• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Data Hasil Penelitian

2. Penerapan Pendekatan Andragogi

a. Penerapan Asumsi Belajar Orang Dewasa

Andragogi pada dasarnya menggunakan asumsi-asumsi konsep diri, pengamalan, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Begitu pula dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara, pengelola dan fasilitator program menerapkan asumsi-asumsi belajar orang dewasa dalam proses pembelajarannya. Berikut adalah uraiannya:

1) Konsep Diri.

Kompetensi pengelola dan fasilitator sangatlah penting dalam penyelenggaraan sebuah program pendidikan khususnya pembelajaran yang melibatkan orang dewasa. Kompetensi yang harus dimiliki oleh keduanya adalah memahami asumsi pokok pembelajaran orang dewasa, memahami penggunaan

67

metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik orang dewasa, dan memiliki keterampilan untuk menerapkannya dalam proses pembelajaran.

Konsep diri merupakan salah satu asumsi belajar yang dimiliki oleh warga belajar dalam pembelajaran orang dewasa. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola dan fasilitator program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator dan pengelola berupa pengetahuan mengenai asumsi konsep diri dan penerapan asumsi konsep diri, diantaranya: analisis kebutuhan dan penciptaan iklim belajar.

Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai konsep diri yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW:

“Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi konsep diri tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa,

ya.”

SA yang merupakan fasilitator dalam program Pelatihan Rajut menyampaikan bahwa:

“Pada intinya memang orang dewasa itu sudah punya kesadaran bahwa dia merupakan pribadi yang bukan lagi anak-anak yang bisa diatur begitu saja. Begitu bukan, Mbak?”

Senada dengan penuturan SA, RR juga menyampaikan hal yang sama, dan lebih rinci, yaitu:

“Konsep diri orang dewasa ya yang pasti, mereka paham siapakah mereka, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan. Menurut pemahaman saya, sih, begitu.”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengelola dan fasilitator memahami mengenai konsep diri

68

yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran.

Peneliti melakukan wawancara lanjutan mengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitator guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengelola telah melakukan analisis kebutuhan warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW:

“Tentu, Mbak. Kami mengidentifikasi kebutuhan terlebih dahulu sebelum

akhirnya memutuskan program inilah yang akan menjadi salah satu Unit

Kegiatan Sentra Kriya Mata Aksara.”

Hal tersebut juga disampaikan oleh SA pada kesempatan yang berbeda secara lebih rinci, yaitu:

“Sudah, Mbak. Pada saat sebelum dilaksanakannya program ini, kami sudah

melakukan analisis kebutuhan terhadap ibu-ibu yang pada waktu itu juga

mengikuti beberapa program di Rumah Pintar Mata Aksara.”

NI yang juga merupakan penyelenggara setiap program di Rumah Pintar Mata mengungkapkan hal senada mengenai analisis kebutuhan program Pelatihan Rajut, yaitu:

“Oh iya, pasti. Karena kan semua hal berangkat dari warga belajar. Tidak mungkin kami bisa semudah itu menyelenggarakan sebuah program tanpa

berlandaskan kebutuhan masyarakat.”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa pengelola telah melakukan analisis kebutuhan terhadap warga belajar sebelum memutuskan untu menyelenggarakan program Pelatihan Rajut.

69

Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap program Pelatihan Rajut, fasilitator juga telah melakukan penciptaan iklim belajar sebelum memulai pembelajaran bersama dengan warga belajar, diantaranya: menerima kedatangan warga belajar dan melakukan diskusi-diskusi kecil mengenai isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh SA:

“Kami menyambut kedatangan warga belajar dengan bincang-bincang ringan mengenai apapun. Biasanya mengajak bicara anaknya juga, secara tidak langsung ibunya juga akan ikut menjawab.”

Hal senada juga disampaikan oleh RR, yang juga merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut, yaitu:

“Berusaha datang lebih awal, dan menyambut teman-teman dengan candaan atau membicarakan suatu hal, Mbak. Hal-hal yang sedang ramai diperbincangkan, misalnya.”

Kedua pendapat diatas dibenarkan oleh HW, yang merupakan pengelola program yang melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya pembelajaran, yaitu:

“Santai saja, sih, Mbak. Mengalir begitu saja, karena memang pola belajarnya sangat bebas dan terbuka, jadi iklim belajar yang nyaman itu sudah dengan sendirinya terbentuk.”

