• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Penelitian Terdahulu

2.4. Penelitian Terdahulu

Pada bagian terdahulu (Bab 1) dari skripsi ini dijelaskan secara teperinci mengenai urgensi dari analisis sistem pembayararan elektronik Topik serta permasalahan yang dapat dieksplorasi dari sistem pembayaran ini sangat luas. Secara umum riset yang telah dilakukan oleh para peneliti dapat dikotomikan menjadi beberapa bahasan utama, yaitu substitusi alat pembayaran (tunai-non tunai), manfaat sistem pembayaran elektronik, pengaruh alat pembayaran elektronik terhadap permintaan uang, serta pengaruh pengenaan tarif layanan terhadap penggunaan alat pembayaran elektronik.

2.4.1. Substitusi Alat Pembayaran (Tunai-Non Tunai)

Berdasarkan hasil survey terhadap empat ribu orang yang menjadi nasabah di bank-bank Austria pada periode 1997-2002, Stix (2002) berkesimpulan bahwa pembayaran dengan kartu kredit, ATM, kecuali electronic purse payments secara signifikan berpengaruh terhadap permintaan jumlah uang tunai yang dipegang masyarakat, dan tidak berpengaruh terhadap jumlah uang yang beredar. Hasil estimasinya menunjukkan bahwa seseorang yang selalu menggunakan kartu debit dan ATM untuk transaksi permintaan uang tunainya berturut-turut lebih kecil 20 persen dan 18 persen dibandingkan kelompok orang yang lain. Sementara itu seseorang yang selalu menarik dananya di bank (withdraw) dan melakukan pembayaran secara elektronis memiliki memiliki uang tunai 30 persen lebih kecil daripada kelompok orang yang lain.

Sementara itu kajian yang lebih menarik dilakukan oleh Humphrey et al

pembayarannya telah beralih menjadi berbasis elektronik. Sedangkan, sistem pembayaran elektronis hanya mencakup 23 persen dari sistem pembayaran non tunai Amerika Serikat. Hasil ini menggambarkan substitusi alat pembayaran di Eropa lebih cepat daripada di Amerika.

Selanjutnya, Snellman dan Vesalla (1999) menggunakan kurva Gompertz S untuk mengkaji elektronifikasi dan substitusi antara pembayaran tunai dan non-tunai di Finlandia. Substitusi dan penggunaan sistem pembayaran elektronis di negara ini pada dekade 1990-an sangat cepat dibandingkan perekonomian di negara lain. Namun, berdasarkan penelitian mereka dipekirakan bahwa substitusi pembayaran di negara itu mulai mengalami penurunan (mature). Disebutkan pula bahwa di negara tersebut 60 persen dari keseluruhan transaksi perekonomian masih menggunakan uang tunai (cash).

2.4.2. Manfaat Sistem Pembayaran Elektronik

Berdasarkan data survei di Norwegia pada periode 1989-1995, Humphrey, Kim, and Vale (2001) menyimpulkan efisiensi berdasarkan pengenaan tarif yang tepat akan sangat besar pengaruhnya terhadap penggunaan alat pembayaran elektronis. Preferensi masyarakat dalam penggunaan alat pembayaran elektronis dipengaruhi secara signifikan oleh tarif layanan oleh bank. Sebab sistem pembayaran elektronis lebih rendah biayanya daripada sistem pembayaran berbasis warkat (paper based payments). Apabila Norwegia 100 persen mempergunakan sistem pembayaran elektronis dan menggantikan sistem pembayaran berbasis kertas, hal ini mampu menghemat $ 188/orang atau sekitar 0,6 persen GDP negara tersebut.

31

Sementara itu, Valverde, Humphrey dan Lopez del Paso (2003) melakukan penelitian untuk menganalisis dampak dari penggunaan ATM dan alat pembayaran elektronik terhadap biaya bank dengan studi kasus di Spanyol. Penelitian mereka menggunakan komposit, translog, serta fungsi biaya (fourier cost functional form). Dalam periode 1999-2004, hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa penggunaan ATM serta alat pembayaran elektronik dapat menghemat lima trilliun euro di Spanyol. Biaya operasional tiap bank dapat dihemat sebesar 45 persen atau 7,2 persen per tahun.

