

mengajar matematika. Upaya tersebut antara lain dengan mengadakan

pelatihan, seminar matematika, dan juga workshop untuk guru matematika

(17)

Kini setelah 12 tahun PMRI diterapkan di Indonesia, sudah banyak

SD/MIN yang menjadi mitra PMRI. Sekolah-sekolah tersebut tidak hanya

berada di pulau Jawa saja, namun sudah tersebar hampir di seluruh bagian di

Indonesia. Selama 12 tahun tersebut, sudah banyak siswa-siswi dari SD/MIN

yang menerapkan PMRI telah lulus dan melanjutkan ke jenjang SMP/MTs.

Oleh sebab itu, pada tahun 2010, PMRI mulai diperkenalkan pada guru-guru

SMP/MTs, supaya siswa-siswi yang berasal dari SD/MIN yang sudah

mengenal cara pembelajaran PMRI, dapat melanjutkan cara belajar dengan

PMRI di SMP/MTs. Beberapa sekolah SMP/MTs di Yogyakarta dirangkul

untuk menjadi mitra dari tim PMRI Universitas Sanata Dharma. SMP

BOPKRI 3 Yogyakarta adalah salah satu SMP di Yogyakarta yang menjadi

mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma, dan telah beberapa kali

mengikuti pelatihan serta workshop PMRI.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk

mengadakan penelitian mengenai “PENGAMATAN TERHADAP IMPLEMENTASI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

REALISTIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI

SMP BOPKRI 3 YOGYAKARTA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

(18)

1. Bagaimana karakteristik PMRI direalisasikan dalam kegiatan

pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta

sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta?

2. Apa kendala atau hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkan

PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP

BOPKRI 3 Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini

bertujuan untuk :

1. Mengetahui realisasi karakteristik PMRI dalam kegiatan

pembelajaran matematika di kelas VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta

sebagai mitra tim PMRI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi oleh guru dalam

menerapkan PMRI pada kegiatan pembelajaran matematika di kelas

VIII SMP BOPKRI 3 Yogyakarta.

D. Pembatasan Istilah

Pada penelitian ini, terdapat istilah yang harus dibatasi. Tujuan dari

pembatasan istilah ini adalah untuk menjelaskan istilah-istilah yang digunakan

oleh peneliti, supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Istilah-istilah yang akan

(19)

1. Belajar adalah suatu aktivitas dan pengalaman yang dilakukan oleh

individu terhadap lingkungan yang melibatkan proses kognitif, yang

menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan,

dan nilai sikap.

2. Implementasi adalah penerapan. Implementasi PMRI adalah penerapan

PMRI dalam pembelajaran matematika yang dilihat dari penerapan

karakteristik PMRI.

3. Pembelajaran adalah proses, cara, menjadikan orang untuk belajar.

Pembelajaran dalam dunia pendidikan dapat dituliskan sebagai suatu

kegiatan yang utuh antara guru sebagai pengajar dengan siswa sebagai

pelajar untuk sama-sama belajar.

4. Hambatan adalah halangan atau rintangan. Hambatan dalam pembelajaran

adalah halangan atau rintangan yang ada dalam proses pembelajaran, baik

itu halangan guru dalam mengajar, ataupun halangan siswa dalam belajar.

5. Pendekatan adalah cara umum memandang suatu masalah atau objek

kajian (Marpaung; 1992).

6. PMRI adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran

matematika pada beberapa sekolah di Indonesia yang diadaptasi dari

Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan di Belanda

(20)

E. Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini masalah yang akan dibahas dibatasi pada realisasi

karakteristik PMRI dan hambatan yang dihadapi guru dalam menerapkan

PMRI pada proses pembelajaran matematika di kelas VIII SMP Bopkri 3

Yogyakarta pada materi Persamaan Garis Lurus, sebagai mitra tim PMRI

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut :

1. Bagi Peneliti

Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti mengenai

penerapan PMRI dalam kegiatan pembelajaran dan mengetahui hambatan

yang dihadapi oleh guru dalam menerapkan PMRI di sekolah, sehingga

nantinya dapat digunakan oleh peneliti sebagai bekal menjadi calon

seorang guru untuk memperbaiki penerapan PMRI dan mengatasi

hambatan dalam penerapannya.

2. Bagi Guru

Bagi guru, penelitian ini dapat membantu guru untuk mengetahui, menilai,

dan mengevaluasi sejauh mana PMRI diterapkan dalam pembelajaran

matematika dan hambatan apa saja yang ditemui pada saat menerapkan

(21)

3. Bagi Universitas

Bagi Universitas, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

evaluasi untuk lebih membina dan memperhatikan perkembangan mitra

tim PMRI Universitas Sanata Dharma dalam mengimplementasikan PMRI

pada pembelajaran matematika, sehingga PMRI dapat direalisasikan

dengan baik.

4. Bagi Pembaca

Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

(22)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori – Teori Belajar

1. Teori Piaget

Dalam Teori Piaget yang berhubungan dengan proses berpikir

sebagai suatu perkembangan yang bertahap dari berpikir intelektual

kongkrit ke abstrak (dalam Hudojo 1981), sangat bermanfaat bagi teori

belajar dari segi perkembangan kognitif. Piaget mengelompokkan tahap

perkembangan intelektual manusia menjadi empat tahap, yaitu :

a. Tahap sensori-motor (0-2 tahun)

b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)

c. Tahap operasional kongkrit (7-11 tahun)

d. Tahap operasional formal (11 tahun ke atas)

Teori Piaget (dalam Hudojo 1981) menjelaskan perkembangan

intelektual sebagai suatu proses asimilasi dan akomodasi terhadap

informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalah proses dimana

informasi dan pengalaman baru menyatukan diri ke dalam struktur mental.

