18 produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen pangan Distribution turn over
2.8.1 Penentuan Umur Simpan
Menurut Arpah (2001), secara umum penentuan umur simpan dari produk pangan dilakukan dengan salah satu cara diantara tiga kategori, yaitu :
1. Percobaan dirancang dengan cara menentukan umur simpan produk yang ada.
2. Percobaan dirancang dengan cara mempelajari pengaruh faktor spesifik dan kombinasi dari berbagai faktor seperti suhu penyimpanan, bahan pengemas, atau bahan tambahan makanan. 3. Percobaan dilakukan untuk menentukan umur simpan dari produk yang sedang dikembangkan.
Secara garis besar umur simpan dapat ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (extended storage studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (ASS atau ASLT) (Syarief et al., 1989). Setelah umur simpan produk pangan dapat diduga, kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan, yaitu ESS dan ASS atau ASLT (Floros dan Gnanasekharan 1993).
Extended Storage Studies (ESS)
Penentuan umur simpan produk dengan ESS, yang juga sering disebut sebagai metode konvensional, adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya (usable quality) hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penemuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan analisis
19
parameter mutu yang relatif banyak serta mahal. Metode ESS sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari 3 bulan.Accelerated Storage Studies (ASS atau ASLT)
Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau sering disebut dengan ASLT dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu (usable quality) produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASS yaitu waktu pengujian relatif singkat (3-4 bulan), namun ketepatan dan akurasinya tinggi. Kesempurnaan model secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang diperoleh (dari metode ASS) dengan nilai ESS. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan asumsi-asumsi yang mendukung model. Variasi hasil prediksi antara model yang satu dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat ketidaksempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001).
20
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3. 1 Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kultur starter dan untuk produksi yoghurt simbiotik adalah adalah kultur starter cair (Steptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum, dan Lactobacillus acidophilus), susu sapi segar, bubuk kedelai instan, dan fruktosa. Sedangkan, bahan yang digunakan untuk analisis antara lain indikator PP, NaOH 0,1 N, aquades, media Lactose Broth, NaCl, dan alkohol.
Alat yang digunakan dalam produksi sampai penyimpanan yoghurt simbiotik antara lain labu erlenmeyer, kapas, aluminium foil, autoklaf, pembakar bunsen, korek api, inkubator, jam, kompor gas, takaran, panci, pengaduk, termometer, kemasan, dan chiller. Sedangkan peralatan yang digunakan untuk analisis antara lain labu erlenmeyer, buret, pipet Mohr, gelas ukur, tabung Durham, autoklaf, clean bench, pembakar bunsen, korek api, alkohol, jarum Ose, inkubator, dan sendok.
3.2
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dimulai pada tanggal 11 Februari sampai dengan 14 Maret 2012. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorim Bioindustri, Pengemasan dan Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB Darmaga Bogor. Pelaporan hingga ujian berlangsung dalam waktu dua bulan dimulai pada bulan Maret-April 2012.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pembuatan Yoghurt Simbiotik
Pembuatan yoghurt simbiotik dimulai dengan peremajaan kultur cair campuran keempat bakteri. Sebanyak 300 ml susu sapi segar disterilisasi pada suhu 121°C selama 5 menit. Selanjutnya, susu steril tersebut didinginkan hingga mencapai suhu 45°C. Empat jenis kultur starter Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus diinokulasikan sebanyak 5% (v/v) pada susu sapi murni steril kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 jam sehingga diperoleh kultur kerja.
Proses pembuatan yoghurt simbiotik dimulai dengan mencampurkan (homogenisasi) 10 liter susu segar dengan 0,75% (75 gram) bubuk kedelai instan. Setelah itu, susu tersebut dipasteurisasi hingga mencapai suhu 80-90°C sambil diaduk dan dipertahankan suhunya selama 15 menit. Susu kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai sekitar 45°C dan diinokulasi dengan kultur kerja sebanyak 3% (v/v) secara aseptis. Proses fermentasi berlangsung dalam keadaan tertutup rapat. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang selama 16 jam yaitu sampai mencapai pH 4,2-4,4 saat menjadi yoghurt.