2.4.3. Pengaruh Sistem Pembayaran Elektronik terhadap Permintaan Uang

Penelitian yang membahas sistem pembayaran elektronik terhadap permintaan uang dilakukan oleh Rachmat (2005). Peneliti ini mengkaji pengaruh jumlah ATM di Indonesia terhadap permintaan uang pada kurun waktu Januari 2000 hingga Desember 2004. Dengan menggunakan metodologi ECM didapatkan hasil bahwa kenaikan 1 persen jumlah ATM dalam jangka pendek secara signifikan berpengaruh negatif terhadap permintaan uang M1 sebesar 0,078601 persen. Sementara itu, jumlah ATM dalam jangka panjang tidak mempengaruhi permintaan uang M1. Jumlah ATM juga berpengaruh kepada kebijakan moneter secara umum.

Rinaldi (2001), seorang ekonom dari Universitas Leuven Belgia, dalam penelitiannya mengkaji pengaruh dari kartu debet dan kredit, ATM, EFT-POS serta gerai EFT-POS terhadap jumlah uang tunai uang beredar di negara Belgia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keseluruhan variabel dalam penelitian terkointegrasi. Dalam jangka panjang, terdapat hubungan negatif antara

gerai-gerai EFT-POS dan ATM terhadap jumlah uang tunai yang beredar, namun terhadap jumlah kartu ATM berhubungan positif meskipun lemah. Dari uji Error Correction Model yang dilakukannya, Rinaldi (2001) mengestimasi dalam jangka pendek jumlah ATM berhubungan positif dengan permintaan jumlah uang tunai yang beredar.

Sementara itu, berdasarkan analisis data dari 1998:1 hingga 2005:4, Warjiyo (2006) menganalisis pengaruh pembayaran non-tunai terhadap permintaan uang M1 di Indonesia. Peneliti ini memakai dua pendekatan sebagai indikator pembayaran non-tunai, rasio konsumsi masyarakat dengan uang kartal (CP/CUR) serta rasio konsumsi masyarakat dengan ATM(CP/ATM). Dari kedua indikator tersebut menunjukkan hasil yang sama, dimana pembayaran non-tunai mengurangi permintaan untuk M1.

2.4.4. Dampak Pengenaan Tarif terhadap Penggunaan APMK

Terkait erat dengan topik ini, Hannan et. al (2001) mengkaji motif serta pengenaan tarif dalam penggunaan alat pembayaran kartu, terutama kartu ATM, terhadap preferensi nasabah bank yang tidak mengenakan dan mengenakan tarif layanan ini. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa kemungkinan sebuah lembaga keuangan mengenakan tarif layanan atas penggunaan ATM oleh nasabah berhubungan positif dengan kelembagaan pasar dari fasilitas ATM yang disediakan bank, serta berhubungan terbalik dengan distribusi lokasi dan kepadatan ATM itu sendiri. Sebagaimana para peneliti ini kutip dari penelitian Matutes dan Padilla (1994) serta Saloner dan Sheppard (1995), keberadaan ATM

33

merupakan cara bagi sebuah bank untuk menarik masyarakat menjadi nasabah di bank mereka,. Model penelitian yang diestimasi dalam penelitian mereka, yaitu:

0 1 1 2 2 3 3

Pr(Y = = Φ1) (β +β XXX )

(2.6) dimana Φ adalah besaran distribusi normal kumulatif (cumulative normal distribution), X1, X2, X3 adalah vektor dari kelembagaan, pasar, serta karakteristik politik. Sedangkan, β0 adalah konstanta, dan βi adalah koefisien dari vektor.

