• Tidak ada hasil yang ditemukan

(a) (b) (c)

Gambar 4.6 Kromatogram hasil rekristalisasi menggunakan 3 komposisi eluen yang berbeda: (a) metanol:metilen klorida 20%, (b) etil asetat:n-heksana 50% dan (c) etil asetat:metilen klorida 7%

4.5 Penentuan Struktur

Penentuan struktur senyawa 1 dilakukan dengan analisis data dari pengujian menggunakan spektrofotometer UV-Vis, IR, 1H dan 13C NMR. Spektrum UV-Vis (Gambar 4.7) menunjukkan 2 puncak serapan yaitu pada 288 nm (pita II) dan 345 nm (pita I). Menurut Markham, 1988, spektrum dengan rentang pita II pada 240-285 nm dan pita I pada 300-550 nm merupakan spektrum yang mencirikan flavonoid. Akan tetapi, pada penelitian ini pita II ditunjukkan berada pada panjang gelombang 288 nm. Meskipun demikian, hal ini merupakan indikasi adanya eksitasi elektron dari

* yang merupakan kromofor khas sistem ikatan rangkap

terkonjugasi (-C=C-C=C-) pada cincin aromatik. Sedangkan panjang gelombang 345 nm (pita I) menunjukkan adanya eksitasi elektron dari n * yang merupakan kromofor khas untuk sistem

terkonjugasi dari heteroatom dengan ikatan rangkap terkonjugasi (-C=C=C=O).

Gambar 4.7 Spektrum UV-Vis senyawa 1 dalam MeOH dan MeOH+NaOH

Selanjutnya dilakukan pula pengujian menggunakan spektrofotometer UV-Vis dengan penambahan pereaksi geser untuk mengetahui ada tidaknya gugus hidroksi yang tersubtitusi pada posisi orto maupun para. Penambahan pereaksi geser dapat menyebabkan pergeseran baik ke arah panjang gelombang yang lebih besar maupun panjang gelombang yang lebih kecil (Tabel 4.2). Setelah dilakukan penambahan NaOH dapat diketahui bahwa terjadi pergeseran merah atau batokromik pada pita I sebesar 115 nm dari panjang gelombang yang semula 345 nm menjadi 460 nm. Terjadinya pegeseran merah ini umumnya dipengaruhi oleh auksokrom. Auksokrom merupakan gugus fungsi yang sebenarnya tidak menyerap energi cahayanya sendiri akan tetapi dapat meningkatkan intensitas warna yang diserap kromofor karena adanya ikatan rangkap terkonjugasi, seperti gugus –OH (Cairns, 2008). Gugus hidroksi tersebut yang merupakan pendorong elektron kemudian mengalami kesetimbangan keto-enol dengan gugus karbonil yang terletak pada posisi para (Gambar 4.8) (Ito, dkk, 1997).

0 0.5 1 1.5 2 2.5 280 330 380 430 480 530 580 630 A λ (nm) MeOH MeOH+NaOH 345 288 460

Gambar 4.8 Kesetimbangan keto-enol dengan NaOH

Tabel 4.2 Data spektrum UV-Vis senyawa 1 sebelum dan sesudah penambahan pereaksi geser

Sampel Panjang Gelombang λmaks (nm) Selisih Pergeseran λmaks (nm) Pita II Pita I Pita II Pita I Senyawa 1 + MeOH 288 345 - - Senyawa 1 + MeOH + NaOH 288 460 - +115 Senyawa 1 + MeOH + AlCl3 290 416 +2 +71 Senyawa 1 + MeOH + AlCl3 + HCl 290 409 +2 +64 Senyawa 1 +MeOH + CH3COONa 288 484 - +139 Senyawa 1 + MeOH + CH3COONa + H3BO3 288 488 - +143

Penambahan AlCl3 sebagai pereaksi geser menyebabkan terjadinya pergeseran batokromik sebesar 71 nm. Setelah ditambahkan HCl terjadi pergeseran panjang gelombang ke arah yang lebih kecil sehingga spektra berada diantara spektra metanol dan AlCl3. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa senyawa 1 mempunyai gugus OH khelat dan sistem o-dihidroksi yang tersubstitusi pada kerangka dasar senyawa fenolat (Purwaningsih dan Ersam, 2007). Analisis ini diperkuat oleh data pergeseran OH 2 R OH O O -+ NaOH R O R O O -Na+ +

setelah penambahan CH3COONa yang menunjukkan terjadinya pergeseran batokromik, begitupun setelah penambahan H3BO3. Adanya pergeseran batokromik mengindikasikan terdapat substituen hidroksi yang berada pada posisi orto. Dengan demikian, dari analisis spektra UV senyawa 1 dimungkinkan berupa senyawa golongan flavonoid yang memiliki khelat dan gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi orto.