Adapun akomodasi adalah proses menstrukturkan kembali pikiran sebagai

akibat adanya informasi dan pengalaman baru. Jadi pikiran itu tidak hanya

menerima informasi baru tetapi pikiran itu menstrukturkan kembali

(23)

Piaget (dalam Hudojo 1981) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi perkembangan intelektual, yaitu :

a. Pertumbuhan psikologis dari otak dan sistem syaraf merupakan

suatu faktor penting di dalam perkembangan intelektual pada

umumnya. Proses pertumbuhan ini disebut kematangan. Piaget

juga mengenal pentingnya pengalaman di dalam pengembangan

intelektual. Piaget mengidentifikasi dua macam pengalaman,

yakni :

1) Pengalaman fisik merupakan interaksi setiap individu dengan

obyek-obyek di lingkungannya.

2) Pengalaman logika matematika (logico-mathematics) adalah

kegiatan mental yang ditampilakn perorangan dan struktur

kognitifnya disusun kembali menurut

pengalaman-pengalamannya.

b. Transmisi sosial adalah interaksi dan kerja sama seseorang

dengan orang lain. Hal ini amat penting bagi perkembangan

logika anak. Piaget percaya bahwa operasi formal tidak akan

berkembang di dalam pikiran tanpa adanya pertukaran dan

koordinasi pendapat di antara orang-orang.

c. Penyetimbangan merupakan proses dimana struktur mental anak

kehilangan stabilitas sebagai akibat pengalaman-pengalaman

(24)

akomodasi. Sebagai hasil dari penyetimbangan, struktur mental

berkembang dan menjadi matang.

Bagi Piaget, ketiga faktor di atas mempengaruhi perkembangan

intelektual. Masing-masing faktor itu harus ada agar seorang anak

berkembang dari satu tahap ke tahap berpikir yang lebih tinggi.

2. Teori Bruner

Jerome Bruner (dalam Hudojo 1981 : 29) berpendapat bahwa belajar

matematika yang cocok ialah belajar tentang konsep-konsep dan

struktur-struktur yang terdapat di dalam bahasan yang dipelajari serta mencari

hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur.

Pemahaman terhadap konsep dan struktur sesuatu bahasan menjadikan

bahasan itu lebih komprehensif. Selain itu siswa juga lebih mudah

mengingat materi bahasan itu bila yang dipelajari itu merupakan pola yang

berstruktur. Dengan mengenal konsep dan struktur pada materi, akan

mempermudah siswa untuk memahami materi tersebut.

Di dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan

manipulasi material. Bruner mengungkapkan dalam teorinya (dalam

Hudojo 1981), bahwa dalam proses belajar, sebaiknya siswa diberi

kesempatan untuk memanipulasi benda-benda yang ada (alat peraga).

Melalui alat peraga tersebut, siswa akan melihat secara langsung

bagaimana keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam alat peraga

(25)

belajar sangat dibutuhkan. Siswa akan lebih bersemangat untuk belajar,

ketika proses pembelajaran ini berlangsung di tempat yang dilengkapi

dengan benda-benda yang dapat digunakan untuk manipulasi oleh siswa.

Bruner (dalam Hudojo 1981) mengemukakan bahwa dalam

perkembangannya, siswa akan melalui tiga tahap, yaitu :

a. Tahap Enaktif

Pada tahap ini, siswa dihadapkan langsung pada obyek yaitu

alat peraga matematika yang dapat membantu siswa untuk

memahami materi yang sedang dipelajari. Dengan alat peraga

tersebut, siswa dapat menggunakannya sebagai alat bantu dalam

belajar.

b. Tahap ikonic

Dalam tahap ini, kegiatan siswa akan berkenaan dengan

mental, yang merupakan gambaran dari obyek-obyek (alat peraga).

Pada tahap ini, siswa sudah dapat menggambarkan gambaran dari

sifat-sifat pada benda (alat peraga) tersebut. Misalnya, pada saat

belajar matematika, seorang siswa sudah mampu menggambarkan

suatu benda dari soal cerita untuk kemudian digunakan menjawab

soal cerita, sehingga gambaran tersebut dapat membantu siswa dalam

memahami suatu permasalahan.

c. Tahap simbolik

Pada tahap ini, siswa memanipulasi simbol-simbol dari suatu

(26)

dua tahap sebelumnya. Pada tahap ini, siswa telah mampu

menggunakan symbol atau notasi tanpa perlu mengandalkan obyek

real.

Selanjutnya Bruner (dalam Hudojo 1981) merumuskan empat

teorema umum tentang belajar matematika sebagai berikut :

a. Teorema konstruksi

Teorema konstruksi menyatakan bahwa cara terbaik bagi

seorang siswa untuk mulai belajar konsep, prinsip atau aturan di

dalam matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep, prinsip

atau aturan itu. Untuk dapat menciptakan suatu ide atau gagasan

tertentu dalam pikiran siswa, siswa diharuskan untuk menguasai

konsep-konsep terlebih dahulu, dengan cara mencoba melakukannya

sendiri. Sehingga apabila siswa aktif dan terlibat pada kegiatan yang

dilakukan untuk mempelajari dan memahami konsep, maka siswa

akan lebih memahami konsep tersebut.

Menurut Bruner, khususnya anak-anak kecil, mereka harus

mengkonstruksikan sendiri ide-ide tersebut; lebih baik lagi bila siswa

itu menggunakan benda-benda konkrit di dalam merumuskan ide-ide

tersebut. Apabila di dalam merumuskan dan mengkonstruksikan

ide-ide itu, siswa-siswa itu dibantu dengan benda-benda konkrit, mereka

akan cenderung ingat ide-ide itu dan kemudian mengaplikasaikannya

(27)

b. Teorema Notasi

Teorema notasi menyatakan bahwa konstruksi permulaan

dibuat lebih sederhana secara kognitif dan dapat dimengerti lebih

baik oleh para siswa jika konstruksi itu merupakan notasi yang cocok

dengan tingkat perkembangan mental siswa. Dengan sistem notasi

tersebut, memungkinkan pengembangan ide-ide yang berupa

prinsip-prinsip dan bahkan kreasi prinsip-prinsip-prinsip-prinsip baru.

c. Teorema kekontrasan dan variasi

Teorema kekontrasan dan variasi menyatakan bahwa prosedur

belajar ide-ide matematika yang berjalan dari konkrit menuju yang

lebih abstrak haruslah disertakan pertentangan dan variasinya. Suatu

konsep matematika biasanya akan berarti bagi siswa bila konsep itu

dibandingkan dengan konsep yang lain.

d. Teorema konektifitas

Teorema konektifitas menyatakan bahwa di dalam matematika,

setiap konsep, struktur dan ketrampilan dihubungkan dengan konsep

struktur dan ketrampilan yang lain.

