1. Uji Organoleptik
Dalam penentuan standar mutu produk-produk diperlukan suatu pengujian terhadap produk tersebut. Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap makanan. Sasaran alat indera ini ditujukan terhadap atribut mutu yang terjadi dari : kenampakan, bau, rasa, dan konsistensi serta beberapa faktor lain yang mungkin diperlukan oleh produk tersebut. Pengujian organoleptik ini mempunyai peranan sangat penting dalam peneraan mutu karena masih banyak faktor-faktor yang ada dalam makanan, tetapi tidak dapat diukur dengan uji mikrobiologi dan kimia. Metode inipun dapat digunakan untuk mengetahui penyimpangan-penyimpangan serta perubahan-perubahan dalam produk pangan.
Menurut SNI (1991) metode yang dipakai dalam standar organoleptik adalah Uji organoleptik, dengan menggunakan skala angka 1 (satu) sebagai nilai terendah dan angka 9 (sembilan) untuk nilai tertinggi. Batas penolakan untuk produk adalah 5 (lima) artinya bila produk yang diuji memperoleh nilai yang sama atau lebih kecil dari angka lima maka produk tersebut dinyatakan tidak lulus. Skala angka ini ditujukan dengan spesifikasi masing-masing produk yang dapat memberikan pada panelis. Skala angka dan spesifikasi ini dicantumkan pada Score Sheet Organoleptik yang kemudian panelis langsung memberikan penilaian pada produk tersebut.
Uji Hedonik atau uji kesukaan merupakan salah satu jenis penerimaan dalam uji organoleptik. Uji hedonik ini meminta panelis untuk mengungkapkan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau ketidaksukaan, disamping itu mereka juga mengemukakan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkat- tingkat kesukaan ini disebut orang sebagai sebagai skala hedonik, misalnya sangat amat suka, sangat suka, suka, agak suka, netral, agak tidak suka, tidak suka, sangat tidak suka, dan amat sangat tidak suka.
Uji mutu hedonik adalah uji hedonik yang lebih spesifik untuk suatu jenis mutu tertentu. Uji ini bertujuan untuk mengetahui respon terhadap sifat-sifat produk yang lebih spesifik, misalnya rasa buah dalam permen, sifat pulen atau pera pada nasi, sifat gurih pada kerupuk dan kelezatan dari daging panggang (Rahayu 2001).
Warna
Dalam penilaian mutu komoditi, cara yang terutama masih dipakai ialah penglihatan. Dengan melihat orang dapat mengenal dan menilai bentuk, ukuran, kekeruhan, kesegaran produk, warna dan sifat-sifat permukaan seperti suram, mengkilap, homogen-heterogen, dan datar gelombang. Meskipun warna paling tepat dan mudah memberi kesan, tetapi paling sulit diberi deskripsi dan sulit pengukurannya. Itulah sebabnya penilaian secara subjektif dengan penglihatan masih sangat menentukan dalam penilaian komoditi (Soekarto 1985).
Aroma
Aroma dari suatu produk dapat diketahui ketika ransangan diterima indera penciuman melalui sistem penciuman (Meilgaard 1999). Pengaromaan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makananan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari jarak jauh. Indera pengaroma berfungsi untuk menilai aroma dari suatu produk atau komoditi baik berupa pangan maupun non pangan. Dalam banyak hal enaknya makanan ditentukan oleh aromanya. Industri pangan menganggap sangat tidak penting uji aroma karena dapat dengan cepat memberikan hasil penilaian produksinya, disukai atau tidak disukai (Soekarto 1985).
Tekstur
Tekstur dapat didefenisikan sebagai manifestasi sensori dari struktur suatu produk (Meilgaard 1999). Penginderaan tentang tekstur yang berasal dari sentuhan dapat ditangkap oleh seluruh permukaan kulit. Biasanya bahan yang dinilai itu diletakkan di antara permukaan dalam ibu jari, telunjuk, jari tengah atau kadang-kadang dengan jari manis. Penilaian biasanya dilakukan dengan menggosok-gosokkan jari-jari itu dengan bahan yang dinilai diantara kedua jari (Soekarto 1985).