Penambahan fruktosa sebagai pemanis dilakukan setelah inkubasi (proses fermentasi) selesai sebanyak 8% (v/v). Yoghurt simbiotik kemudian dikemas ke dalam tiga jenis kemasan botol yaitu HDPE, PET, dan gelas dengan volume 120 ml yang telah disterilkan dengan air panas. Pengemasan dilakukan secara manual di atas uap air mendidih. Diagram alir pembuatan yoghurt simbiotik dapat dilihat pada Gambar 5.
21
Setelah diperoleh yoghurt simbiotik, selanjutnya dilakukan analisis awal yoghurt simbiotik untuk mengetahui kondisi atau karakteristik awal yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan. Hasil analisis ini dijadikan acuan untuk mengetahui perubahan mutu yoghurt simbiotik selama penyimpanan. Analisis awal yang dilakukan pada yoghurt simbiotik meliputi total asam tertitrasi (TAT), total koliform, dan penurunan mutu organoleptik. Parameter mutu organoleptik yang diuji selama penyimpanan yaitu penampakan, bau, rasa, dan konsistensi. sama seperti analisis yang dilakukan selama penyimpanan.3.3.2 Penyimpanan Yoghurt
Yoghurt simbiotik yang dikemas dengan 3 jenis bahan kemasan botol yaitu High Density Polyethylene (HDPE), dan Polyethylene Terephtalate (PET) dan botol gelas (kaca) disimpan dalam chiller bersuhu 2-4°C, 7-9°C, dan suhu ruang (±28ᵒC).
3.3.3 Pengujian Perubahan Mutu Yoghurt Simbiotik Selama Penyimpanan
Yoghurt simbiotik dalam kemasan yang sudah disimpan pada masing-masing suhu penyimpanan dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan meliputi uji total asam tertitrasi (TAT), uji total koliform, dan penurunan mutu organoleptik yang dijadikan parameter kritis umur simpan yoghurt selama empat minggu. Pengujian yoghurt simbiotik yang disimpan pada suhu ruang dilakukan pada hari ke-0 sampai ke-3 penyimpanan. Pengukuran total asam tertitrasi (TAT) dan penurunan mutu yoghurt simbiotik pada penyimpanan suhu dingin dilakukan pada hari ke 0,3,7,10,14,21,dan hari ke-28 penyimpanan, sedangkan uji koliform dilakukan setiap satu minggu sekali selama empat minggu yaitu pada hari ke-0,7,14,21,dan hari ke-28 penyimpanan.