Dari teorema-teorema tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa harus

berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Bruner mengemukakan

bahwa peran aktif siswa dapat terlaksana di dalam proses belajar apabila

siswa diberi kesempatan untuk menggunakan penemuannya. Dengan

menemukan keteraturan dan pola struktur dalam bahasan yang dipelajari,

(28)

hanya sekedar belajar dengan stimulus-respon. Dengan demikian potensi

intelektualnya berkembang. Dengan belajar bagaimana menemukan, siswa

akan lebih mudah mengingat struktur-struktur atau rumus-rumus yang

telah ditemukannya. Dengan demikian faktor memori mendapat perhatian

sepenuhnya dalam proses belajar.

B. Pengertian Belajar

Pengertian belajar menurut beberapa ahli, antara lain :

1. Belajar adalah proses memperoleh pengetahuan, belajar adalah suatu

perubahan kemampuan bereaksi yang relatif langgeng sebagai hasil latihan

yang diperkuat. (Rebber, dalam Muhibbin 2008 : 66)

2. Belajar dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu

yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan

lingkungan yang melibatkan proses kognitif. (Muhibbin 2008 : 68)

3. Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam

interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan

perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-nilai

sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. (Winkel 1996 : 53)

Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa

belajar merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh individu untuk

memperoleh suatu hal yang baru dalam interaksi dengan lingkungan,

sehingga menghasilkan perubahan-perubahan tingkah laku ke arah yang

(29)

C. Pembelajaran Matematika Kontekstual

Matematika kerap dianggap sebagai hal yang abstrak bagi banyak siswa.

Kurangnya keterkaitan antara pelajaran matematika di sekolah dengan

kehidupan sehari-hari siswa, membuat siswa malas dan enggan untuk

mempelajari matematika lebih mendalam. Hal ini mendorong berkembangnya

pemikiran bahwa pembelajaran matematika sebaiknya bersifat kontekstual,

dimana pembelajaran matematika sebaiknya dijalankan dengan menggunakan

konteks pada dunia nyata. Konteks dalam dunia nyata, tidaklah harus selalu

menggunakan peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, namun dapat

juga dengan menggunakan peristiwa atau kejadian yang dapat dibayangkan

dan sesuai dengan tahap perkembangan siswa.

Dalam Suwarsono (2002) manfaat pembelajaran matematika secara

kontekstual, dijabarkan secara eksplisit sebagai berikut :

1. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa

sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak,

namun pembentukan dan pengembangan konsep-konsep tersebut

seringkali berdasar pada fenomena-fenomena yang ada di dunia

nyata.

2. Menumbuhkembangkan kesadaran dalam diri siswa, bahwa

sekalipun konsep-konsep dalam matematika itu bersifat abstrak,

banyak diantara konsep-konsep tersebut mempunyai banyak

(30)

3. Memberikan pemahaman pada siswa mengenai hal-hal yang terkait

dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

4. Memberikan pemahaman pada diri siswa mengenai aspek-aspek

yang terkait dengan masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang

ada dalam kehidupan sehari-hari, dan bagaimana matematika bisa

berperan dalam membantu manusia untuk menyelesaikan

masalah-masalah tersebut atau menganalisis peristiwa-peristiwa tersebut.

5. Meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari matematika. Ini

didasarkan pada adanya pemahaman pada diri siswa mengenai

manfaat matematika bagi kehidupan sehari-hari mereka.

D. Teori Konstruktivisme

Filsafat konstruktivisme (menurut Von Glaserfeld dalam Bettencourt,

1989) menyatakan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan)

kita sendiri. Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari seseorang yang

mengetahui kepada mereka yang sedang belajar. Walaupun seorang guru

berusaha sekuat tenaga menjelaskan suatu konsep kepada siswa dan siwa

berusaha memahaminya, namun hasil pemahaman itu tetap berbeda. Dalam

memahami sesuatu, seseorang harus melakukan interpretasi terhadap

informasi yang diterimanya. Kemampuan menginterpretasikan ini

berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Ini memperkuat pendapat

bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari pikiran seseorang ke pikiran

(31)

Peran guru yang dibutuhkan oleh siswa dalam membangun konstruksi

berpikirnya adalah dengan memberikan sedikit struktur, petunjuk, dorongan

untuk terus mencoba, dan sebagainya. Terkadang seorang siswa mendapati

kesulitan untuk menyelesaikan suatu masalah secara sendiri, dia akan dapat

menyelesaikannya dengan baik apabila mendapat bantuan dari seseorang yang

lebih dewasa atau berkolaborasi dengan teman yang lebih pandai. Dalam

pemikirannya, siswa dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi, tetapi ia

tidak dapat menjelaskannya. Oleh karena itu peran serta guru untuk

mendampingi siswa sangat dibutuhkan.

E. Realistic Mathematic Education (RME)

Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu pendekatan

pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda, sebagai reaksi

terhadap gerakan matematika modern yang waktu itu dipelopori oleh Negara

Amerika. Dalam Marpaung (2011), Realistic Mathematic Education (RME)

pertama kali dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970, berdasarkan ide dari

Hans Freudenthal seorang ahli matematika di Belanda. Hans Freudental

berpendapat bahwa matematika adalah aktivitas manusia (human activity)(de

Lange, 1999; Gravemeijer; 1994; van den Heuvel-Panhuizzen, 1996; dalam

makalah Marpaung, 2003).

