• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELAHAAN PUSTAKA

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 25-36)

PENELAHAAN PUSTAKA

A. Definisi Antibiotika

Antibiotika adalah zat atau senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya. Selain berasal dari makhluk hidup, antibiotika juga dapat diproduksi secara sintetis (Bari, 2008). Sifat antibiotika harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin, artinya obat tersebut harus bersifat sangat toksik terhadap mikroba tetapi tidak toksik terhadap hospes (Setiabudy, 2007).

B. Penggunaan Antibiotika yang Rasional

Prinsip pemilihan antibiotik meliputi (Kemenkes, 2011):

a. Antibiotik yang disesuaikan dengan pola kuman lokal dan sensitifitas bakteri.

b. Antibiotik yang bermutu

c. Antibiotik yang cost effectiveness

Penggunaan antibiotika oleh pasien harus memperhatikan penyesuaian dosis, interval pemberian, waktu pemberian, rute pemberian, frekuensi dan lama pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan kondisi pasien.

Menurut WHO (2011), kriteria pemakaian obat yang rasional antara lain: a. Sesuai dengan indikasi penyakit (tepat indikasi).

Indikasi pemakaian obat secara khusus adalah indikasi medik bahwa pemberian obat (antibiotika) memang diperlukan dan telah diketahui memberikan manfaat terapetik.

b. Tepat obat

Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan, yakni:

1) Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti 2) Obat (antibiotika) memiliki efektifitas yang telah terbukti

3) Resiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang dengan manfaat yang diperoleh. Resiko pengobatan mencakup toksisitas obat, efek samping obat, dan interaksi obat dengan obat lain. 4) Biaya obat paling sesuai untuk alternatif – alternatif obat dengan

manfaat dan keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien. 5) Jenis obat yang dipilih tersedia di pasaran dan paling mudah didapat. 6) Obat tunggal atau kombinasinya sesedikit mungkin.

c. Diberikan dengan dosis yang sesuai (tepat dosis) dan cara pemakaian

Cara pemakaian obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika yakti: cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, sampai pada pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien, paling aman, serta paling efektif untuk pasien.

Tepat pasien mencakup pertimbangan apakah ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual.

e. Waspada efek samping dan alergi obat.

Waspada terhadap efek samping obat mencakup penilaian apakah ada keadaan yang merupakan faktor terjadinya efek samping obat atau alergi obat pada penderita atau tidak. Jika kemudian terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya. Dalam penggunaan suatu obat, harus dipertimbangkan manfaat dan resiko pemberian suatu obat.

C. Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak

Penggunaan terapeutik antibiotika di klinik bertujuan untuk membasmi bakteri penyebab infeksi. Penggunaan antibiotika ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut (Setiabudy, 2009):

a. Gambaran klinik penyakit infeksi, yakni efek yang ditimbulkan oleh adanya bakteri dalam tubuh hospes.

b. Efek terapi antibiotika pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja antibiotika itu sendiri terhadap biomekanisme bakteri, dan tidak terhadap biomekanisme tubuh hospes.

Berdasarkan indikasinya, penggunaan antibiotika dibedakan menjadi antibiotika untuk terapi empiris, terapi definitif dan profilaksis (Roger, et al, 2010). Terapi empiris digunakan untuk penyakit infeksi yang belum diketahui jenis bakteri penyebab. Tujuan pemberian terapi empiris ini adalah menghambat

pertumbuhan bakteri penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi (IDAI, 2008). Terapi defininif digunakan untuk penyakit infeksi yang sudah diketahui bakteri penyebab dan pola resistensinya. Tujuan pemberian terapi definitif adalah menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi (Kemenkes, 2011). Terapi profilaksis adalah terapi antibiotika yang diberikan sebagai tindakan pencegahan pada pasien yang rentan terkena infeksi. Antibiotika adalah antibiotika yang berspektrum sempit dan spesifik (WHO, 2011). Prinsip pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotika sebelum, saat dan hingga 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi pada luka operasi. Diharapkan pada saat operasi antibiotika di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Gordon, 2009).

Pada pasien anak, semua usia memiliki kemungkinan terserang penyakit dalam kategorinya masing – masing. Pembagian kategori usia pada anak yaitu (Suharjono et al, 2009) :

1). Infant (usia anak < 1 tahun)

2). Toddler (usia anak 1≤ umur < 3 tahun) 3). Pre-school (usia anak 3 ≤ umur <6 tahun) 4). School period (usia anak 6 ≤umur ≤ 12 tahun)

Pada pasien anak, umur merupakan salah satu pertimbangan untuk memberikan antibiotik. Beberapa pusat pelayanan kesehatan menyarankan pemberian antibiotik empirik dalam 3 hari pertama bila pasien demam berusia

kurang dari 2-3 bulan, karena pada usia tersebut, adanya fokus infeksi atau pun tanda-tanda infeksi bakterial yang berat (serious bacterial infection/ SBI) masih sulit terdeteksi, padahal risiko SBI pada usia tersebut cukup besar (Farida et al, 2008).

