• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pendidikan Inklusif di Beberapa Negara

Dalam dokumen paparan dit. pslb 2009 inklusi terbaru (Halaman 52-57)

REKOMENDASI KOMISI OMBUDSMAN UNTUK PERBAIKAN SISTEM PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF

2. Penerapan Pendidikan Inklusif di Beberapa Negara

Pendidikan inklusif pada mulanya diprakarsi dan dipraktekkan oleh negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia) yang menganut faham welfare state.Untuk mengetahui perjalanan sejarah pelaksanaan sistem pendidikan inklusif tersebut, berikut ini diuraikan praktek pendidikan inklusif diberbagai negara :

a.Amerika Serikat & Inggris

Pada tahun 1960 Amerika Serikat belajar tentang penerapan sistem pendidikan inklusif dari Negara-negara skandinavia dengan mengirimkan pakar-pakar pendidikan mereka. Setelah itu pemerintah Amerika Serikat resmi melaksanakan sistem pendidikan inklusif di negaranya. Adapun Negara Inggris mulai memperkenalkan konsep pendidikan inklusif setelah terjadi pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integrative. Pergeseran model ini tertuang dalam Education Act 1991.

b. Cina

Di China, Propinsi Anhui merupakan daerah yang untuk pertama kalinya menerapkan kebijakan pendidikan inklusif. Anhui adalah satu propinsi yang miskin dengan penduduk 56 juta oarang, dan untuk mencapai pendidikan untuk semua, mereka mengakui bahwa anak-anak penyandang cacat perlu di-inklusif-kan. Pendidikan usia dini sudah diprioritasikan dan sistem pendidikan taman kanak-kanak berkembang dengan pesat di Anhui waktu itu. Bahkan ada banyak diantarannya mempunyai lebih dari seribu orang siswa penyandang cacat.

Program perintis pendidikan inklusif di Cina ketika itu telah mendorong terjadinya perubahan-perubahan banyak aspek dalam lingkungan belajar mengajar anak. Anak belajar lebih aktif, dalam kelompok kerja dan bermain. Selain itu juga terjalin kerjasama yang lebih erat dengan keluarga melalui pendekatan seluruh sekolah (whole school

approach) dan dukungan belajar antar teman sebaya. Dukungan dari administrator

(pemerintah lokal) dan masyarakat setempat juga sangat signifikan melalui pembentukan komite sekolah, disamping juga pelatihan guru yang itensif mengenai sekolah yang berkesinambungan. Akhirnya, proses re-integrasi anak tunagrahita ke lingkungan masyarakat normal terus terjadi secara bertahap.

c. Laos

Pada awal tahun 1990-an Laos mengalami Reformasi Pendidikan. Reformasi ini ditandai dengan diperkenalkannya sebuah metode pengajaran yang aktif dan terfokus pada diri anak untuk meningkatkan kualitas dengan biaya murah. Tujuannya agar pendidikan bisa dinikmati semua anak. Memberikan pendidikan kepada anak penyandang cacat merupakan bagian dari tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dicanangkan Laos waktu itu secara nasional. Program perintis pendidikan inklusif dilaksanakan, dan berhasil karena sepenuhnya dikaitkan dengan reformasi sistem.

Reformasi pendidikan juga menyentuh pada aspek metodelogi mengajar dan pendidikan guru. Kurikulum yang ada juga diperbaharui sehingga menjadi relevan dan mempelancar jalan bagi terjadinya proses integrasi sosial. Laos tidak memilik sekolah khusus untuk anak penyandang cacat, dan ini merupakan keuntungan yang sangat besar bagi Kementrian Pendidikan karena dengan demikian dapat membangun sistem yang menjangkau semua anak.

d. Nicaragua

UNESCO memberikan paket sumber berupa buku-buku tentang sistem pendidikan inklusi. Paket Sumber (penyedia sarana, prasarana dan guru pembibing khusus) UNESCO tersebut digunakan untuk mengembangkan praktek pendidikan inklusif di Nicaragua.

