• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Ketela Pohon

Menurut Rukmana (1997) klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut:

Kerajaan : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot

Spesies : Manihot utilissima Pohl.

Ketela pohon nama lain dari singkong merupakan tanaman yang mirip semak dapat tumbuh sekitar 6-8 kaki (1,83 – 2,44 meter). Tanaman ini memiliki batang tegak yang halus dan kenampakan mirip tanaman ganja. Daunnya besar, berwarna hijau tua, tangkai daun kemerahan,dan berbentuk terbagi 7. Batang mengandung getah putih, dan memiliki nodus yang merupakan tempat munculnya tanaman baru. Akarnya digunakan sebagai bahan pangan dan patinya digunakan dalam industri lem dan tapioka (Stephens, 2009).

Ketela pohon akan menghasilkan akar tuberous yang memiliki kandungan pati yang tinggi, yang berperan sebagai sumber karbohidrat utama.

Akar ketela pohon mengandung kalori dalan jumlah tinggi, vitamin, mineral, dan dietary fiber (Li, Zhu, Zeng, Zhang, Ye, Ou, Rehman, 2010). Adapun kandungan gizi ketela pohon per 100 g bahan adalah sebagai berikut :

Tabel. I Kandungan Gizi Akar Ketela Pohon per 100 g bahan (Depkes R.I. 1981)

No. Kandungan Unsur Gizi Ketela Pohon Putih

1 Kalori (kal) 146,00 2 Protein (g) 1,20 3 Lemak (g) 0,30 4 Karbohidrat (g) 34,70 5 Kalsium (mg) 33,00 6 Fosfor (mg) 40,00 7 Zat Besi (mg) 0,70 8 Vitamin A (SI) 0,00 9 Vitamin B1 (mg) 0,06 10 Vitamin C (mg) 30,00 11 Air (g) 62,50

12 Bagian yang dapat dimakan (%) 75,00

Keterangan: kal = kalori; g = gram; mg =milligram; SI = Satuan Internasional

B. Selulosa

Selulosa merupakan senyawa menyerupai serabut liat, tidak larut air, secara alami terdapat pada kayu, kapas dan pada tumbuhan lainnya. Selulosa adalah homopolimer polidispers linier, yang terdiri dari unit – unit D-glukopiranosa/ AGU yang terikat melalui ikatan β-1,4- glikosida secara selektif. Polimer ini memiliki gugus hidroksi bebas pada atom karbon C-2, C-3, dan C-6 (Klemm, Schamuderz, Heinze, 2010).

Selulosa berbentuk gel, tekstur kenyal, warna putih agak transparan, mengkilap atau glossy, licin, aroma netral, rasa tawar. Selulosa merupakan polisakarida rantai lurus. Dalam reaksi hidrolisis, selulosa menghasilkan monomer

D-glukosa. Selulosa merupakan konstituen utama pada kertas dan tali. Turunan dari selulosa antara lain : selulosa nitrat, selulosa asetat, dan etil selulosa yang secara luas digunakan pada industri plastik (Gupta, 2010).

Dari hasil pemeriksaan selulosa menggunakan sinar X mununjukkan bahwa selulosa terdiri atas rantai linear dari unit selobiosa, yang oksigen cincinnya berselang-seling dengan posisi “ke depan” dan “ke belakang”. Molekul

linear ini yang mengandung rata-rata 5000 unit glukosa, beragregasi menghasilkan fibril yang terikat bersama oleh ikatan hydrogen di antara hidroksil-hidroksil pada rantai yang bersebelahan. Selulosa memiliki ikatan hidrogen yang kuat, hal ini menyebabkan tidak dapat larut dalam air, meskipun memiliki banyak gugus hidroksil dan bersifat polar (Hart, Craine, Hart, 2003).