Filosofi RME mengacu dari pendapat Hans Freudenthal yang

mengemukakan bahwa matematika haruslah dikaitkan dengan realita dan

(32)

dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Yang

dimaksud dengan aktivitas disini terutama adalah aktivitas mental. Mereka

yang belajar harus aktif merekonstruksi atau menemukan kembali (reinvite)

pengetahuan itu di dalam pikirannya dengan merepresentasikannya dengan

berbagai cara. Atas dasar tersebut, de Lange menggambarkan sifat RME

dalam suatu model sebagai berikut :

Gambar 2.1 Matematisasi konseptual

Dari gambar di atas, hendak dijelaskan bahwa pembelajaran sebaiknya

dimulai dari masalah-masalah yang realistik/kontekstual. Kemudian siswa

diberi kesempatan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka

masing-masing, sesuai dengan pola berpikirnya. Siswa kemudian diberi kesempatan

untuk sharing dan mengemukakan hasil pekerjaannya masing-masing. Guru

membimbing siswa untuk menarik kesimpulan dari hasil pekerjaan siswa.

Secara perlahan siswa dilatih untuk menemukan dan membangun konsep dari

kesimpulan yang telah didapat, dan kemudian digunakan untuk menyelesaikan

masalah-masalah kontekstual.

Situasi realistik

Matematisasi dalam aplikasi dan refleksi

Abstrak, formal

Konsep

(33)

1. Prinsip - Prinsip Realistic Mathematic Education

a. Menurut Gravemeijer (1994)

Gravemeijer mengungkapkan tiga prinsip utama pendidikan

matematika realistik sebagai berikut :

1) Penemuan Terbimbing dan Matematisasi Progresif (Guided

Reinvention and Progressive Mathematization)

Diupayakan agar dalam mempelajari matematika, siswa

mempunyai pengalaman menemukan sendiri berbagai konsep

dan prinsip, dengan bimbingan guru.

2) Fenomenologi Didaktis (Didactical Phenomenologhy)

Dalam mempelajari konsep dan prinsip pada matematika,

siswa bertolak dari masalah-masalah kontekstual.

3) Mengembangkan Model-model Sendiri (Self-Developedmodel)

Dalam mempelajari konsep, prinsip dan materi matematika

yang bertolak dari permasalahan kontekstual. Karena bermula

dari masalah kontekstual dan akan menuju pada bentuk

matematika formal, maka siswa diberi kebebasan untuk memilih,

menggunakan, dan mengembangkan model penyelesaian yang

akan digunakan oleh siswa untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan.

b. Menurut Van den Heuvel-Panhuizen (1999)

Van den Heuvel-Panhuizen mendeskripsikan prinsip-prinsip RME

(34)

1) Prinsip aktivitas (activity principle)

Prinsip aktivitas menyatakan bahwa matematika adalah

aktivitas manusia, sehingga matematika paling baik dipelajari

dengan melakukannya sendiri. Siswa haruslah aktif, baik secara

fisik maupun mental dalam pembelajaran matematika. Siswa

tidak hanya pasif menerima apa yang disampaikan oleh guru,

tetapi aktif, baik secara fisik maupun secara mental dengan

mengolah dan menganalisis informasi, serta mengkonstruksi

pengetahuan matematika mereka.

2) Prinsip realitas (reality principle)

Prinsip realitas menyatakan bahwa pembelajaran

matematika sebaiknya dimulai dari masalah-masalah dunia nyata

yang dekat dengan pengalaman siswa. masalah realistik lebih

menarik bagi siswa daripada masalah formal. Apabila

pembalajaran dimulai dengan masalah-masalah yang konkrit dan

bermakna bagi mereka, maka siswa akan tertarik untuk belajar.

Kemudian siswa dibimbing ke masalah-masalah matematis

formal.

3) Prinsip penjenjangan (level principle)

Prinsip penjenjangan menyatakan bahwa pemahaman siswa

terhadap matematika melalui berbagai jenjang, dari menemukan

penyelesaian masalah kontekstual secara informal melalui

(35)

mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara

formal. Model yang pada mulanya merupakan gambaran dari

suatu situasi, berubah melalui abstraksi dan generalisasi menjadi

model untuk semua masalah yang ekuivalen.

4) Prinsip jalinan (inter-twinement)

Prinsip jalinan menyatakan bahwa materi matematika di sekolah

sebaiknya tidak dipandang sebagai aspek-aspek yang terpisah,

melainkan sebagai suatu kesatuan yang terjalin satu sama lain,

sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi yang satu

dengan yang lain. Secara psikologis, segala sesuatu yang saling

berkaitan akan lebih mudah diingat dan dipahami daripada

hal-hal yang tidak terkait antara satu dengan yang lain.

5) Prinsip interaksi (interaction principle)

Prinsip interaksi menyatakan bahwa belajar matematika dapat

dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas

individu. Siswa perlu diberi kesempatan untuk mengemukakan

pendapatnya kepada teman yang lain supaya teman lain dapat

memperhatikan hasil pemikiran dari temannya tersebut dan dapat

menanggapinya. Dengan berdiskusi, pemahaman siswa mengenai

suatu masalah dapat lebih mendalam dan siswa juga terdorong

untuk melakukan refleksi yang mungkin akan menghasilkan buah

(36)

6) Prinsip bimbingan (guidance principle)

Prinsip bimbingan menyatakan bahwa siswa perlu diberi

kesempatan untuk menemukan kembali pengetahuan matematika,

dan guru membimbing siswa dalam mengkonstruksikan

pengetahuannya.

F. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah suatu

gerakan inovasi yang berusaha memperbaiki kualitas pendidikan matematika

di Indonesia, terutama pendidikan matematika di sekolah. PMRI yang sedang

mulai diimplementasikan pada beberapa SMP merupakan hasil adaptasi dari

Realistic Mathematic Education (RME). PMRI mempunyai banyak kesamaan

dengan RME, namun ada beberapa perbedaan dikarenakan konteks budaya

dan lingkungan yang berbeda.

