• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TAKHRĪJ HADIS MENGENAI ṢALĀT ARBA‘ĪN

C. Kegiatan Penelitian Hadis

1. Penelitian Sanad Hadis

هَل

ةَءاَرَ ب

حن م

را نلا

ةاََََو

حن م

باَذَعحلا

َئ رَبَو

حن م

قاَفِ نلا

C.Kegiatan Penelitian Hadis

1. Penelitian Sanad Hadis a. I’tibar Sanad

I‟tibar sanad penelusuran atas jalur-jalur periwayatan sebuah hadis untuk mengetahui ada atau tidaknya persamaan riwayat dengan jalur lain. Dalam I‟tibar ini pula, akan diketahui apakah hadis yang diteliti memiliki syawāhid (hadis yang periwayat di tingkat sahabat Nabi lebih dari seorang) atau mutābi‟ (hadis yang diriwayatkan lebih dari satu orang dan terletak bukan pada tingkat sahabat) dari jalur lain. I‟tibar sanad akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada berikut ini. Namun di sini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad hadis tersebut secara rinci.

Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis, nampak bahwa hadis tentang “Ṣalāt Arba„īn di Masjid al-Nabawī al-Madīnah” hanya memiliki satu jalur riwayat yang berakhir pada sahabat Anas ibn Malik. Berarti hadis ini tidak memiliki syawāhid karena hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat.

Namun hadis ini memilikimutābi‟ pada thabaqāt kelima setelah al-Hakam ibn Musa. Hal ini ditunjukkan sebagaimana yang tertera pada skema.

Skema Hadis

ق

َلا

َص ه للا لو سَر

:َم لَسَو هحيَلَع ها ى ل

حنَم

ى لَص

ف

ي د جحسَم

َي عَبحرَأ

ة َََص

َل

ه تو فَ ي

ة َََص

حتَب ت ك

هَل

ةَءاَرَ ب

حن م

را نلا

ةاََََو

حن م

باَذَعحلا

َئ رَبَو

حن م

قاَفِ نلا

كلام نب سنأ

رمع نب طيبن

لاجرلا بأ نب نْرلا دبع

ىسوم نب مكْا

لبنح نب دْأ

ينيدملا يلع نب دمحم

يارطلا

b. Kritik Sanad

Sanad menurut bahasa berarti “bagian tanah yang tinggi”, “puncak gunung”, “naik”, “sandaran”7

. Sedangkan menurut istilah adalah rangkaian para periwayat hadis yang mengutip matan dari sumber awal (Rasulullah saw)8

Terbunuhnya Umar ibn al-Khattab pada tahun 24 H tidak banyak mempengaruhi perkembangan ilmu kritik hadis. Namun terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan pada tahun 36 H, begitu pula terbunuhnya al-Husein ibn Ali pada tahun 61 H, yang diiringi lahirnya kelompok-kelompok politik dalam tubuh umat Islam, sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu kritik hadis. Karena untuk memperoleh legitimasinya, masing-masing kelompok itu mencari dukungan dari hadis Nabi saw apabila hadis yang dicarinya tidak ditemukan, mereka kemudian membuat hadis palsu.

Maka sejak saat itu para ulama kritikus hadis dalam menyeleksi hadis tidak hanya mengkritiknya dari segi matan (materi)-nya, melainkan juga dengan meneliti identitas periwayat hadis tersebut. Imam Muhammad ibn Sirrin (33-110 H) menuturkan, “Pada mulanya kaum muslimin tidak pernah menanyakan sanad (transmisi hadis). Namun setelah terjadi fitnah (terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan), apabila mendengar hadis mereka selalu menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh.

7

Ibn Manzur,Lisān al-„Arab, (Beirut:Dar Beirut, 1968), jilid II, h. 215.

Apabila diperoleh dari “Ahl al-Sunnah”, hadis itu diterima sebagai dalil dalam agama, dan apabila diperoleh dari orang-orang penyebar bid‟ah, hadis itu ditolak9

.

Di sinilah sebenarnya letak urgensinya sanad hadis, sebab tanpa sanad, setiap orang dapat mengaku dirinya pernah bertemu dengan Nabi saw; karenanya, tepat sekali ucapan Abdullah ibn al-Mubarak (w 181 H), “ Sistem sanad itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa adanya sistem sanad setiap orang dapat mengatakan apa yang dikehendakinya. Bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu keistimewaan umat Islam, dimana sistem itu tidak dimiliki umat-umat yang lain.

