GNSS (Global Positioning System) adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia tanpa tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini, sistem GNSS sudah sangat banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia pun, GNSS sudah banyak diaplikasikan, terutama yang terkait dengan aplikasi-aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi.
1.7.3.1. Konsep penentuan posisi dengan GNSS. Pada dasarnya GNSS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen angkasa, segmen sistem kontrol , dan segmen pemakai. Ketiga segment GNSS ini digambarkan secara skematik di Gambar I.10.
Setiap satelit GNSS secara kontinu memancarkan sinyal-sinyal gelombang pada 2 frekuensi L-band yang dinamakan L1 and L2. Sinyal L1 berfrekuensi 1575.42 MHz dan sinyal L2 berfrekuensi 1227.60 MHz. Sinyal L1 membawa 2 buah kode biner yang dinamakan kode-P (P-code, Precise or Private code) dan kode-C/A
(C/A-code, Clear Access or Coarse Acquisation), sedangkan sinyal L2 hanya membawa kode-C/A. Perlu dicatat bahwa pada saat ini kode-P telah dirubah menjadi kode-Y yang strukturnya dirahasiakan untuk umum. Dengan mengamati sinyal-sinyal dari satelit dalam jumlah dan waktu yang cukup, seseorang kemudian dapat memrosesnya untuk mendapatkan informasi mengenai posisi, kecepatan, dan waktu, ataupun parameter-parameter turunannya.
Gambar I.10. Sistem penentuan posisi global, GNSS (SNI JKH, 2002)
Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GNSS adalah reseksi (pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GNSS yang koordinatnya telah diketahui. Posisi yang diberikan oleh GNSS adalah posisi tiga dimensi (X,Y,Z ataupun L,B,h) yang dinyatakan dalam datum WGS (World Geodetic System) 1984. Dengan GNSS, titik yang akan ditentukan posisinya dapat diam (static positioning) ataupun bergerak (kinematic positioning).
Posisi titik dapat ditentukan dengan menggunakan satu receiver GNSS terhadap pusat Bumi dengan menggunakan metode absolute (point) positioning, ataupun terhadap titik lainnya yang telah diketahui koordinatnya (monitor station) dengan menggunakan metode differential (relative) positioning yang menggunakan minimal dua receiver GNSS, yang menghasilkan ketelitian posisi yang relatif lebih tinggi. GNSS dapat memberikan posisi secara instan (real-time) ataupun sesudah pengamatan setelah data pengamatannya di proses secara lebih ekstensif (post
processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang lebih baik. Secara umum kategorisasi metode dan sistem penentuan posisi dengan GNSS ditunjukkan pada Gambar I.11.
Gambar I.11. Metode dan sistem penentuan posisi dengan GNSS (Langley, 1998)
Ketinggian yang diberikan oleh GNSS adalah ketinggian titik di atas permukaan elipsoid, yaitu elipsoid WGS‟84. Tinggi elipsoid (h) ini berbeda dengan tinggi orthometrik (H) yang umum digunakan pada keperluan praktis sehari-hari yang umumnya diukur dengan Sipatdatar. Tinggi orthometrik adalah Tinggi di atas Geoid yang bereferensi pada bidang ekipotensial gayaberat (bidang nivo) yang berimpit dengan muka air laut rerata (mean sea level) yang tidak terganggu. Ilustrasinya adalah pada Gambar I.12 berikut:
Untuk dapat mentransformasikan tinggi elipsoid hasil ukuran GNSS ke tinggi orthometrik maka diperlukan data undulasi Geoid di titik tersebut. Persamaan matematis yang digunakan untuk mengkonversi tinggi elipsoid ke orthometrik menurut persamaan (I.5).
Ketelitian dari tinggi orthometrik yang diperoleh akan tergantung pada ketelitian dari tinggi GNSS serta undulasi geoid. Perlu dicatat bahwa penentuan undulasi geoid secara teliti (orde ketelitian cm) bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Disamping diperlukan data gaya berat yang detail, juga diperlukan data ketinggian topografi permukaan Bumi serta data densitas material di bawah permukaan Bumi yang cukup.