Dalam penelitian lain, McAndrews (2001) mengkaji model spasial alternatif untuk menggambarkan keputusan bank dalam mengenakan tarif dan foreign fees. Hasil penelitiannya menunjukkan pengenaan tarif layanan ATM oleh pasar (bank-bank) akan semakin besar seiring dengan datangnya pendatang ((bank-bank) baru yang melayani nasabahnya dengan ATM.

Sementara itu, dalam topik yang masih terkait, Humphrey, Pulley, dan Vessala (1996) mengkaji penggunaan dari alat pembayaran elektronik (ATM, POS), substitusi alat pembayaran (paper based dengan electronic payment system) dalam hubungannya dengan teori permintaan (harga relatif, pendapatan), kelembagaan, kebiasaan penduduk di 14 negara maju. Hasil penelitian mereka menunjukkan penggunaan alat pembayaran elektronis secara berkelanjutan dalam kurun waktu 1987 hingga 1993 semakin meningkat seiring dengan perubahan kelembagaan, pola perilaku pembayaran masyarakat, pendapatan masyarakat.

Perkembangan tiap-tiap negara dalam penelitian ini berbeda-beda tergantung budaya, sejarah, dan kelembagaan masing-masing negara. Hasil yang cukup menarik, bahwa elastisitas permintaan penggunaan alat pembayaran (paper giro,

electronic giro, dan kartu kredit) ini terhadap tarifnya sangat kecil berkisar antara 0,09 euro dan 0,26 euro.

Model penelitian yang diestimasi dalam penelitian mereka, yaitu:

Ii = f (Pj, GDP, POS, ATM, Ij,t-1, Cash, Crime, CR 5) (2.7) dimana Ii adalah jumlah transaksi tiap orang per tahun dalam penggunaan cek, paper giro, giro elektronik, kartu kredit dan kartu debit. Pj adalah tarif layanan dari masing-masing alat pembayaran. Sedangkan GDP adalah GDP riil per kapita. POS dan ATM adalah jumlah terminal POS dan ATM per orang. Sementara itu, Ij,t-1 adalah penggunaan masing-masing alat pembayaran pada tahun sebelumnya. CASH adalah nilai riil transaksi tunai per orang. CRIME adalah tingkat kejahatan, dan CR5 adalah rasio konsentrasi aset dari lima bank terbesar.

Sementara itu, Bolt, Humphrey dan Uittenbogaard (2005) mengkaji pengaruh dari pengenaan tarif transaksi terhadap pengadopsian alat pembayaran elektronis dalam tinjauan negara Belanda dan Norwegia. Hasil penelititan mereka menunjukkan pengaruh yang kecil dalam substitusi ATM dengan kartu debet jika dibandingkan dengan substitusi giro warkat dan giro elektronik. Penggunaan alat pembayaran elektronik (kartu debet dan giro elektronik) di Norwegia dapat menghemat 0,7 trilliun euro (0,35 persen dari GDP 2004), sedangkan di Belanda dapat menghemat 2,9 trilliun euro (0,61 persen dari GDP).

2.5. Kerangka Pemikiran

Pengaruh antara penggunaan sistem pembayaran elektronis dengan kebijakan moneter merupakan salah satu bahan kajian tentang sistem pembayaran yang banyak diminati oleh ekonom. Namun sayangnya, berdasarkan analisis

35

kepustakaan yang dilakukan, di Indonesia topik ini kurang mendapat respon yang positif dan baru dianalisis oleh Rahmat (2005) dan Warjiyo(2006). Penelitian ini merupakan upaya pengembangan kajian tersebut sekaligus sebagai bahan kajian bagi para praktisi dan akademisi untuk kajian yang lebih komprehensif selanjutnya.