Rasa
Rasa sebagai salah satu sifat dari makanan, minuman dan bumbu dapat didefenisikan kumpulan hasil persepsi dari stimulasi indera yang digabungkan dengan stimulasi pencernaan berupa kesan yang diterima melalui ransangan kimia dari suatu produk di mulut (Meilgaard 1999).
Rasa makanan yang kita kenal sehari-sehari sebenarnya bukan satu tanggapan melainkan campuran dari tanggapan cicip, aroma, dan trigeminal yang diramu oleh kesan-kesan lain seperti penglihatan, sentuhan dan
pendengaran. Peramuan rasa itu ialah suatu sugesti kejiwaan terhadap makanan yang menentukan nilai pemuasaan orang yang memakannya (Soekarto 1985). 2. Analisis Kekerasan (Miyatani 2008)
Kekerasan didefenisikan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk memecahkan sampel. Pengukuran dilakukan pada nugget yang telah digoreng menggunakan Texture Analyzer XT-21. Hasil tes berupa grafik yang diplot pada bidang 2 dimensi antara sumbu x (waktu) dan sumbu y (tekanan atau force). Kekerasan di dapat dari puncak nilai tertinggi hasil pengujian.
3. Analisis Kadar Air (Nielsen 2003)
Kadar air adalah banyaknya air dalam suatu bahan pangan yang ditentukan dari pengurangan berat suatu bahan pangan yang dipanaskan pada suhu pengujian. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menimbang sampel yang sudah ditumbuk dalam lumpang dan alu sebanyak 5 gram dimasukkan dalam cawan dan dioven pada suhu 1050C selama 16-18 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dan diinginkan serta ditimbang berat akhirnya.
Kadar bahan kering (%) = 100% - kadar air 4. Analisis Kadar Abu (Nielsen 2003)
Sampel nugget yang telah dioven pada pengukuran kedar air dan telah diketahui kadar airnya, kemudian dipijarkan pada suhu 6000C hingga berat tetap. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator dand ditimbang setelah mencapai suhu kamar.
5. Analisis Kadar Protein (Nielsen 2003)
Analisis kadar protein dibagi dalam 3 tahap: a. Destruksi
Sampel ditimbang sebanyak 0,1 gram dan dimasukkan dalam labu Kjedahlbersama 7 ml H2SO4 pekat dan selenium mix. Sampel akan dipanaskan dalam ruang asam sampai warnanya jernih kekuningan, dan kemudia didinginkan. Sampel kemudian dibilas menggunakan akuades.
b. Destilasi
Larutan sampel bening kemudian dituang ke alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH. Ujung penerima detilat di
rangkaian alat destilasi dipasang labu Erlemenyer yang berisi 5 ml larutan asm borat dan indikator metil merah metilen biru. Perlu diperhatikan bahwa ujung selang pengalir harus tercelup dalam larutan asam borat. Proses destilasi dilakukan sampai jumlah destilat mencapai sekitar 50 ml.
c. Titrasi
Destilat tersebut kemudian dititrasi menggunakan larutan HCL yang sudah diketahui normalitasnya dengan menggunakan indikator metil merah-metilen biru. Titrasi dihentikan apabila warna destilat telah mulai berubah menjadi ungu.
Kadar protein dihitung dengan rumus:
x 100%
Keterangan:
A= Faktor Pengencer
B = faktor konversi daging = 6,25
6. Analisis Kadar Lemak (Nielsen 2003)
Kadar lemak dihitung dengan metode Soxhlet. Sampel nugget ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dihancurkan dan dibungkus kertas saring. Kertas saring dimasukkan ke dalam alat Soxhlet, kemudian alat kondensor di atasnya dan labu di bawahnya. Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituang ke dalam labu dan dilakukan reflux sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak menjadi jernih.
Pelarut yang ada di labu destilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi selanjutnya dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, lebu dengan lemak ditimbang.