Untuk mengkonversi penentuan tinggi elipsoid GNSS ke tinggi orthometrik (GNSS Heighting) yang tidak terlalu membutuhkan ketelitian yang tinggi, telah tersedia model referensi global yaitu EGM96 (Earth Gravitational Model). EGM96 merupakan hasil kolaborasi antara US’s Defense Mapping Agency dengan NASA‟s Goddard Space Flight Center dan The Ohio State University (OSU) yang dikembangkan dan ditingkatkan untuk membentuk model harmonik sferis dari potensial gaya berat Bumi sampai 360 derajat. Model ini merupakan gabungan dari data pengkuran gaya berat teristris, turunan anomali gaya berat dari altimeter dari ERS-1 dan dari GEOSAT Geodetic Mission (GM), extensive satellite tracking data, termasuk juga Satellite Laser Ranging (SLR), Global Positioning System (GPS), NASA’s Tracking and Data Relay Satellite System (TDRSS), French DORIS system, dan US Navy TRANET Doppler tracking sytem yang sebaik rentang langsung altimeter dari TOPEX/POSEIDON (T/P), ERS-1, dan GEOSAT. Solusi finalnya bercampur antara kombinasi model derajat rendah sampai derajat 70, solusi blok diagonal dari derajat 71 sampai 359, dan solusi quadrature pada derajat 360. Model ini digunakan untuk menghitung undulasi geoid yang akurasinya lebih baik dari satu meter (dengan pengecualian pada area hampa dari densitas dan akurasi data gaya berat permukaan dan WGS84 sebagai refernsi tiga dimensi.
Dibawah aegis of the IAG‟s International Geoid Services, EGM96 telah diuji oleh 16 kelompok diseluruh dunia untuk menemukan versi yang terbaik dan cocok untuk tiap regional. Hasilnya disusun oleh sideris pada 1996 dan dipublikasikan pada
world wide web (http://www.ucalgary.ca/-sideris). Sehingga EGM96 dapat digunakan untuk keperluan umum.
Untuk menentukan undulasi geoid pada suatu titik di permukaan Bumi dengan memanfaatkan EGM96, dapat dilakukan dengan kalkulator tinggi Geoid dari UNAVCO. Kalkulator tersebut digunakan untuk menghitung undulasi pada titik lintang dan bujur yang ditentukan. Program ini menggunakan potensial model EGM96 dan satu set koefisien harmonik bola dan koreksi konversi anomali ketinggian undulasi geoid. Program ini dirancang untuk mengacu pada elipsoid WGS‟84 yang digunakan oleh satelit GNSS.
Untuk mendapatkan hasil yang relatif teliti, transformasi tinggi GNSS ke tinggi orthometrik umumnya dilakukan secara diferensial, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.13 berikut :
Gambar I.13. Penentuan tinggi secara differensial (Abidin, 2007)
Pada penentuan tinggi dengan GNSS (GNSS Heighting) dikenal dua macam tinggi. Yaitu tinggi absolut dan tinggi relatif. Tinggi absolut adalah tinggi yang diperoleh dari pengamatan GNSS yang bereferensi terhadap elipsoid (h) yang ditentukan oleh hanya satu titik pengamatan. Sementara tinggi relatif adalah tinggi elipsoid yang diperolah dengan pengukuran secara diferensial antara dua titik pengamatan. Tinggi relatif umumnya dinotasikan dengan ∆h.
Pada beberapa aplikasi khususnya pada keperluan drainase atau irigasi nilai tinggi elipsoid “h” dan “∆h” tidak digunakan. Sehingga perlu dilakukan transformasi
dari tinggi elipsoid ke tinggi orthometrik. Dalam penentuan tinggi orthometrik dengan GNSS, ditemukan bahwa ∆h dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan dengan h, dan ∆N dapat ditentukan lebih teliti dibandingkan dengan N. Dengan kenyataan itulah maka penentuan tinggi orthometrik dengan GNSS dilakukan dengan metode tinggi relatif. Dalam kata lain, tinggi orthometrik diperoleh dengan jalan pengukuran beda tinggi dengan tinggi relatif hasil pengukuran dengan GNSS.