Landasan filosofi PMRI juga mengacu dari pendapat Hans Freudenthal

yang mengemukakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (human

activity), bukan sesuatu yang sudah ada dan ditemukan dengan mencari, tetapi

sesuatu yang dibangun secara aktif dari pengalaman. Matematika harus

dikaitkan dengan dunia nyata. Konteks dunia nyata kemudian dipakai sebagai

sumber pengembangan konsep dan sebagai lahan aplikasi, melalui proses

matematisasi, baik horizontal maupun vertical (de Lange, 1987 dalam makalah

(37)

PMRI tidaklah identik dengan RME. Prinsip dalam PMRI mengacu dari

prinsip-prinsip RME yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Adapun beberapa

karakteristik PMRI adalah sebagai berikut :

Treffers (1987) (dalam Ariyadi 2012 : 21) merumuskan lima

karakteristik Pendidikan Matematika Realistik yang juga dipakai sebagai

karakteristik PMRI, yaitu :

a. Penggunaan konteks

Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal

pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia

nyata, namun bias dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga,

atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan

dalam pikiran siswa.

b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan dalam

melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi

sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat

konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.

c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Mengacu pada pendapat Hans Frudenthal bahwa matematika tidak

diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap dipakai tetapi

sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa, maka dalam Pendidikan

(38)

Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi

pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang

bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk

landasan pengembangan konsep matematika.

d. Interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu

melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses

belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa

saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

e. Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun

banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu,

konsep-konsep matematika tidak diperkenalkan kepada siswa secara

terpisah atau terisolasi satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik

menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika

sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.

Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa

mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara

bersamaan.

Sedangkan Marpaung (2008) menjabarkan karakteristik PMRI sebagai

berikut :

(39)

Menurut Freudenthal, penggagas pembelajaran realistik,

matematika adalah aktivitas manusia (human activity). Itu berarti, bahwa

ide-ide matematika ditemukan orang (pebelajar) melalui kegiatan/

aktivitas. Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif

berpikir (kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan

lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak, abstrak) dan tubuh (jasmani,

konkrit atau real).

b. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah

kontekstual/ realistik

Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila

dia melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau melihat

manfaat matematika bagi dirinya. Salah satu manfaat itu ialah dapat

memecahkan masalah yang dihadapi. Jadi masalah kontekstual atau

realistik adalah masalah yang berkaitan dengan situasi dunia nyata (real)

atau dapat dibayangkan oleh siswa.

c. Berikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara

sendiri (siswa mengembangkan strategi sendiri)

Suatu masalah tidak hanya dapat diselesaikan dengan satu cara,

melainkan dapat menggunakan banyak cara. Cara-cara tersebut sangat

tergantung pada struktur kognitif siswa (pengalamannya). Guru tidak

perlu mengajari siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah. Mereka

harus berlatih menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya. Dalam

(40)

informasi sebagai petunjuk arah yang dapat dipilih siswa untuk dilalui.

Itupun dilakukan jika semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana

menyelesaikan masalah.

d. Guru berusaha menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan

Dengan menciptakan suasana yang menyenangkan dan menghargai

anak-anak sebagai manusia maka perlahan-lahan sikap dan motivasi

siswa dapat dikembangkan dan hal ini akan memberikan dampak

meningkatkan prestasi belajar mereka.

e. Siswa dapat menyelesaikan masalah secara individu atau dalam

kelompok (kecil atau besar)

Belajar dengan bekerja sama (sinergi) lebih efektif dari pada

belajar secara individual. Memang harus diakui bahwa ada banyak tipe

belajar, ada yang lebih senang belajar individual, ada yang lebih senang

belajar dalam kelompok; ada yang cenderung visual, ada yang auditif,

ada yang kinestetik (enaktif). Saling tukar informasi penting untuk

memahami sesuatu. Informasi yang bertentangan dengan yang dimiliki

seseorang dapat membuat pemahaman orang itu terhadap suatu masalah

menjadi lebih baik. informasi yang baru dapat menyebabkan informasi

lama ditransformasi. Tugas guru membantu siswa agar informasi baru

dapat memperkuat atau memperbaiki pengetahuan yang dia miliki. Maka

interaksi dan negosiasi sangat perlu dalam pembelajaran matematika.

(41)

dengan guru merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan

efektif.

f. Pembelajaran tidak perlu selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di

lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan data)

Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau

berbuat sesuatu, termasuk untuk berpikir. Orang memerlukan variasi

untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik.

Variasi ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam

belajar. Susunan tempat duduk yang sama terus menerus, suasana ruang

yang sama terus menerus, cara belajar di kelas yang sama terus menerus,

dan penampilan guru yang sama terus menerus menimbulkan rasa bosan

pada siswa. Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan

variasi pembelajaran: variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi

kelas, variasi penampilan guru, variasi metode pembelajaran dan

sebagainya. Perlu ada perencanaan yang dilakukan oleh guru, kalau

perlu dengan meminta usul dan saran dari siswa.

g. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi

Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi. Siswa

perlu belajar untuk mengemukakan idenya kepada orang lain

(kawan-kawannya atau gurunya), supaya mendapat masukan berupa informasi

yang melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki atau meningkatkan

kualitas pemahamannya. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang

(42)

kesalahan dalam menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah,

jangan menertawakan, tetapi menghargai pendapatnya.

h. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur

kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (menggunakan

model)

Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya

menggunakan berbagai modus representasi (enaktif, ikonik atau

simbolik) untuk membantunya menyelesaikan suatu masalah. Dalam

pembelajaran matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat

dibawa ke level formal, tetapi diberi banyak waktu bermain atau berbuat

dengan menggunakan benda-benda konkrit, manipulatif atau

model-model.

i. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani)

Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari

siswa atau mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam

belajar. Guru dapat membimbing siswa jika mereka melakukan

kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau

sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja mencari

strateginya menyelesaikan masalah.

j. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan

dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan.

Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi

(43)

membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan

sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan siswa

(Caine, et al., 2005). Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan

lewat ancaman atau hukuman, tetapi dapat lewat sikap empatik,

penghargaan atau pujian.

G. Standar PMRI (Dirumuskan oleh Tim-PMRI)

1. Standar Guru PMRI (Standards for a PMRI teacher)

Marpaung (2012) (dalam artikel yang ditulis pada blog P4MRI USD)

menjabarkan Standar Guru PMRI sebagai berikut :

a) Guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang memadai tentang

matematika dan PMRI serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran

matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

b) Guru memfasilitasi siswa dalam berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi

untuk mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.

c) Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan

gagasan dan menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka

sendiri.

d) Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja

sama dan berdiskusi dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan

siswa.

e) Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep dan

(44)

2. Standar Pembelajaran Menurut PMRI (Standards for a PMRI Lesson)

a) Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar

kompetensi dalam kurikulum.

b) Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa

termotivasi dan terbantu belajar matematika.

c) Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi

masalah yang diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat

saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.

d) Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat

pembelajaran lebih bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh.

e) Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk

menyarikan fakta, konsep, dan prinsip matematika yang telah

dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat

pemahaman.

3. Standar Bahan Ajar PMRI (Standards for a PMRI Teaching Materials)

a) Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

b) Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi

siswa dan membantu siswa belajar matematika.

c) Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait

sehingga siswa memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna

dan utuh.

d) Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan

(45)

e) Bahan ajar dirumuskan/ disajikan sedemikian sehingga

mendorong/memotivasi siswa berpikir kritis, kreatif, dan inovatif serta

berinteraksi dalam belajar.

H. Hambatan dalam Pembelajaran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hambatan berarti kendala,

halangan, rintangan, faktor atau keadaan yang membatasi, menghalangi, atau

mencegah pencapaian sasaran; kekuatan yang memaksa pembatalan

pelaksanaan dalam pembelajaran. Sehingga hambatan pembelajaran adalah

suatu keadaan dalam kegiatan proses pembelajaran yang menghalangi

pencapaian dari tujuan pembelajaran tersebut. Kegiatan dalam proses

pembelajaran meliputi kompetensi yang harus dicapai, pengaturan

penggunaan waktu luang, pengaturan ruang dan alat perlengkapan pelajaran di

kelas serta pengelompokkan siswa dalam belajar.

Dalam kegiatan pembelajaran terdapat beberapa hal yang ikut

menentukan keberhasilan pembelajaran tersebut diantaranya adalah

pengaturan proses pembelajaran dan pembelajaran itu sendiri. Kedua hal

tersebut saling ketergantungan satu sama lain. Kemampuan mengatur proses

pembelajaran yang baik akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak

belajar, sehingga menjadi titik awal keberhasilan proses pembelajaran

tersebut. Hambatan yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran

antara lain berkaitan dengan perencanaan yang meliputi kompetensi yang

(46)

dihadapi institusi dalam hal ini sekolah adalah ketersediaan alat dan bahan,

sumber belajar seperti media, alat peraga dan buku serta fasilitas pendukung

yang lain.

I. Kerangka Berpikir

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) merupakan suatu

pendekatan pembelajaran matematika yang mulai diperkenalkan dan

dikembangkan di Indonesia sejak tahun 2001 di tiga kota besar di Jawa, yaitu

Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. PMRI merupakan hasil adaptasi dari

RME (Realistic Mathematic Education). PMRI mulai menerapkan perubahan

paradigma pembelajaran matematika dari Sekolah Dasar kelas I. Kemudian

pada tahun 2010 PMRI mulai diperkenalkan kepada guru-guru SMP/MTs.

SMP BOPKRI 3 Yogyakarta adalah salah satu sekolah yang sering mengikuti

workshop atau seminar yang diadakan oleh tim PMRI. Oleh karena itu, dalam

penelitian ini, peneliti ingin mengamati dan mengetahui bagaimana PMRI

diimplementasikan dalam pembelajaran matematika dengan melihat

karakteristik PMRI yang muncul dalam pembelajaran dan hambatan apa saja

yang dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI pada pembelajaran

matematika di SMP dengan materi persamaan garis lurus pada tahun ajaran

2012/2013.

Karakteristik yang akan digunakan untuk melihat implementasi PMRI

(47)

yang dikemukakan oleh Treffers (dalam Ariyadi Wijaya; 2011) yang meliputi

lima karakteristik, yaitu :

1. Penggunaan masalah kontekstual

2. Penggunaan model matematisasi progresif

3. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

4. Interaktivitas

5. Keterkaitan.

Pembelajaran realistik mengacu dari pemikiran Hans Freudenthal yang

mengemukakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, sehingga siswa

dituntut untuk aktif dalam proses pembelajaran, dan pembelajaran haruslah

dimulai dari masalah-masalah yang realistik, yaitu masalah yang dapat

dibanyangkan oleh siswa. Dalam PMRI, guru tidak lagi menjadi sumber ilmu

dan pusat pembelajaran, melainkan siswalah yang menjadi pusat

pembelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk memecahkan masalah dengan

cara mereka masing-masing. Pendekatan ini sesuai dengan teori

konstruktivisme yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengkonstruksi pemikirannya sendiri. Pembelajaran dengan pendekatan

realistik membimbing siswa dengan menyajikan masalah-masalah yang

konkrit. Siswa diharapkan mampu mengkonstruksikan pengetahuan yang

dimilikinya untuk memecahkan masalah matematika.

Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui implementasi

PMRI dengan melihat karakteristik PMRI yang muncul dalam kegiatan

(48)

PMRI. Oleh karena itu dalam penelitian ini peneliti hendak mengamati apakah

proses pembelajaran matematika pada materi persamaan garis lurus di kelas

VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 sudah

mengimplementasikan pendekatan pembelajaran matematika realistik, dan

hambatan apa yang ditemui guru dalam mengimplementasikan PMRI pada

(49)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian kualitatif

deskriptif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan

data berupa kata-kata tertulis dari obyek yang diamati. Penelitian deskriptif

bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan keadaan atau

fenomena yang ada di lapangan (Moleong: 1998).