Analisis selanjutnya yaitu berdasarkan spektra inframerah (IR) pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1 (Gambar 4.9) yang memperlihatkan pita-pita yang khas untuk beberapa gugus fungsi. Pita-pita serapan yang dimaksud diantaranya pada bilangan gelombang 3421 cm-1, 3057 cm-1, 2982 cm-1, 2918 cm-1, 1658 cm-1, 1462 cm-1, 1290 cm-1 dan 1111 cm-1. Serapan pita pada bilangan gelombang 3421 cm-1 merupakan ciri khas adanya gugus hidroksi terikat (-OH). Kemudian serapan pada bilangan gelombang 3057 cm-1 menunjukkan adanya gugus -CH sp2, diperkuat dengan serapan pada 1290 cm-1 yang merupakan serapan khas -CH sp2 bending. Kedua pita tersebut diperkirakan teridentifikasi dari adanya cincin aromatik, hal ini dapat dilihat pula pada daerah finger print terdapat serapan yang khas cincin aromatik (Robinson, 2005).

Sementara itu juga terdapat gugus -CH sp3, diketahui dari serapan khas pada bilangan gelombang 2918-2982 cm-1 dan diperkuat dengan adanya serapan khas -CH sp3 bending pada bilangan gelombang 1462 cm-1. Gugus -CH sp3 ini merupakan gugus alifatik yang tersubstitusi pada kerangka dasar senyawa flavonoid. Serapan pita selanjutnya terdeteksi pada bilangan gelombang 1658 cm-1 yang menunjukkan ciri khas gugus karbonil terkhelat (C=O). Selanjutnya ditunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang 1111 cm-1 yang merupakan serapan khas gugus C-O eter (Robinson, 2005). Dengan demikian berdasarkan analisis spektra UV-Vis dan IR dapat diperoleh informasi bahwa senyawa 1 merupakan flavonoid yang memiliki substituen alkil dan hidroksi dengan sistem o-dihidroksi.

Gambar 4.9 Spektrum IR senyawa 1 dalam plat KBr O-H C=C C-C C=O C-O

Gambar 4.10 Spektrum 1H-NMR senyawa 1 dalam DMSO DMSO 9H 3H 2H 1H 1H 1H 1H 1H 1H 1H 1H 1H 1H

Gambar 4.11 Spektrum 13C-NMR senyawa 1 dalam DMSO

Analisis struktur berikutnya menggunakan NMR, baik 1 H-NMR maupun 13C-NMR. Proses analisis menggunakan pelarut DMSO dan diukur pada frekuensi 500 MHz. Data yang diperoleh berupa pergeseran ( ) 1H-NMR dan 13C-NMR yang berisi informasi tentang jenis lingkungan proton maupun karbon, multiplisitas dan jumlah proton atau integritas. Dalam 1H-NMR juga dikenal data berupa konstanta kopling yang memberikan informasi berupa jarak antara 2 pergeseran pada serapan proton yang sama.

Analisis spektrum 1H-NMR senyawa 1 berdasarkan sinyal-sinyal yang terdeteksi pada pergeseran kimia ( H)(ppm) 6,68 (1H, s); 6,53 (1H, d, J=10,0 Hz); 6,45 (1H, s); 6,21 (1H, s); 5,70 (1H, d, J=10,0 Hz); 5,06 (1H, t, J=15,0 Hz); 3,04 (2H, d, J=5,00 Hz); 1,56 (3H, s) dan 1,41 (9H, s). Serapan proton pada pergeseran kimia ( H) 1,41 ppm merupakan pergeseran dari 9 proton yang memiliki jenis lingkungan hampir sama. Serapan tersebut berada pada daerah upfield sehingga dapat disarankan bahwa 9 proton tersebut merupakan 3 gugus metil. Data pada pergeseran kimia ( H) 1,41 dan 1,56 ppm masing-masing sejumlah 3 proton dengan multiplisitas singlet; H 5,06 ppm sejumlah 1 proton dengan multiplisitas triplet yang memiliki konstanta kopling 15,0 Hz dan

H 3,04 ppm sejumlah 2 proton dengan multiplisitas duplet yang memiliki konstanta kopling 5,0 Hz mengindikasikan adanya gugus prenil yang terikat pada kerangka dasar flavonoid. Pada genus Artocarpus, prenil secara khas tersubstitusi pada C-3 kerangka dasar flavonoid.

Serapan proton pada pergeseran kimia ( H) 1,41 ppm sejumlah 6 proton; 6,53 dan 5,70 ppm masing-masing sejumlah 1 proton dengan multiplisitas duplet yang memiliki konstanta kopling masing-masing 10,0 Hz, merupakan data yang identik dengan pergeseran kimia gugus kromen. Gugus kromen dapat tersubstitusi secara linear maupun angular terhadap kerangka dasar flavonoid (Gambar 4.12), yang kemudian dibuktikan dengan analisis serapan karbon. Sementara itu, serapan proton pada H

13,19 (ppm) sejumlah 1 proton dengan multiplisitas singlet menunjukkan adanya khelat hidroksi. Serapan pada H (ppm)

8,54; 9,25 dan 9,45 masing-masing sejumlah 1 proton dengan multiplisitas singlet menunjukkan 3 gugus hidroksi yang tersubstitusi pada cincin B dengan 2 hidroksi terikat secara o-dihidroksi. Dengan demikian dari analisis spektrum 1H-NMR disarankan senyawa 1 memiliki struktur sebagai berikut:

(a) (b)

Gambar 4.12 Posisi gugus kromen terhadap kerangka dasar flavonoid: (a) kromen tersubstitusi angular dan (b) kromen tersubstitusi linear.

Analisis spektrum 13C-NMR memperlihatkan sinyal-sinyal pada pergeseran kimia ( C)(ppm) 181,80; 161,63; 160,90: 158,46: 151,70; 148,75; 148,48; 138,01; 131,31; 127,66; 121,44; 119,84; 116,07; 114,15; 109,24: 104,20; 103,86; 100,44; 98,78; 78,06; 27,68; 25,47; 23,69 dan 17,35. Adanya pergeseran pada C 181,80 ppm merupakan data khas untuk karbonil terkhelat dari suatu senyawa flavonoid. Dari data pergeseran kimia diatas yang diantaranya adalah C (ppm) 119,84; 23,69; 121,44; 131,31; 25,47 dan 17,35 menunjukkan pola yang sama dengan serapan karbon untuk gugus prenil. Serapan lainnya yaitu pada C (ppm) 78,06 merupakan serapan khas kromen, diperkuat oleh adanya serapan pada C (ppm) 100,44; 114,15; 127,66 dan 27,68. Pergeseran kimia C 27,68 merupakan serapan khas metil pada kromen.

Untuk mengetahui posisi kromen terhadap kerangka dasar flavonoid dapat ditinjau dari serapan karbon. Jika terdapat serapan karbon ( C) sekitar 95 ppm maka dapat diindikasikan merupakan kromen dengan posisi linear terhadap kerangka dasar flavonoid. Akan tetapi, jika serapan karbon terdeteksi pada C 98 ppm atau lebih maka diindikasikan kromen tersubstitusi pada posisi angular terhadap kerangka dasar flavonoid (Jayasinghe, 2008). Pada

O OH O O OH HO HO 2 3 9 14 3' 5' 4a 8a 18 12 O OH O O OH HO HO 2 3 9 3' 5' 4a 8a 12

penelitian ini, tidak terdapat serapan karbon pada C sekitar 95 ppm sehingga dapat disarankan posisi kromen adalah angular. Struktur seperti ini identik dengan struktur senyawa artonin E yang telah dilaporkan sebelumnya, sehingga perlu adanya perbandingan data 13C-NMR antara senyawa 1 dengan artonin E (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Data perbandingan pergeseran ( ) 13C-NMR senyawa 1 dan artonin E (Jayasinghe, 2008)

No. C (ppm) Senyawa 1 Artonin E 2 161,63 163,2 3 119,84 122,0 4 181,80 183,9 4a 104,20 105,9 5 160,90 162,7 6 98,78 100,1 7 158,46 160,5 8 100,44 102,2 8a 151,70 153,8 9 23,69 24,9 10 121,44 122,6 11 131,31 133,0 12 25,47 25,9 13 17,35 17,6 14 114,15 115,8 15 127,66 128,2 16 78,06 79,1 17 27,68 28,4 18 28,4 1’ 109,24 111,7 2’ 148,75 150,1 3’ 103,86 104,7 4’ 148,48 150,0 5’ 138,01 139,4 6’ 116,07 117,2

Berdasarkan analisis perbandingan 13C-NMR diketahui bahwa senyawa 1 memiliki pergeseran yang sama dengan artonin E sehingga dapat disimpulkan senyawa 1 merupakan artonin E yang telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya dengan struktur senyawa sebagai berikut:

(1) O OH O O OH HO HO

43 5.1. Kesimpulan

Senyawa artonin E (1) berupa serbuk berwarna kuning dengan titik leleh 205-206 °C berhasil diisolasi dari kulit akar A. elasticus yang berasal dari Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Senyawa tersebut merupakan senyawa yang baru ditemukan pada spesies ini akan tetapi pernah dilaporkan pada penelitian sebelumnya dari spesies lain.

5.2. Saran

Berdasarkan jalur biogenesis dari A. elasticus masih terdapat peluang adanya senyawa flavonoid lain dari fraksi tumbuhan tersebut. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh senyawa yang belum pernah dilaporkan.

45

Achmad, S.A. (1986). Kimia Organik Bahan Alam, Materi 4: Ilmu Kimia Flavonoid. Jakarta: Karunia Universitas Terbuka.

Achmad, S.A. (1999). Prosiding Seminar Nasional Kimia Bahan Alam UI-UNESCO, 1-9.

Alfinda, N. K. (2008). Buku Ajar Fitokimia. Surabaya: Airlangga University Press.

Boonphong, S., Baramee, A., Kittakoop, P., Puangsombat, P. (2007). Antitubercular and Antiplasmodial Prenylated Flavones from The Roots of Artocarpus altilis. Chiang Mai J. Sci., 34, 339-344.

Cairns, D. (2008). Intisari Kimia Farmasi, Edisi 2. Jakarta: EGC. Cidade, M. H., Nacimento, M. S., Pinto, M. M. M., Kijjoa, A.,

Silva, A. M. S., Herz, W. (2001). Artelastocarpin and Carpelastofuran, Two New Flavones, and Cytotoxicities of Prenylflavonoids from Artocarpus elasticus against Three Cancer Cell Lines. Planta Medica, 67, 867–870.

Djarwaningsih T., Alonzo, D. S., Sudo, S., Sosef, M. S. M. (1995). Artocarpus JR. Forster & J.G. Forster. In: Lemmens RMHJ, Soerianegara I, Wong WC (eds.). Timber Trees: minor commercial timber. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) No.5(2).

Ersam, T. (2004). Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam Merekayasa Model Molekul Alami. Prosiding Seminar Nasional Kimia VI ITS Surabaya, 4-12. Gritter, R. J., Bobbitt, J. M., Schwarting, A. E. (1991). Pengantar

Kromatografi. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Hakim, E. H., Ghisalberti, E. L., Achmad, S. A., Juliawati, L. D.,

Takayama, H. (2006). Prenylated Flavonoid and Related Compounds of The Indonesian Artocarpus (Moraceae). J.Nat.Med, 60, 161-184.

Hari, A., Revikumar, K. G., Divya, D. (2014). Artocarpus: A Review of Its Phytochemistry and Pharmacology. Journal of Pharma Search, 9(1), 7.

Hart, H. (1983). Organic Chemistry A Short Course. Sixth Edition. Boston: Houghton Miffin Company.

Hernawan. (2008). Isolasi Senyawa Flavonoid dari Kulit Batang Artocarpus rigida. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia, Jilid 3. Jakarta:

Departemen Kehutanan.

Hostettman, K., Hostettman, M., Manson, A. (1995). Cara Kromatografi Preparatif Penggunaan pada Senyawa Bahan Alam. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Ihsan, N. (2000). Isolasi Senyawa Aglikon Flavonoid dalam

Ekstrak Metanol dari Daun Benalu Advokat menggunakan Kolom Kromatografi Gravitasi dengan Elusi Landaian. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Ito, C., Miyamoto, Y., Nakayama, M., Kawai, Y. (1997). A Novel Depsidone and Some New Xanthones from Garcinia Spesies. Chemical and Pharmaceutical Bulletin, 45(9), 1403-1413.