Fokus pembahasan pada penelitian ini ialah mengkaji pengaruh pengunaan APMK (dengan proxy volume transaksi dari kartu kredit, kartu debet serta kartu ATM) terhadap permintaan uang. Data-data variabel makroekonomi lain yang menjadi dasar analisis fungsi permintaan uang seperti tingkat pendapatan nasional, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, dan nilai tukar tetap dipertahankan.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah indikator makroekonomi, sebab data-data tersebut mampu menggambarkan fakta sebenarnya dalam perekonomian. Penggunaan data survei tidak bisa menjamin bahwa data tersebut akan mewakili gambaran keseluruhan dari perekonomian di Indonesia.

Keterkaitan antara latar belakang serta perumusan masalah dengan variabel-variabel penelitian diuraikan pada diagram alir (flow-chart) dalam Gambar 2.2. Gambar tersebut menunjukkan alur kerangka pemikiran di dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan model persamaan yang diadaptasi dari penelitian Yilmazkuday (2006). Dalam rangka mencapai tujuan penelitian ini, alat analisis digunakan metode uji kointegrasi Engle-Granger dan Error Correction Model

Perumusan Masalah Latar Belakang

Hipotesis Analisis model

M1 jangka panjang Analisis model M1 dinamis Tingkat Suku Bunga (SBI/BI Rate) Nilai Tukar (Rp/$)

Permintaan Uang Riil (Money Demand) Penggunaan Kartu Elektronis Pendapatan Nasional (GDP)

Hasil dan Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

= Variabel eksogen = Metode ECM = Variabel endogen Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

37

2.6. Hipotesis Penelitian

1. Penggunaan APMK dalam jangka panjang berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang.

2. Penggunaan APMK dalam jangka pendek berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan uang.

3. Hubungan variabel-variabel makroekonomi terhadap permintaan uang ialah positif, tingkat pendapatan berpengaruh positif, suku bunga berpengaruh negatif, inflasi berpengaruh positif, dan nilai tukar berpengaruh negatif.

III. GAMBARAN SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL INDONESIA

Hingga saat ini, secara umum sistem pembayaran di Indonesia masih didominasi oleh pembayaran berbasis warkat (paper-based payment system). Sistem pembayaran elektronis menjadi lebih berkembang di Indonesia setelah dioperasikannya sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlements (BI-RTGS),

pada bulan November 2000. Sistem ini mengatur transfer dana bernilai besar yang harus melalui proses settlements (penyelesaian transaksi) di Bank Indonesia (BI). Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya penggunaan pembayaran melalui EFT/POS pada berbagai pusat perbelanjaan dan gerai ritel, serta makin maraknya penggunaan fasilitas ATM dibandingkan dengan penarikan secara tunai pada

counter bank. Dasar hukum dari sistem pembayaran nasional Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-Undang No.3 tentang Bank Sentral tahun 2004.

3.1.Penyelenggara Jasa Pembayaran

Lembaga yang melayani jasa pembayaran di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua bagian besar, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank (LKBB). Kondisi dan karakteristik dari masing-masing lembaga tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

3.1.1. Lembaga Keuangan Bank

Perbankan Indonesia terdiri dari BI, bank umum, dan bank perkreditan rakyat (BPR). Jasa pembayaran hanya dilayani oleh BI dan bank umum.

39

Sedangkan bank perkreditan rakyat hanya memiliki fungsi intermediasi (penghimpun dan penyalur dana dari masyarakat).

BI merupakan penyedia utama dari fasilitas kliring dan settlements

antarbank. Sistem kliring di BI ini terbagi atas sistim elektronik, otomasi, semi otomasi, dan manual (Purusitawati, 2000). Sistem kliring elektronik memungkinkan bank untuk mengirimkan data transaksinya secara elektronis dari komputer yang ada di peserta kepada komputer penyelenggara (BI), diterapkan di Jakarta. Sistem kliring elektronik memproses warkat kliring dengan mesin baca pilah (reader sorter), diterapkan di Medan, Surabaya, dan Bandung. Sistem semi otomasi menggunakan disket berisi rekaman data warkat dan diterapkan di kantor-kantor Bank Indonesia penyelenggara kliring selain Medan, Surabaya, dan Bandung. Pada kota-kota dimana tidak terdapat kantor BI, sebuah kantor bank komersil yang beroperasi di kota atau daerah dimaksud dapat berfungsi sebagai agen penyelenggara kliring. BI menyediakan jasa settlements (penyelesaian transaksi) kepada bank-bank umum serta jasa-jasa transfer dana kepada pemerintah pusat dan daerah melalui rekeningnya yang berada di BI.

Bank umum merupakan bagian terbesar dalam kelompok lembaga keuangan di Indonesia. Pelayanan jasa yang dilakukannya antara lain adalah transfer dana dan pembayaran, baik melalui rekening mereka pada BI, melalui hubungan bilateral, ataupun melalui jaringan transfer dana antar-cabang on-line milik mereka (Bank Indonesia, 2006b). Bank umum yang beroperasi di Indonesia terdiri atas, bank persero, bank umum swasta nasional devisa, bank umum swasta nasional non-devisa, bank pembangunan daerah, bank campuran, bank asing. Saat

ini, hanya bank-bank umum yang memiliki fasilitas transfer dana antar-cabang secara on-line adalah hanya bank-bank besar.

Sementara itu, BPR tidak menyediakan jasa transfer dana antar bank kepada nasabahnya. BPR yang menyediakan jasa transfer dana, nilai dan volumenya harus sangat rendah dan dilakukan melalui mekanisme di luar sistem kliring (Bank Indonesia, 2006b). Salah satu fasilitas yang disediakan oleh BPR adalah rekening giro, tetapi BPR tidak memiliki rekening giro pada BI. Hingga Februari 2005, jumlah BPR yang beroperasi secara lokal dan tersebar di seluruh Indonesia mencapai terdapat 9.151 unit.

3.1.2. Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)

Sejak terjadinya liberalisasi pada sektor keuangan, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) memegang peranan penting sebagai salah satu sumber pembiayaan. Lembaga-lembaga yang termasuk dalam LKBB adalah perusahaan pembiayaan, perusahaan asuransi, dana pensiun dan pegadaian, serta PT. POS Indonesia. Sesuai ketentuan peraturan yang berlaku pada saat ini, LKBB dapat pula menyediakan jasa kartu kredit. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa LKBB.

3.2. Cara Pembayaran

3.2.1. Pembayaran Tunai

Seperti halnya negara berkembang lainnya, sistem pembayaran tunai merupakan urat nadi terpenting dalam perekonomian Indonesia. Sistem ini menguasai sebagian besar sistem pembayaran yang bernominal kecil (retail) di Indonesia. Dalam Gambar 3.1 di bawah ini, ditunjukkan beberapa indikator yang

41

menggambarkan pembayaran tunai melalui perbandingan uang tunai yang beredar di masyarakat terhadap GDP, M1, serta M2.

.0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Tunai/GDP Tunai/M1 Tunai/M2

Sumber : Bank Indonesia (2006a), diolah

Gambar 3.1. Gambaran Intensitas Uang Tunai yang Diedarkan di Indonesia Sebagaimana terlihat dalam Gambar 3.1 di atas, rasio uang tunai terhadap M1 lebih rasio uang tunai terhadap M2. Hal ini menunjukkan bahwa para pengusaha dan bankir di Indonesia tidak terlalu tertarik untuk menanamkan dananya dalam bentuk narrow money. Keberadaan uang tunai dalam porsinya terhadap M1 lebih cenderung untuk keperluan transaksi dan untuk menyimpan nilai. Kondisi seperti ini juga terjadi dalam perekonomian Thailand (Pariwat dan Hataiseree, 2004). Sementara itu, dalam kurun waktu 2000 hingga 2002, rasio dari M2 di tangan masyarakat menunjukkan trend yang terus meningkat.

Uang tunai yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah uang kartal yang beredar di masyarakat yaitu uang kartal yang berada di luar kas bank. Uang tunai merupakan variabel agregat moneter yang paling liquid. Variabel ini seringkali merupakan variabel yang dipakai untuk monetisasi atau demonetisasi dalam

perekonomian. Menurut Stavreski (1998), siginifikansi uang tunai dalam perekonomian dapat tercermin dalam rasio uang tunai terhadap penawaran uang (TUNAI/MS), serta rasio uang tunai terhadap GDP nominal (TUNAI/GDP) (Reserve Bank of Malawi, 2004). Hal ini sangat relevan dengan perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang, uang tunai yang diedarkan merupakan indikator yang dapat mewakili volume transaksi, konsumsi di masa depan. Tren jumlah uang tunai yang beredar di Indonesia selalu meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 3.2 berikut ini.

0. 10000. 20000. 30000. 40000. 50000. 60000. 70000. 80000. 90000. 100000. 2003M 1 2003M 4 2003M 7 2003M 10 2004M 1 2004M 4 2004M 7 2004M 10 2005M 1 2005M 4 2005M 7 tunai

Sumber : (Bank Indonesia, 2006a), diolah

Gambar 3.2. Gambaran Peredaran Uang Tunai di Indonesia

Terdapat beberapa isu utama yang menjadi alasan mengapa kajian mengenai uang tunai yang diedarkan sangat penting (Reserve Bank of Malawi, 2004).

Pertama, peningkatan uang tunai berimplikasi pada penurunan deposits

(tabungan) dan konsekuensinya akan menurunkan ketersediaan dana pinjaman yang dapat digunakan untuk berinvestasi. Kedua, peningkatan dari uang kartal yang diedarkan merupakan sinyal dari tekanan inflasi.

43

Faktor terpenting dari sistem pembayaran tunai di Indonesia adalah mata uang Rupiah, yang terdiri dari uang logam dan uang kertas. Bank Indonesia mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang kartal dan uang logam. Uang kertas dalam peredaran terdiri dari denominasi Rp 100, 500, 1.000, 5.000, 10.000, 20.000, 50.000 dan 100.000, sedangkan uang logam beredar dalam denominasi Rp 25, 50, 100, 500 dan 1.000. Bank Indonesia dan pihak kepolisisan selalu bekerjasama menjaga pengedaran rupiah dari pemalsuan, dsb.

3.2.2 Pembayaran Bukan Tunai

Pembayaran bukan tunai merupakan cara pembayaran transaksi yang tanpa menggunakan perantaraan fisik uang. Cara pembayaran ini di Indonesia semakin berkembang seiring dengan meningkatnya tuntutan masyarakat dan para agen ekonomi terhadap keamanan dan kenyamanan dalam melakukan transaksi. Cara pembayaran bukan tunai membantu untuk mendapat barang kebutuhannya baik secara debet maupun kredit. Selain itu, memegang uang tunai meningkatkan resiko kriminalitas. Bagi para agen ekonomi (terutama pihak korporasi) mengelola dan melakukan transaksi secara tunai menuntut adanya cash management yang berbiaya tinggi. Sementara itu, gaya hidup masyarakat semakin berkembang ke arah yang menghendaki kepraktisan dalam segala hal. Pembayaran melalui kartu seperti kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM saat ini mengalami perkembangan yang cukup baik (topik ini akan diuraikan dalam sub bab selanjutnya).

Di Indonesia, pembayaran bukan tunai dilayani terutama oleh sistem perbankan. Bank umum menawarkan nasabahnya pilihan yang sangat beragam dalam melakukan pembukaan rekening (giro, tabungan, deposito, dll.). Sementara

itu, BPR hanya dapat menawarkan rekening tabungan saja. Sebagian besar bank umum yang berukuran menengah dan besar menyediakan akses pada rekening tabungan melalui fasilitas ATM. Sedangkan transaksi – baik kredit maupun debet – yang dilaksanakan secara elektronik hanya disediakan untuk transaksi antar rekening di dalam masing-masing bank.

Bank-bank umum menyediakan berbagai jenis layanan pengiriman dana di dalam jaringan kantornya, termasuk perintah pembayaran secara reguler serta pengiriman dana secara elektronis. Pemindahan dana antarbank yang melebihi Rp 1 milyar serta pemindahan dana antarbank lainnya yang bersifat mendesak, diselesaikan melalui BI-RTGS.

Layanan pemindahan dana bagi nasabah bank dapat dilakukan (oleh bank) melalui (Bank Indonesia, 2006b):

- transfer elektronik antar bank;

- sistem kliring berbasis warkat untuk transaksi lokal;

- jaringan bank koresponden, bagi pemindahan dana lintas wilayah; dan - sistem RTGS baik untuk pemindahan dana lokal maupun lintas wilayah. - Bank Indonesia telah melakukan beberapa penyempunaan khususnya di

bidang sistem kliring. Apabila tidak ada kantor Bank Indonesia di kota setempat, Bank Indonesia telah mendelegasikan wewenangnya kepada penyelenggara kliring setempat untuk mengambil keputusan penting sehubungan dengan wilayah kliring masing-masing, antara lain untuk menyetujui peserta kliring yang baru.

45

3.3. Rekening Giro (Cek)

Perbankan di Indonesia umumnya menawarkan fasilitas rekening giro, yang dapat ditarik dengan menggunakan cek. BI sudah memberlakukan ketentuan yang cukup ketat sehubungan mengenai cek kosong. Cek kosong bernilai kecil apabila ditarik sebanyak tiga kali dalam jangka waktu enam bulan, dan/atau satu kali penarikan cek kosong bernilai besar, dikenakan sanksi masuk “daftar hitam” dan nasabah tersebut dilarang membuka dan memiliki rekening giro di bank manapun selama jangka waktu satu tahun.

3.4. APMK

Potensi dan pangsa pasar APMK di Indonesia sangat besar. Hal ini sangat beralasan karena nilai dan volume transaksi APMK terus mengalami pertumbuhan Masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai jenis kartu pembayaran, seperti kartu kredit dan kartu debet internasional, kartu debet/ATM dan Point-of-Sale

(POS), private-label cards (misalnya kartu pasar swalayan) serta beberapa kartu yang dilengkapi chip elektronik (dikenal sebagai smart card atau chip card). Seperti yang telah diungkapkan pada Bab 1, fokus penelitian pada penelitian ini lebih menekankan pada tiga APMK yang paling banyak dan familiar digunakan oleh masyarakat Indonesia, yaitu kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM.

3.4.1. Kartu Kredit

Menurut PBI No. 6/30/PBI/2004 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, kartu kredit adalah APMK yang dapat digunakan

ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh penerbit atau aquirer, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus ataupun secara angsuran.

Kartu-kartu kredit utama dengan label terkenal sudah banyak digunakan dan diterima secara luas di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Kepemilikan kartu kredit sudah menjadi bagian dari gaya hidup bagi masyarakat modern di kota-kota besar. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan kartu kredit VISA, Master, AMEX dan Diners serta banyaknya merchant yang menerima pembayaran menggunakan kartu kredit. Penyelenggaraan operasional kartu kredit, pada umumnya dilaksanakan oleh bank yang mengeluarkan (issuer), baik dengan label terkenal seperti VISA, Master dan JCB maupun berbagai kartu berlabel khusus (private label cards). Sementara itu, Kartu American Express (AMEX) dan Diners dijalankan oleh lembaga keuangan bukan bank, dengan memperoleh izin dari Departemen Keuangan. Beberapa bank juga mengeluarkan kartu kredit atas nama sendiri.

Seiring dengan pemulihan perekonomian nasional, dewasa ini penggunaan kartu kredit di Indonesia sudah berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan nilai transaksi dan volume transaksi kartu kredit yang terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Gambaran empiris lengkap dari hal tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3.1

Dokumen terkait