C. Selulosa Bakteri

Selulosa yang diperoleh dari proses fermentasi adalah sejenis polisakarida mikrobial yang tersusun oleh serat selulosa yang dihasilkan oleh strain xylinum, subspesies dari Acetobacter aceti, bakteri non-patogen, yang dinamakan sebagai selulosa bakterial atau selulosa yang diperoleh dari fermentasi. Aplikasi dari selulosa bakteri sangat luas, di antaranya dalam bidang membran, elektronik, tekstil, dan terutama di bidang biomedis. Hal ini dilatarbelakangi karena keunggulannya dalam hal porositas, absorbsi terhadap air, sifat mekanik, dan biokompatibilitas (Chawla, Bajaj, Survase dan Singhal, 2009).

Keunggulan selulosa bakteri adalah dalam hal porositas, absorbsi terhadap air, sifat mekanik, dan biokompatibilitas. Sifat selulosa bakteri mirip

dengan kulit manusia, sehingga dapat digunakan sebagai kulit pengganti dalam luka bakar (Ciechańska, 2004).

Adapun struktur selulosa bakteri ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur selulosa bakteri

(Festucci-Buselli, Otoni, and Joshi, 2007). Selulosa bakteri merupakan polimer alam yang sifatnya menyerupai hidrogel yang diperoleh dari polimer sintetik ; selulosa bakteri menunjukkan kandungan air yang tinggi (98-99%), daya serap yang baik terhadap cairan, bersifat non-allergenik, dan dapat disterilisasi tanpa mempengaruhi karakteristik

dari bahan tersebut (Ciechańska, 2004).

Selulosa bakteri tersusun oleh serat selulosa yang lebih baik yang dihasilkan oleh bakteri. Setiap serat tunggal dari selulosa bakteri mempunyai diameter 50 nm, dan selulosa bakteri terdapat dalam bentuk kumpulan serat-serat tunggal yang berdiameter sekitar 0,1-0,2 nm. Panjang seratnya tidak dapat ditentukan karena kumpulan serat-serat tunggal selulosa saling melilit satu sama

lain membentuk struktur jaringan. Sebagai pembandingnya diameter dari selulosa bentuk kristalin adalah 10 – 30 nm (Philips and Williams, 2000).

Selulosa bakteri mempunyai beberapa keunggulan antara lain: kemurnian tinggi, derajat kristalinitas tinggi, mempunyai kerapatan antara 300-900 kg/m3, kekuatan tarik tinggi, elastis, dan terbiodegradasi (Krystynowicz, 2001).

Aplikasi selulosa bakteri dalam bidang biomedis pada luka yang ingin disembuhkan dengan efektif, luka harus dijaga agar tetap dalam kondisi basah. Penutup luka yang baik, tidak mengiritasi kulit, permeable terhadap uap dan melindungi jaringan tubuh bagian dalam terhadap cedera mekanis dan infeksi. Penutup luka dari kulit babi atau kulit jenazah manusia telah digunakan, tetapi bahan tersebut mahal dan hanya digunakan untuk waktu yang singkat

(Ciechańska, 2004).

Selulosa bakteri dapat digunakan sebagai pengganti kulit untuk merawat luka bakar yang serius karena karakteristiknya yang mirip seperti kulit manusia. (Ciechanska, 2004). Selulosa bakteri juga mempunyai kerangka jaringan yang sangat baik dan hidrofilisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pembuluh darah buatan yang sesuai untuk pembedahan mikro (Hoenich, 2006).

D. Acetobacter xylinum

Bakteri Actobacter xylinum tumbuh baik dalam media yang memiliki pH 3 – 4. Jika pH lebih dari 4 atau kurang dari 3, proses fermentasi tidak akan bisa berjalan sempurna. Suhu optimum untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah 26 – 270C (Warisno, 2004).

Adapun klasifikasi bakteri Acetobacter xylinum (Stang, 2012) adalah sebagai berikut: Kerajaan : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Alphaproteobacteria Ordo : Rhodospirillales Famili : Acetobacteraceae Genus : Acetobacter

Spesies : Acetobacter xylinum

Secara fisik Acetobacter xylinum mampu mengoksidasi glukosa menjadi rantai atau polimer panjang yang disebut dengan polisakarida atau selulosa berupa serat – serat putih yang secara bertahap dari lapisan tipis pada awal fermentasi hingga mencapai ketebalan sekitar 12 mm pada akhir fermentasi, kemudian disebut sebagai nata yang merupakan metabolit sekunder. Metabolit primer bakteri ini berupa asam asetat, air dan energi (Nainggolan, 2009).