Jagtap, U. B. dan Bapat, V. A. (2010). Artocarpus: A Review of Its Traditional Uses, Phytochemistry and Pharmacology. Ethnopharmacol, 129(2), 142-66.

Jayasinghe, U. L. B., Samarakoon, T. B., Kumarihamy, B. M. M., Hara, N., Fujimoto, Y. (2008). Four New Prenylated Flavonoids and Xanthones from The Root Bark of Artocarpus nobilis. Fitoterapia, 79, 37-41.

Johnson, L. E. dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Kijjoa, A., Cidade, H. M., Gonzalez, M. J. T. G., Afonso, C. M., Silva, A. M. S., Herz, W. (1998). Further Prenylflavonoids from Artocarpus elasticus. Phytochemistry, 47, 875-878. Ko, H. H., Lu, Y. H., Yang, S. Z., Won, S. J., Lin, C. N. (2005).

Cytotoxic Prenylflavonoids from Artocarpus elasticus. Journal of Natural Products, 68, 1692–1695.

Lenny, S. (2006). Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloid. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Manitto, P. (1992). Biosintesis Produk Alami. Semarang: IKIP Semarang Press.

Markham, K. R. (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Monk, K., Fretes, Y. D., Reksodiharjo-Lilley, G. (2013). Ecology of Nusa Tenggara and Maluku, Volume 5. Tuttle Publishing.

Musthapa, I., Lia, D., Juliawaty, Syah, Y. M., Hakim, E. H., Latip, J., Ghisalberti, E. L. (2009). An Oxepinoflavone from Artocarpus elasticus with Cytotoxic Activity. Arch Pharm Res., 32(3), 191-194.

Purwaningsih, Y. dan Ersam, T. (2007). Senyawa Santon Sebagai Antioksidan dari Kayu Batang Garcinia tetranda Pierre. Akta Kimindo, 2, 103-108.

Robinson, J. W., Frame, E. M. S., Frame II, G. M. (2005). Undergraduate Instrumental Analysis, Sixth Edition. New York: Marcel Dekker.

Sastrohamidjojo, H. (2002). Kromatografi. Yogyakarta: Liberty. Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan

Sudjadi. (1983). Penentuan Struktur Senyawa Organik. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Supriyanto, R. (1999). Buku Ajar Kimia Analitik III. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Suriadarma, A. (2011). Dampak Beberapa Parameter Faktor Fisika Kimia terhadap Kalitas Lingkungan Perairan Wilayah Pesisir Karawang-Jawa Barat. Riset Geologi dan Pertambangan, 21(2), 21-36.

Verheij, E. W. M. dan Coronel, R. E. (1992). Plant Resources of South-East Asia No. 2. Edible Fruits and Nut, Prosea. Wu, D., Mei, H., Tan, P., Lu, W., Zhu, J., Wang, W., Huang, J.,

Li, J. (2015). Total Synthesis of The 2-Arylbenzo[b]furan-Containing Natural Products from Artocarpus. Tetrahedron Letter.

49 A. Skema Kerja Difraksinasi Direkristalisasi Difraksinasi Difraksinasi Difraksinasi Difraksinasi Difraksinasi A

Serbuk halus kulit akar A. elasticus (2,4 Kg)

Dimaserasi dengan MeOH Ekstrak pekat (82,4086 g) B C D B1 B2 B3 e f g C1 C2 C3 D1 D2 D3 D4 Ea (1) Digabung Gb1 Gb2 Gb3 Gb4 Direkristalisasi (1)

B. Ekstraksi dan fraksinasi kulit akar A. elasticus

- dimaserasi dengan 10 L MeOH selama 1x24 jam - dipekatkan dalam alat rotary evaporator

- dibagi menjadi 2: (a) dan (b)

- difraksinasi menggunakan KCV dengan eluen etil asetat:metilen klorida 15%, 50%, 100% dan metanol 100%.