Berdasarkan hasil observasi terhadap usaha yang dilakukan oleh fasilitator dalam menciptakan iklim belajar, dan wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa penciptaan iklim belajar dilakukan dengan cara menyambut dengan hangat kedatangan warga belajar, yang kemudian melakukan bincang-bincang ringan mengenai hal-hal yang sedang ramai diperbincangkan, ataupun mengenai buku dan anak-anak.

70

Kesiapan belajar dimililiki oleh orang dewasa jika selaras dengan upaya dirinya dalam memainkan peran dalam kehidupannya sehari-hari. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola, fasilitator, dan warga belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator berupa pengetahuan mengenai asumsi kesiapan belajar dan penerapan asumsi kesiapan belajar, diantaranya:pemberian kesempatan kepada warga belajar untuk merancang kegiatan pembelajaran sendiri, menentukan tujuan, dan materi yang warga belajar butuhkan.

Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai kesiapan belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW:

“Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi kesiapan belajar tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya.”

Hal tersebut ditambahkan oleh SA yang merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut secara lebih rinci, yaitu:

“Kalau untuk kesiapan belajar, menurut saya, seperti bagaimana orang dewasa tersebut memposisikan diri sebagai warga belajar dengan keadaannya pada saat itu, yang seperti kita tahu bahwa mereka sudah dewasa, tidak lagi berada di masa yang harus digurahi ketika akan belajar.”

Senada dengan yang dituturkan oleh SA, RR yang juga memiliki peran yang sama dengan SA pun menyampaikan hal serupa, yaitu:

“Ya itu tadi, mereka tidak mungkin untuk kami atur sedemikian keras, karena mereka sudah dewasa, sudah punya kesiapan belajar yang lebih matang daripada anak-anak. Ketika mau belajar, ya belajar. Ketika tidak ingin, ya jangan dipaksakan.”

71

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa fasilitator memahami mengenai asumsi kesiapan belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran.

Peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada warga belajar lanjutan mengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitator, guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mempertimbangkan asumsi kesiapan belajar terhadap perencanaan kegiatan pembelajaran oleh warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh SA:

“Iya, Mbak. Bahkan sampai dengan jadwalpun kami yang menyesuaikan mereka. Sebetulnya, iya diberikan kebebasan untuk menentukan tujuan juga. Tetapi tujuan tersebut dikembalikan kepada masing-masing warga belajar, tujuan apa yang hendak dicapai”

Jawaban SA sebagai fasilitator tersebut kemudian dibandingkan dengan jawaban dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap warag belajar, yaitu DR yang menyampaikan bahwa:

“Oh iya, pasti. Semuanya berawal dari warga belajar. Kami yang menyampaikan materi yang kami butuhkan, kemudian Bu Dian dan Bu Sinta yang menyesuaikan.”

Senada dengan yang disampaikan oleh DR, SH yang ditemui pada kesempatan yang berbeda menyampaikan:

“Iya, Mbak. Sering sekali ada diskusi di salah satu sosial media. Terkadang ada model baru yang ibu-ibu sedang gandrung, besoknya kita belajar itu. Menurut saya, iya. Apa yang akan dipelajari, dengan cara apa, dimana

72

melakukannya, dan kapan, itu kami dibebaskan. Iya, Mbak tujuan juga menentukan sendiri. Kan yang tau seperti itu diri kita sendiri”

Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh dua warga belajar di atas, TN yang juga merupakan warga belajar aktif dalam program Pelatihan Rajut menuturkan:

“Iya, Mbak. Biasanya ibu-ibu pengen apa, kemudian bertanya kepada Mbak Dian dan Mbak Sinta. Baru nanti dari mereka kami belajarnya. Iya, sih, Mbak. Dan tiap ibu-ibu nanti beda-beda. Misalnya saya bisa datang jam 16.00, ya saya datangnya jam 16.00. Ya kalau tujuan gitu saya pribadi punya, Mbak. Dan itu juga bebas.”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa fasilitator memberikan kesempatan kepada warga belajar dalam merencanakan kegiatan pembelajaran termasuk di dalamnya, tujuan mengikutoi pembelajaran, tempat, waktu, dan materi apa saja yang akan dibahas dalam kegiatan. Sehingga akan lebih bermakna bagi warga belajar itu sendiri.

3) Orientasi Belajar

Orang dewasa memiliki orientasi yang spesifik dan praktis dalam mengikuti proses pembelajaran. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola dan fasilitator program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator berupa pengetahuan mengenai asumsi orientasi belajar dan penerapan asumsi orientasi belajar,yaitu dalam merencanakan kegiatan pembelajaran, orientasi belajar warga belajar yang menjadi dasar.

73

Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai orientasi belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW:

“Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi orientasi belajar tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya.”

Hal tersebut ditambahkan oleh SA yang merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut secara lebih rinci, yaitu:

“Yang saya ketahui mengenai orientasi belajar pada orang dewasa, ya orang dewasa belajarnya atas apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-hari, Mbak.”

Senada dengan yang dituturkan oleh SA, RR yang juga memiliki peran yang sama dengan SA pun menyampaikan hal serupa, yaitu:

“Mereka menimbang apa yang sedang mereka butuhkan, apa yang sedang mereka inginkan, dan apa yang kira-kira bermanfaat untuk mereka, maka mereka akan bersedia menerima pembelajaran mengenai hal tersebut. Begitu, Mbak?”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa fasilitator memahami mengenai asumsi orientasi belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran.

Peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada warga belajarmengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitatorguna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mempertimbangkan asumsi kesiapan

74

belajar terhadap perencanaan kegiatan pembelajaran oleh warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh SA:

“Yang menjadi dasar dalam penentuan tema pembelajaran ya itu tadi, Mbak, yang sudah saya sampaikan beberapa kali, semuanya diserahkan kepada ibu-ibu. Apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan, jadilah tema pembelajaran.”

Hal senada juga diungkapkan oleh RR yang juga merupakan fasilitator dalam pogram Pelatihan Rajut, yaitu:

“Kebutuhan mereka, itu yang mendasar. Jadi semuanya benar-benar

berdasarkan pada apa yang mereka butuhkan.”

Lebih luas daripada yang disampaikan oleh kedua fasilitator di atas, HW memiliki pendapat yang menunjukkan bahwa:

“Dasarnya ya apa yang mereka inginkan. Biasanya datang dengan membawa

masalah, pulangnya membawa solusi. Hehehe”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar dalam penentuan tema pembelajaran adalah kebutuhan warga belajar akan sesuatu hal, maupun berdasarkan masalah yang sedang dihadapi. Sehingga dapat diperoleh manfaat dan penyelesaian yang diinginkan.

4) Pengalaman

Pengalaman bagi orang dewasa memiliki peran yang penting dan strategis dalam pembelajaran orang dewasa. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola, fasilitator, dan warga belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator berupa

75

pengetahuan mengenai asumsi pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa dan penerapan asumsi pengalaman,yaitu penyesuaian kegiatan pembelajaran yang berdasarkan pada pengalaman yang telah diperoleh warga belajar.

Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW:

“Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi pengalaman tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya.”

Hal tersebut ditambahkan oleh SA yang merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut secara lebih rinci, yaitu:

“Bahwa setiap orang mempunyai latar belakang pengalaman yang berbeda-beda. Jadi harus saling menghargai satu sama lain.”

Senada dengan yang dituturkan oleh SA, RR yang juga memiliki peran yang sama dengan SA pun menyampaikan hal serupa, yaitu:

“Pengalaman itu menjadi satu hal yang harus diperhatikan ya. Karena mereka sudah melewati banyak fase dalam hidup, bagaimana mereka melakukan penyelesaian terhadap suatu permasalahan, dll.”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa fasilitator memahami mengenai asumsi pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran.

Melihat uraian di atas mengenai kompetensi pengelola dan fasilitator dalam pemahaman dan penerapan asumsi pokok pembelajaran orang dewasa, peniliti menyimpulkan bahwa pengelola dan fasilitator telah memiliki pengetahuan mengenai

76

konsep asumsi pembelajaran orang dewasa dan memiliki keterampilan dalam menerapkan asumsi tersebut pada proses pembelajaran program Pelatihan Rajut.

Peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada warga belajar lanjutan mengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitator, guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mempertimbangkan asumsi pengalaman terhadap kegiatan pembelajaran oleh warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh RR:

“Oya, Mbak. Buktinya bisa dilihat ketika sedang diskusin, pasti ibu-ibu banyak yang akan berpendapat mengenai apa yang telah mereka lakukan dan lampaui sendiri.”

Hal senada juga diungkapkan oleh TN yang merupakan salah satu warga belajar aktif dalam pogram Pelatihan Rajut, yaitu:

“Sudah sesuai, Mbak. Saya diizinkan untuk berpendapat, misalnya, sesuai yang saya pernah lihat sebelumnya.”

Secara lebih rinci dan mendalam, SH memiliki pendapat yang menunjukkan kesamaan, yaitu:

“Oh iya, Mbak. Misalnya, saya nyaman dengan tusuk kipas yang isinya 4. Tetapi Mbak Dian dan Mbak Sinta pakai yang isi 3, ya mereka tidak masalah. Itu kan bagaimana nyamannya saja. Karena saya sudah merasakan enaknya pakai isi 4, ya maka itu yang saya lakukan.”

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran yang dilakukan telah disesuaikan dengan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing warga belajar.

77 b. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran dalam pembelajaran orang dewasa berbeda dengan yang digunakan pada pembelajaran pedagogik. Hal tersebut harus dipahami oleh fasilitator agar proses pembelajaran sesuai dengan minat yang dimiliki oleh warga belajar. Selain itu perlu untuk menyesuaikan dengan karakteristik yang dimiliki oleh warga belajar.

Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap proses pembelajaran program Pelatihan Rajut, dapat diketahui bahwa fasilitator memiliki kompetensi dalam pemilihan metode pembelajaran yang digunakan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara terhadap narasumber di bawah ini. Sebagaimana yang disampaikan oleh SA:

“Metode diskusi, demonstrasi, dan praktek. Disesuaikan, Mbak. Saling melengkapi dan berurutan biasanya.”

Pentururan SA tersebut juga dituturkan oleh RR yang juga merupakan fasilitator dalam program Pelatihan Rajut, yaitu:

“Pertama melakukan diskusi-diskusi mengenai apa yang akan dibahas dalam

pertemuan, selanjutnya fasilitator memberikan percontohan dengan

demostrasi, baru kemudian warga belajar mempraktekkan sendiri, Mbak.”

Peneliti melakukan wawancara tambahan kepadala salah satu warga belajar, yaitu, SH, guna memperoleh informasi yang akurat mengenai penuturan kedua fasilitator di atas, yaitu:

“Kami di ajak diskusi, itu sih Mbak yang saya tau. Dan diberikan contoh, baru kemudian praktek sendiri.”

78

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara mengenai pemilihan metode yang dilakukan oleh fasilitator terhadap tiga narasumber di atas, peneliti menyimpulkan bahwa fasilitator memiliki kompetensi dalam pemilihan metode yang sesuai dengan karakteristik warga belajar dalam hal ini orang dewasa dalam proses pembelajaran program Pelatihan RajutUraian di bawah ini merujuk pada paragraf sebelumnya mengenai kompetensi yang dimiliki oleh fasilitator dalam pemilihan metode pembelajaran, bahwa fasilitator tidak hanya memiliki pengetahuan tersebut, namun juga mampu menerapkannya dalam proses pembelajaran program Pelatihan Rajut.

Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti selama proses pembelajaran program Pelatihan Rajut, dapat diperoleh informasi bahwa fasilitator telah menerapkan metode-metode yang disebutkan di atas, dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembelajaran, dan karakteristik warga belajar program Pelatihan Rajut. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara, sebagaimana yang dituturkan oleh SA:

“Disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar, Mbak. Misalnya saja ketika mereka sedang menentukan tema apa yang hendak dibahas, berarti saat itulah kami menggunakan metode diskusi. Kemudian pengetahuan tidak cukup jika tidak melihat langsung, begitu ya, pada saat itulah kami melakukan percontohan dengan metode demonstrasi. Setelah itu, kami mengajak semua

warga belajar untuk mempraktekkan sendiri.”

Hal tersebut juga dituturkan oleh RR yang juga merupakan fasilitator dalam program Pelatihan Rajut, yaitu:

“Ada waktu-waktu tersendiri, Mbak, kapan harus menggunakan metode satu

dengan yang lain. Semuanya disesuaikan dengan karakter dan kebutuhan warga belajar. Berhubung dalam hal ini lebih merujuk pada kecakapan

79

vokasional, jadi menurut saya yang paling dominan diterapkan adalah metode

praktek.”

Peneliti melakukan wawancara tambahan terhadap salah satu warga belajar, yaitu SH, guna memperoleh informasi yang lebih akurat mengenai penerapan metode pemebalajaran tersebut, yaitu:

“Ketika awal mulai datangpun menurut saya sudah diterapkan, Mbak. Sudah

mulai mengobrol mengenai beberapa hal, kemudian ketika pembelajaran juga

sudah dilakukan oleh Mbak Sinta dan Mbak Dian.”

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada tiga narasumber di atas, dapat disimpulkan bahwa fasilitator mampu menerapkan metode pembelajaran yang telah disebutkan sebelumnya dalam proses pembelajaran program Pelatihan Rajut, sehingga kebermanfaatan pembelajaran lebih optimal dapat diperoleh warga belajar.

c. Interaksi antara Fasilitator dengan Warga Belajar

Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di lapangan diperoleh hasil bahwa fasilitator dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara tidak hanya memposisikan diri sebagai pendidik yang melakukan transfer ilmu kepada warga belajar, namun juga memberikan dorongan dan motivasi kepada warga belajar. Hal ini didukung dengan hasil wawancara terhadap narasumber yang berbeda. Sebagaimana yang disampaikan oleh TN:

“Mbak Dian dengan Mbak Sinta, ya? Teman kok, Mbak. Malahan saya baru tahu mereka itu fasilitator.

80

Senada dengan yang dituturkan oleh TN, SH yang merupakan warga belajarpun juga merasakan hal yang sama, yaitu:

“Bukan seperti guru dan murid, Mbak. Seperti halnya kawan biasa saja.”

Hal tersebut juga diperkuat dengan pendapat yang disampaikan oleh HW yang merupakan pengelola, yaitu:

“Mbak Dian dengan Mbak Sinta itu meleburkan diri mereka bersama dengan teman yang lain, Mbak. Kami juga menerapkan model tutor sebaya. Jadi memang betul tidak ada batasan tertentu diantara fasilitator dan warga belajar. Semuanya saling belajar.”

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap tiga narasumber di atas, dapat disimpulkan bahwa fasilitator berperan bukan sebagai pendidik, melainkan teman yang sama-sama belajar, tanpa ada sikap menggurui karena program Pelatihan Rajut menerapkan model tutor sebaya.

Sedangkan hubungan yang terjalin diantara keduanya juga memiliki pola yang sama, yaitu hubungan pertemanan tanpa adanya pembatas antara fasilitator dengan warga belajar. Sebagaimana yang dituturkan oleh SA:

“Sangat nyaman. Dan lagi, semua bisa kok menjadi fasilitator. Wong kami menganut asas tutor sebaya. Jadi tidak ada sebetulnya menggurui.”

Hal tersebut jga disampaikan oleh RR, yang juga merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut, yaitu:

“Santai aja, Mbak. Tidak seperti yang terjadi di lembaga pendidikan lain. Sudah nonformal, makin nonformal lagi kalau di sini. Seperti ngobrol biasa, gitu.”

Salah seorang warga belajar yang juga menyampaikan pendapatnya menganai hal tersebut adalah TN, yaitu:

81

“Nyaman, Mbak. Samuanya teman, tidak ada pembeda apakah dia guru atau bukan.”

Berdasarkan hasil oservasi dan wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa hubungan yang terjalin antara fasilitator dengan warga belajar adalah hubungan pertemanan yang akrab dan terjadi secara dua arah tanpa ada pembatas apapun.

d. Hasil yang Diperoleh

Setelah mengikuti rangkaian proses pembelajaran program Pelatihan Rajut, warga belajar memperoleh hasil yang dapat dilihat maupun dirasakan oleh warga belajar itu sendiri, maupun orang lain di sektitar mereka. Sebagaimana yang disampaikan oleh TN:

“Saya bisa menggulung benang dengan rapi, membuat tusuk rantai, membuat tusuk tunggal, membuat tusuk ganda, membuat berbagai macam tusuk, dan

Dokumen terkait