∆HAB = HB – HA ………..………..………..(I.43) ∆hAB = hB – hA, dan ………..………..………..(I.44) ∆NAB = NB - NA ………..………....(I.45)
Dengan asumsi bahwa tinggi orthometrik titik A (HA) diketahui dan pangamatan GNSS dilakukan secara differensial di titik A dan B sehingga diperoleh tinggi relatif (∆hAB) sedangkan data ∆NAB diperoleh dengan perhitungan dari pengukuran gravimetri pada titik A dan B. Sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :
HB = HA + ∆HAB, atau ………..……….……(I.46) HB = HA + HB – HA ……….………..(I.47)
Dari persamaan I.47 dapat disusun :
HB = HA + (hB – NB) + (hA – NA) ……….……(I.48) Disusun kembali sebagai berikut :
HB = HA + (hB – hA) - (NB – NA), atau ………...……….……(I.49) HB = HA + ∆hAB - ∆NAB …..……….(I.50)
1.7.3.2. Metode pengamatan dengan GNSS. Survei penentuan posisi dengan pengamatan satelit GNSS (survei GNSS) secara umum dapat didefinisikan sebagai proses penentuan koordinat dari sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah diketahui koordinatnya, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial (differential positioning) serta data pengamatan fase (carrier phase) dari sinyal GNSS.
Pada survei GNSS, pengamatan GNSS dengan selang waktu tertentu dilakukan baseline per baseline dalam suatu jaringan dari titik-titik yang akan ditentukan
posisinya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.14. Patut dicatat di sini bahwa seandainya lebih dari dua receiver GNSS yang digunakan, maka pada satu sesi pengamatan (observing session) dapat diamati lebih dari satu baseline sekaligus.
Gambar I.14. Penentuan posisi titik-titik dengan survei GNSS (SNI JKH, 2002)
Berkaitan dengan baseline, maka dalam survei dengan GNSS, pengertian menyangkut baseline trivial dan non-trivial (bebas) cukup penting untuk dimengerti. Pada perataan jaringan GNSS, hanya baseline-baseline bebas (non-trivial) saja yang boleh diikut sertakan. Baseline trivial adalah baseline yang dapat diturunkan (kombinasi linear) dari baseline - baseline lainnya dari satu sesi pengamatan. Baseline yang bukan trivial dinamakan baseline non-trivial (baseline bebas). Dalam hal ini, seandainya ada n receiver yang beroperasi secara simultan pada satu sesi pengamatan maka akan ada (n-1) baseline bebas yang boleh digunakan untuk perataan jaringan.
Pada prinsipnya akan ada beberapa kombinasi dari (n-1) baseline bebas tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.15. Dalam hal ini set dari (n-1) baseline bebas yang digunakan akan mempengaruhi kualitas dari posisi titik dalam jaringan yang diperoleh.
Untuk kontrol kualitas dan menjaga kekuatan jaringan, baseline yang diamati sebaiknya saling menutup dalam suatu loop (jaringan) dan tidak terlepas begitu saja (radial) seperti Gambar I.16. Jika dikarenakan suatu hal pengamatan baseline harus dilakukan secara terlepas (metode radial), maka sebaiknya setiap baseline diamati minimal 2 kali pada 2 sesi pengamatan yang berbeda, sehingga ada mekanisme kontrol kualitas.
Gambar I.16. Metode jaringan dan metode radial (SNI JKH, 2002)
Metode pengamatan yang umum digunakan dalam survei dengan GNSS, metode yang umum digunakan adalah metode survei statik. Metode penentuan posisi secara statik (Static Positioning) adalah penentuan posisi dari titik-titik yang statik (diam). Penentuan posisi tersebut dapat dilakukan secara absolut maupun differensial, dengan menggunakan data pseudorange dan/atau fase. Pada metode statik sangat populer digunanakan untuk penentuan koordinat titik-titik kontrol untuk keperluan pemetaan ataupun penentuan fenomena deformasi dan geodinamika.
