• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA A. Kunyit

1. Keterangan botani dan deskripsi tanaman

Kunyit (Curcuma domestica Val.) termasuk suku Zingiberaceae (Anonim, 1977). Tanaman memiliki batang berwarna semu hijau atau agak keunguan, rimpang terbentuk dengan sempurna, bercabang-cabang, dan berwarna jingga. Jumlah daun 3 sampai 8 helai. Panjang tangkai daun dan pelepah daun mencapai 70 cm, berwarna hijau. Bunga terminal, gagang berambut, bersisik, memiliki panjang 16 cm sampai 40 cm. Kelopak bunga berambut, berdaun lanset, memiliki panjang 4 cm sampai 8 cm (Anonim, 1977).

2. Klasifikasi Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Subdivision : Angiospermae Class : Monocotyledoneae Order : Zingiberales Family : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Gambar 1. Rimpang kunyit

Sumber : grocer-e.blogspot.com/2009/12/manfaat-kunyit.html 3. Pemerian

Bau khas aromatik, rasa agak pahit, agak pedas, lama-kelamaan menimbulkan rasa tebal (Anonim, 1977).

4. Nama daerah

Tanaman kunyit di Sumatera dikenal dengan Kakunye, di Kalimantan dikenal dengan Kunit, sedangkan di Pulau Jawa dikenal dengan nama Kunyit atau

Temu kuning (Anonim, 1977). Nama Inggris dari kunyit adalah turmeric.

B. Simplisia 1. Definisi

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang dikeringkan (Anonim, 2005b).

   

2. Metode pembuatan

Cara pembuatan simplisia meliputi penyortiran, pencucian, pengirisan, pengeringan, dan penyimpanan. Penyortiran dilakukan setelah bahan selesai dipanen, digunakan untuk memisahkan rimpang yang rusak dengan rimpang yang masih bagus, atau bahan asing lainnya yang tidak digunakan dalam pembuatan simplisia (Anonim, 2004). Bahan asing yang tidak diperlukan misalnya adalah tanah dan gulma. Tanah dan gulma harus dibersihkan dan dipisahkan (Widanengsih, 2008).

Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mengurangi mikroba yang menempel pada rimpang kunyit (Anonim, 2004). Pencucian harus segera dilakukan setelah penyortiran, tanah tidak boleh dibiarkan terlalu lama menempel pada rimpang karena dapat mempengaruhi mutu bahan. Pencucian menggunakan air bersih. Pencucian dilakukan dengan cara merendam rimpang sambil disikat dengan menggunakan sikat yang halus. Perendaman tidak boleh terlalu lama karena zat tertentu dalam bahan dapat larut ke air sehingga mempengaruhi mutu bahan tersebut. Pada rimpang terdapat banyak lekukan, sehingga sikat boleh digunakan dalam pencucian rimpang sebagai alat untuk mempermudah pencucian (Widanengsih, 2008).

Pada tahap pengirisan, ukuran rajangan berpengaruh pada kualitas bahan simplisia. Pengeringan merupakan proses yang penting karena dapat menentukan kualitas simplisia (Anonim, 2004). Pengeringan bertujuan supaya diperoleh simplisia yang tidak mudah rusak sehingga dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama. Pengeringan menurunkan kadar air, sehingga reaksi enzimatik juga

   

menurun, akibatnya penurunan mutu dan pengrusakan simplisia dapat dicegah. Suhu pengeringan bergantung pada simplisia dan cara pengeringan. Suhu pengeringan berkisar antara 30-90°C (Widanengsih, 2008).

Penyimpanan bahan menggunakan jala plastik, kertas, atau karung goni yang terbuat dari bahan yang tidak beracun atau bereaksi dengan bahan yang disimpan. Pada kemasan diberi label, dicantumkan nama bahan, bagian tanaman yang digunakan, kode produksi, nama atau alamat penghasil dan berat bersih. Gudang penyimpanan harus bersih, ventilasi cukup dan baik, tidak bocor, suhu gudang maksimal 30°C, kelembaban udara serendah mungkin 65%, gudang bebas dari hewan, serangga, tikus, dan lain-lain (Widanengsih, 2008).

C. Aflatoksin

Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus

flavus, bersifat karsinogenik. Aflatoksin tahan terhadap panas, pencampuran, dan

beberapa bahan kimia.

Aflatoksin dapat menimbulkan kelainan hati pada hewan dan manusia. Menurut Manik (2003), aflatoksin memiliki sifat khas, yaitu menunjukkan fluoresensi jika terkena sinar ultraviolet, sehingga sifat tersebut dapat digunakan untuk uji kualitatif maupun penetapan kadar secara kuantitatif.

Aflatoksin terdiri dari empat jenis, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2, namun dari keempat jenis tesebut yang paling berbahaya dan toksik adalah aflatoksin B1 (Osweiler, 2005). Struktur aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 dapat dilihat pada gambar 2.

   

Gambar 2. Struktur aflatoksin

Sumber : www.mycotoxinlab.cn/DownloadHtml.asp?ID=27

Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton atau kloroform, dan titik leburnya antara 237-289°C. Kondisi penyimpanan hasil-hasil pertanian pangan yang mempercepat pertumbuhan kapang Aspergillus flavus adalah suhu sekitar 20-30 oC, kelembaban nisbi ruangan lebih dari 80%, kadar air bahan lebih besar dari 9% dengan Aw (water activity) minimal 0,78 dan optimal 0,98 (Muchtadi, 2005).

Bahaya aflatoksin adalah dapat menyebabkan kelainan hati yang berupa serosis hepatis, karsinoma hepatis primer, dan sindrom Reye (Manik, 2003).

Jika kelembaban dan suhu udara dapat mendukung aktivitas jamur, maka aflatoksin dapat diproduksi selama masa penyimpanan, khususnya pada

   

kelembaban udara di atas 12% dan suhu yang lebih tinggi dari 21,111°C (Osweiler, 2005).

D. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatogafi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponen– komponen atas dasar perbedaan adsorbsi atau partisi oleh fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembangan campur. Pemilihan pelarut pengembangan sangat dipengaruhi oleh macam dan polaritas zat–zat kimia yang dipisahkan. Fase diam yang umum dan banyak digunakan adalah silika gel yang dicampur dengan kalsium sulfat (gips) untuk menambah daya lekat partikel silika gel pada pendukung (pelat). Absorban lain yang banyak dipakai adalah alumina, serbuk selulose, kanji dan sephadex (Mulya dan Suharman, 1995). Parameter pada kromatografi lapis tipis adalah faktor retensi (Rf), merupakan perbandingan jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh fase gerak. Adapun rumusnya sebagai berikut:

Rf =

Harga Rf umumnya lebih kecil dari 1, sedangkan bila dikalikan dengan 100 akan berharga 1-100, sehingga parameter ini dapat digunakan untuk perhitungan kualitatif dalam pengujian sampel dengan kromatografi lapis tipis (Sumarno,2001). hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Sjahid, 2008).

Cara kerja kromatografi lapis tipis adalah dengan menempatkan 2 sisi bejana kromatografi, 2 helai kertas saring, tinggi 18 cm, lebar sama dengan

   

panjang bejana. Masukkan lebih kurang 100 ml pelarut ke dalam bejana kromatografi hingga tinggi pelarut 0,5 cm sampai 1 cm, tutup rapat, kertas saring harus basah seluruhnya. Totolkan larutan standar dan sampel menurut cara yang tertera pada masing-masing monografi dengan jarak kira-kira 1,5 sampai 2 cm dari tepi bawah lempeng, biarkan kering. Pelarut dalam bejana harus mencapai tepi bawah lapisan penjerap, tempat penetesan tidak boleh terendam. Tutup rapat, biarkan hingga pelarut merambat 10 cm sampai 15 cm di atas titik penotolan, keluarkan lempeng kemudian keringkan di udara. Amati bercak mula-mula dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) dan gelombang panjang (366 nm). Ukur dan catat jarak bercak dari titik penotolan dan tiap bercak yang tampak. Jika perlu, semprot bercak dengan pereaksi yang tertera pada monografi, amati dan bandingkan kromatogram sampel dengan kromatogram standar (Anonim, 1979).

   

E. Densitometri

Densitometri merupakan teknik analisis kuantitatif kelanjutan dari kromatografi lapis tipis. Densitometri merupakan pengukuran sifat-sifat absorbsi atau fluoresensi suatu zat langsung pada kromatogram lapis tipis menggunakan alat dengan sumber cahaya tunggal atau ganda, baik berdasarkan cahaya yang ditransmisikan maupun cahaya yang direfleksikan oleh bercak pada lempeng. Cara ini banyak digunakan dalam analisis farmasi karena sensitif dan reprodusibel. Pengukuran absorbsi maupun refleksi, dilakukan pada panjang gelombang yang memberikan absorbsi atau fluoresensi maksimum untuk memperoleh sensitivitas yang lebih besar (Harmita, 2005).

Spektrodensitometri merupakan metode untuk mengukur absorbsi zat pada lapisan tipis. Pada dasarnya semua alat densitometer mempunyai desain yang sama, yaitu terdiri dari sumber cahaya, alat seleksi panjang gelombang, sistem kondensor dan fokus sistem optik, detektor fotosensitisasi, serta suatu mekanisme untuk menggerakkan lempeng ke bawah berkas cahaya terfokus guna men-scann lempeng tersebut (Harmita, 2005).

Sumber cahaya yang digunakan tergantung panjang gelombang pengukuran. Untuk mengukur pada panjang gelombang ultraviolet (200-400 nm) dapat digunakan lampu deutorium (D2), merkuri atau xenon. Untuk pengukuran pada daerah panjang gelombang cahaya tampak (400-700 nm) dapat digunakan lampu tungsten, walfram. Sebagai alat seleksi panjang gelombang dapat digunakan monokromator, filter atau keduanya. Penggunaan monokromator lebih menguntungkan dibandingkan filter karena monokromator memungkinkan

   

perubahan panjang gelombang dengan mudah dan menghasilkan sebuah berkas cahaya yang lebih monokromatis. Monokromator terdiri dari entrance slit,

grating, cermin dan exit slit (Harmita, 2005).

F. Landasan Teori

Rimpang kunyit dapat dibuat menjadi simplisia dengan beberapa tahap, yaitu pencucian, pengirisan, dan pengeringan. Masing-masing tahapan dapat mempengaruhi kualitas simplisia, khususnya kandungan cemaran aflatoksin. Adanya aflatoksin dapat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara selama masa penyimpanan. Suhu dan kelembaban udara di lingkungan pasar mempengaruhi kandungan air dalam simplisia. Adanya kandungan air dalam simplisia dapat menyebabkan tumbuhnya jamur pada simplisia tersebut, tidak terkecuali jamur Aspergillus flavus, sehingga simplisia tersebut dapat mengandung aflatoksin. Lingkungan pasar juga memiliki suhu yang cukup hangat sehingga mendukung pertumbuhan jamur dan pembentukan aflatoksin.

Untuk mendeteksi adanya cemaran aflatoksin tersebut, dilakukan uji kualitatif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis, dan selanjutnya cemaran aflatoksin tersebut ditetapkan kadarnya menggunakan metode spektrodensitometri in situ.

G. Data Emperis yang Diharapkan

Berdasarkan landasan teori di atas, dapat disusun hipothesis sebagai berikut.

   

1. Rimpang kunyit basah dan simplisia kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” mengandung cemaran aflatoksin.

2. Kadar cemaran aflatoksin rimpang kunyit basah dan simplisia kunyit kering yang diperdagangkan di Pasar “X” tidak sesuai persyaratan obat tradisional yang baik menurut Persyaratan Obat Tradisional yang diputuskan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994.

16 

Dokumen terkait