• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2.1 Pengaruh dari Pengolahan Hasil Produksi Pertanian yang Dilakukan Koperasi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Erwin (2008), dalam salah satu alternatif strategi yang diajukan untuk pengembangan usaha Koperasi Produksi Susu (KPS) Bogor adalah dengan melakukan produksi susu olahan

12 sendiri dan memasarkannya. KPS Bogor sebaiknya mengolah susu murni dari peternak-peternaknya menjadi susu pasteurisasi. Hal ini dapat dilakukan untuk menambah pendapatan koperasi dan meningkatkan kesejahteraan peternak anggotanya. Hal ini juga didukung dengan alat-alat produksi yang telah dimiliki oleh koperasi namun tidak digunakan karena memerlukan perbaikan.

Hafsah (2007) meneliti Koperasi Warga Sejahtera yang merupakan satu-satunya koperasi yang bergerak pada industri sutera alam di Kabupaten Ciamis. Koperasi ini bergerak dari sektor hulu ke sektor hilir dalam industri persuteraan alam. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, diketahui bahwa industri sutera alam akan semakin menguntungkan pada sektor hilir, artinya nilai tambah yang dihasilkan akan semakin besar. Nilai tambah yang besar terlihat dari harga jual kain sutera yang cukup tinggi yaitu sekitar Rp 100.000 – Rp 115.000 permeter untuk kain sutera putihan atau dobby, sedangkan untuk kain sutera yang diwarnai atau bermotif berkisar antara Rp 120.000 – Rp 200.000 permeter. Hal ini dapat dibandingkan dengan harga jual bahan bakunya yaitu kokon dan benang sutera. Pada pengolahan kain sutera yang efisien, berlaku rasio perbandingan 1 : 10 artinya satu kilogram benang sutera dapat menghasilkan sepuluh meter kain. Benang sutera dihasilkan dari sepuluh kilogram kokon. Jika harga kokon saat ini Rp 25.000 perkilogram, dan harga benang Rp 350,00 perkilogram, maka nilai tambah pengolahan kain sutera lebih dari 50 persen.

Oleh karena itulah industri persuteraan alam memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan. Selain itu, nilai tambah yang besar akan dapat memberikan imbalan kesejahteraan yang besar bagi para pekerjanya dan anggota Koperasi Warga Sejahtera.

Berdasarkan kedua hasil penelitian terdahulu tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dengan mengolah hasil produksi pertaniannya, koperasi akan mendapatkan pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan menjual hasil produksinya langsung tanpa dilakukan proses penciptaan nilai tambah melalui proses pengolahan. Pada penelitian ini, penulis menganalisis usaha pengolahan susu segar yang dilakukan oleh KPSBU Jawa Barat yang diduga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan koperasi dan anggotanya.

13

2.2.2 Analisis Kelayakan Usaha dengan Menggunakan Dua Skenario

Oktafiyani (2009) melakukan penelitian mengenai pembuatan kerupuk rambak. Terdapat dua skenario yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis kelayakan usaha pembuatan kerupuk rambak dengan menggunakan bahan baku kulit sapi dan analisis kelayakan usaha pembuatan kerupuk rambak dengan menggunakan bahan baku kulit kerbau. Hal yang melatarbelakangi adanya dua skenario ini adalah karena bahan baku kulit kerbau relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan kulit sapi. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis bagaimana pengaruh penggunaan bahan baku kulit kerbau sebagai input produksi kerupuk rambak terhadap kelayakan usaha. Hal ini dikarenakan dengan menggunakan bahan baku yang lebih mahal maka harga pokok penjualan yang didapat akan lebih tinggi. Produk kerupuk rambak dijual pada tingkat harga yang sama sehingga akan mengurangi tingkat keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha yang menggunakan bahan baku kulit kerbau.

Berdasarkan penelitian dan analisis yang dilakukan, kedua skenario ternyata layak untuk dilaksanakan jika dilihat dari aspek nonfinansial, yaitu pasar, teknis, hukum, manajemen, dan aspek sosial ekonomi lingkungan. Hasil dari analisis kelayakan finansial pada usaha pembuatan kerupuk rambak baku kulit sapi layak untuk diusahakan dengan nilai NPV sebesar Rp 271.883.775,00; IRR sebesar 67,81 persen; Net B/C sebesar 5,09 dan payback period selama 2,83 tahun. Sedangkan hasil analisis finansial pada usaha pembuatan kerupuk rambak kulit kerbau juga layak untuk diusahakan dengan nilai NPV sebesar Rp 89.836.856,00; IRR sebesar 27,48 persen; Net B/C sebesar 2,16 dan payback period sebesar 5,30 tahun.

