• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.2 Penelitian yang Relevan

2.2.1 Pengembangan Alat Peraga Perkalian

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengembangan alat peraga perkalian di SD adalah penelitian oleh Rahmawati (2009), Fariha (2010), dan Sugiarni (2012).

Rahmawati (2009) meneliti pengaruh penggunaan alat peraga perkalian model matriks terhadap kemampuan menghitung hasil kali pada siswa kelas III B SD N Balun 3 Cepu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika dengan pembelajaran menggunakan alat peraga perkalian model matriks lebih baik daipada prestasi belajar matematika dengan menggunakan alat peraga pada pokok bahasan perkalian.

18 Fariha (2010) meneliti efektivitas alat peraga model matriks dengan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa kelas II SD N Sukorejo 02 Tunjungan Blora. Hasil penelitian ini ditunjukkan dengan meningkatnya kriteria efektivitas hasil 80 menjadi 100 dan nilai rata-rata evaluasi kelas menjadi 95,6 dari yang semula 72,8 dan dapat meningkatkan efektivitas proses pembelajaran siswa dari kriteria efektivitas proses 61,82 menjadi 93,33. Pada persentase keefektivitasan belajar siswa sebelum tindakan sebesar 61,82 dan meningkat pada akhir tindakan sebesar 93,33.

Sugiarni (2012) meneliti hasil peningkatan proses dan hasil belajar matematika dengan memanfaatkan media dan alat peraga materi operasi hitung campuran pada siswa kelas II semester 2 di SDN Suniarsih, Kecamatan Bojong, Kabupaten Tegal. Penelitian ini merupakan penelitian yang memanfaatkan media dan alat peraga dalam pembelajaran matematika pada materi operasi hitung campuran. Hasil penelitian ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan terhadap pemahaman dan prestasi belajar siswa pada materi operasi hitung campuran melalui aktivitas-aktivitas pemberian apersepsi yang menarik melalui tanya jawab interaktif, perlibatan siswa dalam demonstrasi, pengaktifan siswa dalam tanya jawab, pengaktifan siswa dalam latihan pengerjaan soal, dan pemanfaatan alat peraga.

Secara garis besar ketiga penelitian tersebut meneliti tentang manfaat penggunaan alat peraga untuk meningkatkan pemahaman siswa mengenai materi yang dipelajari. Hasil dari ketiga penelitian tersebut menunjukkan adanya peningkatan keaktifan siswa selama mengikuti pelajaran, peningkatan terhadap pemahaman siswa, dan prestasi belajar pada materi perkalian. Berdasarkan studi literatur penelitian di Indonesia mengenai pengembangan alat peraga perkalian, peneliti belum menemukan adanya penelitian yang meneliti dan mengembangkan alat peraga perkalian.

2.2.2 Penelitian tentang Metode Montessori

Penelitian yang berkaitan dengan metode Montessori dilakukan oleh Rathunde (2003), Lillard & Else-Quest (2006), dan Koh & Frick (2010).

Rathunde (2003) meneliti perbandingan motivasi, kualitas pengalaman, dan konteks sosial pada sekolah Montessori dengan sekolah menengah tradisional.

19 Penelitian ini dilakukan terhadap 150 siswa kelas VI dan VIII (60% perempuan dan 40% laki-laki) dari lima sekolah Montessori yang berada di empat negara bagian Amerika Serikat dan 400 siswa kelas VI dan VIII dari 20 sekolah menengah tradisional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) siswa Montessori lebih memiliki pengaruh yang tinggi, potensi (semangat dan giat), motivasi instrinsik (kesenangan dan ketertarikan), dan pengalaman berkonsentrasi penuh (flow experience) terhadap tugas akademik di sekolah dan (2) siswa Montessori memiliki kesan yang lebih baik terhadap sekolah dan guru, memiliki persepsi yang positif terhadap teman sekelas (menerima mereka lebih dari sekedar teman atau teman sekelas). Secara umum, siswa Montessori lebih sedikit menghabiskan waktu di kelas mendengarkan untuk pengajaran dan melihat media. Siswa Montessori lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dengan alat peraga dan penguasaan diri.