Acetobacter xylinum mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan sifat fisik misalnya adanya goncangan akan menyebabkan nata yang terbentuk di permukaan cairan menjadi turun, dan perubahan sifat kimia misalnya pH yang sangat rendah mengakibatkan pertumbuhan Acetobacter xylinum terhambat. Akibat yang ditunjukkan oleh terhambatnya pertumbuhan Acetobacter xylinum adalah nata yang dihasilkan tipis dan lunak, atau kemungkinan yang paling tidak menguntungkan adalah tidak terbentuknya nata (Endang, 1993).

Acetobacter xylinum berbentuk elips atau tongkat yang melengkung. Kultur yang masih muda merupakan bakteri gram negatif, sedangkan kultur yang sudah agak tua merupakan bakteri dengan gram yang bervariasi. Acetobacter merupakan bakteri aerob, yang memerlukan respirasi dalam metabolisme. Acetobacter dapat mengoksidasi etanol menjadi asam asetat, juga dapat mengoksidasi asetat dan laktat menjadi CO2 dan H2O (Warisno, 2004). Selulosa bakteri mirip dengan kulit manusia, sehingga selulosa bakteri dapat digunakan

sebagai kulit pengganti dalam luka bakar (Ciechańska, 2004).

E. Stphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakah salah satu bakteri Gram positif yang ditemukan saat kulit mengalami luka/infeksi (Lay & Sugyo, 1992). Ciri bakteri Gram positif adalah : memiliki struktur yang tebal (15-80 nm); dinding sel berlapis tunggal; memiliki kandungan lipid yang rendah (1-4%); dinding sel terdiri dari peptidoglikan yang lebih dari 50% bobot kering, ada asam teikoat (Pelczar & Chan, 1986)

Peptidoglikan adalah suatu polimer yang terdiri dari tiga macam bahan pembangun, yaitu asam N-asetil-glukosamin (AGA), Asam N-Asetil-Muramat (AAM) dan suatu peptida yang terdiri dari empat sampai lima asam amino, yaitu L-alanin, D-alanin, asam D-glutamat dan lisin atau diamino tinelat. Peptidoglikan ini memberikan bentuk dan kakunya dinding sel (Lay & Sugyo, 1992). Dinding sel bakteri Gram positif dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur dinding sel bakteri Gram positif

(Lay & Sugyo, 1992). Susunan kimiawi dari peptidoglikan khas untuk masing-masing bakteri AGA dan AAM merupakan komponen tetap, akan tetapi keragaman ada pada asam amino yang ada dan sifat ikatannya. Pelczar & Chan (1986) menjelaskan bahwa perbedaan dinding sel inilah yang menyebabkan bakteri dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan respon yang berbeda terhadap pewarnaan Gram, yaitu bakteri Gram positif dan Gram negatif.

Bakteri Gram-positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi dibandingkan dengan bakteri Gram-negatif. Bakteri gram-positif memiliki asam teikoat, polimer yang bersifat asam yang mengandung ribitol fosfat atau gliserol fosfat. Asam teikoat ini bermuatan negatif, sehingga menyebabkan muatan negatif pada permukaan sel bakteri Gram-positif (Lay & Sugyo, 1992).

Gambar 3. Struktur dinding sel S. aureus

(Araki and Ito, 1989). F. Kitosan

Kitosan adalah biopolimer yang telah diketahui dapat mempercepat penyembuhan luka (Kojima, Okamoto, Miyatake, Kitamura, Minami, 1998). Berdasarkan sifat fisika dan kimia yang dimilikinya, kitosan banyak digunakan dalam bidang farmasi, produk kosmetik, penyaringan air, perawatan kulit, dan perlindungan tanaman. Selain itu, kitosan dapat juga digunakan sebagai pasta gigi, pencuci mulut, dan permen karet kunyah. Hal ini karena kitosan dapat menyegarkan nafas, mencegah terjadinya plak pada mulut, dan mencegah kerusakan gigi. Dalam bidang teknologi jaringan, kitosan dan turunannya diaplikasikan sebagai penutup luka, sistem pengiriman obat, dan pengisi implant (Kumar, Joydeep, and Tripathi, 2004).