Paket sumber tersebut membantu guru untuk merenungkan hal-hal yang telah dipraktekkannya sendiri, melaksanakan penelitian tindakannya sendiri, mengidentifikasi masalah yang dihadapinya, mempelajari serta menganalisisnya, dan menciptakan jalan pemecahannya.

e. Mozambique

Sebuah kompetisi pendidikan inklsif diselenggarakan bagi guru-guru untuk menunjukan bagaimana mereka mengidentifikasi anak yang mengalami kesulitan dalam belajar dan bagaimana mereka meresponnya. Guru yang membuat laporan kasus terbaik diberi hadiah sepeda, radio dan buku tentang pendidikan inklusif.

Guru-guru itu menyatakan bahwa; Jelas bahwa kami memerlukan lebih banyak pelatihan dan dukungan yang terus-menerus. Penting untuk selalu berdiskusi dengan rekan-rekan sejawat dari sekolah lain.Guru merupakan orang tua kedua dan mereka harus menerima semua jenis anak. Sejak ini praktek pendidikan inklusif berlangsung di Mozambique.

f. Lesotho

Lesotho pernah melakukan studi kelayakan program pendidikan inklusif. Studi ini menyimpulkan bahwa 19% anak yang sudah masuk sekolah dasar mengalami kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu program inklusif di Lesotho ini memfokuskan pada peningkatan kemampuan guru agar dapat merespon kebutuhan belajar setiap anak, termasuk menemukan cara agar kurikulum dapet diakses oleh mereka yang menyandang kecacatan.

g. India

Di India Selatan, para aktivis penyandang cacat bekerjasama dengan masyarakat untuk mempromosikan inklusi social yang pada gilirannya meretas jalan menuju inklusi dalam pendidikan. Ada dua hal penting yang mereka lakukan, dan ini menandai penerapan sistem pendidikan inklusif di India saat itu, yaitu;

• Menciptakan model peran yang positif dari siswa penyandang cacat dilatih sebagai again perubahan dan menyampaikan informasi yang berharga tentang kesehatan kepada masyarakat. Mereka mulai dipandang sebagai sumber daya yang berharga di masyarakat. • Mereka mendorong keluarga-keluarga untuk memberikan anaknya yang penyandang

cacat untuk keluar rumah dan bermain bersama anak-anak lain du tempat bermain yang inklusif. “Hal ini memberi kesempatan kepada anak penyandang cacat dan non cacat beserta orang tuanya untuk bergaul, meretas jalan menuju penerimaan dan inklusi”. Saling mengenal merupakan benih inklusi.

h. Mali

Distrik Dounentza di Mali adalah salah satu daerah termiskin di dunia. Sembilan puluh persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Hanya 8% anak yang bersekolah, dan 87% anak usia 7 tahun bekeja sekitar 6 jam perhari. Dari desa-desa yang ada, hanya 6% yang memiliki sekolah dan itupun guru-gurunya tidak mendapatkan pelatihan yang memadai dan beban kerjanya sangat tinggi. Dalam konteks ini, program rintisan penddikan yang dikembangkan juga terdapat program pendidikan inklusif sebagai komponen inti.

Di Mali banyak hambatan yang menyebutkan anak penyandang cacat diabaikan, tetapi ada hambatan-hambatn tertentu yang spesifik untuk inklusi anak penyandang cacat. Anak dengan kecacatan mobilitas, penglihatan dana pendengaran diinklusifikan. Para aktivis pendidikan memulai dengan komitmen untuk mengkutsertakan anak penyandang cacat, tetapi sesungguhnya mereka tidak benar=benar yakin apakah anak penyandang cacat dapat bersekolah.

Dalam dokumen paparan dit. pslb 2009 inklusi terbaru (Halaman 52-57)

Dokumen terkait