• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian utama ini bertujuan untuk menghasilkan biodiesel melalui transesterifikasi in situ

biji jarak pada berbagai kondisi proses dan operasi dengan menggunakan reaktor 10 liter. Selanjutnya, biodiesel yang dihasilkan dikarakterisasi untuk mengetahui mutu dari biodiesel tersebut. Faktor yang dipelajari dalam pembuatan biodiesel ini adalah pengaruh waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan pada suhu 50°C terhadap rendemen dan mutu biodiesel yang dihasilkan.

Selama ini, pembuatan biodiesel secara konvensional dilakukan melalui transesterifikasi dari trigliserida yang terdapat dalam minyak dengan menggunakan alkohol rantai pendek. Metode konvensional ini membutuhkan proses yang sangat panjang dan waktu yang lama. Hal ini dikarenakan bahan baku yang digunakan berupa minyak, sehingga perlu dilakukan proses ekstraksi untuk mendapatkan minyak itu sendiri dan pemurnian minyak untuk menurunkan kandungan asam lemak bebasnya. Kedua proses tersebut membebani 70% dari biaya produksi biodiesel sehingga biaya produksi biodiesel menjadi tinggi (Zeng et al., 2009). Sekarang ini terdapat metode baru dalam menghasilkan biodiesel, yaitu dengan menggunakan proses transesterifikasi in situ. Proses transesterifikasi in situ ini menggunakan bahan baku yang mengandung sumber minyak sehingga proses ekstraksi dan pemurnian minyak dapat dihilangkan. Dengan kata lain, proses produksi biodiesel semakin sederhana, waktu yang dibutuhkan semakin singkat dan biaya produksi juga semakin rendah.

Proses transesterifikasi in situ dipengaruhi oleh jumlah pereaksi dan katalis yang digunakan. Selain itu, juga dipengaruhi oleh kondisi proses dan operasi yang digunakan seperti suhu, waktu reaksi dan kecepatan pengadukan. Pereaksi yang digunakan dalam penelitian ini berupa metanol. Metanol merupakan alkohol rantai pendek yang mempunyai satu ikatan karbon. Metanol digunakan karena memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan etanol. Selain itu, menurut Tambun (2009), metanol mudah bereaksi dan lebih stabil dibandingkan dengan etanol. Satu ikatan karbon yang dimiliki oleh metanol menjadikannya mudah dipisahkan dengan gliserol pada proses penguapan hasil proses transesterifikasi in situ. Metanol yang digunakan pada reaksi transesterifikasi in situ harus berlebih karena reaksi ini merupakan reaksi reversible

sehingga diperlukan metanol dalam jumlah yang berlebih untuk mendorong reaksi menuju arah produk. Selain itu, dalam proses transesterifikasi in situ ini metanol berfungsi sebagai pelarut dan pereaksi (Haas et al., 2004). Fungsi metanol secara detailnya dapat dilihat pada Gambar 6.

17

Gambar 6. Fungsi metanol

Pada penelitian Utami (2010) dan Shuit et al. (2009), penambahan heksan dilakukan untuk meningkatkan rendemen. Begitu juga pada penelitian ini dilakukan penambahan heksan. Heksan digunakan dengan tujuan agar minyak yang terdapat dalam biji jarak pagar dapat terekstrak sebanyak mungkin. Hal ini dikarenakan heksan dan minyak bersifat non polar, sehingga heksan diharapkan lebih optimal mengekstrak minyak yang ada dalam biji jarak pagar. Semakin banyak minyak yang dapat diekstrak diharapkan konversi minyak menjadi biodiesel juga semakin meningkat. Pada penelitian ini, rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) yang digunakan adalah 3:3:1, 4:2:1 dan 5:1:1. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan heksan terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan. Selain itu, rasio metanol/heksan/bahan minimal yang digunakan adalah 3:3:1 karena dalam satu kali reaksi dibutuhkan metanol paling sedikit 3 kali dari bahan yang digunakan. Selanjutnya dilakukan kombinasi rasio dengan mengurangi jumlah heksan dan menaikkan jumlah metanol.