Gambar 4 menunjukkan struktur kitosan yang merupakan senyawa hasil deasetilasi kitin, terdiri dari unit N-asetil glukosamin dan N glukosamin. Kitosan sebagai bahan yang dapat diperbarui secara alami mempunyai sifat yang unik seperti biokompatibel, biodegradabel, non-toksik, dan kemampuan untuk pembentukan lembaran yang bagus.

Gambar 4. Struktur kitosan

(Pardosi, 2008). Kitosan mempunyai dua gugus reaktif, yaitu amino dan hidroksil yang secara kimia dapat melakukan interaksi pada temperatur ruangan. Adanya gugus amino memungkinkan untuk dilakukan beberapa modifikasi kimia (Xiaoxiao, Wang, dan Bai, 2009).

Kitosan merupakan padatan putih yang tidak larut dalam air, pelarut organik, alkali, dan asam mineral, dalam berbagai kondisi. Kitosan larut dalam asam formiat, asam asetat, dan asam organik lainnya dalam keadaan dipanaskan sambil diaduk (Manskaya, dan Drodzora, 1968). Kelarutan kitosan dalam pelarut asam anorganik adalah terbatas. Kitosan dapat larut dalam HCl 1% tetapi tidak larut dalam asam sulfat dan asam fosfat. Stabilitas larutan kitosan pada pH diatas tujuh adalah rendah akibat dari pengendapan ataupun pembentukan gel yang terjadi pada range pH alkali. Larutan kitosan membentuk kompleks poli-ion dengan hidrokoloid anionik dan menghasilkan gel (Nadarajah, 2005).

G. Gliserol

Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis, tidak berwarna, cairan kental dengan titik lebur 200C dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu

2900C. Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze) dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik, makanan dan minuman lainnya (Austin, 1985).

Gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena, itu gliserol merupakan pelarut yang baik Gliserol juga dapat digunakan sebagai pemlastis. Proses plastisasi polimer pada prinsipnya adalah dispersi molekul pemlastis ke dalam fase polimer. Jika pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer-pemlastis yang disebut kompatibel. Suatu pemlastis akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanis polimer seperti kekuatan tarik, elastisitas kekerasan, sifat listrik, dan sebagainya (Goudung, 2004).

H. Antibakteri

Antibakteri diartikan sebagai zat yang dapat menggangu pertumbuhan dan metabolisme bakteri (Clifton, 1958). Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua, yaitu yang memiliki aktivitas membunuh yang dikenal dengan bakterisidal seperti penisilin, basitrasin, dan neomisin, dan yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan atau yang di sebut bakteriostatik seperti tetrasiklin, kloramfenikol, dan novobiosin (Pelzcar & Chan 1986).

Pelzcar dan Chan (1986) mengungkapkan bahwa mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh senyawa antibakteri ada beberapa macam, antara lain: (1) menghambat sintesis dinding sel; (2) menghambat keutuhan permeabilitas membran sitoplasma, sehingga terjadi kebocoran zat nutrisi dari dalam sel; (3) denaturasi protein sel; (4) merusak sistem metabolisme sel dengan menghambat kerja enzim intraseluler; dan (5) menghambat sintesis protein yang menyebabkan kerusakan total sel.

Menurut Todar (1997), cakupan bakteri yang dapat dipengaruhi oleh zat antibakteri disebut dengan spektrum aksi antibakteri. Berdasarkan spektrum aksinya, zat antibakteri dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) Spektrum sangat terbatas yaitu zat antibakteri yang efektif melawan suatu spesies bakteri tertentu; (2) spektrum terbatas yaitu zat antibakteri yang efektif melawan sebagian bakteri gram-positif atau gram-negatif; (3) spektrum luas, yaitu zat antibakteri yang efektif melawan bakteri gram-positif dan gram-negatif dalam cakupan yang luas.