Dalam penelitian ini, penulis hanya mendapatkan keterangan pada kitab musnad al-Imām Ahmad ibn Hanbal dari kitab Kanz al-„Ummāl, jalur riwayat Imam Ahmad ibn Hanbal diriwayatkan oleh beberapa periwayat.

Urutan nama periwayat Imam Ahmad ibn Hanbal yang penulis teliti adalah:

Periwayat I : Anas ibn Malik

Periwayat II : Nubaith ibn Umar

Periwayat III : Abdurrahman ibn Aby al-Rijal

Periwayat IV : al-Hakam ibn Musa

Periwayat V : Ahmad ibn Hanbal

9

Dalam kritik sanad ini penulis memulai dari periwayat terakhir (mukharij), yakni Ahmad ibn Hanbal lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya.

1. Ahmad ibn Hanbal (w 241 H)10

a. Nama Lengkapnya: Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal ibn Hilal ibn Asad al-Syaibani Abu Abdurrahman al-Bagdady. Beliau lahir di Bagdad tahun 164 H dan meninggal dunia di Bagdad pada tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 241 H pada usianya yang ke 77 tahun. Dalam mencari ilmu beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Selain itu beliau pernah belajar kepada Imam Syafi’I pada masa khalifah Mu’tasim. Beliau pernah di penjarakan selama kurang lebih dua puluh delapan bulan dikarenakan tidak mau mengakui bahwa al-Qur’an itu makhluk. Selama dalam penjara beliau disiksa dan disakiti sampai beliau tidak berdaya. Setelah tahun 220 H beliau dibebaskan kemudian setelah itu pula ia muncul sebagai seorang Imam hadis. Ahmad Ibn Hanbal telah banyak menulis kitab, akan tetapi dari sekian banyak kitab yang paling terkenal adalah al-Musnad . isinya kurang lebih 300.000 hadis yang terpilih dari 750.000 hadis.

b. Guru-gurunya: Hasyim ibn Basyir, Sufyan ibn Uyainah, Ibrahim ibn Sa’ad, Yahya ibn ‘Adam, Abu Mu’awiyah al-Duari, al-Hakam ibn Musa,

10

Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, (al-Hindi: Dāirah al-Ma‘ārif al-Niẓamiyah, 1326 H), Juz, 5, h. 320-383. Al-Mizzy, Tahżīb al-Kamāl, juz, 1, h. 56.

Abdul Razzaq al-Maliki ibn Muslim, Imam al-Syafi’I, al-Qadi Abu Yusuf, dan lainnya.

c. Murid-muridnya: ‘Ali ibn al-Madany, Yahya ibn Ma’in, Duhaim al -Syamy, Ahmad ibn Shalih al-Mishri, Ahmad Ibn Abi al-Hawari, dan lainnya.

d. Pendapat Ulama Hadis:

1) Yahya ibn Ma’in menuturkan; Aku tidak pernah melihat seseorang yang meriwayatkan hadits karena Allah kecuali tiga orang; Ya’la Ibn ‘Ubaid, Al-Qa’nabi, Ahmad Ibn Hanbal.

2) Dzahaby; Ahmad Ibn Hanbal adalah orang yang Hāfiẓ, Ṣāduq. 2. Al-Hakam ibn Musa (w 232 H)11

a. Nama Lengkapnya: al-Hakam ibn Musa ibn Abi Zuhair al-Bagdady. b. Guru-gurunya: Isma’il ibn ‘Iyas, al-Khalil ibn Abi al-Khalil, Sabrah ibn

‘Abdul ‘Aziz ibn al-Rabi’i ibn Sabrah, Sa’id ibn Maslamah al-Umawi, Su’aib ibn Ishaq al-Dimsyiqi, Sadaqah ibn Khalid, ‘Ubad ibn ‘Ubad al -Mahlaby, ‘Abdullah ibn Ziyyad al-Falisthiny, ‘Abdurrahman ibn Aby al-Rijal, Ghasan ibn ‘Ubaid, dan lainnya.

c. Murid-muridnya: al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibrahim ibn Aby Dawud al-Barlisy, Ahmad ibn Ibrahim al-Dawraqy, Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Ahmad ibn Mansur al-Ramady, Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali ibn Sa’id al-Maruzy al-Qadi, dan lainnya.

11

d. Pendapat Ulama Hadis:

1) Yahya ibn Ma’in; Laisa Bihi Ba‟ .

2) Abu Hatim; Ṣāduq.

