• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4.1 Motivasi Kerja dan Kepuasan Kerja

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya hubungan atau pengaruh motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Tan & Waheed (2011), dalam penelitian mereka yang menggunakan analisis regresi untuk mengetahui hubungan antara teori dua faktor Herzberg dengan kepuasan kerja di Malaysia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 54% dari varians dalam kepuasan kerja di Malaysia dapat dijelaskan oleh faktor-faktor motivasi dan kebersihan Herzberg. F-rasio 14.90 (p = 0.00) menunjukkan bahwa dari model regresi, yakni motivasi kerja dan kepuasan kerja pada variabel motivasi kerja dinilai secara statistik mendapat hasil yang signifikan. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa terdapat empat variabel motivasi kerja (kondisi, pengakuan, kebijakan perusahaan dan faktor upah) yang ditemukan signifikan dalam konteks Malaysia. Dalam kesempatan lain dalam penelitian oleh Khalid et al (2011), menyatakan ada hubungan positif antara motivasi karyawan terhadap kepuasan kerja di kedua organisasi utilitas air publik dan swasta, (β = 0,63, p <0,05). Hubungan diprediksi antara motivasi karyawan dan kepuasan kerja karyawan ditemukan dalam penelitian ini. H2 Public (β = 0,62, p <0,05) dan H2 Private (β = 0,59, p <0,05). Dalam penelitian ini, mereka menyimpulkan bahwa tingkat imbalan yang merupakan pendorong kepuasan kerja merupakan aspek dari motivasi karyawan sehingga merangsang kepuasan kerja karyawan.

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja seperti yang telah disebutkan diatas bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiyanto & Oetomo (2011). Data penelitian ini diperoleh dari 270 PNS yang bekerja pada dinas pemerintah Kabupaten Magetan. Data dianalisis dengan menggunakan structural equation modeling dengan partial least program square. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah variabel motivasi kerja tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Hal ini disimpulkan berdasarkan sebanyak 96,8% pegewai merasa kurang puas dengan pekerjaan itu sendiri karena pekerjaan ini relative mudah untuk dilakukan dan tidak bervariasi (membosankan), kurang menyenangkan dan kurang relevan dengan keahlian mereka. Kondisi kerja tersebut tidak menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

Hal senada juga disampaikan oleh Dhermawan et al (2012) yang dalam penelitian mereka menyatakan bahwa motivasi kerja tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja, hal ini ditunjukkan dari nilai koefisien standardized regression weight sebesar 0,003, C.R sebesar 0,04, dan probability 0,968. Meskipun para pegawai yang bekerja di Dinas PU Provinsi Bali memiliki motivasi kerja yang baik, hal tersebut tidak berpengaruh signifikan atau memberikan pengaruh yang kecil terhadap kepuasan kerja, yang dirasakan oleh para pegawai tersebut. Penelitian lain juga yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja tidak memengaruhi kepuasan kerja yaitu penelitian dari Ekyadi (2009), mereka menemukan motivasi kerja mempunyai nilai t hitung sebesar 1.315 yang lebih kecil dari nilai t tabelnya dengan nilai α = 5% yaitu sebesar 1.725 karena lebih kecil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa motivasi tidak mempunyai pengaruh terhadap kepuasan karyawan, hal tersebut disebabkan karena

motivasi karyawan tidak cukup meningkatkan kepuasan kerja terhadap pekerjaannya dalam hal pengakuan dari pimpinan, tanggung jawab terhadap pekerjaannya, kesempatan, pengembangan keterampilan dan kemampuan, serta kinerja tidak dirasakan dengan baik oleh para karyawan.

2.4.2 Budaya Organisasi dan Kepuasan Kerja

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang menjelaskan adanya hubungan signifikan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja antara lain penelitian yang dilakukan oleh Sempane et al (2002) dalam penelitian mereka, memperoleh hasil korelasi positif yang signifikan yang ditemukan antara dua variabel (r = 0, 743). Dengan demikian disimpulkan dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan positif antara budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal senada disampaikan Munizu (2012) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Zahari et al

(2014) menemukan bahwa, setiap karyawan yang bekerja dalam organisasi memiliki norma sendiri, nilai-nilai dan keyakinan yang berbeda terhadap organisasi di mana ia / dia bekerja. Menurut tabel, nilai signifikan untuk setiap variabel dependent seperti : komitmen karyawan, kepuasan karyawan dan niat turnover adalah 0.00. Jadi (0.00 <0,01) sehingga salah satu kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa bahwa ada hubungan positif antara budaya organisasi terhadap kepuasan kerja kepuasan kerja.