I. Pengujian Aktivitas Antimikroba

Ada dua cara pengujian antibakteri, yaitu teknik dilusi dan teknik difusi. Teknik dilusi yaitu dengan mencampur zat antibakteri dengan medium yang kemudian diinokulasi dengan bakteri uji. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat tumbuh tidaknya bakteri uji tersebut (Pelzcar dan Chan, 1986).

Ada dua cara teknik dilusi, yaitu cara penipisan lempeng agar dan cara pengenceran tabung. Pada teknik difusi, zat yang akan ditentukan aktivitas antibakterinya berdifusi pada lempeng agar yang telah ditanami bakteri. Dasar

pengamatannya adalah ada atau tidaknya zona hambatan pertumbuhan bakteri. Teknik difusi ini ada tiga macam cara, yaitu cara parit (ditch), cara lubang/cawan (hole/cup) dan cara cakram (disc) (Pelzcar dan Chan, 1986).

Ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri antara lain, daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10 sampai 20 mm berarti kuat, daerah hambatan 5 sampai 10 mm berarti sedang, dan daerah hambatan 5 mm atau kurang berarti lemah (Todar, 1997).

J. Penutup Luka

Penutup luka yang ideal adalah mampu memiliki beberapa fungsi berikut. 1) Menyediakan lingkungan yang lembab bagi luka / permukaan penutup

luka.

2) melindungi luka secara fisik dari infeksi bakteri, 3) steril, murah dan mudah digunakan,

4) menyerap kelebihan eksudat tanpa kebocoran di permukaan penutup luka. 5) menyerap bau luka,

6) melindungi luka secara mekanik dan suhu,

7) mampu menyediakan pori-pori yang digunakan untuk sirkulasi pergantian udara dan cairan,

8) secara signifikan mengurangi rasa nyeri pada luka,

9) tidak toksik, tidak mengandung pirogen, tidak mensensitasi dan tidak menyebabkan alergi baik pada pasien maupun pada staf medis, dan

10) tidak menempel di luka dan ketika dilepas tidak menyebabkan rasa nyeri atau trauma pada luka (Eldin, Soliman, Hashem dan Tamer, 2008).

K.

Gugus Fungsi dengan Spektrofotometri Infra Merah

Spektrum infra merah pada dasarnya merupakan gambaran dari pita absorbansi spesifik dari gugus fungsional yang mengalami vibrasi karena pemberian energi. Interaksi antara gugus dengan atom yang mengelilinginya dapat menandai spektrum itu dalam setiap senyawa. Analisis kualitatif, dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya absorpsi pada frekuensi tertentu dan merupakan penanda ada tidaknya gugus fungsional tertentu. Penggunaan spektrofotometri infra merah pada bidang kimia organik menggunakan daerah dari 650-4000 cm-1 (15,4-2,5 μm) (Sastrohamidjojo, 2007).

Gugus fungsional dalam molekul dianalisis secara kualitatif dengan melihat bentuk spektrumnya yaitu dengan melihat puncak spesifik yang menunjukkan jenis gugus funsgional. Analisis secara kuantitatif dilakukan berdasarkan hukum Lambert-Beer, ditunjukkan pada Persamaan 1.

A = log (Io/I) = a c l ………..….. (1)

Keterangan : A = absorbansi

Io = intensitas sinar masuk

I = Intensitas sinar yang ditransmisikan a = koefisien absorpsi (M-1 cm-1) c = konsentrasi zat (M)

l = panjang lintasan (cm)

Untuk mengoreksi kesalahan yang timbul akibat adanya overlap puncak absorpsi, maka garis dasar (base line) dalam spektrum infra merah harus dibuat seperti ditunjukkan pada Gambar 5, I dan Io ditentukan sebagai intesitas transmisi pada garis dasar. Absorbansi (A) pada frekuensi yang diberikan (dalam cm-1) terlihat pada Persamaan 2.

Absorbansi (A) = log (Io/I) = log (AC/AB) ……….. (2)

Keterangan :

AC = Io = intensitas sinar masuk

AB = I = intensitas sinar yang ditransmisikan

AC dan AB ditentukan dari spektrum infra merah seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Metode mengkonstruksi garis dasar dalam spectrum infra merah

(Sastrohamidjojo, 2007). Gambar 6 menunjukkan karakteristik serapan dari selulosa bakteri menunjukkan puncak di sekitar daerah 3350 cm-1 yang menunjukkan O-H stretching dan di sekitar daerah 2916,81 cm-1 yang menunjukkan CH stretching.