Gambar I.17. Penentuan posisi titik-titik metode survei GNSS (Abidin, 2007)
Aplikasi tersebut umumya dilakukan dengan metode statik secara diferensial dengan menggunakan data fase. Dimana pengamatan satelit dilakukan baseline per
baseline selama selang waktu tertentu dalam suatu jaringan dari titik-titik yag akan ditentukan posisinya.
1.7.3.3. Kesalahan dan bias dalam pengamatan dengan GNSS. Dalam perjalanannya dari satelit hingga mencapai antena di permukaan Bumi, sinyal GNSS akan dipengaruhi oleh beberapa kesalahan dan bias seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.18 berikut. Kesalahan dan bias GNSS pada dasarnya dapat dikelompokkan atas kesalahan dan biasyang terkait erat dengan:
1. Satelit, seperti kesalahan ephemeris, jam satelit, dan selective availability (SA)
2. Medium propagasi, seperti bias ionosfer dan bias troposfer.
3. Receiver GNSS, seperti kesalahan jam receiver, kesalahan terkait dengan antena, dan noise (derau)
4. Data pengamatan, seperti ambiguitas fase, dan cycle slips.
5. Lingkungan sekitar GNSS receiver, seperti multipath, dan imaging.
1.7.3.4. Pengolahan hasil pengamatan GNSS. Dalam survei dengan GNSS, pengolahan data GNSS dimaksudkan untuk menghitung koordinat dari titik-titik dalam suatu jaringan berdasarkan data-data pengamatan fase sinyal GNSS yang diamati di titik-titik tersebut. Pengolahan data GNSS sehingga mendapatkan koordinat titik-titik yang memenuhi spesifikasi teknis adalah suatu proses yang cukup ekstensif. Adapun langkah pengolahannya dijelaskan menurut langkah-langkah seperti Gambar I.19 berikut ini.
Gambar I.19. Diagram alir perhitungan titik-titik jaring GNSS (SNI JKH, 2002)
1. Pemrosesan awal (Pre-Processing) data pengamatan GNSS. Pemrosesan data pengamatan GNSS dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak. Untuk survei pemetaan digunakan perangkat lunak komersial seperti SKI, dan Geogenius. Sedangkan untuk keperluan yang menuntut ketelitian yang lebih tinggi seperti survei geodetik dan studi geodinamika, digunakan perangkat lunak ilmiah seperti Bernesse, GAMIT, dan DIPOP. Sebelum dilakukan pengolahan data GNSS, dilakukan terlebih dahulu pemrosesan awal (pre-processing) data GNSS yang mencakup sebagai berikut :
a. Transfer, kompresi, dan memformat kembali data (termasuk di dalamnya pesan navigasi) dari receiver GNSS kedalam media penyimpanan komputer. Melakukan konversi file pengamatan GNSS yang masih berformat pabrikan dari receiver kedalam format RINEX (Receiver Independent Exchange) sehingga dapat dibaca oleh perangkat lunak pengolah data GNSS.
b. Menyiapkan data file ephemeris umum dari rekaman pesan navigasi atau precise ephemerides dari sumber eksternal
c. Melakukan screening data dengan berdasarkan pada kualitas flags atau satelit yang dibawah dari mask angle.
d. Menghasilkan solusi awal posisi dari titik yang diamat biasanaya melalui pengolahan data pseudorange.
e. Menghasilkan perkiraan solusi dari baseline menggunakan data fase triple difference.
f. Mendeteksi dan memperbaiki cycle slips dengan sejumlah metode.
2. Pengolahan Baseline. Pengolahan baseline pada dasarnya bertujuan menghitung vektor baseline (dX,dY,dZ) menggunakan data fase sinyal GNSS yang dikumpulkan pada dua titik ujung dari baseline yang bersangkutan, yang diilustrasikan pada Gambar 1.20.