Lillard & Else-Quest (2006) meneliti perbandingan skor nilai akademik dan sosial siswa sekolah Montessori dan program pendidikan Sekolah Dasar lainnya. Penelitian ini dilakukan terhadap siswa Montessori usia 3-6 tahun dan 6-12 tahun di Milwaukee, Wilsconsin. Sekolah tersebut sudah beroperasi selama sembilan tahun dan melayani anak-anak yang termaginalkan serta sudah diakui oleh cabang Assosiacion Montessori Internationale (AMI/USA) di Amerika Serikat atas pengimplementasian prinsip Montessori yang bagus. Kelompok kontrol dalam penelitian ini adalah 40 siswa dari 27 sekolah publik dan 13 siswa dari 12 suburban public, private/voucher, atau charter school. Sebagian besar dari sekolah publik tersebut sudah menerapkan program pendidikan khusus seperti kurikulum untuk anak gifted dan talented, language immersions, seni dan pembelajaran berbasis discovery (2006:1893). Hasil penelitian terdiri atas dua hal, yaitu (1) siswa Montessori usia 3-6 tahun menunjukkan hasil yang lebih baik dalam tes mebaca dan matematika, memiliki dorongan yang positif dalam berinteraksi dengan orang lain, menunjukkan kemajuan dalam kesadaran sosial, dan peduli terhadap kejujuran serta keadilan, dan (2) siswa Montessori usia 6-12 tahun lebih kreatif dalam membuat essay dengan susunan kalimat yang lebih kompleks, selektif dalam memberikan respon positif tehadap masalah-masalah sosial dan menunjukkan perasaan yang peka terhadap komunitasnya di sekolah.

20 Secara garis besar, kedua hasil tersebut menunjukkan pencapaian skor akademik dan sosial siswa Montessori lebih tinggi dari kelompok kontrol.

Koh & Frick (2010) meneliti penerapan dukungan untuk kebebasan individu (autonomy support) dalam kelas Montessori. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik guru yang memiliki autonomy support dalam kelas Montessori dan bagaimana hal tersebut berpengaruh terhadap motivasi intrinsik siswa dalam bekerja. Penelitian ini dilakukan terhadap guru dan asistennya pada sekolah Montessori serta kelas Montessori yang terdiri dari 28 siswa yang berusia 9-11 tahun, sejajar dengan kelas 4-6 pada sekolah dasar tradisional. Penelitian ini dilakukan di salah satu sekolah Montessori yang terletak di Indiana, USA. Hasil penelitian ini terdiri atas dua hal, yaitu (1) guru dan asistennya memiliki strategi yang sesuai dengan filosofi Montessori dalam mendukung kemandirian siswa dan (2) siswa Montessori memiliki motivasi instrinsik dalam mengerjakan tugasnya. Berkaitan dengan hasil yang pertama, guru dan asistennya mendukung kemandirian siswa melalui memberikan kesempatan pada siswa untuk memilih sendiri jenis aktivitas yang akan dilakukannya dan teman bekerjanya. Guru mengembangkan kemandirian berpikir siswa melalui pemberian dorongan terhadap kebebasan berpikir siswa, inisiatif diri, dan menghormati pendapat siswa. Dalam menerapkan kontrol, guru dan asistennya mengakui dan menghargai perasaan siswa, mendukung rasional untuk tingkah laku yang diharapkan, dan menekan kecaman. Berkaitan dengan hasil yang kedua, siswa Montessori memiliki kecenderungan untuk mengerjakan setiap tugas belajarnya dikarenakan siswa menyadari pentingnya aktivitas tersebut untuk dirinya dan tujuan yang dicapai dari aktivitas tersebut.

Ketiga penelitian terhadap metode Montessori tersebut menunjukkan bahwa metode Montessori berpengaruh positif terhadap perkembangan diri seorang anak secara menyeluruh. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya motivasi intrinsik, kemandirian, pencapaian nilai akademik, dan tingkah laku (sosial) anak ketika belajar di sekolah Montessori. Seorang anak mengalami perkembangan secara alami baik dalam kemampuan maupun kepribadiannya.

Berdasarkan studi literatur penelitian yang ada di Indonesia mengenai pengembangan alat peraga perkalian dan metode Montessori, peneliti belum

Dokumen terkait