Selain pereaksi, proses transesterifikasi juga membutuhkan katalis. Katalis berfungsi untuk mempercepat reaksi dengan menurunkan energi aktivasinya sehingga waktu reaksi dapat berjalan dengan cepat. Katalis yang biasa digunakan dapat berupa katalis asam atau basa. Namun, pada penelitian kali ini digunakan katalis basa agar proses transesterifikasi dapat berjalan pada suhu rendah sehingga energi yang dibutuhkan juga semakin rendah. Katalis yang digunakan pada penelitian kali ini berupa KOH. Menurut Tambun (2009), KOH lebih elektropositif dibandingkan dengan NaOH sehingga mempermudah pembentukan ion dan menukar gugus karbonil dengan asam lemak. Pada penelitian ini digunakan konsentrasi KOH sebesar 0.075 mol/liter metanol. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kartika et al. (2009) yang menghasilkan rendemen tertinggi pada konsetrasi KOH tersebut.

Suhu diperlukan untuk mencapai kondisi reaksi. Semakin tinggi suhu, semakin banyak energi yang digunakan oleh reaktan untuk mencapai energi aktivasi. Energi ini berasal dari tumbukan antar molekul-molekul reaktan yang lebih sering terjadi. Energi yang diperoleh tersebut mengakibatkan proses reaksi berjalan semakin cepat. Namun, adanya katalis KOH, energi aktivasi bisa diturunkan dan suhu yang digunakan juga rendah. Pada penelitian ini digunakan suhu 50°C karena katalis yang digunakan adalah KOH sehingga pada suhu tersebut reaksi sudah bisa berjalan dengan cepat. Selain itu, pertimbangan dari penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) yang mendapatkan rendemen tertinggi pada suhu tersebut.

Waktu reaksi didefinisikan sebagai lamanya proses yang digunakan dalam melakukan proses transesterifikasi tersebut. Semakin lama waktu reaksi maka semakin lama waktu bereaksi antara bahan satu dengan bahan lainnya. Dengan kata lain, semakin lama waktu reaksi yang digunakan, maka semakin lama bahan (serbuk biji jarak pagar) kontak atau bereaksi dengan

TG + CH3OH (sebagai pereaksi)  Metil Ester + Gliserol transesterifikasi TG TG TG TG TG TG TG TG CH3OH sebagai pelarut ekstraksi

18

alkohol atau metanol. Jika reaksi sudah mencapai kesetimbangan, waktu reaksi yang lama pun tidak akan mempengaruhi rendemen biodiesel yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Utami (2010) waktu reaksi 3, 4 dan 5 jam tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Hal itulah yang mendasarkan perlakuan waktu reaksi 4 dan 6 jam pada penelitian ini.

Kecepatan pengadukan berhubungan dengan kontak antar reaktan yang berpengaruh pada kecepatan reaksi. Selain itu, adanya pengadukan bertujuan untuk mendapatkan kontak antar reaktan yang lebih baik sehingga reaksi dapat berjalan dengan sempurna. Penelitian Utami (2010), didapatkan bahwa kecepatan pengadukan antara 700, 800 dan 900 rpm tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen yang dihasilkan. Pertimbangan tersebut yang akhirnya dijadikan dasar pengambilan kecepatan pengadukan 200 dan 600 rpm pada penelitian ini dimana diambil kecepatan pengadukan yang paling rendah dan paling tinggi.

Setelah proses reaksi transesterifiksai in situ selesai, dilakukan pendinginan semalam. Hal ini dilakukan untuk menurunkan suhu dan memisahkan fasa padat dan fasa cair sehingga proses penyaringan akan lebih efisien. Pada proses penyaringan didapatkan campuran biodiesel dengan metanol dan heksan serta by product berupa ampas biji jarak pagar. Selanjutnya, campuran tersebut diuapkan untuk memisahkan metanol dan heksan sehingga didapatkan campuran biodiesel dan gliserol seperti yang ditampilkan pada Gambar 7a. Setelah itu biodiesel yang telah dipisahkan dari gliserol dicuci dengan menggunakan air agar biodiesel yang dihasilkan mempunyai pH yang netral (Gambar 7b).

Gambar 7. Pemisahan biodiesel dari gliresol (a) dan biodiesel yang telah dicuci (b)

Biodiesel yang dihasilkan pada proses transesetrifikasi in situ ini perlu diketahui karakteristiknya seperti rendemen dan mutunya. Pada penelitian ini, karakteristik mutu biodiesel yang dilakukan meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, bilangan ester, viskositas dan kadar abu. By product dari proses transesterifikasi in situ ini yang berupa ampas dikarakterisasi kadar

total volatile matter dan kadar bahan terekstraknya. Hasil dari karakterisasi biodiesel dan analisis terhadap ampas yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Biodiesel

Gliserol

19

1. Rendemen Biodiesel

Rendemen adalah salah satu parameter penting dalam memproduksi suatu produk. Selain itu, rendemen dapat digunakan sebagai nilai keefisienan proses yang digunakan dalam memproduksi suatu produk. Rendemen dihitung berdasarkan jumlah biodiesel yang telah dicuci terhadap jumlah minyak yang terkandung dalam bahan baku (biji jarak pagar). Proses pemisahan dan pencucian terhadap biodiesel yang tidak efektif dapat menyebabkan rendemen yang dihasilkan akan semakin rendah. Hal ini dikarenakan kehilangan biodiesel yang ikut pada pembuangan gliserol maupun air bekas cucian. Selain itu, kontaminasi gliserol dan air dapat meningkatkan rendemen. Kontaminasi air sangat menganggu penyimpanan biodiesel dan menyebabkan biodiesel bersifat korosif. Hal ini dikarenakan akan terjadi proses hidrolisis yang menyebabkan biodiesel terurai menjadi asam lemak bebas (Hambali et al., 2007b). Rendemen biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1)

Gambar 8. Rendemen biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen biodiesel yang dihasilkan (Lampiran 4). Rendemen biodiesel yang diperoleh pada penelitian skala 10 liter ini berkisar antara 82.54-87.57%. Berdasarkan hasil penelitian ini, rendemen biodiesel yang dihasilkan paling baik dari semua perlakukan adalah 87.57% yang didapat dari perlakuan A2B2C2 dimana waktu reaksi selama 6 jam, kecepatan pengadukan sebesar 600 rpm dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 4:2:1. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 A1 A2 Rendem en (%) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

20

Pertimbangan yang dilakukan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan, maka kondisi proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar yang dipilih adalah perlakuan A1B1C3 dimana waktu reaksi selama 4 jam, kecepatan pengadukan sebesar 200 rpm dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 5:1:1 yang menghasilkan rendemen biodiesel sebesar 82.54%. Semakin lama waktu reaksi dan semakin besar kecepatan pengadukan, energi yang dibutuhkan dalam sekali proses semakin tinggi dan juga berdampak pada peningkatan biaya produksi. Pemilihan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 5:1:1 didasarkan pada harga heksan yang lebih mahal dari metanol dan heksan yang bersifat toksik dapat mencemari lingkungan sehingga penggunaan heksan perlu dikurangi. Jika penggunaan heksan dikurangi maka biaya produksi juga semakin rendah.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Utami (2010) pada skala 3 liter, rendemen biodiesel tertinggi yang dihasilkan sebesar 82.51% yang diperoleh pada kondisi proses dimana suhu reaksi 50°C, kecepatan pengadukan sebesar 800 rpm, waktu reaksi selama 5 jam dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) sebesar 6:1:1. Pada penelitian skala 10 liter ini didapatkan hasil yang jauh lebih baik dibandingkan hasil yang diperoleh Utami (2010). Hal ini dikarenakan penggunaan metanol yang berkurang dari 6 ml/g menjadi 5ml/g sehingga biaya produksi untuk membeli metanol berkurang. Selain itu, waktu reaksi yang lebih cepat (4 jam) dan kecepatan pengadukan yang lebih rendah (200 rpm) menghasilkan rendemen yang tidak berbeda jauh dengan yang dihasilkan oleh Utami (2010).

Penelitian transesterifikasi in situ biji jarak pagar juga dilakukan oleh Shuit et al.