Setelah dilakukan analisis perbandingan usaha, diketahui bahwa usaha pembuatan kerupuk rambak dengan bahan baku kulit sapi lebih layak diusahakan dibandingkan dengan usaha yang menggunakan bahan baku kulit kerbau. Keuntungan yang diperoleh pada usaha pembuatan kerupuk rambak yang menggunakan bahan baku kulit sapi pun lebih tinggi dibandingkan dengan usaha pembuatan kerupuk rambak yang menggunakan bahan baku kulit kerbau.

Terdapat dua skenario yang digunakan pada penelitian yang dilakukan Rivai (2009) yaitu analisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong dengan

14 menggunakan modal sendiri dan analisis kelayakan usaha penggemukan sapi potong dengan menggunakan modal pinjaman dari bank. Hasil analisis finansial usaha penggemukan sapi potong dengan menggunakan modal sendiri (discount factor 7 persen) menghasilkan NPV sebesar Rp 4.473.018.300,00; IRR sebesar 37 persen; Net B/C sebesar 2,92, dan payback period selama 3,5 tahun. Sedangkan hasil analisis finansial usaha penggemukan sapi potong dengan menggunakan modal pinjaman dari bank (discount factor 13 persen) menghasilkan NPV sebesar Rp/ 186.799.039,00; IRR sebesar 15 persen; Net B/C sebesar 1,07 dan payback period selama 8,2 tahun. Kedua hasil analisis kelayakan usaha tersebut layak untuk diusahakan, namun skenario I, yaitu usaha penggemukan sapi potong dengan menggunakan modal sendiri lebih layak untuk dijalankan karena hasil analisis kriteria investasi yang dimiliki oleh skenario I lebih besar dibandingkan hasil analisis kriteria investasi pada skenario II.

Musarofah (2009) melakukan penelitian mengenai usaha pengolahan nugget ikan. Terdapat dua skenario yang digunakan pada penelitian ini yaitu pengusahaan nugget dengan kapasitas saat ini yaitu sebanyak 747 kemasan perhari dan pengusahaan dengan peningkatan kapasitas produksi menjadi 1.747 kemasan perhari. Adanya dua skenario ini karena perusahaan memiliki rencana untuk melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi dan memerlukan sejumlah investasi seperti lahan, bangunan dan peralatan produksi yang lebih besar, sehingga diperlukan analisis kelayakan usaha untuk mengetahui kelayakan usaha yang sedang berjalan saat ini dan kelayakan pengembangan usaha yang akan dilakukan. Hasil analisis nonfinansial dari kedua skenario adalah layak untuk dilaksanakan. Hasil analisis finansial dari pengusahaan nugget dengan kapasitas saat ini adalah NPV sebesar Rp 128.253.816,00; IRR sebesar 89 persen; Net B/C sebesar 5,08 dan payback period sebesar 2,15 tahun. Sedangkan hasil analisis finansial dari pengusahaan nugget dengan peningkatan kapasitas produksi menjadi 1.747 kemasan perhari adalah NPV sebesar Rp 309.706.718; IRR sebesar 98 persen; Net B/C sebesar 6,00 dan payback period sebesar 2,53 tahun.

Setelah melakukan perbandingan antara kedua skenario, kesimpulannya adalah skenario kedua (pengusahaan dengan peningkatan kapasitas produksi

15 menjadi 1.747 kemasan perhari) lebih menguntungkan karena pengembangan usaha tersebut dapat memberikan keuntungan berupa keleluasaan tempat produksi, peningkatan citra perusahaan dan peningkatan keuntungan secara finansial yang lebih besar bagi pemilik. Selain itu adanya pengembangan usaha juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak, penyerapan bahan baku yang lebih besar, dan terpenuhinya permintaan produk.

Pada penelitian mengenai analisis kelayakan usaha produksi susu sterilisasi ini terdapat tiga skenario yang akan dianalisis. Ketiga skenario ini dibedakan berdasarkan investasi yang dikeluarkan dan volume produksi susu yang diolah. Pada skenario I, koperasi tidak mengeluarkan investasi untuk pendirian pabrik dan pembelian mesin-mesin, sedangkan pada skenario II dan III koperasi mengeluarkan biaya investasi untuk mendirikan pabrik dan pembelian mesin-mesin. Volume produksi yang digunakan pada skenario I dan II adalah volume produksi yang telah ditetapkan pada subkontrak produksi yaitu sebanyak 2 ton perhari dengan frekuensi produksi dua kali seminggu. Pada skenario III, volume produksi koperasi adalah 16 ton perhari dengan frekuensi prduksi dilakukan setiap hari.

16

III KERANGKA PEMIKIRAN

Dokumen terkait