Pada survei GNSS, pengolahan baseline umumnya dilakukan secara beranting satu persatu (single baseline) dari baseline ke baseline, dimulai dari suatu tetap yang telah diketahui koordinatnya, sehingga membentuk suatu jaringan yang tertutup. Tapi perlu juga dicatat di sini bahwa pengolahan baseline dapat dilakukan secara sesi per sesi pengamatan, dimana satu sesi terdiri dari beberapa baseline (single session, multi baseline).
Pada proses pengestimasian vektor baseline, data fase double-difference digunakan. Meskipun begitu biasanya data pseudorange juga digunakan oleh perangkat lunak pengolahan baseline sebagai data pembantu dalam beberapa hal seperti penentuan koordinat pendekatan, sinkronisasi waktu kedua receiver GNSS yang digunakan, dan pendeksian cycle slips. Secara skematik, tahapan perhitungan suatu (vektor) baseline ditunjukkan pada Gambar 1.21 berikut :
Untuk memeriksa kualitas dari vektor baseline yang diperoleh, ada beberapa indikator kualitas yang dapat dipantau, yaitu antara lain :
a. rms (root mean squares), harga minimum dan maksimum, serta standar deviasi dari residual,
b. faktor variansi a posteriori,
c. matriks variansi kovariansi dari vektor baseline,
d. hasil dari test statistik terhadap residual maupun vektor baseline, e. elips kesalahan relatif dan titik,
f. kesuksesan dari penentuan ambiguitas fase serta tingkat kesuksesannya, g. jumlah data yang ditolak, dan jumlah cycle slips.
Disamping indikator-indikator kualitas di atas, kualitas suatu vektor baseline juga akan bisa dicek pada saat perataan jaringan.
3. Perataan Jaringan. Pada perataan jaringan, vektor-vektor baseline yang telah dihitung sebelumnya secara sendiri-sendiri, dikumpulkan dan diproses dalam suatu hitung perataan jaringan (network adjustment) untuk menghitung koordinat final dari titik-titik dalam jaringan GNSS yang bersangkutan. Hitung perataan jaringan ini menggunakan metode perataan kuadrat terkecil (least squares adjustment).
Perataan jaringan GNSS umumnya dilakukan dalam dua tahap, yaitu perataan jaring bebas (free network adjustment) dan perataan jaring terikat (constrained network adjustment). Perataan jaring bebas dilakukan dengan hanya menggunakan satu titik tetap dan dimaksudkan untuk mengecek konsistensi data vektor baseline, satu terhadap lainnya. Setelah melalui tahapan perataan jaring bebas dan kontrol kualitasnya, selanjutnya vektor-vektor baseline yang „diterima‟diproses kembali dalam perataan jaring terikat. Pada perataan ini semua titik tetap digunakan, dan koordinat titik-titik yang diperoleh dan sukses melalui proses kontrol kualitas akan dianggap sebagai koordinat yang final.
Pada prinsipnya hitung perataan jaringan ini akan berguna untuk beberapa hal, yaitu :
a. Untuk menciptakan konsistensi pada data-data ukuran vektor baseline , b. Untuk mendistribusikan kesalahan dengan cara yang merefleksikan
ketelitian pengukuran,
c. Untuk menganalisa kualitas dari baseline-baseline, serta
d. Untuk mengidentifikasi baseline-baseline serta titik-titik kontrol yang perlu dicurigai.
Secara ilustratif, kegunaan dari perataan jaringan ditunjukkan pada Gambar I.22. Pada Gambar ini ditunjukkan bahwa sebelum perataan jaringan dilakukan, baseline-baseline belum terintegrasi secara benar dan konsisten, dan koordinat titik-titik juga belum unik. Setelah hitung perataan, baseline-baseline akan terintegrasi secara benar dan konsisten, titik-titik akan mempunyai koordinat yang unik.