3) Musa ibn Harun; Syaikhu al-Ṣālih

4) Ibnu Hibban; disebutkan dalam“al- iqāt”

3. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal12

a. Nama Lengkapnya: Muhammad ibn Abdurrahman ibn Abdullah ibn Haritsah ibn al-Nu’man al-Anshary al-Najjary.

b. Guru-gurunya: Ishaq ibn Yahya ibn Talhah ibn ‘Ubaidillah, Haritsah ibn Abi al-Rijal (saudaranya), Rabi’ah ibn Abi Abdurrahman, Abdullah ibn Abi Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm, Abdurrahman ibn Amr al-Awza’iy, dan lainnya.

c. Murid-muridnya: Isma’il ibn Qais ibn Sa’ad ibn Zaid ibn Tsabit al-Anshary, Basyar ibn al-Hakam al-Naisabury, al-Hakam ibn Musa, Sulaiman ibn Abdurrahman al-Dimsyiqi, Suwai ibn Sa’id al-Hadatsaniy, Abdullah ibn Yusuf al-Tanisy, Abdul ‘Aziz ibn Abdullah al-Uwaisy,’Amran ibn Khalid ibn Abi Jamil, dan lainnya.

d. Pendapat Ulama Hadis: 1) Yahya ibn Ma’in: iqāh.

2) Abu Hatim: Ṣālih.

12

Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88-89.

3) Ibnu Hibban: disebutkan dalam “al- iqāt” terkadang juga salah.

4. Nubaith ibn Umar

a. Nama lengkapnya: Tidak dikenal. b. Guru-gurunya: Tidak dikenal. c. Murid-muridnya: Tidak dikenal. d. Pendapat Ulama Hadis:

1) Ibnu Hibban: iqāh (disebutkan dalam “al- iqāt”). Hanya Ibnu Hibban yang memberikan penilaian terhadap Nubaith ibn Umar, dikuatkan oleh al-Mundziri dan al-Haitsami.

5. Anas ibn Malik (w 92 H)13

a. Nama Lengkapnya: Anas Ibn Malik ibn an-Nadr ibn Damdam ibn Zaid ibn Haram ibn Jundab ibn ‘Amir ibn ‘Ady ibn an-Najar al-Ansary. Anas ibn Malik adalah urutan ketiga dari sahabat yang banyak meriwayatkan hadis. Ada 2286 hadis yang ia diriwayatkan. Anas adalah Khādam

(pembantu) Rasulullah ketika berusia sepuluh tahun, Ibunya Ummu Sulaim, Ayahnya bernama Malik ibn al-Nadir. Anas tidak ikut berperang dalam peperangan badar akbar, karena pada waktu itu usianya masih sangat muda, tetapi banyak mengikuti peperangan lainnya sesudah itu. Pada waktu Abu Bakar meminta pendapat ‘Umar mengenai pengangkatan Anas menjadi pegawai di Bahrain, ‘Umar memujinya: “Dia adalah anak muda yang cerdas, bisa membaca dan menulis”. Ia terkenal dengan wara‟

13

dan taqwa karena pergaulannya yang lama dengan Rasulullah saw. pada hari-hari terakhir masa kehidupannya, Anas berpindah ke Basrah. Ia wafat pada tahun 92 H, ada yang mengatakan 93 H, adalah sahabat terakhir yang meninggal di Basrah. Usianya melampaui seratus tahun, pada hari wafatnya, muwarriq berkata: “Telah hilang separuh ilmu, jika ada seseorang yang suka memperturutkan kesenangannya bila berselisih dengan kami, kami berkata kepadanya: “Marilah menghadap orang yang pernah mendengar dari Nabi saw.14

b. Guru-gurunya: Nabi Muhammad saw., Abu bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Abdullah ibn Ruahah, Fatimah Az-Zahra, Abdurrahman ibn ‘Auf, Abi Talhah, Mu’adz ibn Jabal.

c. Murid-muridnya: al-Hasan, Sulaiman at-Tamimy, Abu Qilabah, Ishaq ibn Abi Talhah, Qatadah, Tsabit al-Banany, Muhammad ibn Sirin, dan lainnya.

d. Pendapat Ulama Hadis:

1. Ali ibn al-Ja’di berkata dari Syu’bah dari Tsabit; Abu Hurairah berkata: Saya tidak pernah melihat seorang pemuda yang ṣalāt bersama Rasulallah saw, dari Ibn Ummi Salim. ‘Ali ibn al-Madiny berkata: Orang yang terkhir menetap di Basrah dari sahabat-sahabat Rasulallah saw adalah Anas.

14

Subhi al-Sālih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis(terjemahan),(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 336.

Hadis ini mempunyai mutābi‟ dari Imam al-Tabarani, dalam kitabnya

al-Mu‟jam al-Awsaṭ pada bab “Man Ismuhu Muhammad”.15 Namun al-Tabarani mengatakan; "Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman ibn Abi al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith".

Redaksi hadis dalam kitab al-Mu‟jam al-Awsaṭ al-Tabarani:

بَأ نحب نَحْ رلا دحبَع اَنَ ث :َلاَق ىَسو م نحب مَكَحْا اَنَ ث :َلاَق ُ ِي دَمحلا ٍي لَع نحب د مَ ُ اَنَ ث دَح

طحيَ ب ن حنَع ، لاَجِرلا

َص ه للا لو سَر َلاَق :َلاَق ك لاَم نحب سَنَأ حنَع ،َرَم ع نحب

:َم لَسَو هحيَلَع ها ى ل

َي عَبحرَأ ي د جحسَم ف ى لَص حنَم

باَذَعحلا َن م ةاََََو ، را نلا َن م ةَءاَرَ ب هَل ه للا َبَتَك ، ة َََص ه تو فَ ي َل ة َََص

Urutan nama periwayat Imam al-Tabarani yang penulis teliti adalah:

Periwayat I : Anas ibn Malik

Periwayat II : Nubaith ibn Umar

Periwayat III : Abdurrahman ibn Aby al-Rijal

Periwayat IV : al-Hakam ibn Musa

Periwayat V : Muhammad ibn Ali al-Madiny

Periwayat VI : al-Tabrani

Dalam kritik sanad ini penulis memulai dari periwayat terakhir (mukharij), yakni al-Tabarani lalu diikuti oleh periwayat sebelumnya dan seterusnya.

15

1. Al-Tabarani (w 360 H)

a. Nama Lengkapnya: Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayub ibn Matir al-Lakhmy al-Syamy al-Tabrani. Yang memiliki tiga kitab

al-Mu‟jam al-Kabīr, al-Mu‟jam al-Awsaṭ, al-Mu‟jam al-Ṣagīr16.

b. Guru-gurunya: Aby Zur’ah al-Dimasyqy, Ishaq ibn Ibrahim al-Dabiry, Idris ibn Ja’far al-‘Athar, Basyar ibn Musa, Miqdam ibn Dawud al-Ra’any, Yahya ibn Ayub al-‘Alaf, Abdullah ibn Muhammad ibn Sa’id ibn Aby Maryam, Ahmad ibn Abd Wahab Huthy, Ahmad ibn Dawud al-Bisry, Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, dan lainnya.

c. Murid-muridnya: Abu Khalifah al-Jamhy, al-Hafidz ibn ‘Uqdah, Ahmad Ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Sahaf, ibn Mandah, Abu Bakar ibn Mardawih, Abu Nu’aim al-Asbahany, Abu ‘Umar Muhammad ibn al-Husain al-Busthamy, dan lainnya.17

d. Pendapat Ulama Hadis:

1) Abu Bakar ibn Abi ‘Ali: Ka īrah hadī uh.

2) Al-Hafidz Abu ‘Abdillah ibn Mundah: ahad al-hafiẓ al-Manẓūrin18. 2. Muhammad ibn ‘Ali al-Madini

a. Nama Lengkapnya: tidak dikenal b. Guru-gurunya: tidak dikenal

16

Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah,(Dār ihyā al-Turaṡ, 1408/1988), juz, 11, h. 288. Lihat juga al-Dzahaby, Siyaru „Alāmi al-Nubalā,( Beirut: Muassasah al-Risālah, 1405/1985), juz, 10, h. 64.

17

al-Dzahaby, Siyaru „Alāmi al-Nubalā, juz, 10, h. 65. 18

c. Murid-muridnya: tidak dikenal d. Pendapat Ulama Hadis: tidak dikenal

3. Al-Hakam ibn Musa (w 232 H)19

a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.

c. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.

4. Abdurrahman ibn Abi al-Rijal20

a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 5. Nubaith ibn Umar

a. Nama lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. 6. Anas ibn Malik (w 92 H)21

a. Nama Lengkapnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. b. Guru-gurunya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.

19

Ibnu Hajar al-‘Asqalāni,Tahżīb al-Tahżīb, h. 440. 20

Ibnu Hajar al-‘Asqalāni, Tahżīb al-Tahżīb, h. 169. Al-Mizzi, Tahżīb al-Kamāl,juz,17, h, 88-89.