(2009), rendemen biodiesel yang diperoleh sebanyak 99.8% pada kondisi suhu 60°C, waktu reaksi 24 jam, rasio metanol/bahan sebesar 7.5 ml/g dengan katalis asam (H2SO4) sebanyak 15% dari jumlah minyak dalam bahan dan penambahan heksan sebanyak 10% dari jumlah pelarut yang digunakan. Apabila dibandingkan dengan penelitian tersebut, penelitian ini jauh lebih baik dan efektif. Hal ini karena penelitian yang dilakukan oleh Shuit et al. (2009) menggunakan katalis asam yang memerlukan suhu reaksi yang lebih tinggi sehingga konsumsi energi yang dibutuhkan juga semakin tinggi. Penggunaan metanol juga lebih banyak (7.5 ml/g), padahal metanol sebesar 5 ml/g sudah dapat menghasilkan rendemen biodiesel yang tinggi. Selain itu, waktu reaksi yang digunakan dalam penelitian Shuit et al. (2009) menggunakan waktu reaksi yang lebih lama (24 jam) dibandingkan dengan penelitian ini yang hanya 4 jam. Rendemen biodiesel oleh Shuit et al. (2009) ini bukan berdasarkan jumlah minyak yang terkandung dalam bahan, tetapi berdasarkan jumlah metil ester yang terdapat dalam biodiesel. Oleh karena itu, rendemen biodiesel pada penelitian tersebut lebih tinggi dari rendemen biodiesel yang dihasilkan pada penelitian ini.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2010) dan Shuit et al. (2009) dapat disimpulkan bahwa proses transesterifikasi in situ pada penelitian ini mempunyai keunggulan. Keunggulan tersebut diantaranya rendemen biodiesel yang dihasilkan tinggi, metanol yang digunakan lebih rendah, penambahan heksan dapat meningkatkan rendemen, waktu reaksi yang lebih singkat, dan kecepatan pengadukan yang lebih rendah. Dengan demikian, hasil yang didapat pada penelitian ini dapat diaplikasikan pada skala yang lebih besar karena biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan juga semakin rendah.

21

2. Bilangan Asam Biodiesel

Bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang ada dalam 1 gram biodiesel (Ketaren, 2008). Bilangan asam ini menunjukkan tingkat korosifitas biodiesel yang dihasilkan. Semakin kecil bilangan asam biodiesel, semakin tinggi mutu biodiesel yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan semakin kecil bilangan asam biodiesel maka tingkat korosifitas biodiesel terhadap mesin juga semakin kecil. Bilangan asam yang didapatkan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.

Bilangan asam biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 0.20-0.26 mg KOH/g. Standar Biodiesel Indonesia untuk bilangan asam adalah maksimal 0.8 mg KOH/g sehingga bilangan asam yang diperoleh dari penelitian ini telah memenuhi syarat tersebut. Tingginya bilangan asam biodiesel pada perlakuan A1B1C1 dan A2B1C2 yaitu sebesar 0.26 mg KOH/g, dapat disebabkan karena asam lemak-asam lemak dalam bahan belum terkonversi sepenuhnya menjadi metil ester.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan asam biodiesel (Lampiran 4). Bilangan asam biodiesel pada perlakuan yang menghasilkan rendemen paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 0.20 mg KOH/g. Begitu juga, bilangan asam biodiesel yang diperoleh dari pertimbangan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 0.20 mg KOH/g. Bilangan asam biodiesel yang diperoleh dari kedua perlakuan tersebut merupakan bilangan asam yang menghasilkan mutu biodiesel yang baik dan telah memenuhi Standar Biodiesel Indonesia.

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1)

Gambar 9. Bilangan asam biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jara pagar pada berbagai kondisi operasi

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 A1 A2 B ila ng a n Asa m ( m g K O H /g ) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

22

3. Bilangan Penyabunan Biodiesel

Bilangan penyabunan merupakan jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menyabunkan 1 gram biodiesel. Bilangan penyabunan tergantung dari bobot molekul. Minyak atau lemak yang mempunyai bobot molekul rendah, akan mempunyai bilangan penyabunan semakin tinggi daripada minyak yang mempunyai bobot molekul tinggi (Ketaren, 2008). Selain itu, bilangan penyabunan biodiesel dipengaruhi oleh jumlah trigliserida, digliserida dan monogliserida yang terkandung dalam biodiesel setelah reaksi transesterifikasi in situ. Semakin tinggi bilangan penyabunan, tingkat konversi proses transesterifikasi in situ semakin tinggi. Hal ini dikarenakan jumlah trigliserida, digliserida dan monogliserida juga semakin rendah. Bilangan penyabunan biodiesel dari semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 10.