22
3.3.4 Pengolahan Data
Data pengamatan yang diperoleh selama penyimpanan yoghurt simbiotik selanjutnya diolah dengan menggunakan Microsoft Excel dan dianalisis secara deskriptif. Dengan demikian, tidak dapat diketahui apakah suatu perlakuan maupun interaksi antar perlakuan memiliki hasil yang berpengaruh nyata (signifikan) atau tidak. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 5. Diagram alir pembuatan yoghurt simbiotik Pendinginan sampai suhu 45°C
300 ml susu sapi segar
Sterilisasi 121°C selama 5 menit
Inokulasi
Inkubasi pada suhu 37°C selama 15 jam Kultur kerja Kultur cair St:Lb:Bl:La 5% (v/v) Homogenisasi 10 liter susu sapi segar Pasteurisasi sampai suhu 80-90°C, selama 15 menit Bubuk kedelai instan 0,75 % (b/v) Pendinginan sampai suhu 45°C Inokulasi (3 % v/v)
Pengemasan dengan botol HDPE, PET, dan gelas Inkubasi pada suhu ruang selama16 jam
Yoghurt simbiotik Fruktosa 8% (v/v) Pencampuran
23
Gambar 6. Diagram alir penelitianPembuatan yoghurt simbiotik
Pengemasan dengan 3 jenis bahan kemasan : HDPE, PET, dan gelas dengan volume 120 ml
Analisis awal : TAT, total koliform, dan penurunan mutu organoleptik yang meliputi penampakan, bau, rasa, dan
konsistensi
Penyimpanan pada 3 suhu : suhu ruang selama 3 hari, 2-4οC dan
7-9οC selama 28 hari
Analisis perubahan mutu selama penyimpanan :
TAT, total koliform, dan penurunan mutu organoleptik
Penentuan umur simpan yoghurt simbiotik Pembandingan hasil uji dengan
24
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Pembuatan Yoghurt Simbiotik
Pembuatan yoghurt simbiotik dimulai dengan peremajaan kultur cair yang terdiri dari campuran keempat bakteri yaitu Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus. Tahap ini merupakan suatu proses regenerasi bakteri sebelum diinokulasikan ke susu untuk pembuatan yoghurt. Media yang digunakan untuk peremajaan kultur adalah susu murni steril.
Susu murni sebanyak 300 ml disterilkan terlebih dahulu dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 5 menit. Hal ini bertujuan untuk mematikan semua bakteri patogen dalam susu yang dapat mengganggu pertumbuhan BAL dan dapat mengkontaminasi yoghurt sebagai produk akhir. Menurut Rahman, dkk (1987), pada umumnya semakin tinggi pemanasan yang diberikan pada susu, pertumbuhan kultur akan semakin baik. Susu steril didinginkan hingga mencapai suhu 43-45°C . Susu kemudian diinokulasi dengan 5% (v/v) kultur cair dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 15 jam, sehingga dihasilkan kultur kerja. Kultur kerja inilah yang akan digunakan sebagai starter dalam pembuatan yoghurt simbiotik.
Pada dasarnya, pembuatan yoghurt meliputi empat tahapan penting, yaitu pemanasan susu, inokulasi, fermentasi, dan refrigerasi, tetapi banyak modifikasi terhadap keempat tahapan tersebut (Helferich dan Westhoff, 1980). Pemanasan susu dilakukan pada suhu 80-90°C selama 15 menit bersamaan dengan kedelai bubuk instan sebanyak 0,75% (v/v) yang berperan sebagai sumber prebiotik. Menurut Robinson dan Tamime (1991), pemanasan susu sangat penting untuk dilakukan dalam pembuatan yoghurt. Keuntungan dari pemanasan susu antara lain :
a. Menginaktivasi mikroba awal yang tidak diinginkan yang dapat bersaing dengan bakteri yoghurt. b. Denaturasi “whey protein” (albumin dan globulin) agar yoghurt yang dihasilkan lebih kental. c. Mengurangi jumlah oksigen dalam susu, sehingga kultur starter yang secara normal bersifat
mikroaerofilik dapat tumbuh dengan baik.
d. Merusak protein susu dalam batas-batas tertentu agar dapat dimanfaatkan dengan mudah oleh kultur yoghurt untuk pertumbuhannya.
Helferich dan Westhoff (1980) menambahkan bahwa pemanasan susu pada suhu 80-90°C selama 15 menit dapat menghasilkan rasa yang lebih disukai. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya reaksi pencoklatan sebagai akibat dari reaksi antara lisin dengan gula susu.
Susu yang telah dipateurisasi didinginkan terlebih dahulu sampai 43°C. Menurut Helferich dan Westhoff (1980), pendinginan dilakukan sampai suhu inkubasi yang optimum yaitu 40°C – 45°C. Tujuan pendinginan susu sebelum dilakukan inokulasi adalah untuk menurunkan suhu susu setelah pemanasan sampai kondisi yang optimum bagi pertumbuhan kultur yoghurt. Jika susu terlalu panas, maka kultur yoghurt akan mati. Inokulasi kultur kerja sebanyak 3% dari volume susu dilakukan pada saat suhu susu telah mencapai suhu inkubasi optimum tersebut. Setelah inokulasi selesai, susu diinkubasi pada suhu ruang selama 16 jam yaitu sampai terbentuk gel dan pH turun sampai di bawah 4,5 saat menjadi yoghurt.