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja seperti yang telah disebutkan diatas bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Rukhviyanti (2011)

dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui pengaruh budaya organisasi, yang dikelompokan dalam budaya birokrasi, budaya inovatif dan budaya suportif terhadap kepuasan kerja pada salah satu bank di Rangkasbitung. Besarnya nilai koefisien korelasi antara variabel budaya inovatif terhadap kepuasan kerja sebesar 0,358, dan budaya suportif terhadap kepuasan kerja sebesar 0,513. Sedangkan variabel budaya birokrasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Sebab, besarnya nilai koefisien korelasi antara variabel budaya birokrasi terhadap kepuasan kerja sebesar 0,049. Dengan demikian dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa budaya organisasi tidak memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerja, hal ini terbutkti karena hanya budaya suportif saja yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja, sedangkan budaya birokrasi dan budaya inovatif tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja.

2.4.3 Motivasi kerja dan Budaya organisai Secara Simultan dengan Kepuasan Kerja.

Beberapa penelitian mengenai motivasi kerja dan budaya organisasi secara simultan memiliki hubungan terhadap kepuasan kerja, telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Diantaranya Roos & Eeden (2008), yang dalam peneltian mereka ditemukan hubungan tiga variabel antara motivasi kerja, budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal ini dinyatakan lewat hubungan positif antara budaya organisasi dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja. Hal ini berarti semakin baik budaya organisasi dan motivasi kerja maka akan semakin baik kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan dari organisasi. Pola ini tercatat dalam korelasi numeric dengan (n = 59) median low 0,593, median high 0,522, low 25% (n = 29) 0,714, high 25% (n = 29) 0,355. Korelasi tersebut, diidentifikasi

lewat budaya perusahan (pengembangan sumber daya manusia, hubungan yang dinamis dengan rekan kerja dan pengambilan keputusan yang kolektif), motivasi kerja (fungsi organisasi, remunerasi, dan kebijakan ) dan kepuasan kerja (fungsi karakteristik organisasi, pengembangan karir, faktor remunerasi, manfaat dan kebijakan personil).

Penelitian lain juga dilakukan oleh Yamsul et al (2013). Penelitian bertujuan untuk melihat Pengaruh motivasi dan budaya organisasi pada kepuasan kerja dan komitmen organisasi (Studi pada Program Manager Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) di Provinsi Sulawesi Tenggara). Dengan menggunakan pendekatan analisis statistik deskriptif dan analisis Structural Equation Modeling (SEM). Dari sembilan pengaruh langsung dari variabel yang diuji, ada empat dengan dampak yang signifikan, salah satunya yaitu: motivasi kerja dan budaya organisasi memiliki dampak yang signifikan terhadap kepuasan kerja. Nilai p variabel motivasi kerja terhadap variabel kepuasan kerja sebesar 0,152 sedangkan nilai p variabel budaya organisasi terhadap kepuasan kerja sebesar 0,774.

Selanjutnya Ichsan (2008), dalam penelitiannya yang bersifat deskriptif korelasional, terhadap empat variabel yaitu budaya organisasi dan motivasi kerja sebagai variabel independen, kepuasan kerja sebagai variabel intervening, dan kinerja karyawan sebagai variabel dependen. Dengan menggunkan populasi sebanyak 42 responden pada karyawan tetap The Grand Palace Hotel Malang. Diperoleh hasil yaitu terdapat pengaruh lansung budaya organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap kepuasan kerja dengan F hitung = 20,175 nilai sig t 0,00 < 0,05. Hal ini menunjukan bahwa budaya organisasi dan motivasi kerja

berhubungan secara simultan terhadap kepuasan kerja karyawan tetap The Grand Palace Hotel Malang.

Berdasarkan hasil penelitian motivasi kerja dan budaya organisasi dengan kepuasan kerja, maka terlihat kedua variabel sama-sama berkontribusi terhadap kepuasan kerja. Meningkatnya motivasi kerja akan meningkakantnya kepuasan kerja, sementara semakin budaya organisasi diciptkan dengan baik dalam organisasi, akan meningkat pula kepuasan kerja. Berdasarkan hal ini maka variabel motivasi kerja dan budaya organisasi sama-sama mendukung terciptanya serta meningkatnya kepuasan kerja. Dengan demikian dinamika yang dapat dibangun dari penelitian-penelitian terdahulu tentang motivasi kerja dan budaya organisai secara simultan dengan kepuasan kerja adalah, ketika individu memiliki motivasi kerja dalam melaksanakan tugasnya dengan didukung oleh budaya organisasi, akan membuat individu merasa nyaman dalam bekerja dan akan mendapat kepuasan kerjanya. Demikian juga jika individu menganggap bahwa dirinya terjebak untuk melakukan tugas sesuai dengan kebutuhannya, didukung oleh budaya organisasi yang membuat individu merasa nyaman dalam bekerja akan mendapat kepuasan kerja yang tinggi. Dari penjelasan tersebut, maka hipotesis yang dibangun adalah ada hubungan signifikan antara motivasi kerja dan budaya organisasi dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.

