• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Merek dalam Tindakan Passing Off

BAB III PENEGAKAN HUKUM MEREK DALAM TINDAKAN

C. Penegakan Hukum Merek dalam Tindakan Passing Off

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum dapat ditinjau dari dua sudut yaitu:90

1. Sudut subjeknya,

penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya

90Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum,

hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

2. Sudut obyeknya,

Maksud sudut objeknya yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Penegakan hukum dalam masyarakat modern tidak saja diartikan dalam arti sempit juga dalam arti luas, seperti di Indonesia penegakan hukum dikaitkan dengan unsur manusia dan lingkungan sosialnya, manusia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dan sebaliknya lingkungan sosial tersebut diisi dan dipengaruhi pula oleh perilaku-perilaku manusinya.91

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal karena itu penegakan hukum akan dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

92

1. Faktor hukumnya sendiri.

2. Faktor penegak hukum,pihak-pihak yang membentuk maupun menegakan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum itu berlaku dan diterapkan

91 Erma Wahyuni, et.al, Op.cit., hal.56.

92 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Penegakan hukum dapat bersifat:93 1. Preventif

Penegakan hukum yang besifat preventif adalah usaha pencegahan kejahatan, upaya untuk menjaga agar orang yang bersangkutan serta masyarakat pada umumnya tidak melakukan kejahatan.

2. Represif

Penegakan hukum represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan.

3. Kuratif

Penegakan hukum yang bersifat kuratif adalah penegakan hukum preventif dalam arti seluas-luasnya dalam arti penanggulangan kejahatan yang lebih dititikberatkan pada tindakan terhadap orang yang melakukan kejahatan.

Pendekatan yang dilakukan Direktorat Jenderal HKI di dalam melakukan penanggulangan pelanggaran HKI dibagi ke dalam tiga pendekatan, yakni secara preemtif; preventif; dan represif. Pendekatan preemtif dilakukan melalui peningkatan kesadaran sumber daya manusia terhadap merek, dengan sosialisasi yang dilakukan secara berkesinambungan. Pendekatan secara preventif dilakukan dengan membuat/merumuskan ke dalam perundang-undangan, dan melakukan administrasi, koordinasi, serta kerja sama internasional.

Penegakan hukum dalam tindakan passing off di Indonesia dapat dilihat dari terdaftar atau tidaknya merek terkenal yang menjadi obyek passing off pada Dirjen HKI. Berdasarkan hal tersebut penegakan hukum yang dapat dilakukan 1. Penegakan hukum preventif

Sebenarnya tindakan passing off dapat dicegah sejak awal ketika diajukannya permohonan pendaftaran merek. Pemeriksa Merek (Trademark Examiner) yang berfungsi sebagai salah satu penentu diterima atau tidaknya suatu permohonan pendaftaran merek dapat menerapkan prinsip pemeriksaan cross class, apabila antara suatu merek yang diajukan pendaftarannya memiliki keterkaitan dengan merek lain yang berada dalam kelas barang atau jasa yang berbeda, dan digunakan secara bersamaan dalam perdagangan barang atau jasa, maka pemeriksa merek (Trademark Examiner) sepatutnya menolak permohonan tersebut. Namun seringkali pada prakteknya, merek-merek yang memiliki persamaan pada pokoknya serta keterkaitan dengan merek lain yang berada di kelas barang atau jasa yang berbeda tersebut, walaupun sangat berpotensi menyesatkan konsumen, tetap saja dapat terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI). Hal tersebut selain menyebabkan kebingungan di masyarakat, juga menimbulkan ketidakpastian hukum, padahal seharusnya Dirjen HKI berfungsi untuk menciptakan kepastian hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual.

2. Penegakan hukum represif

Seperti telah dijelaskan diatas, penegakan hukum represif itu dilakukan setelah terjadinya suatu pelanggaran dan atau kejahatan dalam hal ini adalah

perbuatan passing off. Dalam hal ini peran lembaga peradilan dan aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dan kejaksaan sangat diperlukan. Penegakan hukum secara represif dalam passing off di Indonesia biasanya dapat dilakukan jika juga merupakan pelanggaran merek, sedangkan terhadap penegakan hukum persaingan curangnya tidak dilakukan karena ketiadaan undang-undang persaingan curang.