Menurut Winarno et al. (2003) dasar fermentasi susu atau pembuatan yoghurt adalah proses fermentasi komponen gula yang ada di dalam susu, terutama laktosa menjadi asam laktat dan asam- asam lainnya. Asam laktat yang dihasilkan selama proses fermentasi dapat meningkatkan citarasa dan meningkatkan keasaman atau menurunkan pH-nya. Semakin rendah pH atau derajat keasaman susu setelah fermentasi akan menyebabkan semakin sedikitnya mikroba yang mampu bertahan hidup dan
25
menghambat proses pertumbuhan mikroba patogen dan mikroba perusak susu, sehingga umur simpan susu dapat menjadi lebih lama.Proses terjadinya koagulasi pada yoghurt merupakan hasil dari aktivitas biologi dan fisik pada susu yang telah ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme koagulasi susu oleh kultur yoghurt adalah sebagai berikut (Tamime dan Robinson, 1991).
1. Kultur starter yoghurt memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan energi dan menghasilkan asam laktat.
2. Asam laktat yang dihasilkan secara berangsur-angsur akan mengawali ketidakstabilan misel kasein, atau kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat atau stirat kasein.
3. Sejumlah kasein misel dan atau masing-masing kelompok kasein misel secara bersama atau sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada pH 4,6-4,7.
4. Interaksi antara α-La/β-Lg dengan к-kasein (diikat oleh jembatan –SH dan –SS) sebagian melindungi misel kasein ini untuk melawan ketidakstabilan dan menghasilkan jaringan sel atau matriks dari struktur reguler yang terperangkap di dalamnya.
Pada awal inkubasi, Streptococcus thermophilus akan tumbuh lebih cepat dan mendominasi proses fermentasi menghasilkan sejumlah asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil, dan asam format. Ketersediaan asam format dan perubahan pada potensial oksidasi-reduksi pada medium susu akan menstimulasi pertumbuhan Lactobacillus bulgaricus. Sementara itu, aktivitas proteolitik dari Lactobacillus bulgaricus menghasilkan peptida dan asam amino yang digunakan oleh Streptococcus thermophilus untuk tumbuh (Oberman, 1985). Jay (1978) menambahkan bahwa Streptococcus thermophilus berperan besar dalam menghasilkan citarasa asam, sementara Lactobacillus bulgaricus bertanggungjawab dalam menghasilkan aroma melalui produksi asam laktat dan asetaldehida.
Pada proses pembentukan asam laktat, laktosa mula-mula dihidrolisis oleh starter menjadi glukosa dan galaktosa atau galaktosa-6-fosfat oleh enzim beta-D-galaktosidase dan beta-D- fosfogalaktosidase yang dihasilkan oleh S. thermophilus dan L. bulgaricus. Pada proses metabolisme, glukosa diubah menjadi asam laktat melalui jalur glikolisis, sedangkan galaktosa diakumulasikan. Asam asetat, asetaldehida, aseton, asetoin, dan diasetil merupakan hasil dari proses fermentasi. Flavor yang dihasilkan disebabkan oleh pembentukan asam laktat dan asetaldehida. L. bulgaricus memproduksi asetaldehida dari piruvat (Helferich dan Westhoff, 1980).
Susu tersebut nantinya akan terkoagulasi menjadi kental karena adanya penggumpalan protein susu. Kasein merupakan protein terbesar yang terdapat di dalam susu dan kasein ini sangat dipengaruhi oleh perubahan keasaman (pH). Susu mempunyai pH 6,6-6,8, jika pH susu kurang dari 4,6 maka kasein menjadi tidak stabil dan terkoagulasi menjadi gel yoghurt (Helferich dan Westhoff, 1980).