Adanya pita di sekitar daerah 1649,8 cm-1 yang menunjukkan deformasi vibrasi dari molekul air yang terabsorbsi (Wonga, Kasapis dan Tan, 2009).

Adapun karakteristik serapan dari kitosan ditunjukkan dengan puncak di sekitar 1559,17 cm-1 yang menunjukkan vibrasi stretching dari gugus amino kitosan dan di sekitar daerah 1333,5 cm-1 yang menunjukkan vibrasi dari C-H. Adanya pita di sekitar 3367,1 cm-1 menunjukkan vibrasi simetrik dari amina NH. Adanya puncak di sekitar daerah 2927,41 cm-1 menunjukkan vibrasi C-H.

Gambar 6. Spektra inframerah dari selulosa bakteri dan kitosan

(Anicuta, Dobre, Stroescu dan Jipa, 2010). Adanya puncak di sekitar daerah 896,73 cm-1 dan 1154,19 cm-1 berkaitan dengan struktur sakarida dari kitosan. Adanya puncak melebar di sekitar daerah 1080,91 cm-1 menunjukkan vibrasi stretching C-O (de Souza Costa-Junior,

Pereira dan Mansur, 2009; Rao, Naidu, Subha, Sairam dan Aminabhavi, 2006). Gambar 6 menunjukkan contoh spektra inframerah dari selulosa bakteri dan kitosan.

Berdasarkan Gambar 6 maka perlu dibuat suatu tabel korelasi serapan dari spektra IR. Korelasi ini perlu dibuat untuk memudahkan dalam menginterpretasikan gugus-gugus fungsi dari spektra IR yang didapatkan. Hasil korelasi dari gugus-gugus fungsi ini disajikan pada Tabel II.

Tabel II. Hasil korelasi dari serapan inframerah selulosa dan kitosan Kode Serapan Selulosa (cm-1) Serapan Kitosan (cm-1)

Keterangan Kode Referensi

A 3430 3430 -OH and –NH stretching

Stefanescu et al (2011) B 2919 2919 -CH stretching

C 1659 1637 C=O stretching D - 1579 -NH bending (amide II) E 1422 1422 -CH and –NH bending

vibrations

F 1374 1378 -CH3 bending vibrations G 1158 1154 Anti-symmetric stretching

of the C-O-C bridge H 1067 1072 Skeletal vibrations

involving the C-O stretching

Parameter lain yang berpengaruh pada sifat kitosan adalah berat molekul (BM) dan derajat deasetilasi (DD). Derajat deasetilasi menunjukkan berkurangnya gugus asetil dari kitin menjadi gugus amino pada kitosan. Penentuan DD dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti titrimetri HBr, spektroskopi IR, X-Ray Diffraction dan spektroskopi 1H NMR. Penentuan DD dengan spektroskopi IR

dilakukan dengan metode base line. Berikut ini rumus untuk perhitungan DD seperti ditunjukkan oleh Persamaan 3.

DD = 100 – ………... (3) Keterangan:

DD = Derajat Deasetilasi

A1655 = absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1 yang menunjukkan serapan karbonil dari amida.

A3450 = absorbansi pada bilangan gelombang 3450 cm-1 yang menunjukkan serapan hidroksil dan digunakan sebagai standar internal.

Faktor 1,33 merupakan nilai perbandingan

untuk kitosan terdeasetilasi

100% (Khan, Peh dan Chang, 2002).

L.

Foto Permukaan dengan Teknik Scanning Electron Microscop (SEM) SEM bekerja berdasarkan prinsip scan sinar elektron pada permukaan sampel, selanjutnya informasi yang diperoleh diubah menjadi gambar. Imajinasi mudahnya, gambar yang didapat mirip sebagaimana gambar pada televisi (Utami, 2007). Foto SEM dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut di-scan dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi, kemudian sinyalnya diperkuat, besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap terang pada layar monitor CRT (cathode ray tube). Pada layar CRT tersebut, gambar struktur objek yang sudah diperbesar dapat terlihat (Utami, 2007).