7. Analisis Kadar Karbohidrat (Nielsen 2003)
Penentuan kadar karbohidrat didasarkan pada perhitungan yang disebut carbohydrate by different. Penetapan nilainya adalah sebagai berikut:
8. Analisis Mineral
a. Analisis Kadar Ca Metode Atomic Absorbsion Spectrofotometry
(AAS) (Apriyantono et al. 1989)
Preparasi sampel untuk kadar lemak dilakukan dengan menggunakan pengabuan basah. Sampel yang mengandung 5-10 gram padatan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjedhal. Lalu ditambahkan larutan 10 ml H2SO4, 10 ml HNO3 serta beberapa batu didih. Larutan kemudian dipanaskan sampai tidak berwarna gelap dan ditambahkan 10 ml aquades sampai larutan tidak berwarna atau berwarna kuning, lalu panaskan kembali sampai berasap. Larutan dibiarkan sampai dingin kembali dan tambahkan 5 ml aquades, didihkan sampai berasap. Larutan disaring dengan kertas whatman 42 kemudian dibaca dengan menggunakan AAS.
Kadar Ca = (a – b) x V 10 x W
Keterangan:
a = Konsentrasi Larutan Blanko (mg/ml) b = Konsentrasi Larutan Sampel (mg/ml) v = Volume Ekstrak
w = Berat Sampel
b. Analisis Kadar Fe (Fardiaz et al. 1986)
Kandungan besi di dalam bahan pangan dianalisa dengan mengkonversi besi dari bentuk fero menjadi feri dengan menggunakan oksidator seperti K2S2O8 (potassium persulfat) atau H2O2kemudian direaksikan dengan KSCN (potassium tiosianat) sehingga membentuk feritiosianat yang berwarna merah. Warna yang terbentuk dapat diukur absorbansinya pada kalorimeter dengan panjang gelombang 480 nm. Larutan sampel 5 ml direaksikan dengan H2SO4 pekat dan K2S2O8 1 ml dan KSCN 2 ml. Masing-masing tabung diencerkan sampai 15 ml dengan air, kemudian ukur absorbansinya pada panjang gelombang 480 nm.
Fe mg/100 g = OD Sampel x 0,1 x vol larutan abu x 100 OD Standar x S x Berat sampel
c. Analisis Kadar Phospor (Fardiaz et al.1986)
Kadar phospor ditentukan dengan menggunakan pereaksi vanadat- molibdat. Sampel diambil 10 ml larutan abu, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Ditambahkan 40 ml aquades dan 25 ml pereaksi vanadat-molibdat.
Diencerkan sampai tanda tera, didiamkan selama 10 menit kemudian diukur absorbansinya dengan kalorimeter pada panjang gelombang 400 nm.
F2O5 (mg/100g) = [F2O5] x fp x 100 Berat sampel
P = F2O5 X Bilangan atom P Bilangan Molekul F2O5
Keterangan : fp = faktor pengenceran
9. Total Plate Count/TPC (AOAC 2005)
Inokulasi satu set pada cawan petri 1 ml dari pengenceran yang disesuaikan. Tuangkan agar-agar pada cawan dan didinginkan sampai suhu 420- 450C. Kemudian piring di inokulasi sampai 3 hari pada suhu 320C. Hitung jumlah koloni yang ada di piring berdasarkan standar. Akan didapatkan jumlah mikroba yang ada pada bahan pangan.
10. Analisis Asam Lemak (AOAC 2005)
Minyak atau lemak disaponifikasi dan, setelah pengasaman, asam lemak dan materi yang disaponifikasi dikeluarkan melalui ekstraksi terus menerus dengan heksana. Ekstraksi minyak disaponifikasi untuk yang kedua kali atau lemak tanpa hasil pengasaman. Asam lemak ditentukan oleh perbedaan hasil saponifikasi.
11. Analisis Daya Cerna Protein (Owusu-Apenten 2002)
Daya cerna protein dalam produk dapat diketahui dengan menggunakan metode multienzim. Larutan campuran enzim dibuat dengan mencampurkan 16mg tripsin, 31 mg kimotripsin, dan 13 mg peptidase dalam akuades pada suhu 370C. Larutan tersebut kemudian distandarkan pada pH 8 menggunakan HCL dan NaOH sampai volumenya menjadi 10 ml. Nugget sebanyak 62,5 mg dilarutkan dalam 8 ml aquades dan direndam selama 1 jam pada suhu 370C. pH diatur dengan menambahkan HCL dan NaOH sampai volume mencapai 10 ml. Larutan campuran enzim ditambahkan sebanyak 1 ml dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 370C dan dicatat perubahan pH pada suhu 370C. Apparent Protein Digestibility (APD)dihitung dengan menggunakan rumus: