Penelitian pada tahap ini mengkaji mikroenkapsulasi oleoresin lada hitam menggunakan bahan pengkapsul susu skim dan natrium kaseinat yang masing- masing akan dikombinasikan dengan maltodekstrin. Perlakuan pada tahap ini telah
dijelaskan pada bab metodologi. Penentuan konsentrasi bahan pengkapsul juga ditentukan dengan metode trial-error. Menurut Reineccius (1988), meningkatnya konsentrasi bahan pengkapsul akan meningkatkan retensi bahan aktif. Namun demikian, ada titik optimum dimana konsentrasi bahan pengkapsul akan menurunkan retensi dan menghambat proses pengeringan. Pemilihan konsentrasi bahan pengkapsul sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan spray dryer.
Total penggunaan bahan pengkapsul pada penelitian pendahuluan adalah sebanyak 10% dari total emulsi. Konsentrasi ini coba ditingkatkan hingga 20%. Nilai viskositas emulsi dengan 20% bahan pengkapsul ternyata mencapai 27 cp padahal spray dryer yang digunakan dalam penelitian ini tidak mampu menghisap emulsi yang viskositasnya di atas 20 cp. Oleh karena itu dilakukan uji coba dengan variasi konsentrasi bahan pengkapsul, dengan pemakaian bahan protein terendah (5% basis protein). Hasil uji viskositas emulsi dengan variasi konsentrasi bahan pengkapsul disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Viskositas emulsi dengan berbagai konsentrasi bahan pengkapsul Konsentrasi Bahan Pengkapsul Viskositas (cp) Keterangan
20 % 27 Sulit dispray drying
18 % 27 Sulit dispray drying
16 % 24 Agak sulit dispray drying
14 % 22 Agak sulit dispray drying
12,5% 20 Dapat dispray drying
Berdasarkan percobaan di atas ditetapkan perlakuan untuk konsentrasi bahan pengkapsul adalah 10% dan 12,5% dari total emulsi. Oleoresin yang digunakan sebanyak 10% dari total berat bahan pengkapsul dan proses mikroenkapsulasi sesuai dengan kondisi pada saat penelitian pendahuluan.
1. Rendemen
Secara umum, nilai rendemen mikrokapsul tidak terlalu tinggi, yakni tidak lebih dari 80% (Gambar 11). Hal ini karena banyaknya kehilangan produk selama proses pengolahan. Kehilangan produk telah dimulai sejak pembuatan suspensi bahan pengkapsul dan pembuatan emulsi, yakni adanya bahan yang melekat pada alat homogenizer. Namun kehilangan bahan terbanyak terjadi saat proses spray
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00
A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
R e n d e m e n (% )
Rendemen Mikrokapsul
drying antara lain tertinggalnya endapan di wadah, selang spray dyrer, dan melekatnya produk di tabung pengering. Kehilangan produk juga terjadi karena mampatnya nozzle spray dryer.
Gambar 11. Rendemen mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul
Rendemen mikrokapsul yang dihasilkan bervariasi dengan nilai tertinggi didapat dari penggunaan natrium kaseinat 20% dan konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% (Perlakuan 16) yakni 78,93%. Untuk mikrokapsul dengan bahan pengkapsul susu skim, rendemen tertinggi dihasilkan dari pelakuan 1 dengan rendemen sebesar 73.70%. Mikrokapsul dengan bahan susu skim dan konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% (Perlakuan 5 – 8) memiliki rendemen yang lebih rendah dibandingkan perlakuan 1 – 4. Rendahnya rendemen mikrokapsul perlakuan 5 – 8 ini kemungkinan besar disebabkan tingginya viskositas emulsi yang mencapai 22 cp sehingga lebih susah di-spray drying pada kondisi proses yang digunakan.
Mikrokapsul dengan bahan protein natrium kaseinat memiliki rendemen rata-rata yang relatif lebih tinggi daripada perlakuan dengan susu skim. Hal ini karena penggunaan bahan pengkapsul yang lebih sedikit dibanding perlakuan susu skim. Bahan pengkapsul yang digunakan lebih sedikit karena tingginya protein natrium kaseinat sehingga hanya dibutuhkan natrium kaseinat sekitar 1/5 berat susu skim untuk mendapatkan protein dengan berat yang sama. Dengan penggunaan bahan pengkapsul yang lebih sedikit, total padatan akan lebih rendah, dan viskositas emulsi akan rendah. Tercatat viskositas emulsi perlakuan dengan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
natrium kaseinat berkisar antara 14 sampai 17 cp. Selain itu, kemampuan emulsifikasi yang tinggi dari natrium kaseinat membuat oleoresin terdispersi dengan lebih baik sehingga tidak menghalangi proses spray drying.
Berdasarkan hasil percobaan di atas, rendemen mikrokapsul mempunyai kecenderungan meningkat seiring meningkatnya konsentrasi protein yang digunakan. Hal ini karena kemampuan emulsi dinding pengkapsul menjadi lebih baik sehingga minyak dapat dienkapsulasi lebih baik, dengan demikian nilai rendemen akan meningkat. Hal ini terlihat dari mikrokapsul perlakuan 16 yang memiliki rendemen tertinggi karena menggunakan natrium kaseinat dengan jumlah terbanyak sebagai bahan pengkapsulnya.
2. Kadar Minyak Atsiri
Kadar minyak atsiri yang dihasilkan dari mikrokapsul nilainya bervariasi mulai dari yang terendah yakni perlakuan 8 (0,47%) hingga yang tertinggi yakni perlakuan 11 (1,31%). Kadar minyak atsiri dari variasi komposisi bahan pengkapsul dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul
Berdasarkan Gambar 12 jelas terlihat bahwa kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat lebih tinggi daripada mikrokapsul dengan bahan susu skim. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan bahan susu skim yang tertinggi sebesar 0,68% (Perlakuan 2), sedangkan kadar minyak mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat nilainya diatas 0,70% . Hal ini berkaitan dengan kemampuan natrium kaseinat sebagai penstabil emulsi minyak
0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40
A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
Ka d a r M iya k A ts iri ( % B K)
Kadar minyak atsiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
dalam air yang baik. Vega et al. (2005) menyebutkan bahwa natrium kaseinat memiliki kemampuan enkapsulasi yang lebih baik dibandingkan dengan kasein miselar. Hasil ini disebabkan oleh faktor konformasi molekular, difusifitas yang tinggi, dan sifat amfifilik dari kasein secara individual yang memungkinkan distribusi yang lebih baik di sekitar permukaan yang dienkapsulasi dibandingkan dengan kasein miselar.
Selain itu, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat dari komponen utama kasein yakni αS1-Kasein (lebih hidrofilik) dan β-kasein (lebih hidrofobik) (Ruis, 2007). Minyak yang terdispersi dalam larutan bahan pengkapsul akan teremulsi dengan lebih baik. Dengan demikian, kehilangan minyak selama proses pengemulsian atau saat pengeringan dapat diminimalkan.
Gambar 12 juga menunjukkan mikrokapsul perlakuan 1 sampai perlakuan 4 menunjukkan kecenderungan yang sama dengan mikrokapsul perlakuan 5 sampai perlakuan 8 dari segi kadar minyak atsiri. Kadar minyak atsiri produk naik dari perlakuan 1 ke perlakuan 2 kemudian menurun pada perlakuan 3 dan mencapai titik terendah pada perlakuan 4. Hal ini disebabkan pada perlakuan 2, enkapsulasi telah terjadi secara optimum. Penambahan bahan protein pengkapsul pada perlakuan 3 dan 4 justru menurunkan kadar minyak atsiri karena mikrokapsul lebih banyak mengandung bahan pengkapsul daripada oleoresinnya. Oleh karena itu, saat dianalisis atau diekstrak minyak atsirinya, mikrokapsul perlakuan 2 menghasilkan minyak atsiri lebih banyak dibanding perlakuan 3 dan 4 pada berat mikrokapsul yang sama. Penggunaan natrium kaseinat sebahai bahan pengkapsul memberikan kecenderungan yang mirip dengan penggunaan susu skim dari segi kadar minyak atsirinya. Perbedaannya, kandungan minyak atsiri paling tinggi dicapai pada perlakuan 11 dan 15 (penggunaan 15% bahan protein) kemudian menurun pada perlakuan 12 dan 16 (penggunaan 20% bahan protein).
Kecenderungan di atas berkaitan dengan hubungan antara mekanisme emulsi oleh protein dengan ketersediaannya yang dijelaskan oleh Dickinson et al. (1997) sebagai berikut. Konsentrasi kritis tertentu (c*) dari protein pada fase cair biasanya dibutuhkan untuk menyediakan jangkauan menyeluruh dari droplet emulsi. Meskipun demikian, keberadaan kaseinat yang berlebih (c > c*) dapat
menginduksi terjadinya flokulasi droplet emulsi dan mengakibatkan creaming karena kecenderungan yang kuat dari submisel kasein untuk membentuk partikel protein yang kecil. Di lain sisi, ketika protein terbatas dalam emulsi yang mengandung konsentrasi kaseinat dalam jumah sedikit (c < c*), permukaan minyak menjadi tidak dapat terjangkau semuanya oleh protein yang tersedia, sehingga kasein yang diserap harus berbagi dengan dua atau lebih droplet minyak untuk membuat jembatan flokulasi (Dickinson et al., 1989). Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk menentukan emulsi paling optimum yang stabil dengan konsentrasi kaseinat yang dapat memberikan jangkauan menyeluruh terhadap permukaan air dan minyak tanpa kelebihan yang signifikan dari protein tersisa (Dickinson, 1999).
Kadar minyak atsiri pada perlakuan 1 hampir sama dengan kadar minyak atsiri mikrokapsul 5. Demikian halnya antara perlakuan 2 dengan 6 dan seterusnya. Hal ini menunjukkan bahwa, untuk mikrokapsul dengan susu skim, perbedaan konsentrasi bahan pengkapsul (10% dan 12,5%) tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri pada penggunaan susu skim dengan jumlah yang sama.
Namun pada mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat, perbedaan konsentrasi bahan pengkapsul (10% dan 12,5%) berpengaruh terhadap kadar minyak atsiri. Mikrokapsul dengan kadar bahan pengkapsul 10% (perlakuan 9 sampai 12) memiliki kadar minyak atsiri yang relatif lebih tinggi dari pada mikrokapsul dengan kadar bahan pengkapsul 12,5% (perlakuan 13 sampai 16). Hal ini kemungkinan terjadi karena tingginya viskositas emulsi saat dispray drying. Tingginya viskositas menyebabkan laju aliran lebih lambat dan menyebabkan kontak bahan dengan udara pengering lebih lama sehingga menyebabkan sebagian bahan inti teruapkan. Pada mikrokapsul perlakuan 13 sampai 16, akuades yang digunakan lebih sedikit. Hal ini juga bisa mendorong penguapan bahan inti karena air yang juga berfungsi sebagai medium pendingin (mencegah bahan inti menguap), berkurang.
Secara keseluruhan, berdasarkan kadar minyak atsirinya, natrium kaseinat lebih baik dalam mengkapsulkan oleoresin daripada susu skim. Perlakuan 11 menghasilkan mikrokapsul dengan kadar minyak atsiri tertinggi di antara yang
lain. Namun untuk mikrokapsul dengan susu skim, perlakuan 2 dan perlakuan 4 adalah yang terbaik kadar minyak atsirinya.
Lebih jauh, kandungan minyak atsiri mikrokapsul berdasarkan hasil analisis dapat dikaitkan dengan kandungan minyak atsiri dari oleoresin yang digunakan. Produk mikrokapsul dinilai baik kualitasnya apabila kandungan minyak atsiri produk mendekati kandungan minyak atsiri dari oleoresin atau nilai harapan kandungan minyak atsiri. Mikrokapsul yang berkadar minyak atsiri tinggi belum tentu memiliki kualitas pengkapsulan yang baik karena bisa jadi bahan inti yang dienkapsulasi lebih banyak jumlahnya dibanding yang lain atau dari awal memang memiliki kadar minyak yang tinggi.
Perbandingan kandungan minyak atsiri mikrokapsul dengan kandungan minyak atsiri oleoresinnya juga dapat digunakan untuk mengkonfirmasi ada tidaknya kesalahan analisis kadar minyak atsiri, yaitu penyimpangannya dari nilai harapan. Dalam hal ini, nilai harapan dinyatakan bernilai 100%. Bila nilai kandungan minyak atsiri produk kurang atau lebih dari nilai harapan berarti terjadi kesalahan kandungan minyak atsiri. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 3a), nilai perbandingan minyak atsiri ada yang kurang dari 100% dan ada yang jauh melebihi 100% sehingga diperkirakan terjadi kesalahan kandungan minyak atsiri. Kesalahan kandungan minyak atsiri dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Kesalahan kandungan minyak atsiri
Untuk mikrokapsul dengan susu skim (perlakuan 1 – 8), nilai Perbandingan minyak atsirinya masih dapat dikatakan normal karena hanya sedikit melebihi angka 100%. Namun untuk mikrokapsul dengan bahan
70.0 80.0 90.0 100.0 110.0 120.0 130.0 140.0 150.0 N il a i t e m u a n m in ya k a ts iri (% )
Kesalahan Kandungan Minyak Atsiri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
pengkapsul natrium kaseinat, nilai perbandingan minyak atsirinya sangat jauh di atas 100%, terutama pada mikrokapsul perlakuan 9 – 11 dan perlakuan 15.
Kesalahan kandungan minyak atsiri terutama disebabkan oleh dua hal yakni (1) pada saat preparasi emulsi dan (2) saat analisis kadar minyak atsiri. Preparasi emulsi yang tidak homogen menyebakan produk yang dihasilkan juga tidak akan homogen. Hal ini menyebabkan kandungan minyak atsiri hasil analisis bisa lebih besar atau lebih kecil dari pada yang seharusnya. Berdasarkan Gambar 13, mikrokapsul dengan bahan pengkapsul natrium kaseinat memilki kesalahan kandungan minyak atsiri yang tinggi. Tingginya kesalahan kandungan minyak atsiri diperkirakan karena sistem emulsinya yang kurang homogen.
Beberapa faktor pada saat analisis kadar minyak atsiri turut menyebebkan kesalahan kandungan minyak atsiri. Faktor-faktor tersebut antara lain kesalahan penimbangan, produk yang kurang homogen, sampling error, dan kesalahan analis saat destilasi minyak atsiri. Faktor yang paling berpengaruh kemungkinan adalah saat destilasi minyak atsiri. Volume minyak atsiri yang terukur dalam alat destilasi berkisar antara 0,3 – 0,6 ml. Jumlah ini dinilai sangat sedikit mengingat skala tabung penampung minyak atsiri cukup kecil. Selain itu, pembacaan volume minyak atsiri terdestilasi dilakukan dengan membaca dua meniskus sehingga meningkatkan resiko kesalahan saat analisis.
3. Surface oil (Kadar minyak di permukaan)
Kadar surface oil yang dihasilkan nilainya bervariasi akibat komposisi bahan pengkapsul yang berbeda-beda. Kadar surface oil tertinggi diperoleh dari mikrokapsul perlakuan 1 (0,212%) sedangkan kadar surface oil terendah diperoleh dari perlakuan 8 (0,094%) (Gambar 14).
Gambar 14. Kadar surface oil mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan pengkapsul
Berdasarkan grafik di atas, secara keseluruhan dapat diamati bahwa kadar surface oil cenderung menurun seiring penambahan bahan protein pengkapsul. Penyebab terjadinya penurunan kadar surface oil ini adalah semakin banyak bahan protein maka proses emulsifikasi oleoresin dalam fase berair semaik baik. Dengan kata lain, semakin banyak zat aktif yang dapat diperangkap dan minyak yang ada dipermukaan dapat diminimalkan.
Kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan protein susu skim pada setiap perlakuan terlihat tidak jauh berbeda dengan kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat. Kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan susu skim (perlakuan 1 – 8) berkisar antara 0,212% sampai 0,094% sedangkan kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat (perlakuan 9 – 16) berkisar antara 0,177% sampai 0,135%. Bahkan dibeberapa perlakuan dengan penggunaan bahan protein yang sama jumlahnya, kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan susu skim lebih rendah daripada kadar surface oil mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat. Hal ini menunjukkan bahwa susu skim memiliki potensi memberikan perlindungan terhadap bahan inti.
Bila dicermati lebih jauh, mikrokapsul dengan kadar surface oil yang paling baik (terendah) menggunakan bahan protein pengkapsul terbanyak, yakni mikrokapsul perlakuan 8 (0,094%). Rendahnya kadar surface oil ini dapat didekati oleh mikrokapsul perlakuan 2 (0.142%) dan mikrokapsul perlakuan 6 (0.140%). Kedua perlakuan tersebut lebih dipertimbangkan karena menggunakan bahan protein lebih sedikit (10% dari bahan pengkapsul). Dengan penggunaan
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25
A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
Ka d a r su rf a ce o il (% B K)
Kadar Surface oil
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bahan protein setengah kali lipat dari pada mikrokapsul perlakuan 8, mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 dinilai lebih efisien dalam memberikan perlindungan bahan inti.
4. Kelarutan dalam air
Mikrokapsul oleoresin banyak digunakan dalam berbagai jenis makanan, dengan berkembangnya industri makanan siap saji seperti produk-produk dalam bentuk deep fat fried food, pastries, corn chips, tortilla, potato stick serta produk- produk dari daging (Wampler dan Soper, 1998). Flavour yang dienkapsulasi juga digunakan dalam makanan olahan, permen, makanan formula, bumbu-bumbuan, makanan penutup, dan lain-lain (Koswara, 1995). Penggunaan mikrokapsul dalam beberapa aplikasi tersebut membutuhkan suatu kemampuan melepas bahan aktif dengan baik. Oleh karena itu, mikrokapsul yang dihasilkan sebaiknya memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut yang umum digunakan seperti air. Hasil uji kelarutan mikrokapsul dalam air disajikan dalam Gambar 15 dan Lampiran 3b.
Gambar 15. Kelarutan mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul
Mikrokapsul dengan kelarutan tertinggi adalah mikrokapsul perlakuan 13 (98,62%) sedangkan mikrokapsul yang kelarutannya paling rendah adalah mikrokapsul perlakuan 5 (94,64%) dan 8 (94,65%). Secara keseluruhan, nilai kelarutan mikrokapsul sangat tinggi yakni diatas 90%. Tingginya kelarutan mikrokapsul ini disebabkan adanya maltodekstrin sebagai bahan baku mikrokapsul terbanyak. Maltodekstrin dapat larut dengan sempurna dalam air dingin sehingga dapat melepaskan flavour secara tepat pada aplikasi tertentu (Kenyon dan Anderson, 1988).
80 85 90 95 100
A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
Kel a ru ta n (% B K)
Kelarutan dalam air
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Nilai kelarutan mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat terlihat semakin menurun pada penggunaan bahan protein yang lebih banyak. Nilai kelarutan terendah diperoleh dari perlakuan 16 dengan pemakaian natrium kaseinat sebanyak 20% basis protein. Nilai kelarutan yang relatif rendah pada mikrokapsul dengan susu skim juga didapat pada pemakaian susu skim yang paling banyak (perlakuan 4 dan 8). Dengan demikian diketahui bahwa semakin banyak pemakaian bahan protein baik natrium kaseinat ataupun susu skim, semakin rendah pula kelarutannya dalam air.
Kelarutan yang paling tinggi dari mikrokapsul dengan susu skim didapat dari perlakuan 2. Nilai kelarutannya mencapai 98,20%. Nilai ini menyamai tingkat kelarutan mikokapsul dengan natrium kaseinat. Pembentukan emulsi yang baik diperkirakan menjadi penyebab tingginya nilai kelarutan mikrokapsul perlakuan 2. Emulsi yang baik menyebabkan partikel mikrokapsul menjadi lebih halus dan mudah larut. Hal ini menyebabkan pelepasan bahan aktif diperkirakan lebih baik. Dengan demikian, dari segi kelarutan, perlakuan 2 dinilai yang paling baik di antara mikrokapsul dengan susu skim.