2.4.4 Motivasi Kerja Dan Jenis Kelamin Dengan Kepuasan Kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Lambrou et al (2010) menemukan bahwa motivasi kerja hendaknya dimiliki oleh setiap karyawan baik laki-laki maupun perempuan. Penelitian yang bersampel penelitian 286 orang dengan 90 orang tenaga kerja laki-laki dan 196 orang tenaga kerja

perempuan. Data penelitian ini menunjukan bahwa karyawan perempuan memiliki motivasi kerja lebih baik dibanding karyawan laki-laki, dengan nilai (p<0,005). skala motivasi kerja yang dipakai dalam penelitian ini, menunjukkan korelasi moderat dengan semua faktor kepuasan kerja, dengan r Pearson antara 0,303-0,382. Dengan demikian terdapat hubungan positif signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja. Hal ini dilihat dari nila (P <0,001), korelasi ini berarti motivasi kerja menyumbang 8,9%-14,3% dari varians dalam faktor-faktor kepuasan kerja. Kesimpulan penelitian ini dinyatakan bahwa motivasi kerja adalah kekuatan pendorong untuk mengejar dan memenuhi kebutuhan, sehingga menimbulkan respons secara langsung terhadap kepuasan kerja baik terhadap karyawan laki-laki maupun perempuan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gupta & Gehlawat (2013) yang menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara motivasi kerja dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja

Selanjutnya penelitian dari Ayub & Rafif (2011) juga mendapati hubungan positif antara motivasi kerja dan kepuasan kerja (r = 0,563), sementara itu jenis kelamin dengan kepuasan kerja dapat dilihat dari perbedaan signifikan yang ditemukan antara laki-laki dan perempuan (t = 4,324, df = 78, p <.05) pada variabel pekerjaan motivasi dan kepuasan kerja (t = -3,670, df = 78, p <.05). Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa, sekalipun perempuan lebih termotivasi utuk bekerja dan lebih puas terhadap pekerjaannya, namun penelitian ini menunjukan bahwa terdapatnya hubungan interaksi yang signifikan antara motivas kerja dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja.

Beberapa penelitian tentang adanya hubungan motivasi kerja dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja sebagaimana terlihat di atas bertolak

belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Edrak et al (2013). Dalam penelitian tersebut hasil yang didapati adalah tidak ada hubungan antara jenis kelamuin dengan motivasi kerja hal ini dapat dililhat dari hasil model yang didapati nilai (t = -.375, p> .05). Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kaushik & Rani (2005) yang juga menegaskan temuan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja. Selanjutnya, Sood (2006), Pandey & Ahmad (2007) dalam (Edrak et al

2013 ) juga menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan jenis kelamin dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja.

Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka hal ini menunjukan semakin tinggi tingkat motivasi kerjapendeta laki-laki dan perempuan maka semakin tinggi pula tingkat kepuasan kerjanya. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, ditambah dengan fenomena-fenomena yang terlihat dilapangan, maka dapat dilihat bahwa ada kemungkinan motivasi kerja pendeta pria lebih tinggi dibanding wanita dalam mencapai kepuasan kerja. Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada pengaruh interaksi antara motivasi kerja dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.

2.4.5 Budaya Organisasi Dan Jenis Kelamin Dengan Kepuasan Kerja

Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed & Zahari (2012). Dengan menggunakan kuesioner, data dikumpulkan dari 227 karyawan. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara budaya organisasi dan kepuasan kerja di NOC Libya. Variabel (budaya organisasi) memberikan kontribusi signifikan terhadap

variabilitas (kepuasan kerja) sebesar 51% dari total variabilitas. Selain variabel budaya organisasi, menurut penelitian ini, sesuai dengan literatur yang ditemukan, jenis kelamin juga merupakan salah satu penentu kepuasan kerja keryawan. Dengan demikian disimpulkan dari penelitian mereka tersebut bahwa terdapat hubungan yang interaksi yang signifikan antara budaya organisasi dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja karyawan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Medina (2012) yang melihat kepuasan kerja menurut jenis kelamin dan budaya dalam organiasasi mengungkapkan bahwa 88 persen pria bekerja penuh waktu, dibandingkan dengan hanya 76 persen wanita yang bekerja penuh waktu. Dengan menggunakan teknik simple random sampling. Hasil penelitian menunjukan ada pengaruh interaksi yang signifikan beberapa unsur budaya organisasi dan jenis kelamin dengan kepuasan kerja dengan jumlah 0,89; p<0,05. Dengan demikian disimpulkan dari penelitian ini bahwa unsur-unsur budaya organisasi yang dapat memberikan stimulus terhadap kepuasan kerja karyawan laki-laki atau perempuan seperti besaran gaji yang diterima, relasi yang dibangun, penghargaan yang diberikan akan memiliki keterkaitan satu dengan lainnya.

Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Abedi & Rostsmi (2011). Pada penelitian tersebut mereka menemukan bahwa budaya organisasi tidak memengaruhi kepuasan kerja baik karyawan laki-laki maupun perempuan, hal ini dikarenakan tidak ada variasi korelasi interaksi antara budaya organisasi dan kepuasan kerja. Hal ini ditunjukan dengan nilai sumbangan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja hanya sebesar 13,7%, sedangkan presentase kepuasan

kerja lainnya dijelaskan oleh faktor pribadi dan efektifitas organisasi sebesar 86,3%.

Dari hasil-hasil penelitian di atas, ada yang mendukung dan menolak, tentunya memberikan sebuah kontribusi dan pemahaman bahwa budaya organisasi dan jenis kelamin merupakan suatu konsep yang menunjukan pada keyakinan pendeta laki-laki dan perempuan mengenai beberapa hal yang terjadi dalam kelangsungan pekerjaannya yang juga berdampak pada kepuasan kerja itu sendiri. Selain itu dari fakta fenomena yang diperoleh dilapangan didapati bahwa pendeta wanita dibandingakan pendeta pria merasakan lebih nyaman ketika bekerja dalam budaya organisasi yang kondusif, sehingga dapat mencapai kepuasan kerja. Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada pengaruh interaksi antara budaya organisasi dengan kepuasan kerja pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.

2.4.6 Kepuasan Kerja Ditinjau Dari Jenis Kelamin.

Salah satu faktor demografi yang sampai saat ini masih menarik untuk diteliti dalam hubungannya dengan kepuasan kerja adalah jenis kelamin, hal ini dikarenakan terdapatnya beragam hasil penelitian yang memperoleh hasil yang berbeda antara ada dan tidak ada pengaruh kepuasan kerja dari faktor jenis kelamin ini. Beberapa penelitian yang terlebih dahulu dilakukan yaitu, Rafif & Ayub (2011) dalam penelitian mereka, menemukan hubungan perbedaan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja diantara karyawan perempuan dengan karyawan laki-laki, pada penelitian ini, disimpulkan bahwa ada perbedaan pada kepuasan kerja dalam hubunganya dengan jenis kelamin. Hal ini ditunjukan dengan (n = 80, t = -3,670, p <.05). Beberapa alasan yang dikemukakan yang

mengakibatkan perbedaan kepuasan kerja berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki biasanya menekankan pada gaji, sementara perempuan lebih menekankan pada pertumbuhan professional kerja, sehingga karyawan laki-laki jauh lebih puas terhadap pekerjaan dibandingkan dengan karyawan perempuan. Perbedaan jenis kelamin sebagai penentu kepuasan kerja juga di jelaskan oleh Ahmed et al (2010), namun sedikit berbeda dengan yang dijelaskan oleh Rafif dan Ayub yang menyatakan laki-laki lebih puas terhadap pekerjaannya, dalam penelitian ini ditemukan Perbedaan yang signifikan dicatat mengenai kepuasan kerja antara karyawan pria dan wanita dengan karyawan perempuan yang memiliki kepuasan kerja lebih dari karyawan laki-laki.

Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Peerbai (2006) yang menemukan bahwa untuk kepuasan kerja faktor jenis kelamin tidak memiliki hubungan sama sekali dalam merangsang kepuasan kerja ataupun membuat seseorang tidak puas terhadap pekerjaannya. Hal ini dilihat berdasarkan temuan nilai (p = 0,78> 0,05). Penelitian tersebut didukung oleh penelitian dari Ifeoluwa et al (2014) yang mana dari temuan penelitian mereka, terbukti bahwa staf perpustakaan laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kepuasan kerja yang sedang atau biasa saja. Dengan presentasi laki-laki sebesar 27,2%, dan presentase perempuan 35,1% dari total persentase 62,3% untuk kepuasan kerja. Hal ini menegaskan bahwa pustakawan umumnya puas dengan pekerjaan mereka. Meskipun persentase sedikit terlihat berbeda pada tingkat kepuasan kerja, namun hal ini menunjukan bahwa hasil perbedaan jenis kelamin terhadap kepuasan kerja tidak signifikan secara statistik dan dapat dikaitkan dengan fakta, bahwa jumlah responden perempuan lebih banyak dari responden

laki-laki. Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin ditemukan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepuasan kerja.

Dari hasil penelitian pro dan kontra yang telah dikemukakan maka dapat dililhat ada perbedaan antara kepuasan kerja bila ditinjau dari jenis kelamin. Dengan demikian hipotesis yang dibangun ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPI Papua Klasis Fakfak.

Dokumen terkait