21

c. Murid-muridnya: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya. d. Pendapat Ulama Hadis: sudah dijelaskan pada keterangan sebelumnya.

Penelitian sanad hadis di atas tentang alāt arba„īn di Masjid al-Nabawī

al-Madīnah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan mutābi‟nya Imam al-Tabarani, setelah penulis mencari data perawi tersebut dari kitab Rijāl al-Hadī ,

bahwa ada dua periwayat yang tidak dikenal/tidak diketahui keadaannya (Nubaith ibn Umar dan Muhammad ibn ‘Ali al-Madani). Imam al-Tabarani setelah mencantumkan hadis tersebut beliau berkomentar: “Tidak ada yang meriwayatkan dari Anas kecuali Nubaith, dan Abdurrahman ibn Abi Al-Rijal pun sendiri meriwayatkan dari Nubaith”. Namun ada peneliti terdahulu Al-Mundziri dalam al-Targīb wa al-Tarhīb, dan Al-Haitsami dalam Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid nomor hadis 587822, setelah mencantumkan hadis ini, keduanya berkomentar menguatkan jalur perawinya, sebagaimana tercantum dalam Musnad Ahmad dan al-Mu‟jam Al-Awsaṭ di atas.

Masalah yang dipersoalkan dalam jalur sanadnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Nubaith bin Umar, yang ternilai majhūl (tidak diketahui keadaannya), dimana hanya Al-Mundziri dan Al-Haitsami yang menguatkannya dengan mendasarkan pada penilaian Ibnu Hibban dalam “Al- iqāt”23

. Namun, di kalangan kritikus hadis, Ibnu Hibban dikenal sebagai kritikus yang dimasukkan dalam kategori mutasāhil (mudah mengangkat derajat penilaian terhadap perawi yang

22

Abu al-Hasan Nur al-Din ‘Ali Ibn Abi Bakar Ibn Sulaiman al-Haitsami, Majma‟ al-Zawāid wa Manba‟ al-Fawāid, (Kairo: Maktabah al-Qudsiy, 1414 H/ 1994 M), juz, 4, h. 8.

23

majhūl). Maka dalam kajian kritik hadis, keadaan perawi demikian disebut dengan majhūl„ain (tidak diketahui data pribadinya sedikitpun). Sementara itu, kritikus hadis modern, Nashirudin Al-Albani dalam Silsilah al-Ahādī al-Ḍa„īfah24 pada bab 364 dan Ḍa„īf al-Targīb wa al-Tarhīb 25 pada bab Kitāb al-Haj, mengomentari hadis di atas dengan mengatakan: “Sanad hadis ini daif, Nubaith tidak dikenal kecuali dalam hadis ini, hadis ini munkar (informasi hadis hanya dari satu jalur). Sementara Muhammad Ibn ‘Ali al-Madani tidak diketahui informasinya.

Dalam hal ini,26 penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh al-Albani bahwa perawi yang bernama Nubaith ibn Umar itu majhūl „ain, tidak diketahui keadaannya dalam beberapa kitab Rijāl al-Hadī . Menurut disiplin ilmu hadis, manakala terdapat perawi yang tidak diketahui keadaannya maka sanad perawi hadis tersebut menurut jumhur ulama hadis, hukum riwayatnya tertolak dan hadisnya termasuk daif.

24

Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ahādi al

-Ḍai'fah,(Riyadh: Dar al-Ma’arif, 1412 H / 1992 M), juz, 1, h. 540. 25

Abu Abdurrahman Muhammad Nashiruddin al-Albani, Ḍa'if al-Targīb wa al-Tarhīb, juz, 1, h. 189.

26

Dalam hal yang lain, penulis antipati terhadap syekh al-Albani, karena banyak di dalam karya-karyanya, beliau mengidentifikasi setidaknya ada 990 hadis yang dianggap autentik oleh mayoritas sarjana Muslim, namun oleh al-Albani dianggap lemah. Memang, ia menyatakan lemah sejumlah hadis yang terdapat dalam sahih Muslim, salah satu koleksi hadis yang paling bergengsi. (lihat dalam bukunya Kamarudin Amin; Menguji kembali keakuratan Metode Kritik Hadis, halaman 72).