Penggunan ketentuan pidana Pasal 382 bis KUHP tentang persaingan curang kurang dapat memberikan efek jera yang disebabkan rendahnya hukuman yang diberikan tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh pelaku usaha sebagai akibat ada persaingan curang sehingga ketentuan ini jarang digunakan untuk perbuatan passing off. Supaya dapat dihukum, menurut pasal ini, antara lain bahwa terdakwa harus dapat dibuktikan telah melakukan perbuatan menipu. Perbuatan menipu itu bermaksud untuk memperdaya publik atau orang tertentu. Perbuatan itu dilakukan untuk menarik suatu keuntungan di dalam perdagangan atau perusahaan sendiri atau orang lain. Perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi pesaingnya. Saingannya itu adalah saingan dari terdakwa sendiri atau saingan dari orang yang dibela oleh terdakwa.

Demikian pula kalau digunakan ketentuan Pasal 1365 KHUPerdata, dalam penegakan hukumnya pihak penggugat yang mereknya dibonceng yang harus membuktikan kalau mereknya merupakan merek terkenal, mempunyai reputasi di masyarakat dan didalam masyarakat telah terjadi kekeliruan yang menyesatkan serta adanya kerugian yang cukup besar. Gugatan ganti rugi dapat diajukan ke pengadilan negeri.

Terhadap passing off yang terindikasi pelanggaran merek, penegakan hukumnya sebagaimana diatur dalam UU Merek 2001, dapat melalui:

1. gugatan pembatalan merek (Pasal 68-Pasal 72); 2. gugatan ganti rugi (Pasal 76 ayat 1 huruf a);

3. penghentian semua kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut (Pasal 76 ayat 1 huruf b);

4. pengajuan permohonan kepada hakim untuk dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan/atau perdagangan barang/jasa yang menggunakan merek tersebut dan hakim dapat juga memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 78);

5. tuntutan pidana/ adanya sanksi pidana bagi pelaku passing off, sesuai ketentuan dalam Pasal 90 bagi pemilik merek yang melakukan passing off merek tekenal terdaftar sama keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan pasal 91 menyatakan bagi pemilik merek yang melakukan passing off merek tekenal terdaftar sama pada pokoknya untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Penegakan hukum merek terhadap perbuatan passing off terhadap merek terkenal selama ini yaitu sejak Indonesia mempunyai undang-undang merek,

dari UU No.21 Tahun 1961 sampai dengan UU No. 15 Tahun 2001, mengalami perkembangan yang cukup signifikan sehingga telah menciptakan iklim usaha yang lebih baik, yang memberikan keamanan dan kepastian hukum terutama bagi pengusaha asing pemilik merek terkenal yang ingin berusaha di Indonesia. Meskipun demikian penegakan hukum merek ini perlu lebih ditingkatkan terutama untuk menjadikan aparatur penegak hukum, yang merupakan unsur penting, lebih profesional dan bertanggung jawab sehingga mereka yang merupakan ujung tombak penegakan hukum dapat menegakan hukum dengan baik dan tercipta kepastian hukum seperti yang diharapkan.

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA KONSUMEN DARI AKIBAT TINDAKAN PASSING OFF

A. Hak-Hak Kosumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Konsumen, menurut Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy memiliki hak-hak dasar sebagaimana dikemukakan olehnya di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:94

1. Hak memperoleh keamanan; 2. Hak memilih;

3. Hak mendapat informasi; 4. Hak untuk didengar.

Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu:95

1. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; 2. Hak untuk memperoleh ganti rugi;

3. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

4. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

94

Miru dan Yodo, Op.cit, hal. 38-39.

95

Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu96

1. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

:

2. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar; 3. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi.

Hak-hak tersebut diatas merupakan hak yang sudah melekat bagi siapapun yang berkedudukan sebagai konsumen, sekaligus sebagai subjek hukum. Dengan demikian adalah merupakan suatu kebebasan bagi konsumen untuk dapat mempresentasikan hak-hak tersebut kedalam suatu wadah atau kelompok.

Hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UUPK, yakni:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa.

Hak atas keamanan dan keselamatan ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan/atau jasa yang diperolehnya sehingga konsumen terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengkonsumsi suatu produk.97

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

96Ibid, hal. 47.

Hak memilih dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari luar. Berdasarkan hak memilih ini konsumen berhak memutuskan untuk membeli atau tidak terhadap suatu produk, demikian pula keputusan untuk memilihbaik kualitas maupun kuantitas jenis produk yang dipilihnya.98

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan diberbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk.99

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan.

Hak ini berkaitan erat dengan hak untuk mendapatkan informasi. Hak ini untuk menghindari konsumen memdapatkan kerugian lebih lanjut. Ini antara lain disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan sering tidak cukup memberikan kejelasan atau ada pengaduan terhadap kerugian yang diderita, oleh karenanya konsumen berhak menggunakan hak

98Ibid., hal. 42.

99 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,

ini dan disampaikan baik secara perseorangan maupun kolektif, disampaikan secara langsung atau diwakili oleh suatu lembaga tertentu seperti LSM

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan, hak ini sebenarnya juga meliputi hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

Hak ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk. Pendidikan disini tidak harus diartikan sebagai suatu proses formal yang dilembagakan, bentuk informasi yang komprehensif sudah merupakan pendidikan konsumen

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Untuk menghindari dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi didalam hubungan

hukum pelaku usaha dengan konsumen. Klausul seperti ini merupakanhal yang lazim ditemukan namun pencantumannya yang secara sepihak tidak menghilangkan hak konsumen mendapatkan ganti rugi.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

B. Akibat dari Tindakan Passing Off Bagi Konsumen

Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain untuk barang yang sejenis atau tidak sejenis oleh pihak yang tidak berhak, dapat menyesatkan konsumen terhadap asal usul kualitas barang yang memakai merek tersebut bahkan dapat mengancam keselamatan dan kesehatan konsumen.

Passing off ini dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki itikad tidak baik sehingga didalam Common Law pelaku usaha ini dikatakan melakukan persaingan curang. Mengenai itikad baik ini, UUPK juga mewajibkan pelaku usaha beritikad baik didalam melakukan kegiatan usahannya, sesuai dengan Pasal 7 huruf a.

Akibat adanya pelaku usaha yang tidak memiliki itikad baik sehingga melakukan pemboncengan reputasi, konsumen tidak dapat memperoleh hak-haknya sehingga dalam hal ini konsumen dirugikan. Hak-hak konsumen yang tidak dapat diperoleh dari passing off ini antara lain:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa.

Konsumen dalam hal ini tidak memperoleh hak ini karena hak ini seharusnya didapat dari produsen/pemilik merek terkenal yang sesungguhnya, sedangkan konsumen membeli/mengkonsumsi barang/jasa yang mendompleng merek terkenal tersebut.

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

Hak ini pun tidak dapat konsumen peroleh sebagai akibat dari perbuatan pelaku usaha yang melakukan passing off karena memang nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan hanya dapat diberikan oleh pelaku usaka pemilik merek terkenal yang sesungguhnya.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

Hak yang dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari luar dan disertai informasi yang benar, juga tidak dapat diperoleh konsumen sebagai akibat perbuatan passing off.

Dengan tidak diperolehnya hak-hak sebagai konsumen sudah tentu memberikan dampak kerugian baik kerugian materil maupun kerugian immaterial. Kerugian materil ini dapat diminta ganti ruginya namun hal mengenai kerugian immaterial ini yang sulit diberikan penggantiannya meskipun biasanya tuntutan ganti rugi immaterial ini berupa sejumlah uang. Kerugian immaterial pada prinsipnya tidak dapat digantikan misalnya keselamatan yang terancam didalam

mengkonsumsi atau menggunakan barang/jasa hasil pendomplengan/pemboncengan merek terkenal; hilangnya kesempatan mendapatkan keuntungan/manfaat yang diharapkan dari penggunaan barang/jasa suatu merek terkenal ataupun mendapatkan rasa malu akibat penggunaan barang/jasa hasil perbuatan passing off karena biasanya salah satu alasan orang menggunakan merek terkenal adalah adanya prestige atau gengsi.