5. Derajat Keasaman (pH)
Secara keseluruhan, nilai pH semua mikrokapsul berada pada kisaran 5,5 sampai 6. Nilai pH yang tertinggi diperoleh dari perlakuan 12 dan 16 (6,16 dan 6,13) sedangkan yang terendah adalah perlakuan 9 (5,46). Berdasarkan nilai pH ini, dapat dikatakan produk mikrokapsul tergolong agak asam. Gambar 16 menunjukkan nilai pH mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul.
Gambar 16. Derajat keasaman mikrokapsul dengan variasi komposisi bahan pengkapsul 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 6.40
A1C1 A1C2 A2C1 A2C2
pH
pH
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Derajat keasaman mikrokapsul kemungkinan lebih dipengaruhi oleh bahan pengkapsul utama yakni maltodektrin. Diketahui bahwa pH maltodekstrin yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 5,74. Maltodekstrin diproduksi dengan hidrolisis terkontrol menggunakan enzim α-amilase atau asam (Kennedy at al., 1995). Proses pembuatan ini menyebebkan maltodekstrin bersifat agak asam. Nilai pH mikrokapsul dengan bahan natrium kaseinat memiliki kecenderungan meningkat dari perlakuan 9 sampai 12 dan dari perlakuan 13 sampai 16. Peningkatan pH ini diperkirakan karena penambahan penggunaan natrium kaseinat. Diketahui bahwa natrium kaseinat cenderung bersifat basa sehingga penggunaannya akan meningkatkan pH produk. Demikian halnya dengan kecenderungan penggunaan susu skim.
Uraian pembahasan nilai pH di atas menunjukkan bahwa perbedaan nilai pH lebih disebabkan jumlah bahan pengkapsul, bukan karena banyak tidaknya zat aktif yang dapat terkapsulkan. Oleh karena itu nilai pH produk tidak dapat mewakili kualitas mikrokapsul yang dihasilkan.
Berdasarkan keseluruhan hasil analisis mikrokapsul di atas dapat disimpulkan bahwa susu skim memilki potensi sebagai bahan protein pengkapsul. Berdasarkan parameter rendemen dan kadar surface oil, mikrokapsul dengan susu skim sebanding kualitasnya dengan mikrokapsul natrium kaseinat. Kadar minyak atsiri mikrokapsul dengan natrium kaseinat tidak berarti menunjukkan kualitas produk yang baik karena kesalahan kandungan minyak atsirinya cukup tinggi. Tingginya kesalahan kandungan minyak atsiri diperkirakan karena sistem emulsinya yang kurang homogen.
Data kadar minyak atsiri menunjukkan bahwa mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 dinilai yang terbaik untuk mikrokapsul dengan bahan susu skim. Analisis surface oil menunjukkan mikrokapsul perlakuan 2 dan 6 juga lebih efisien mengkapsulkan oleoresin meskipun tidak lebih baik dari pada mikrokapsul perlakuan 8. Komposisi bahan pengkapsul tidak terlalu berpengaruh nyata terhadap rendemen, namun peningkatan konsentrasi bahan pengkapsul seperti pada perlakuan 5 sampai 8 (konsentrasi bahan pengkapsul 12,5% total emulsi) tidak direkomendasikan karena dapat mempersulit kerja spray dryer. Oleh karena itu, perlakuan 2 dinilai sebagai komposisi bahan pengkapsul terbaik. Hal ini
didukung dengan nilai kelarutan mikrokapsul perlakuan 2 yang sangat tinggi (98,20%).
Mikrokapsul dengan perlakuan 2 selanjutnya dilihat penampakannya dengan scanning electron microscope. Mikrokapsul dengan perlakuan 4 juga akan diperlihatkan dengan SEM sebagai pembanding karena mikrokapsul dengan perlakuan 4 diperkirakan akan memiliki morfologi yang baik mengingat kadar surface oil-nya yang rendah.