2. Penelitian Matan Hadis

Untuk mengetahui sahih atau tidaknya suatu matan hadis diperlukan suatu penelitian matan yang biasa disebut kritik matan (naqd matan). Kritik matan ini adalah upaya mengkritisi materi atau pembicaraan yang disampaikan oleh sanad yang terakhir untuk diketahui ke-sahih-an matan hadis tersebut. Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga karena dalam periwayatan, matan hadis dikenal adanya periwayatan secara makna (riwayat bil makna).27

Adanya periwayatan secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah dilakukan. Kesulitan tersebut terjadi karena matan tersebut terlebih dahulu telah beredar pada sejumlah periwayat yang berbeda generasi dan tidak jarang juga berbeda latar belakang budaya dan kecerdasannya, sehingga menyebabkan timbulnya perbedaan penggunaan dan pemahaman dalam suatu kata ataupun istilah. Penggunaan pendekatan bahasa dalam penelitian matan sangat diperlukan selain pendekatan semantik karena sangat membantu kegiatan penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari matan hadis yang bersangkutan.

Untuk penelitian matan hadis dari segi kandungannya, acapkali diperlukan penggunaan pendekatan rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran islam. Penelitian matan dengan beberapa macam pendekatan tersebut ternyata memang

27

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 26.

masih tidak mudah dilakukan, apalagi kandungan matan hadis berhubungan dengan masalah keyakinan tentang hal-hal yang ghaib dan petunjuk-petunjuk agama yang bersifat ta‟abudi. Dengan begitu, penelitian matan hadis memang membutuhkan kecerdasan penelitian dalam menggunakan cara pendekatan yang relevan dengan masalah yang diteliti. Kesulitan penelitian matan juga disebabkan masih sangat langkanya kitab-kitab yang secara khusus membahas kritik matan.28

Dalam memahami matan sebuah hadis diperlukan juga sebuah penafsiran situasional. Sebagaimana yang dikutip oleh Fazlur Rahman, bahwa pemahaman beberapa doktrin pokok harus dimodifikasi dan ditegaskan kembali. Harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya yang tepat dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Harus dikemukakan secara tegas bahwa suatu revaluasi

terhadap aneka ragam unsur dalam hadis dan reinterpresentasi yang sempurna selaras dengan perubahan-perubahan kondisi sosial dan moral dewasa ini meski dilakukan.29

Dalam buku metodologi penelitian hadis Nabi saw. karya M. Syuhudi Ismail dijelaskan langkah-langkah metodologi kegiatan penelitian matan hadis, yaitu:

I. Meneliti matan dengan kualitas sanadnya. a). Meneliti matan sesudah meneliti sanad.

b). Kualitas matan tidak selalu sejalan dengan kualitas sanadnya.

28

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 26. 29

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1995), cet. 6, h. 73.

c). Kaidah kesahihan matan hadis, yakni terhindar dari syudzudz dan „illat.30

Adapun tolok ukur penelitian matan, Shalahuddin al-Adibi menyimpulkan ada empat macam yaitu:

a). Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

b). Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

c). Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indera dan sejarah.

d). Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian.31

II. Meneliti matan yang semakna

Menurut ulama hadis, perbedaan lafaẓ yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, asalkan sanadnya sama-sama sahih, dapat ditolerir. Bila terjadi perbedaan lafaẓ pada berbagai matan yang semakna, maka metode muqaranat (perbandingan) sangat penting dilakukan. Dengan metode ini dapat diketahui adanya perbedaan lafaẓ pada matan, adanya ziyādah, idraj dan lain-lain yang berpengaruh pada matan hadis.32

III. Meneliti kandungan matan

a). Membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan.

30

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 122. 31

Salahuddin bin Ahmad al-Adabi, Manhaj al-Naqd al-Matan, (Beirut: Dar Afaq al-Jadidah, 1993), h. 238.

32

b). Membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan.33

Ibnu Hajar al-Asqalani menempuh empat cara untuk penelitian terhadap kandungan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan, yaitu:

1). Al-Jam‟u

2). Al-Naskh wa al-Mansukh

3). Al-Tarjih

4). Al-Taufiq34

Untuk mengetahui status ke-hujjah-an hadis, maka penelitian sanad dan matan memiliki kedudukan yang sama penting. Meskipun dalam prakteknya penelitian sanad didahulukan atas penelitian matan. Menurut ulama hadis, barulah suatu hadis dinyatakan berkualitas sahih ( ahīh lizātih) apabila sanad dan matan-nya berkualitas sahih.35

Dalam penelitian ini, langkah-langkah metodologisnya telah penulis kemukakan di atas, dinukil dari buku M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi saw. Esensi yang menjadi unsur-unsur utama yang harus dipenuhi oleh

33

M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi SAW, h. 145.

Dokumen terkait