Gambar I.22. Perataan jaring GNSS (SNI JKH, 2002)
Untuk mengecek kualitas dari koordinat yang diperoleh dari hitung perataan jaringan, ada beberapa indikator kualitas yang dapat dipantau, yaitu antara lain :
a. RMS (Root Mean Squares), harga minimum dan maksimum, serta standar deviasi dari residual, faktor variansi a posteriori,
c. Jumlah vektor baseline yang ditolak (outliers). Outliers adalah data pengamatan yang secara statistik dianggap tidak sesuai (incompatible) dengan data pengamatan lainnya dalam satu seri (Vanicek,1986).
d. Dimensi dari elips kesalahan relatif dan absolut,
e. Hasil dari test statistik terhadap residual maupun koordinat,
f. Perbedaan harga-harga statistik antara yang diperoleh dari hitung perataan jaring bebas dan dari hitung perataan jaring terikat.
1.7.3.5. Penentuan kelas pengukuran hasil pengolahan data pengamatan GNSS. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia Jaring Kontrol Horizontal Nasional (SNI JKHN) klasifikasi suatu jaring kontrol didasarkan pada tingkat presisi dan tingkat akurasi dari jaring yang bersangkutan, yang tingkat presisi diklasifikasikan berdasarkan kelas, dan tingkat akurasi diklasifikasikan berdasarkan orde.
Kelas suatu jaring titik kontrol horizontal ditentukan berdasarkan panjang sumbu-panjang (semi-major axis) dari setiap elips kesalahan relatif (antar titik) dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 95% yang dihitung berdasarkan statistik yang diberikan oleh hasil hitung perataan jaringan kuadrat terkecil terkendala minimal (minimal constrained). Dalam hal ini panjang maksimum dari sumbu-panjang elips kesalahan relatif 95% yang digunakan untuk menentukan kelas jaringan adalah :
r = c ( d + 0,2 ) ………....…..(I.51)
Keterangan :
r : Panjang maksimum dari sumbu panjang yang diperbolehkan, dalam mm; c : faktor empirik yang mengGambarkan tingkat presisi survei;
d : jarak antar titik, dalam km.
Berdasarkan nilai faktor c tersebut, kategorisasi kelas jaring titik kontrol horizontal yang diuslkan diberikan pada Tabel I.3 berikut:
Tabel I.3. Kelas pengukuran jaring kontrol horizontal Kelas c (ppm) Jarak (km) Aplikasi tipikal
3A 0.01 1000 Jaring tetap (Kontinu) GNSS 2A 0.1 500 Survei geodetik berskala nasional
A 1 100 Survei geodetik berskala regional B 10 10 Survei geodetik berskala local
C 30 2 Survei geodetik untuk perapatan
D 50 0,1 Survei pemetaan
I.8. Hipotesis
Mengingat cakupan areal penelitian yang sempit, yaitu seluas 94 ha (1,28 km x 0,74 km), jarak antar titik pengukuran yang pendek (477-682 m) serta kondisi topografi yang relatif datar, maka nilai undulasi geoid di area ini diasumsikan relatif seragam. Asumsi ini diperkuat dengan hasil perhitungan nilai undulasi geoid pada 5 titik kontrol utama yang dihitung dengan menggunakan perangkat lunak geoid calculator dari UNAVCO. Hasil perhitungan undulasi geoid pada titik NBM1 = 25,325 m, NBM2 = 25,324 m, NBM3 = 25,321 m, NBM4 = 25,321 m, dan NTDT = 25,324 m. Terlihat bahwa beda undulasi antar titik sampel tersebut adalah berkisar antara 0-3 mm. Atas dasar asumsi tersebut, maka hipotesis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah tinggi titik-titik jaring kontrol vertikal hasil pengamatan metode GNSS dan hasil pengukuran metode sipatdatar pada kelas pengukuran LD tidak berbeda secara signifikan. Hal ini didasarkan pada asumsi pada kelas LD untuk lokasi penelitian ketelitian toleransi tinggi yang diperbolehkan sebesar 47,754 mm.