Menurut Freedman et al. (1986), reaksi transesterifikasi terdiri atas serangkaian reaksi yang mengubah trigliserida secara bertahap menjadi digliserida, digliserida menjadi monogliserida serta monogliserida menjadi metil ester dan gliserol. Mekanisme dari serangkaian reaksi tersebut adalah sebagai berikut:

Trigliserida (TG) + R’OH Digliserida (DG) + R’COOR1

Digliserida (DG) + R’OH Monogliserida (MG) + R’COOR2

Monogliserida (MG) + R’OH Gliserol (GL) + R’COOR3

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1)

Gambar 10 . Bilangan penyabunan biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagarpada berbagai kondisi operasi

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 A1 A2 B ila ng a n P eny a bu na n (m g K O H /g ) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3 katalis katalis katalis

23

Bilangan penyabunan biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 185.49-194.30 mg KOH/g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan penyabunan biodiesel (Lampiran 4). Bilangan penyabunan yang diperoleh biodiesel dengan rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 187.08 mg KOH/g. Sementara bilangan penyabunan yang diperoleh pada perlakuan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 193.44 mg KOH/g. Bilangan penyabunan yang dihasilkan kedua perlakuan tersebut mempunyai nilai bilangan penyabunan yang tidak jauh berbeda dan cukup tinggi sehingga cocok untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar.

4. Bilangan Ester Biodiesel

Bilangan ester merupakan selisih antara bilangan penyabunan dengan bilangan asam. Menurut Ketaren (2008), bilangan ester adalah jumlah asam lemak yang bersenyawa sebagai ester. Bilangan ester menunjukkan tingkat kemurnian biodiesel yang dihasilkan. Semakin tinggi bilangan ester maka semakin tinggi mutu biodiesel yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi bilangan ester maka semakin tinggi senyawa alkil ester yang ada, sedangkan jumlah trigliserida, digliserida dan monogliserida semakin rendah. Adanya senyawa-senyawa tersebut selain dapat menurunkan tingkat kemurnian biodiesel yang dihasilkan juga dapat meningkatkan viskositas dari biodiesel. Bilangan ester biodiesel yang dihasilkan pada semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1)

Gambar 11. Bilangan ester biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi

0 50 100 150 200 A1 A2 B ila ng a n E st er ( m g K O H /g ) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

24

Bilangan ester biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 185.29-194.10 mg KOH/g. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan ester biodiesel (Lampiran 4). Bilangan ester yang diperoleh biodiesel dengan rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 186.88 mg KOH/g. Sementara bilangan ester yang diperoleh pada perlakuan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 193.24 mg KOH/g. Bilangan ester kedua perlakuan tersebut memiliki bilangan ester yang tidak berbeda jauh dan cukup tinggi sehingga konversi trigliserida menjadi metil ester sudah efektif dan cocok untuk diterapkan dalam produksi biodiesel pada skala yang lebih besar.

5. Viskositas Biodiesel

Minyak nabati tidak dapat langusng diaplikasikan ke mesin kendaraan karena minyak nabati mempunyai viskositas yang tinggi. Hal tersebut akan menghambat pengaliran bahan bakar menuju ruang bakar. Adanya proses transesterifikasi dapat menurunkan viskositas dari minyak nabati. Viskositas merupakan salah satu parameter mutu biodiesel yang sangat penting. Hal ini berhubungan dengan kemudahan alir bahan bakar menuju ruang bakar. Viskositas yang tinggi dapat menyulitkan injeksi bahan bakar ke dalam ruang bakar sehingga bisa terjadi kebocoran (Van Gerpen, 2005). Viskositas biodiesel dari semua perlakuan dapat dilihat pada Gambar 12.

Keterangan:

A : waktu reaksi (A1 = 4 jam dan A2 = 6 jam)

B : kecepatan pengadukan (B1 = 200 rpm dan B2 = 600 rpm)

C : rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) (C1 = 3:3:1, C2 = 4:2:1 dan C3 = 5:1:1)

Gambar 12. Viskositas biodiesel yang dihasilkan dari proses transesterifikasi in situ biji jarak pagar pada berbagai kondisi operasi

0 1 2 3 4 5 6 7 A1 A2 Vis k o sit a s (cSt ) Perlakuan B1 C1 B1 C2 B1 C3 B2 C1 B2 C2 B2 C3

25

Viskositas biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 3.49-6.36 cSt. Viskositas biodiesel berdasarkan Standar Biodiesel Indonesia adalah 2.3-6.0 cSt. Viskositas biodiesel yang diperoleh pada penelitian ini telah memenuhi standar tersebut kecuali pada perlakuan A2B1C1, yaitu sebesar 6.36 cSt. Viskositas tinggi ini bisa disebabkan karena metanol yang digunakan rendah sehingga konversi trigliserida dalam bahan menjadi biodiesel juga rendah. Oleh karena itu, trigliserida dalam biodiesel masih tinggi dan dapat menyebabkan viskositasnya menjadi tinggi. Selain komponen trigliserida, kandungan asam lemak tak jenuh juga mempengaruhi viskositas dari biodiesel yang dihasilkan. Menurut Knothe (2005b), viskositas biodiesel meningkat seiring dengan semakin panjang rantai karbon dan semakin sedikit ikatan rangkapnya. Biji jarak pagar mempunyai asam lemak tak jenuh tinggi, yang didominasi oleh asam lemak oleat dan linoleat. Hal inilah yang menyebabkan viskositas biodiesel dari jarak pagar sangat rendah. Namun, nilai tersebut masih mendekati batas atas dari Standar Biodiesel Indonesia.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan, dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap viskositas biodiesel (Lampiran 4). Viskositas yang diperoleh biodiesel dengan rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2), yaitu sebesar 3.49 cSt. Sementara viskositas biodiesel yang diperoleh pada perlakuan berdasarkan segi biaya produksi, konsumsi energi, dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3), yaitu sebesar 3.51 cSt. Viskositas biodiesel dari kedua perlakuan tersebut tidak berbeda jauh dan mempunyai nilai viskositas yang rendah.

6. Kadar Abu Biodiesel

Kadar abu bisa didefinisikan sebagai mineral anorganik sisa dari hasil pembakaran bahan organik. Menurut Winarno (1992), mineral anorganik ini meliputi garam organik (misal: asam malat, oksalat, asetat, pektat dan lain-lain) dan garam anorganik (misal: phospat, klorida, karbonat, sulfur nitrat dan logam alkali). Kadar abu merupakan salah satu parameter dalam biodiesel sehingga semakin rendah kadar abu biodiesel, maka mutu biodieselnya semakin baik. Kadar abu yang tinggi akan menyebabkan kerak yang banyak pada mesin kendaraan sehingga mesin kendaraan cepat aus dan harus sering diganti. Pengerakan tersebut terjadi akibat adanya proses pembakaran yang menyisakan mineral organik pada pipa-pipa injeksi dan ruang pembakaran mesin kendaraan. Hal inilah yang tidak diizinkan dalam biodiesel.

Kadar abu biodiesel yang diperoleh dari seluruh perlakuan adalah 0%, kecuali untuk perlakuan A1B2C3 dimana waktu reaksi 4 jam, kecepatan pengadukan 600 rpm dan rasio metanol/heksan/bahan (v/v/b) 5:1:1, yaitu sebesar 0.007%. Kadar abu biodiesel yang mempunyai rendemen biodiesel yang paling baik dari semua perlakuan (A2B2C2) dan yang diperoleh dari segi biaya produksi, konsumsi energi dan efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan (A1B1C3) adalah 0%. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa waktu reaksi, kecepatan pengadukan dan rasio metanol/heksan/bahan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu biodiesel yang dihasilkan (Lampiran 4).

26

7. By Product

Ampas biji jarak pagar merupakan produk samping dari proses produksi biodiesel melalui transesterifikasi in situ biji jarak pagar. Ampas biji jarak pagar ini dihasilkan dari proses penyaringan untuk memisahkan filtrat dari padatan (Gambar 13). Karakteristik yang dilakukan pada ampas jarak pagar meliputi analisis kadar total volatile matter dan kadar bahan terekstrak.

Gambar 13. Proses penyaringan (a) dan ampas biji jarak pagar (b)

Dokumen terkait