• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipertensi adalah kondisi umum meningkatnya tekanan darah secara persisten terhadap dinding arteri cukup tinggi sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti penyakit jantung. Tekanan darah ditentukan oleh jumlah darah yang dipompa jantung dan jumlah resistensi terhadap aliran darah di arteri. Semakin banyak darah yang dipompa oleh jantung dan semakin sempit arteri, maka tekanan darah semakin tinggi. Beberapa orang dengan tekanan darah tinggi stadium awal mungkin merasakan sakit kepala, pusing atau beberapa orang mengalami mimisan lebih dari normal, tanda dan gejala ini biasanya tidak terjadi sampai tekanan darah tinggi telah mencapai tahap berat bahkan mengancam jiwa (Staff, 2012). Di bawah ini merupaka klasifikasi tingkat tekanan darah (mmHg) menurut ESH and ESC Guidelines 2013.

Tabel I. Klasifikasi Tingkat Tekanan Darah (mmHg)

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal <120 dan <80

Normal 120-129 dan/atau 80-84

Normal Kategori Tinggi 130-139 dan/atau 85-89

Hipertensi Kelas 1 140-159 dan/atau 90-99

Hipertensi Kelas 2 160-179 dan/atau 100-109

Hipertensi Kelas 3 ≥180 dan/atau ≥ 110

Hipertensi Isolasi Sistolik ≥140 dan <90

(Mancia et al., 2013). Tujuan umum pemberian terapi antihipertensi adalah mencegah komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi. Ada beberapa terapi lini pertama yang

dapat digunakan yaitu jenis diuretik, penghambat reseptor beta adrenergik, penghambat angiotensin converting enzyme (ACE-inhibitor), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan CCB (Hasibuan, 2011). Pada hipertensi tanpa komplikasi, terapi antihipertensi yang dapat digunakan untuk terapi awal dan pemeliharaan adalah ACE-inhibitor, CCB dihidropiridin, dan diuretik tiazid dengan dosis rendah (Heart Foundation, 2010).

Mekanisme kerja dari ACE inhibitor adalah mencegah angiotensin I berubah menjadi angiotensin II dan pada saat yang bersamaan, bradikinin tidak dapat diubah menjadi polipeptida asing mengakibatkan jumlah bradikinin meningkat sehingga terjadi vasodilatasi. Mekanisme kerja dari CCB adalah menghambat influks ion kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard, sehingga pembuluh darah mengalami vasodilatasi (Saseen and Maclaughun, 2008). Suatu penelitian menyebutkan bahwa kaptopril dapat menurunkan tekanan darah pasien hipertensi sebesar 29,16/11,83 mmHg sedangkan amlodipin sebesar 32,94/16,38 mmHg. Efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan kaptopril dan amlodipin masing-masing adalah 16,7% dan 26,5%. Efektivitas kaptopril berbeda dengan amlodipin dalam menurunkan tekanan darah (Baharuddin dkk., 2013)

B. Teori Ruleof Halves

Aturan sebagian untuk hipertensi menyatakan bahwa, setengah dari orang tidak tahu memiliki tekanan darah tinggi (aturan 1), setengah dari mereka diketahui tidak dirawat (aturan 2) dan setengah dari mereka yang dirawat tidak dikontrol

(aturan 3) (Hooker, Cowap, and Freeman, 1999). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa pada usia ≥18 tahun, prevalensi hipertensi di Indonesia adalah 31,7%, di antara yang mengalami hipertensi hanya 7,2% menyadari mengalami penyakit hipertensi, dan hanya 0,4% yang melakukan terapi pengobatan. Data terbaru menunjukkan bahwa rule of halves masih berlaku untuk hipertensi di Australia. Artinya, setengah dari orang dengan tekanan darah tinggi tidak tahu bahwa mereka menderita hipertensi, dan setengah dari mereka yang tahu tidak mencapai target hipertensi (Jennings, 2012).

Kira-kira setengah dari penderita hipertensi tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi. Bagi beberapa orang yang menyadari mereka menderita hipertensi, sebagian dari mereka tidak melakukan pengobatan. Untuk kelompok ini dan kelompok yang tidak menyadari menderita hipertensi, harapan mereka berumur panjang dari waktu terserang penyakit adalah di bawah 20 tahun. Untuk mereka yang menyadari hipertensi dan melakukan pengobatan, sebagian dari mereka melakukan pengendalian dan sebagian lagi tidak melanjutkan pengobatan (Stahl, 1976).

C. Faktor Penyebab Hipertensi

Umumnya peningkatan tekanan darah terjadi dengan bertambahnya usia, sehingga proporsi hipertensi yang tinggi terutama pada populasi yang lebih tua usianya. Hipertensi juga disebabkan oleh perbedaan demografi seperti jenis kelamin, pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan yang bervariasi dalam kelompok yang berbeda (Black and Elliott, 2012). Pria memiliki risiko hipertensi lebih tinggi pada

masa dewasa sedangkan wanita memiliki risiko hipertensi lebih tinggi pada awal menuju kedewasaan. Selain itu hipertensi terkait dengan indikator status sosial ekonomi, terutama pendidikan dan pendapatan (Izzo, Sica, and Black 2008).

Suatu penelitian mengelompokkan usia responden menjadi 2 yaitu <40 tahun dan ≥40 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 75 responden, sebanyak 19 responden (55,9%) yang berusia ≥40 tahun menderita hipertensi (Anggara dan Prayitno, 2013). Penelitian dilakukan pada 100 responden yang menderita penyakit kardiovaskuler dengan usia <50 tahun sebanyak 17 orang dan ≥50 tahun sebanyak 83 orang (Rosjidi dan Isroin, 2014). Prevalensi hipertensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan biasanya terjadi pada usia ≥40 tahun. Hal ini dikarenakan adanya proses degeneratif yang lebih sering terjadi pada usia tua (Davey, 2005).

Penelitian yang dilakukan pada komunitas pedesaan di Vietnam (Minh et al., 2006) menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mengalami hipertensi dibandingkan dengan perempuan (18,1% berbanding 10,1%). Sebaliknya dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden hipertensi adalah perempuan yaitu sebanyak 61% (Hernawan dan Arifah, 2012). Akan tetapi jenis kelamin tidak mempengaruhi hipertensi karena laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang relatif sama menderita hipertensi, yang mempengaruhi seseorang berisiko menderita hipertensi adalah faktor genetik dari keluarga (Suparto, 2010).

Rendahnya status sosio-ekonomi seperti pendidikan dan penghasilan, harus diakui sebagai faktor risiko potensial untuk hipertensi (Lam, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan di desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen,

Jawa Tengah menyebutkan bahwa ada hubungan antara umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat penghasilan, jumlah anak, faktor makanan, dan faktor stres terhadap jenis hipertensi (Sigarlaki, 2006). Tidak ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian hipertensi (Suparto, 2010) dan antara penghasilan dengan hipertensi (Oliveira et al., 2014), tetapi penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan hipertensi (Mendes et al., 2013).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan kesadaran hipertensi yaitu responden dengan penghasilan tinggi lebih aware terhadap hipertensi, sedangkan untuk tingkat pendidikan tidak ditemukan adanya hubungan dengan kesadaran hipertensi (Ahn et al., 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kesadaran hipertensi dengan kategori pekerjaan (de Gaudemaris et al., 2002).

Dalam sebuah penelitian disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pendidikan dan penghasilan dengan terapi hipertensi (Morenoff et al., 2007). Begitu juga dengan kategori pekerjaan yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara proporsi subjek hipertensi yang melakukan pengobatan dengan kategori pekerjaan (de Gaudemaris et al., 2002).

D.Pengukuran Tekanan Darah

Instrumen yang digunakan untuk mengukur tekanan darah ada beberapa jenis yaitu sphygmomanometer merkuri, sphygmomanometer aneroid, dan

menggunakan cairan merkuri sedangkan sphygmomanometer aneroid tidak menggunakan cairan merkuri tetapi menggunakan pengukur aneroid.

Sphygmomanometer digital menggunakan sensor tekanan dan layar elektronik (MHRA, 2013). Pengukuran tekanan darah responden dengan menggunakan

sphygmomanometer digital dilakukan oleh Deyot (2013). Penelitian yang dilakukan oleh Belghazi et al. (2007) menyatakan bahwa hasil validasi empat jenis alat untuk mengukur tekanan darah otomatis telah memenuhi kriteria berdasarkan rekomendasi dari protokol internasional ESH.

E.Profil Tempat Penelitian

Berdasarkan Rekapitulasi Pendataan Desa Madurejo Tahun 2012, Dukuh Sembir memiliki 7 Rukun Tetangga (RT) dengan 281 Kepala Keluarga (KK). Jumlah keseluruhan penduduk adalah 972 orang dengan 502 orang laki-laki dan 470 orang perempuan. Berdasarkan rekomendasi dari Bapak Dukuh, data penduduk di Dukuh Sembir terbaru adalah data dari Komisi Pemilihan Umum Tahun 2014. Jumlah penduduk dengan umur ≥40 tahun adalah sebanyak 402 orang. Responden penelitian merupakan penduduk yang berusia ≥40 tahun karena pada usia tersebut prevalensi hipertensi tinggi (Setiati and Sutrisna, 2005). Jumlah responden yang datanya akan dianalisis sebanyak >30 karena untuk penelitian yang menggunakan analisis data statistik, ukuran sampel minimumnya adalah 30 (Arifin, 2008). Dukuh Sembir, Madurejo merupakan salah satu dukuh di daerah Sleman dengan prevalensi hipertensi yang tinggi. Berdasarkan data hasil pelayanan kesehatan yang dilakukan pada bulan

Juni 2013, dari 100 pasien sebanyak 18 orang menderita hipertensi stadium I dan 19 orang menderita hipertensi stadium II (BEMF, 2013).

F. Landasan Teori

Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskuler yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah di atas tekanan darah yang disepakati normal. Hipertensi dikenal sebagai “silent killer” karena penyakit ini tidak menampakkan gejala sehingga untuk mengetahui apakah menderita hipertensi atau tidak harus dilakukan pengukuran tekanan darah. Komplikasi dari hipertensi dapat menimbulkan serangan jantung, infark miokard, dan penyakit kardiovaskuler lainnya. Teori Rule of Halves

melandasi temuan penelitian yaitu kira-kira setengah dari populasi penelitian menderita hipertensi, setengah dari penderita hipertensi tidak menyadari bahwa mereka menderita hipertensi, dan hanya setengah dari penderita yang sadar yang melakukan terapi hipertensi.

Hipertensi umumnya dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin (Chataut, Adhikari, and Sinha, 2011), selain itu penyebab lain adalah faktor sosio-ekonomi yang memiliki hasil bervariasi pada kelompok berbeda. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap prevalensi hipertensi, dan tingginya tingkat pendidikan berhubungan dengan kesadaran terhadap kesehatan dan penyakit (Tee, Teoh, Aiman, Aiful, Har, Tan, et al., 2010). Jenis pekerjaan juga berhubungan dengan tingkatan penyakit hipertensi (Sigarlaki, 2006). Tingkat penghasilan berhubungan dengan terapi hipertensi (Firmo et al., 2003), kelompok dengan penghasilan rendah memiliki risiko

prevalensi hipertensi yang tinggi (Angell, Garg, Gwynn, Bash, Thorpe, and Frieden, 2008). Prevalensi hipertensi dapat ditekan dengan dilakukannya pengontrolan oleh penderita hipertensi.

Status sosial ekonomi dan pendidikan yang tinggi telah secara konsisten dilaporkan dapat mengurangi risiko hipertensi. Status sosio-ekonomi yang tinggi seperti pekerjaan dan penghasilan berhubungan dengan kontak yang lebih mudah dengan petugas kesehatan dan lebih tersedianya teknologi informasi misalnya TV, komputer, dan lain-lain, yang diduga menyebabkan kesadaran terhadap penyakit hipertensi yang tinggi (Malekzadeh, Etemadi, Kamangar, Khademi, Golozar, Islami,

et al., 2013). Di atas telah dipaparkan hasil-hasil penelitian terkait faktor sosio-ekonomi (pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan) terhadap hipertensi. Dukuh Sembir mempunyai tingkat perekonomian yang rendah dengan mayoritas penduduk bekerja sebagai petani serta tingkat pendidikan yang rendah. Penelitian yang dilakukan di Dukuh Sembir diharapkan dapat mengetahui prevalensi hipertensi, tingkat kesadaran akan hipertensi, dan terapi hipertensi responden serta mengobservasi pengaruh faktor sosio-ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan terhadap prevalensi, kesadaran, dan terapi penyakit hipertensi.

G. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah faktor sosio-ekonomi yang terdiri dari pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan berpengaruh terhadap prevalensi, kesadaran, dan terapi hipertensi di Dukuh Sembir, Madurejo.

BAB III

METODE PENELITIAN

Dokumen terkait