Yoghurt yang sudah terbentuk ditambahkan dengan fruktosa sebanyak 8% (v/v). Hyvonen dan Slotte (1983) yang disitasi oleh Suarni (1990) menyatakan bahwa penambahan sukrosa sebagai pemanis yoghurt dapat dilakukan sebelum atau sesudah proses fermentasi. Pada penelitian ini, pemanis (fruktosa) ditambahkan setelah proses fermentasi. Fruktosa dipilih sebagai pengganti sukrosa karena memiliki tingkat kemanisan yang lebih tinggi. Yoghurt simbiotik kemudian dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu botol HDPE, PET, dan gelas dengan volume 120 ml. Proses pengemasan dilakukan secara manual di atas uap panas yang berasal dari air yang dididihkan. Setelah pengemasan selesai, yoghurt simbiotik disimpan pada 3 suhu penyimpanan, yaitu suhu ruang (±28°C), suhu 2-4°C, dan suhu 7-9°C.
Pada hari yang sama yaitu hari ke-0 penyimpanan dilakukan analisis awal terhadap yoghurt simbiotik sebagai acuan terhadap penurunan mutu yoghurt selama penyimpanan. Analisis dilakukan terhadap tiga parameter kritis penyimpanan yoghurt yaitu total asam tertitrasi (TAT), total koliform,
26
dan penurunan mutu organoleptik sama seperti pengujian yang dilakukan selama penyimpanan. Kondisi yoghurt simbiotik selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan hasil analisis awal dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.Tabel 8. Hasil Analisis Awal Yoghurt Simbiotik
Parameter Satuan Nilai
Total Asam Tertitrasi (TAT) % 1,27
Total koliform APM/g 7
Penurunan Mutu Organoleptik
a. Penampakan - Berupa cairan kental padat
b.Bau - Normal/khas yoghurt
c. Rasa - Asam/khas yoghurt
d.Konsistensi - Homogen
Dari Tabel 8 diatas, dapat diketahui bahwa TAT awal yoghurt simbiotik mencapai 1,27 %. Menurut Tamime dan Robinson (1989), yoghurt yang baik memiliki total asam laktat 0,85-0,95%. Plain yoghurt memiliki karakteristik asam, berflavor green apple, dengan tingkat keasaman 0,9-1,2%. Nilai TAT yang tinggi pada awal pengujian ini kemungkinan disebabkan oleh penambahan starter sebesar 3% (v/v). Jay (1978) menyatakan bahwa penambahan kultur starter yang baik adalah sekitar 2% dari volume susu. Semakin banyak jumlah starter yang ditambahkan, maka semakin banyak bakteri asam laktat yang bekerja mengubah laktosa menjadi asam laktat sehingga nilai TAT yoghurt meningkat dengan cepat. Hal ini didukung dengan lama inkubasi pada suhu ruang selama 14-16 jam, yang pada penelitian ini digunakan waktu maksimal inkubasi tersebut yaitu 16 jam. Semakin lama yoghurt berada pada suhu ruang, aktivitas bakteri asam laktat terus berjalan, sehingga nilai TAT juga meningkat dengan cepat selama penyimpanan (Field, 1979).
Pada pengukuran kadar total asam laktat, jumlah asam dihitung sebagai asam laktat yang terbentuk selama fermentasi karena asam laktat merupakan asam yang dominan dalam yoghurt. Peningkatan kadar total asam laktat selama penyimpanan disebabkan karena aktivitas enzimatis bakteri asam laktat yang terus memecah laktosa menjadi asam laktat. Menurut Helferich dan Westhoff (1980), asam laktat dibentuk dari hasil glikolisis glukosa dan galaktosa. Glukosa dan galaktosa berasal dari hasil hidrolisis laktosa oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri L. bulgaricus dan S. thermophilus yang merombak laktosa menjadi asam laktat melalui lintasan metabolisme.