SEM mempunyai resolusi tinggi dan dikenal untuk mengamati objek benda berukuran nanometer. Resolusi tinggi tersebut didapatkan untuk scan dalam arah horizontal, sedangkan scan secara vertikal atau tinggi rendahnya struktur memiliki resolusi rendah (Utami, 2007). Contoh foto hasil SEM dtunjukkan pada gambar 7.a dan 7.b.

Gambar 7.a Foto SEM Selulosa bakteri

Gambar 7.b Foto SEM kitosan

(Freire, Silvestre, Gandini, dan Neto, 2011).

M. Analisis Kristanilitas Dengan Difraksi Sinar X (XRD)

Difraksi sinar X merupakan metode analisis yang didasarkan pada hamburan cahaya pada kisi kristal yang dikenai sinar X. Teknik ini memungkinkan determinasi derajat kristalinitas sampel beserta data kristalografik lainnya (Braun, et al., 2005).

Derajat kristanilitas dari suatu polimer akan mempengaruhi aktivitas polimer tersebut, selain itu derajat kristanilitas berhubungan dengan struktur rantai polimer. Semakin linier rantai polimer maka derajat kristanilitasnya akan semakin

besar, sehingga bersifat semakin kristalin, sebaliknya apabila strukturnya bercabang maka akan cenderung bersifat amorf XRD sangat penting untuk analisis polimer karena XRD dapat memperlihatkan indeks dari struktur kristal, dan derajat kristalinitas (Rosida, 2007).

Menurut Anggraeni (2003), derajat kristalinitas dapat ditentukan dengan cara menghitung perbandingan luas difraksi kristalin terhadap luas total difraksi (amorf dan kristalin) seperti ditunjukkan oleh Persamaan 4.

Derajat kristanilitas =

x 100 %...(4)

Contoh hasil difraksi sinar-X dari selulosa dan kitosan dapat dilihat dari Gambar 8.

Gambar 8. Difraktogram XRD dari selulosa bakteri dan kitosan

(Stefanescu, et. al., 2012).

N. Landasan Teori

Biomaterial selulosa bakteri dapat dibuat dari bahan dasar limbah ketela pohon melalui proses fermentasi yang dilakukan oleh bakteri Actobacter xylinum. Selulosa bakteri ini memiliki sifat bioaktif dimana dapat digunakan sebagai perawatan sementara untuk luka bakar. Namun selulosa bakteri ini mudah menyerap air dari lingkungan sekitar, sehingga kemungkinan bakteri lain tumbuh

pada biomaterial ini sangat besar. Oleh karena itu dilakukan suatu modifikasi pada selulosa bakteri dengan menambahkan bahan lain tertentu, salah satunya adalah kitosan. Kitosan bersifat sebagai bakteriostatik serta mempercepat regenerasi sel pada kulit yang rusak. Dengan penambahan kitosan ini diharapkan dapat meningkatan sifat bioaktif dari selulosa bakteri. Karakterisasi membran yang terbentuk dapat diketahui dengan dilakukan analisis karakteristik membran yang meliputi analisis gugus fungsi, serta analisis permukaan membran. Untuk mengetahui nilai aktivitas antimikroba dari membran (selulosa, selulosa-gliserol- kitosan, kitosan) maka dilakukan pengujian dengan metode difusi cakram (disk), sehingga dapat memberikan nilai aktivitas antimikroba selulosa bakteri terhadap Staphylococcus aureus yang dapat teramati dari % daya hambat.

O. Hipotesis

a. Selulosa bakteri dapat dibuat dari limbah cair ketela pohon (Manihot utilissima Pohl.) dan dapat dimodifikasi dengan penambahan gliserol dan kitosan, serta memiliki karakteristik selulosa bakteri pada umumnya.

b. Modifikasi selulosa bakteri dengan penambahan kitosan mampu memberikan aktivititas antimikroba.

28

Dokumen terkait