C. Upaya-Upaya dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Konsumen

Permasalahan pelanggaran HKI dan penegakan hukumnya tidaklah semata-mata menjadi perhatian dan prioritas bagi pihak asing. Pelanggaran HKI dalam bentuk pembajakan, pemalsuan dan tindakan lainnya merupakan masalah yang sangat serius dan perlu ditanggulangi dengan seksama oleh segenap pemangku kepentingan di tanah air. Kenyataan menunjukkan bahwa pelanggaran HKI tidak saja menimbulkan banyak kerugian secara finansial tapi juga dapat merugikan dan membahayakan kepentingan konsumen. Sebagai contoh sederhana, perbuatan passing off merek air minum kemasan “AQUA” tidak saja menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi pihak produsen yang asli tetapi juga membahayakan konsumen yang membeli produk dari produsen yang melakukan passing off karena konsumen mengira barang yang dikonsumsinya pasti sama kualitasnya dengan “AQUA” padahal kualitasnya lebih rendah sehingga bisa mengganggu kesehatan konsumen.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perlindungan konsumen dalam UUPK mempunyai cakupan yang luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang dan jasa itu. Secara garis besar cakupan perlindungan konsumen dalam UUPK adalah:100

1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan konsumen atau tidak. Dan persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang tidak sesuai.

2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar kontrak, harga, layanan purna jual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.

Secara upaya-upaya atau bentuk-bentuk perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen dapat dilakukan oleh banyak pihak, baik

100 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumendi Indonesia, (Bandung: PT Citra

perlindungan secara individu, perlindungan dari pemerintah, perlindungan dari pelaku usaha dan perlindungan organisasi konsumen.

1. Perlindungan secara individual

Mengingat konsumen yang seringkali berada pada pihak yang menderita kerugian akibat perilaku pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab serta masih banyak konsumen yang tidak menyadari akan hak-haknya. Maka konsumen perlu diberdayakan melalui pendidikan konsumen, khususnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya sebagai konsumen. Pendidikan ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan dalam memilih suatu produk sehingga dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaannya. Dengan pendidikan tersebut konsumen akan dapat memberikan perlindungan terhadap dirinya sendiri dan dapat bertindak dengan benar ketika merasa dirugikan.

2. Perlindungan dari pelaku usaha

Pelaku usaha harus menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan oleh UUPK secara konsisten untuk dapat memberikan perlindungan kepada konsumen dan jika ini dilakukan pada akhirnya pun akan memberikan dampak positif bagi kegiatan pelaku usaha itu sendiri. Salah sayu contoh kewajiban pelaku usaha sebagaimana disebut dalam Pasal 7 huruf d UUPK adalah “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”. Dengan kata lain, pelaku usaha harus memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pelaku usaha bidang

makanan atau pangan harus memperhatikan Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, bagi pelaku usaha yang bergerak dibidang Industri Rumah Tangga harus juga memperhatikan Kep.BPOM No.hk.00.05.5.1640/PP.28/2004 tentang Prosedur Penerbitan Sertifikasi Produk Pangan Industri Rumah Tangga.

3. Perlindungan dari pihak pemerintah

Selain melindungi kepentingan konsumen melalui berbagai undang-undang dan penegakan hukum, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan dengan cara mengatur, mengawasi serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran produk, baik kesehatan maupun keuangannya. Dalam hal ini langkah-langkah yang dapat ditempuh pemerintah adalah:

a. Registrasi dan penilaian; b. Pengawasan dan distribusi;

c. Pembinaan dan pengembangan usaha;

d. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga. 4. Perlindungan organisasi konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengakuan terhadap keberadaan organisasi konsumen atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), yang dituangkan dalam pasal 44 ayat (1) UUPK yaitu: “Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat yang memenuhi syarat.” Kemudian dalam rangka melindungi kepentingan konsumen dan membela hak-hak konsumen yang dirugikan, LPKSM bertugas:

a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengaturan cukup baik mulai dari pengertian konsumen, pelaku usaha, hak dan kewajiban hingga

Dokumen terkait