Hasil analisis awal terhadap koliform diperoleh hasil positif mengandung bakteri patogen (koliform) sebanyak 7 APM/g. Analisis koliform biasanya digunakan sebagai standar kualitas air dan sebagai indikasi tingkat higienitas bahan pangan. Keberadaan koliform yang cukup tinggi pada saat analisis awal diperkirakan terjadi karena adanya kontaminasi silang pada saat proses pengemasan yang masih kurang steril. Kontaminasi silang dapat terjadi dari kemasan botol yang disterilkan dengan air panas yang kemungkinan masih mengandung bakteri koliform sehingga perlu dicari metode sterilisasi kemasan botol plastik dan gelas yang tepat tanpa menyisakan cemaran mikroba.
Hasil analisis awal untuk parameter mutu organoleptik menunjukkan penampakan yoghurt simbiotik berupa cairan kental padat hasil dari penggumpalan kasein, bau normal/khas yoghurt dan rasa asam/khas yoghurt dihasilkan dari aktivitas bakteri asam laktat, dan konsistensi yoghurt yang homogen karena fermentasi mengubah bagian cair susu menjadi bentuk padatan (mengental) sehingga menjadi homogen.
27
4.2 Perubahan Mutu Yoghurt Simbiotik Selama Penyimpanan
4.2.1 Total Asam Tertitrasi
Total asam tertitrasi merupakan pengukuran semua asam, baik asam yang terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi (Frazier dan Westhoff, 1979). Dalam yoghurt, nilai tersebut sebanding dengan jumlah asam laktat. Hal tersebut disebabkan selama proses fermentasi yoghurt dengan menggunakan BAL dihasilkan asam laktat sebagai produk utamanya. Asam laktat yang dihasilkan ini menyebabkan penurunan pH susu atau meningkatkan keasaman susu. Kasein merupakan protein utama dalam susu yang terpengaruh oleh perubahan pH atau keasaman ini. Jika pH susu menjadi sekitar 4,6 atau lebih rendah, maka kasein tidak stabil dan terkoagulasi (menggumpal) dan membentuk gel yoghurt. Gel yoghurt ini berbentuk semi solid (setengah padat) dan menentukan tekstur yoghurt. Selain berperan dalam pembentukan gel yoghurt, asam laktat juga memberikan ketajaman rasa, rasa asam dan menimbulkan aroma khas pada yoghurt (Koswara, 1995). Perubahan TAT pada penyimpanan suhu ruang dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Histogram perubahan TAT yoghurt simbioik pada penyimpanan suhu ruang.
Hasil pengamatan total asam tertitrasi yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan (H-0) adalah 1,27% untuk semua sampel karena belum ada perlakuan jenis kemasan dan suhu penyimpanan. Penyimpanan yoghurt akan berpengaruh terhadap jumlah asam laktat yang dihasilkan. Setelah penyimpanan pada suhu ruang, terjadi peningkatan rata-rata nilai TAT sampai hari terakhir penyimpanan baik pada kemasan botol HDPE, PET, maupun gelas. Pada hari terakhir penyimpanan yaitu hari ke-3, nilai TAT yoghurt simbiotik pada kemasan gelas paling tinggi yaitu mencapai 2,012%. Uji TAT yoghurt simbiotik pada suhu ruang dilakukan selama 3 hari penyimpanan karena nilai TAT terukur pada hari tersebut sudah melewati batas standar SNI yoghurt yaitu maksimal 2%. Sedangkan pada kemasan HDPE dan PET, nilai TAT masih di bawah standar SNI tetapi hampir mencapai 2%, yaitu masing-masing senilai 1,890% dan 1,994%. Nilai TAT yoghurt simbiotik pada kemasan HDPE adalah yang paling rendah di akhir penyimpanan.
Penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan terjadinya peningkatan nilai TAT yang sangat cepat. Dalam tiga hari penyimpanan, nilai TAT yoghurt simbiotik hampir mencapai dan ada yang melewati batas maksimal standar SNI yoghurt untuk TAT yaitu 2%. Hal ini terjadi karena suhu ruang (±28°C) mendekati suhu optimal bagi pertumbuhan mikroba dalam susu. Menurut Winarno dan Ivone (2007), Lactobacillus bulgaricus tumbuh optimal pada suhu 45-47°C, Streptococcus thermophilus
28
pada suhu 37-42°C, Bifidobacterium longum pada suhu 37-41°C, dan Lactobacillus acidophilus pada suhu 35-38°C. Dengan penyimpanan pada suhu ruang yang paling mendekati suhu optimum pertumbuhannya, maka aktivitas kultur campuran Steptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, Bifidobacterium longum dan Lactobacillus acidophilus tidak terhambat sehingga jumlah asam laktat yang dihasilkan juga meningkat dengan cepat sampai beberapa waktu tertentu. Dengan demikian, nilai TAT (kadar asam laktat terukur) juga meningkat dengan cepat. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik selama penyimpanan pada suhu 2-4°C terlihat pada Gambar 8.Gambar 8. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik pada suhu penyimpanan 2-4°C.
Berdasarkan Gambar 8, dapat dilihat bahwa ketiga jenis kemasan menunjukkan kecenderungan nilai TAT yang meningkat selama penyimpanan dengan pola yang sama, namun lebih rendah dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu ruang. Pada hari terakhir penyimpanan, nilai TAT tertinggi adalah pada kemasan PET sebesar 1,445% sedangkan nilai TAT terendahnya pada kemasan gelas yaitu sebesar 1,429%. Nilai TAT tertinggi selama penyimpanan suhu ini masih di bawah 1,5%, yaitu yoghurt simbiotik dalam kemasan HDPE pada penyimpanan hari ke-7 dengan nilai TAT sebesar 1,454%. Kisaran peningkatan nilai TAT yoghurt simbiotik pada suhu penyimpanan ini tidak terlalu besar, terutama pada kemasan PET dan gelas. Histogram perubahan TAT yoghurt simbiotik selama penyimpanan pada suhu 7-9°C terlihat pada Gambar 9.
29
Hasil pengamatan TAT yoghurt simbiotik sebelum penyimpanan (H-0) adalah 1,27%. Secara umum grafik nilai TAT cenderung meningkat dari awal sampai akhir penyimpanan, namun nilainya lebih tinggi daripada penyimpanan pada suhu 2-4°C tetapi lebih rendah dibandingkan penyimpanan pada suhu ruang (±28°C). Nilai TAT di hari terakhir penyimpanan pada suhu 7-9ᵒC lebih dari 1,5% yaitu mencapai 1,782% pada yoghurt simbiotik dalam kemasan PET. Nilai TAT terendah pada akhir penyimpanan yaitu yoghurt dalam kemasan gelas sebesar 1,580%. Laju peningkatan nilai TAT yoghurt simbiotik pada suhu 7-9°C lebih cepat daripada yang disimpan pada suhu 2-4°C, karena semakin rendah suhu penyimpanan, aktivitas bakteri asam laktat semakin terhambat dalam menghasilkan asam laktat sehingga berpengaruh terhadap nilai total asam tertitrasi.Secara keseluruhan, TAT tertinggi pada akhir penyimpanan dicapai oleh yoghurt simbiotik yang dikemas dengan botol gelas dan disimpan pada suhu ruang. Nilai TAT tersebut melebihi batas standar SNI yoghurt untuk TAT yaitu mencapai 2,012%. Dari empat bakteri asam laktat yang digunakan, tiga diantaranya yaitu Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, dan