Pada penelitian ini, peneliti akan mendeskripsikan atau menggambarkan

keadaan atau fenomena dalam proses pembelajaran matematika di kelas VIIIC

pada SMP yang menjadi mitra dari tim PMRI.

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah siswa-siswa dan guru matematika kelas

VIIIC SMP Bopkri 3 Yogyakarta. Sedangkan obyek penelitian ini adalah

proses pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di kelas VIIIC

SMP BOPKRI 3 Yogyakarta.

C. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kelas VIIIC SMP BOPKRI 3 Yogyakarta,

(50)

D. Bentuk Data dan Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan oleh peneliti pada penelitian ini berupa

kata-kata atau kalimat dan data tertulis. Metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data yaitu :

1. Pengamatan atau observasi

Peneliti melakukan pengumpulan data yang berupa kata-kata atau

kalimat dengan melakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan

pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI di kelas. Peneliti dan

observer mencatat proses pembelajaran dari awal sampai akhir

pembelajaran pada lembar observasi.

2. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan

pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan

tersebut (Moleong, 2009 : 186).

Pada penelitian ini peneliti mewawancarai guru matematika SMP

Bopkri 3 Yogyakarta. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk

memperoleh informasi dari guru terkait dengan hambatan yang dihadapi

guru dalam mengimplementasikan PMRI dalam kegiatan pembelajaran

matematika.

E. Instrumen Penelitian

(51)

1. Lembar Observasi (Pengamatan)

Lembar observasi merupakan salah satu alat pengumpulan data yang

digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan tingkah laku

seseorang atau proses yang sedang terjadi dalam situasi yang sebenarnya.

Pengamatan difokuskan pada :

1) Sikap guru, yang meliputi metode mengajar guru, kegiatan guru dalam

memotivasi siswa untuk ikut aktif dalam pembelajaran, penggunaan

alat peraga atau penggunaan konteks dalam kehidupan sehari-hari

siswa yang dapat mendukung dan membantu siswa dalam memahami

tujuan pembelajaran, peranan guru dalam pembelajaran, dan lain

sebagainya.

2) Sikap siswa, yang meliputi perhatian siswa terhadap kegiatan

pembelajaran, minat siswa dalam mengikuti pelajaran, keaktifan siswa

dalam mengkonstruksikan pemikirannya dan menemukan penyelesaian

masalah dengan caranya sendiri, keaktifan siswa dalam berdiskusi dan

memecahkan masalah baik secara individu maupun kelompok,

keberanian siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya kepada

teman-temannya, dan keaktifan siswa dalam bertanya serta menjawab

pertanyaan.

3) Interaksi kelas, yang meliputi interaksi antara siswa dengan guru

(52)

2. Lembar wawancara guru

Lembar wawancara guru ini berisi pertanyaan mengenai pendapat

guru tentang PMRI, bagaimana penerapan PMRI di kelas dan hambatan

yang dihadapi guru dalam menerapkannya.

3. Rekaman video

Rekaman video ini berisi tentang kegiatan pembelajaran matematika

dari awal sampai akhir pembelajaran, pada lima kali pertemuan.

Perekaman video ini dilakukan dengan maksud untuk membantu peneliti

dalam memperoleh informasi dan mendukung/melengkapi data penelitian.

F. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini, analisis data dilakukan dengan tahapan-tahapan

sebagai berikut :

1. Transkripsi Data

Setelah diperoleh rekaman video hasil pembelajaran, peneliti

melihat rekaman video secara berulang-ulang untuk menemukan

peristiwa-peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik

PMRI pada proses pembelajaran. Kemudian rekaman video tersebut

ditranskripsikan dan menjadi data penelitian. Proses pembuatan

transkripsi dan pengumpulan data dilakukan dengan memutar video

hasil rekaman secara berulang-ulang sehingga diharapkan

peristiwa-peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik PMRI yang

(53)

Kemudian, untuk meningkatkan validitas, peneliti juga

melakukan pengecekan ulang dalam pembuatan transkripsi.

Data-data yang telah ditranskripsikan dibaca kembali dengan teliti untuk

menemukan peristiwa yang menunjukkan penerapan karakteristik

PMRI pada proses pembelajaran. Kemudian peristiwa tersebut

dijadikan topik data. Topik data merupakan deskripsi singkat

mengenai bagian data yang mengandung makna tertentu sesuai

dengan yang diteliti.

2. Proses Pembelajaran

Setelah diperoleh data penelitian dari transkripsi video,

selanjutnya data tersebut dijabarkan dengan menggambarkan proses

pembelajaran yang berlangsung di kelas. Penggambaran proses

pembelajaran ditujukan untuk lebih memperjelas hasil transkripsi

video yang masih merupakan data mentah dari rekaman video hasil

pembelajaran. Pada gambaran proses pembelajaran, akan lebih

tampak bagaimana proses pembelajaran di kelas tersebut

berlangsung, dan juga bagaimana penerapan karakteristik PMRI

dilaksanakan dalam proses pembelajaran.

3. Pengkategorian Data ke dalam Karakteristik PMRI

Setelah data dijabarkan dalam penggambaran proses

pembelajaran, selanjutnya data dipilih dan dikelompokkan ke dalam

karakteristik PMRI. Peneliti menggunakan karakteristik PMRI yang

(54)

yaitu penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi

progresif, pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan

keterkaitan. Peneliti menganalisis data dan melihat karakteristik yang

muncul dalam pembelajaran pada pertemuan pertama sampai dengan

pertemuan kelima dan kemudian mengelompokkannya ke dalam

karakteristik PMRI.

Setelah pengelompokan data selesai dilakukan, kemudian

peneliti menganalisis secara keseluruhan mengenai pembelajaran

matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta berdasarkan pendekatan

PMRI.