Peresepan antibiotika pada pasien anak untuk penyakit virus masih marak (~ 90%), sehingga menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, yang justru memperpanjang lamanya penyakit, membunuh bakteri yang baik dalam tubuh (tanpa adanya bakteri yang jahat), efek samping antibiotika bertambah banyak, menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotika yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri. Kemungkinan komplikasi lebih besar dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya. Pemakaian antibiotika pada populasi anak perlu diperhatikan karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan (Darmansjah, 2008). Penggunaan antibiotika pada populasi anak perlu mendapat perhatian khusus. Penyebab pertama yaitu karena penggunaan antibiotika pada anak seringkali tidak tepat indikasi. Kedua, karena terbatasnya penggunaan antibiotika pada pasien anak. Hal itu terjadi karena tidak diperbolehkannya penggunaan beberapa jenis antibiotika untuk digunakan pada pasien anak. Contohnya yaitu penggunaan antibiotika tetrasiklin dan fluorokuinon dilarang penggunaannya pada pasien anak terkait efek samping merugikan yang dapat ditimbulkan (Shea et al, 2011). Penyebab ketiga, terkait fungsi fisiologis anak yang belum bekerja secara sempurna. Pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat (termasuk antibiotika) pada anak, belum maksimal bekerja dikarenakan fungsi

fisiologis yang belum sempurna sehingga akan berpengaruh pada profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotika. Hal tersebut dapat memicu efek samping yang tidak diinginkan (Sutedjo, 2008).

Persoalan utama dalam penggunaan antibiotik adalah penggunaan obat yang tidak rasional. Hal tersebut merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di Indonesia. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional telah diamati sejak lama (Almasdy et al, 2013). Penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang (2011) menunjukkan terdapat ketidaktepatan penggunaan antibiotika sebesar 76,97 %. Ketidaktepatan tersebut berkaitan dengan tidak tepat penderita, indikasi, dosis, regimen dan lama pemberian. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional menyebabkan timbulnya resistensi.

Resistensi bakteri adalah suatu keadaan dimana kehidupan bakteri itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antimikroba (Stitzel & Craig, 2005). Sifat bakteri tersebut menyebabkan tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya. Penatalaksanaan penyakit yang disebabkan oleh infeksi adalah dengan pemberian antibiotika yang dijadikan sebagai pengobatan utama, akan tetapi apabila antibiotika tidak digunakan secara rasional akan menimbulkan dampak resistensi yaitu munculnya kuman – kuman yang yang kebal terhadap antibiotika. Hal ini tentu menjadi masalah yang sangat besar berkaitan dengan banyaknya penyakit infeksi yang ditanggulangi dengan pemberian antibiotika. Infeksi oleh kuman yang resistensi terhadap berbagai antibiotika akan menyebabkan pengobatan menjadi tidak efektif, meningkatnya

angka morbiditas dan mortilitas pasien serta terjadi peningkatan biaya perawatan pasien (AMRYN study group, 2005).

D. Unit Perhitungan Prescribed Daily Dose (PDD)

Evaluasi penggunaan antibiotika dapat dilakukan secara kuantitas dan kualitas, yaitu dengan melihat jenis, jumlah, dosis, cara pemberian, dan lain – lain. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yaitu dengan metode Defined

Daily Dose (DDD), metode Gyssen, dan metode Drug Related Problem (DRPs).

Menurut Pedoman Pelayanan Kefarmasian, evaluasi terapi antibiotika bertujuan (Kemenkes, 2011) :

1. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika di rumah sakit.

2. Mengetahui jumlah penggunaan antibiotik di rumah sakit.

3. Sebagai dasar dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematik dan terstandar.

4. Sebagai indikator kualitas layanan rumah sakit.

Prescribed Daily Dose (PDD) didefinisikan sebagai dosis rata-rata yang

ditentukan berdasarkan resep atau catatan rekam medik. Prescribed Daily Dose

(PDD) dapat memberikan jumlah rata-rata obat yang sebenarnya diresepkan. Nilai

PDD dapat bervariasi disesuaikan dengan jenis penyakit yang diobati dan peraturan dalam menentukan terapi yang ditentukan oleh suatu negara misalnya, untuk anti-infeksi, PDD bervariasi disesuaikan dengan tingkat keparahan dari

jenis infeksi yang diobati. Fakta bahwa PDD mungkin berbeda dari satu negara dengan yang lainnya harus selalu dipertimbangkan ketika membuat perbandingan internasional (WHO, 2013).

Cara perhitungan dengan Prescribed Daily Dose (PDD)

a. Mengumpulkan semua data pasien yang menerima terapi antibiotika b. Mengumpulkan berat badan pasien

c. Menghitung total dosis antibiotika (gram) pasien rawat inap d. Menghitung jumlah hari penggunaan antibiotika

e. Menghitung menggunakan dengan langkah – langkah sebagai berikut (WHO, 2004) :

Manfaat metode PDD :

1. Dapat menggambarkan kuantitas penggunaan obat yang sebenarnya.

2. Dapat digunakan untuk menghitung kuantitas penggunaan obat untuk semua jenis penyakit.

Keterbatasan metode PDD :

1. Tidak dipengaruhi oleh indikasi sehingga tidak dapat menggambarkan kesesuaian pemilihan antibiotika dengan indikasi penyakit yang dialami pasien, serta tidak dapat menggambarkan kesesuaian dosis yang diresepkan dengan dengan tingkat keparahan penyakit infeksi yang dialami pasien.

E. Metode ATC/DDD

Sistem ATC/DDD (ATC = Anatomical Therapeutic Chemical, DDD =

Defined Daily Dose) merupakan sistem klasifikasi dan pengukuran penggunaan

obat yang saat ini telah menjadi salah satu pusat perhatian dalam pengembangan penelitian penggunaan obat. Sistem ATC (Anatomical Therapeutic Chemical) dimodifikasi dan dikembangkan para peneliti Norwegia oleh The European

Pharmaceutical Market Research Assotiation (EPhMRA). Defined Daily Dose

digunakan untuk memperbaiki unit pengukuran tradisional untuk digunakan dalam studi penggunaan obat (WHO, 2013).

Tujuan dari sistem ATC/DDD adalah sebagai untuk penelitian penggunaan obat untuk meningkatkan kualitas penggunaan obat. Salah satu komponen ini adalah persentasi dan perbandingan dari konsumsi obat tingkat internasional dan level-level lain. Sistem ATC/DDD diklasifikasikan oleh WHO Collaborating

Centre untuk memonitoring penggunaan obat pada tingkat internasional di

Uppsala-Sweden berdasarkan klasifikasi Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD) (WHO, 2013).

Sistem klasifikasi ATC digunakan untuk mengklasifikasikan obat. Sistem ini dikontrol oleh WHO Collaborating Centre for Drugs Statistic Methodology, dan pertama kali dipublikasikan tahun 1976. Obat dibagi menjadi kelompok yang berbeda menurut organ atau sistem dimana obat tersebut bereaksi. Obat diklasifikasikan menjadi kelompok-kelompok pada lima level yang berbeda (Persson, 2002), yaitu :

1. Level pertama, level yang paling luas, obat dibagi menjadi 14 kelompok utama anatomi. Kode level pertama berdasarkan huruf :

A Alimentary tract and metabolism B Blood and blood forming organs C Cardiovascular system

D Dermatologics

G Genitournary system and sex hormone H Systemic hormonal preparations J Antiinfectives for systemic

L Antineoplastic and immunomodelating M Musculoskeletal system

N Nervous system

P Antiparasitic product, insecticides and repellents R Respiratory system

S Sensory organs V Various

2. level 2, merupakan kelompok utama farmakologi. Contoh : A10 Drug used in diabetes

B01 Antitrombotic agent

3. level 3, merupakan kelompok farmakologi. Contoh : A10 Blood glucose lowering drug, ex : insulin

B01A Antitrombotic agent

A10BA Biguanides B01AB Heparin in group

5. Level 5, kelompok zat kimia. Contoh : A10BA02 Metformin

J01EE03 Kotrimoksazol (sulfametoksazol dan trimetoprim)

Contoh : J01EE03 adalah kode untuk kotrimoksazol. Adapun maknanya adalah sebagai berikut :

Struktur ATC

J Antiinfective for systemic (level 1)

J01 Antibacterial for systemic use (level 2)

JO1E Sulfonamid dan trimetoprim (level 3)

JO1EE Kombinasi sulfonamid dan trimetoprim (level 4) JoO1EE03 Sulfametoksazol dan trimetoprim (level 5)

F. Keterangan empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data penggunaan antibiotika yang dikaji dari segi kuantitas dengan menggunakan metode Prescribed Daily

Dose (PDD) pada pasien anak rawat inap di Puskesmas Mlati II Kabupaten

19

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 25-36)

Dokumen terkait