- dimonitoring KLT dengan eluen etil asetat:metilen klorida 50%

- digabung fraksi yang memiliki Rf dan pola noda yang sama

- dipekatkan dalam alat rotary evaporator - ditimbang massanya

Serbuk halus kulit akar A. elasticus

(2,4 Kg)

Ekstrak pekat MeOH (82,4086 g) A (1,1597 g) B (0,9652 g) C (0,8054 g) D (1,8988 g)

C. Fraksinasi fraksi C

- difraksinasi menggunakan KKG dengan eluen etil asetat:n-heksana 5%, 8%, 15% dan 30%

- dimonitoring KLT dengan eluen etil asetat:n-heksana 40%

- digabung fraksi yang memiliki Rf dan pola noda yang sama

- dipekatkan dalam alat rotary evaporator - ditimbang massanya C (0,8054 g) C1 (0,2897 g) C2 (0,2016 g) C3 (0,2314 g)

- direkristalisasi dengan pelarut metilen klorida

Senyawa 1 (12,7 mg)

D.Fraksinasi fraksi B

- difraksinasi menggunakan KCV dengan eluen etil asetat:n-heksana 10%, 12%, 15% dan 30% - dimonitoring KLT dengan eluen etil

asetat:n-heksana 40%

- digabung fraksi yang memiliki Rf dan pola noda yang sama

- dipekatkan dalam alat rotary evaporator - ditimbang massanya B (0,9652 g) B1 (0,4372 g) B2 (0,1579 g) B3 (0,4086 g)

E. Fraksinasi subfraksi gabungan B2 dan B3

- difraksinasi menggunakan KCV dengan eluen metanol 1% dalam etil asetat:n-heksana (1:9); (3:17); (1:4) dan (1:1)

- dimonitoring KLT dengan eluen etil asetat:n-heksana 30%

- digabung fraksi yang memiliki Rf dan pola noda yang sama

- dipekatkan dalam alat rotary evaporator - ditimbang massanya B2 (0,1579 g) e (0,1205 g) f (0,2924 g) g (0,1136 g) B3 (0,4086 g)

F. Fraksinasi fraksi D

- difraksinasi menggunakan KKG dengan eluen etil asetat:n-heksama 5%, 8%, 15%, 20% dan 35% - dimonitoring KLT dengan eluen etil

asetat:n-heksana 40%

- digabung fraksi yang memiliki Rf dan pola noda yang sama

- dipekatkan dalam alat rotary evaporator - ditimbang massanya D (1,8988 g) D1 (0,2573 g) D2 (0,0267 g) D3 (0,1218 g) Ea (1,3019 g) D4 (0,1525 g)

G. Fraksinasi subfraksi gabungan f, C3 dan Ea

H.

- difraksinasi menggunakan KCV dengan eluen etil asetat:n-heksana 15%, 20% dan 30%

- dimonitoring KLT dengan eluen etil asetat:n-heksana 40%

- digabung fraksi yang memiliki Rf dan pola noda yang sama

- dipekatkan dalam alat rotary evaporator - ditimbang massanya f (0,2924 g) Gb1 (0,2258 g) Gb2 (0,2568 g) Gb3 (0,0875 g) C3 (0,2314 g) Ea (1,3019 g) Gb4 (0,1574 g)

- dibandingkan dengan subfraksi C2

dalam satu plat KLT

- direkristalisasi dengan pelarut metilen klorida

Senyawa 1 (169,7 mg)

57

Penulis bernama Lita Amalia. Dilahirkan di Kota Probolinggo pada tanggal 8 April 1995. Merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis yaitu di TK Pertiwi I, SDN Jrebeng Lor V, SMPN 5 Probolinggo dan SMAN 1 Probolinggo. Pada tahun 2012 penulis diterima di Jurusan Kimia FMIPA ITS melalui jalur SNMPTN Undangan dan terdaftar dengan NRP 1412100019. Selama menempuh pendidikan di ITS, penulis aktif dalam berbagai kepanitian dan organisasi mahasiswa diantaranya yaitu sebagai staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Kimia 2013-2014, sekretaris Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Kimia 2014-2015 dan staf Pagelaran Seni ITS EXPO 2013. Penulis pernah menempuh kerja praktik di PT. VICO Indonesia di bagian Laboratorium Operation Integrity pada September 2015. Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis mengambil bidang Kimia Organik Bahan Alam. Penulis dapat dihubungi di litaamalia@hotmail.com.

Dokumen terkait