Peneliti juga mengumpulkan data dari rekaman wawancara

dengan guru yang akan dianalisis untuk mengetahui hambatan yang

dihadapi guru dalam mengimplementasikan PMRI dalam kegiatan

pembelajaran.

4. Penjabaran Data Mengenai Hambatan yang dihadapi Guru dalam

Mengimplementasikan PMRI

Data mengenai hambatan yang dihadapi guru dalam

mengimplementasikan PMRI diperoleh dari hasil wawancara antara

peneliti dengan guru yang dilakukan setelah rangkaian kegiatan

pembelajaran selesai dilaksanakan. Dalam wawancara tersebut,

peneliti mencari data mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi

(55)

diperoleh, kemudian peneliti mengolah data tersebut, kemudian

menjabarkannya.

5. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mendeskripsikan

kegiatan pembelajaran di kelas terkait dengan implementasi PMRI

pada proses pembelajaran, dan juga dengan merangkum hasil

wawancara dengan guru terkait dengan hambatan yang dihadapi guru

dalam mengimplementasikan PMRI pada proses pembelajaran di

kelas.

G. Langkah-Langkah Kerja Penelitian

Berikut langkah-langkah kerja selama penelitian :

1. Pembuatan proposal

Peneliti membuat proposal yang kemudian diajukan dan

dikonsultasikan kepada dosen pembimbing, yang nantinya akan

dilampirkan pada surat permohonan penelitian dari pihak Universitas yang

ditujukan kepada sekolah yang bersangkutan.

2. Permohonan ijin kepada Kepala Sekolah dan Guru Kelas

Peneliti meminta ijin untuk penelitian kepada Kepala Sekolah dan

Guru Kelas dengan memberikan surat permohonan penelitian dari pihak

(56)

3. Melakukan observasi

Peneliti melakukan kegiatan observasi sebanyak dua kali di kelas.

Observasi dimaksudkan agar peneliti mengenal keadaan kelas yang

hendak diamati terlebih dahulu sekaligus untuk mempermudah dan

membantu peneliti dalam menyusun instrumen yang akan digunakan untuk

pengambilan data.

4. Penyusunan instrumen penelitian

Peneliti menyusun instrumen penelitian yang akan digunakan untuk

pengambilan data, kemudian mengkonsultasikannya kepada dosen

pembimbing.

5. Pengambilan data

Pada pengambilan data, peneliti menggunakan lembar observasi

sebagai instrumen pokok dan lembar wawancara serta rekaman video

sebagai instrumen pendukung. Observasi dilakukan oleh peneliti dari awal

sampai akhir kegiatan pembelajaran. Hasil pengamatan dicatat oleh

peneliti pada lembar observasi dan direkam menggunakan handycam.

Wawancara dilakukan di hari terakhir pengamatan pada guru.

6. Pengolahan Data

Dalam pengolahan data, peneliti menggunakan lembar observasi

sebagai hasil pengamatan dan rekaman video yang kemudian dianalisis

dari sudut pandang pembelajaran dan karakteristik PMRI, serta

(57)

7. Penarikan kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan mendeskripsikan kegiatan

pembelajaran yang terkait dengan implementasi karakteristik PMRI dan

juga dengan merangkum hasil wawancara dengan guru terkait hambatan

(58)

44

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

A. Deskripsi SMP BOPKRI 3 Yogyakarta

Penelitian dilaksanakan di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta yang

merupakan salah satu sekolah mitra PMRI di Yogyakarta. Beberapa guru

matematika di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta pernah beberapa kali

mengikuti pelatihan dan workshop yang diadakan oleh tim PMRI di

Yogyakarta, yang salah satunya adalah Ibu Dra. Adjeng.

Siswa-siswa yang bersekolah disini merupakan siswa yang

mempunyai nilai Ujian Nasional pada rentang menengah ke bawah.

Informasi ini didapat peneliti dari guru yang bersangkutan. Penelitian

dilaksanakan di kelas VIIIC dengan jumlah siswa 28 orang, dengan materi

ajar Persamaan Garis Lurus.

Pertimbangan peneliti memilih kelas VIIIC adalah atas dasar saran

dari guru yang bersangkutan. Subyek dari penelitian ini adalah siswa-siswi

kelas VIIIC dan guru matematika, sedangkan obyek dari penelitian ini

adalah adalah proses pembelajaran matematika dengan pendekatan

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia. Penelitian ini menggunakan

satu sekolah mitra PMRI, dikarenakan peneliti ingin mengetahui

implementasi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di sekolah

Gambar

Gambar 2.1 Matematisasi konseptual
Tabel 4.1 Tabel agenda pengambilan data
Gambar 4.1 Permasalah kontekstual yang diberikan oleh guru sebagai
Gambar 4.3 contoh soal dari penjelasan guru mengenai persamaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Results: Out of 96 respondents, only 40.6% had good knowledge regarding antibiotic use, 12.5% of respondents were prescribed antibiotics, but in the last course did not purchased

Sesuai ketentuan yang berlaku, maka Kelompok Kerja (Pokja) IX (sembilan) KLP Barang/Jasa Pemerintah Kabupaten Tapin akan melakukan kegiatan Pembuktian Kualifikasi kepada

Pemanfaatan media sosial Facebook melalui Grup Keluarga: Persaudaran Antar Etnis Salatiga (PANTAS) oleh Forum PANTAS diantaranya adalah sebagai bentuk pengananan

Saya akhirnya lebih memilih untuk menceritakan pekerjaan saya ya paling dengan team-teman yang dekat atau dengan orang-orang yang memiliki pemahaman yang baik tentang

Untuk meminalkan kerusakan lukisan yang disebabkan oleh faktor manusia (Antropogenik) perlu dilakukan tindakan seperti pendataan secara menyeluruh gua-gua prasejarah

[r]

Pengembangan Program Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Anak Tunagrahita di SLB C Plus Asih Manunggal.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |