• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik ≥140mmHg dan tekanan darah diastolik ≥90mmHg (Pooler, 2009). Hipertensi selanjutnya dibagi menjadi 2 tahap berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah sistolik dan diastolik. European Society of Hypertension (ESH) dan European

Society of Cardiology (ESC) mengklasifikasikan tekanan darah dengan rincian

sebagai berikut:

Tabel II. Klasifikasi Hipertensi menurut guideline ESH dan ESC 2013 Kategori Tekanan darah sistolik

(mmHg)

Tekanan darah diastolik (mmHg)

Optimal <120, dan <80

Normal 120-129 dan/atau 80-84

Tinggi, normal 130-139 dan/atau 85-89

Hipertensi tahap I 140-159 dan/atau 90-99 Hipertensi tahap II 160-179 dan/atau 100-109 Hipertensi tahap III ≥180 dan atau ≥110 Hipertensi sistolik

terisolasi

≥140 dan <90

(Mancia, Fagard, Narkiewicz, Redon, Zanchetti, Bohm et al., 2013).

Seventh Report of the Joint National Committee (JNC7) 2003 merekomendasikan bahwa terapi antihipertensi dengan menggunakan diuretik thiazid merupakan pilihan terapi terbaik dalam penanganan kasus hipertensi. Namun pada guideline ESC dan ESH 2013 terdapat perubahan acuan terapi.

Tabel III. Perbandingan guideline JNC 7 2003 dengan guideline JNC 8 2014, ESH/ESC 2013, UK-NICE 2011, dan ACCF/AHA 2011

Kategori JNC 7 2003 Guideline JNC 8 2014,

ESH/ESC 2013,

UK-NICE 2011, dan

ACCF/AHA 2011 Ambang batas tekanan

darah sebagai permulaan terapi

≥140/90mmHg ≥130/80mmHg pada pasien dengan diabetes atau penyakit ginjal kronik

≥150/90mmHg pada pasien geriatri * ≥140/90mmHg pada pasien non-geriatri dan pasien dengan penyakit diabetes atau penyakit ginjal kronik

First-line therapy Diuretik thiazid Terdapat 3 kelas terapi lini pertama: Calcium

Channel Blocker, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors, Angiotensin Receptor Blockers

Thiazide yang paling banyak digunakan

Hidroklorthiazid Klorthalidon Terapi kombinasi Diutamakan pada

hipertensi tahap II ACEI + thiazid

Dapat digunakan pada hipertensi tahap I

ACEI + CCB ≥ACEI + thiazid

*hanya JNC 8 yang mengkategorikan usia ≥60 sebagai geriatri, sedangkan pada

guideline lain mengkategorikan usia≥80tahun sebagai geriatri

(Mann, Zipes, Libby, Bonow, 2014). Mekanisme dari ACE Inhibitor adalah menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang diperantarai oleh Angiotensin Converting Enzym. ACEI efektif pada pasien hipertensi dan pada pasien hipertensi dengan komplikasi penyakit ginjal. ACEI tidak menyebabkan hipokalemia atau menyebabkan peningkatan serum glukosa dan lipid (Golan, Tashijan, and Armstrong, 2012).

Calcium-channel blockers (CCB) merupakan agen antihipertensi yang poten, dan

merupakan terapi esensial pada pasien yang memiliki kenaikan tekanan darah. Kombinasi terapi CCB dengan ACEI meningkatkan profil toleransi CCB secara

signifikan (Izzo, Sica, and Black, 2008). Angiotensin Receptor Blocker (ARB) menurunkan tekanan darah pada tingkatan yang sama dengan ACEI, namun tanpa melibatkan efek potensiasi bradikinin (Ram, 2014).

Terapi non-farmakologi hipertensi dapat dilakukan secara bersamaan dengan terapi farmakologi, dan harus dilakukan selama masa terapi untuk meningkatkan efikasi, mengurangi dosis dan jumlah obat yang digunakan, meminimalisir efek samping, dan meningkatkan kesehatan kardiovaskuler. Terapi non-farmakologi yang dapat dilakukan antara lain:

1. Menurunkan berat badan sesuai dengan Ideal Body Weight (IBW): sekitar 60% pasien hipertensi setidaknya memiliki kelebihan berat badan 20% dari IBW. Penurunan berat badan 4-5kg akan menurunkan tekanan darah 7/5mmHg pada pasien obesitas maupun non obesitas.

2. Menghentikan kebiasaan merokok akan menurunkan vasokonstriksi, aktivitas sistem saraf, level norepinefrin, serta risiko koagulasi.

3. Membatasi konsumsi kafein akan menurunkan vasokonstriksi, dan meningkatkan penyesuaian aorta sentral.

4. Membatasi konsumsi alkohol: mengkonsumsi alkohol setiap hari akan meningkatkan tekanan darah, aldosteron, dan kortisol.

5. Olahraga: kombinasi latihan fisik secara teratur dan terarah akan menaikkan massa otot, dan menurunkan tekanan darah.

6. Perubahan perilaku: stress management, relaksasi, yoga, psikoterapi, dan kesehatan spiritual dapat membantu menurunkan tekanan darah.

7. Menghentikan penggunaan obat yang dapat meningkatkan tekanan darah, seperti obat kontrasepsi oral, NSAIDs, antihistamin/dekongestan, kortikosteroid, dan antidepresan trisiklik.

8. Diet sodium: penurunan konsumsi garam/sodium hingga 2400mg/hari dapat menurunkan tekanan darah 4-6mmHg sistolik dan 2-3mmHg diastolik.

9. Konsumsi bawang putih, rumput laut, likopen (terdapat pada tomat), diuretik alami (contoh: semangka, melon, mentimun), dan seledri dapat pula menurunkan tekanan darah (Houston, 2011).

B. The Rule of Halves

Banyak penelitian berbasis komunitas di seluruh dunia yang mengemukakan bahwa hipertensi sulit untuk dideteksi dan diobati. The Rule of

Halves juga sering mengemukakan hal yang sama, yakni bahwa semua pasien

yang memiliki tekanan darah yang tinggi hanya setengah diantaranya yang terdeteksi, dan dari semua pasien hipertensi yang terdeteksi, hanya setengah bagian saja yang melakukan terapi, serta hanya setengah bagian dari pasien yang diterapi melakukan kontrol terhadap tekanan darahnya. The Rule of Halves mendemonstrasikan bahwa masalah utama kasus hipertensi di Sahara, Afrika memiliki tingkat deteksi yang rendah (Mabey, Gill, Parry, Weber, and Whitty, 2013).

The rule of halves pada hipertensi menyatakan bahwa: setengah dari

setengah dari penderita hipertensi tidak melakukan terapi (rule 2), dan rule 3 menyatakan bahwa setengah dari penderita hipertensi yang melakukan terapi tekanan darahnya tidak terkontrol (Rao and Daniel, 2014).

C. Faktor Penyebab Hipertensi

Peningkatan risiko hipertensi umumnya bertambah seiring dengan pertambahan usia. Risiko hipertensi meningkat pada kelompok usia diatas 40 tahun, demikian pula kenaikan Body Mass Index juga meningkatkan risiko hipertensi (Khosravi, Mehr, Kelishadi, Shirani, Gharipour, Tavassoli et al.,2010). Jenis kelamin juga mempengaruhi faktor risiko hipertensi. Pada penelitian yang dilakukan di Monastir, Tunisia (2011) responden wanita memiliki prevalensi hipertensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria. Prevalensi hipertensi pada wanita adalah 55,5% (Hammami, Mehri, Hajem, Kouba, Frih, Kammoun et

al, 2011).

Penelitian yang dilakukan di Angola (2013) menunjukkan bahwa usia, kebiasaan merokok, tingginya BMI, dan rendahnya tingkat pendidikan juga menjadi faktor risiko hipertensi dengan nilai signifikansi p<0,01 ( Pires et al., 2013). Pada riset yang dilakukan di Indonesia prevalensi hipertensi pada masyarakat yang tidak sekolah memiliki prevalensi hipertensi terbesar yakni 42,0%, pada kelompok masyarakat yang tidak lulus sekolah dasar sebesar 34,7%, tamat SD sebesar 29,7%, tamat SMP sebesar 20,6%, tamat SMA sebesar 18,6%, dan tamat D1-D3/Perguruan Tinggi sebesar 22,1 % (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Tingkat pendidikan mempengaruhi dan memiliki hubungan yang erat dengan prevalensi hipertensi, meskipun demikian hal tersebut juga dipengaruhi oleh perbedaan pola diet dan BMI (Elliot and Black, 2007). Tingkat pendidikan, komunikasi dan informasi, kebudayaan, dan pengalaman pribadi seseorang akan mempengaruhi pengetahuan dan sikap tentang kesehatan. Dengan mendapatkan infomasi yang benar, diharapkan kelompok lansia mendapat bekal pengetahuan yang cukup untuk dapat melaksanakan pola hidup sehat dan dapat menurunkan risiko penyakit degeneratif terutama hipertensi dan penyakit kardiovaskular (Notoatmodjo, 2003).

D. Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah umumnya dilakukan dengan

sphygmomanometer. Pengukuran tekanan darah yang akurat sangat penting dalam

penegakan diagnosis hipertensi. Guideline The American Heart Association mengemukakan bahwa pengukuran tekanan darah harus dilakukan dengan prosedur yang benar, meliputi posisi duduk pasien, ukuran cuff atau manset yang sesuai dengan lingkar lengan pasien, dan meminimalisir adanya faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pengukuran tekanan darah, seperti merokok, konsumsi alkohol ataupun kafein. Standarisasi prosedur sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil pengukuran tekanan darah yang valid (Drawz, Abdalla, and Rahman, 2012).

Sphygmomanometer terdiri atas rubber bag, cuff atau manset yang

dihubungkan dengan bola pemompa, dan manometer yang pembacaannya dalam skala mmHg (Marshall, 2003). Sphygmomanometer digital merupakan

sphygmomanometer yang secara otomatis menampilkan pengukuran tekanan darah secara digital (Gibson, Shah, and Umberger, 2014).

Sphygmomanometer digital dalam penggunaannya tidak memerlukan

stetoskop untuk mendengarkan Korotkoff sounds. Manset atau cuff yang digunakan dalam sphygmomanometer digital memiliki mikrofon yang dihubungkan dengan mikroprosesor dan mempunyai sensor tekanan otomatis.

Sphygmomanometer digital mengukur tekanan arteri yang kemudian diproses

secara matematik untuk mendapatkan pengukuran sistolik maupun diastolik, yang kemudian ditampilkan pada panel digital (Masterton and Hurley, 2015).

E. Landasan Teori

Hipertensi merupakan kondisi tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan diastolik ≥90 mmHg (Mancia, et al., 2013). Tingginya tekanan darah dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, gaya hidup, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat penghasilan. Hipertensi menjadi salah satu faktor risiko untuk penyakit jantung koroner, penyakit ginjal, stroke, dan penyakit

kardiovaskuler (WHO, 2015).

Kesadaran penderita hipertensi mempengaruhi prevalensi hipertensi dan tingkat keberhasilan pengobatan. Pengendalian tekanan darah pada penderita hipertensi sangatlah penting, pasien harus menjaga pola hidup dan melakukan pengecekan tekanan darah secara rutin (Musinguzi and Nuwaha, 2013).

Pengendalian tekanan darah pada pasien hipertensi dapat dilakukan dengan melakukan terapi farmakologi maupun non farmakologi. Terapi farmakologi dilakukan dengan menggunakan obat antihipertensi secara teratur,

(Ram, 2014), sedangkan terapi non-farmakologi dapat dilakukan dengan olahraga teratur, diet terstruktur, konsumsi makanan yang terjaga dan menjaga berat badan (Houston, 2011).

Penelitian ini mengevaluasi faktor usia dan faktor tingkat pendidikan pada responden dengan usia 40-75 tahun di Kecamatan Kalasan, Sleman. Faktor usia dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap prevalensi, kesadaran, terapi, dan pengendalian tekanan darah. Peningkatan risiko hipertensi umumnya bertambah seiring dengan pertambahan usia (Khosravi et al.,2010). Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka tingkat pengetahuannya semain tinggi, sehingga semakin sadar terhadap penyakit hipertensi (Ike, Aniebue, and Aniebue, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al., 2013 di China membagi tingkat pendidikan menjadi 2 kategori, yakni ≤SMP dan >SMP, pembagian tersebut apabila diterapkan di Indonesia masih cukup relevan.

F. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah perbedaan faktor usia dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap prevalensi, kesadaran, terapi dan pengendalian tekanan darah responden berusia 40-75 tahun di Kecamatan Kalasan, Sleman.

18

Dokumen terkait