• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

B. Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi

Telah disebutkan bahwa aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam menjerat korporasi. Penyidik yang melakukan proses awal pemeriksaan perkara mengalami kesulitan dalam menetapkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari jarangnya kasus yang ditangani oleh Penyidik dengan melibatkan korporasi sebagai tersangka. Sebagai contoh penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian, di wilayah Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut), dalam 5 tahun terakhir tidak ada kasus yang ditangani dengan melibatkan korporasi sebagai tersangkanya.48 Penyidik Polda Sumut mengatakan, sulit mencari bukti untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Selain itu, dalam mengisi identitas pelaku, mengenai jenis kelamin dan agama, tidak dapat disebutkan dalam hal pelaku korporasi.49

Proses penyidikan oleh Polri akan mempengaruhi proses selanjutnya, pada tahap penuntutan dan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Oleh karena dari tahap penyidikan Polri tidak menjerat korporasi, maka Jaksa Penuntut Umum tidak mendakwa korporasi. Padahal, sejak tahun 2014 Kejaksaan telah bertekad untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dengan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/ JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi (Perja Tahun 2014). Perja Tahun 2014 yang berisi pedoman bagi jaksa/penuntut umum dalam menangani perkara pidana dengan subjek hukum korporasi sebagai tersangka/ terdakwa/terpidana. Dalam Perja tersebut diatur kriteria perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dalam Bab II, yaitu:

a. Segala bentuk perbuatan yang didasarkan pada keputusan Pengurus Korporasi yang melakukan maupun turut serta melakukan; 48 Wawancara dengan Penyidik Polda Sumatera Utara

dilakukan pada tanggal 28 April 2016.

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 145

b. Segala bentuk perbuatan baik berbuat atau tidak berbuat yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan korporasi baik karena pekerjaannya dan/atau hubungan lain; c. Segala bentuk perbuatan yang menggunakan

sumber daya manusia, dana dan/atau segala bentuk dukungan atau fasilitas lainnya dari korporasi;

d. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan atau perintah korporasi dan/atau pengurus korporasi;

e. Segala bentuk perbuatan dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi;

f. Segala bentuk perbuatan yang menguntungkan korporasi;

g. Segala bentuk tindakan yang diterima/ biasanya diterima oleh korporasi tersebut; h. Korporasi yang secara nyata menampung

hasil tindak pidana dengan subjek hukum korporasi; dan/atau

i. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undang-undang.

Kriteria perbuatan yang ditetapkan dalam Perja tersebut sangat luas sifatnya, tidak hanya meliputi perbuatan yang secara langsung terkait dengan perbuatan korporasi, seperti korporasi yang secara nyata menampung hasil tindak pidana dengan subjek hukum korporasi, tetapi juga perbuatan yang tidak langsung terkait, seperti segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak ketiga atas perintah korporasi dan/atau pengurus korporasi. Bahkan segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undang-undang dapat dikategorikan sebagai perbuatan korporasi yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada korporasi, walaupun dalam hal ini tidak jelas perbuatan apa yang dimaksud.

Dalam Perja diatur pula mengenai penyelidikan dan penyidikan terhadap korporasi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, dan tindak

pidana lain berdasarkan undang-undang.50 Selain itu, penuntutan terhadap korporasi diatur secara rinci dalam Perja, meliputi pra penuntutan, penyusunan surat dakwaan, pelimpahan berkas perkara, dan tuntutan pidana.51

Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Asep Nana Mulyana, mengatakan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara senantiasa terus mendorong dan mendukung para Kajari, Kasi Pidsus dan Kacabjari dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi dengan subjek hukum korporasi.52 Dorongan dari pihak Kejaksaan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum hanya untuk perkara tindak pidana korupsi, sementara banyak UU lain yang mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana. Hal ini memang dikarenakan Kejaksaan juga sebagai penyidik dalam tindak pidana korupsi, selain Kepolisian dan KPK. Namun ada kendala yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam menerapkan korporasi sebagai subjek hukum, yaitu bahwa rezim pada saat ini yang belum mengadopsi korporasi sebagai subjek tindak pidana, sehingga jaksa belum terbiasa menjerat korporasi. Kesalahan biasanya dilakukan oleh orang. Di samping itu, jika mengacu pada Pasal 143 KUHAP, Penuntut Umum memuat surat dakwaan dengan disertai identitas. Jika tidak memenuhi ketentuan tersebut, pengacara menyatakan dakwaan tidak jelas.53

Berkaitan dengan praktik penegakan hukum terhadap korporasi, sejak 2010 hingga 2013 aparat penegak hukum (kejaksaan, KPK dan Polri) telah menangani 7.651 perkara tindak pidana korupsi. Khusus kejaksaan se Indonesia, dalam 5 tahun terakhir (2009-2013) telah menyidik 8.628 perkara dan mengajukan 50 Bab III Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/

JA/10/2014.

51 Bab IV Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/ JA/10/2014.

52 Wawancara dengan Aspidsus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Asep Nana Mulyana, dilakukan pada tanggal 27 April 2016.

53 Wawancara dengan Aspidsus Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Asep Nana Mulyana, dilakukan pada tanggal 27 April 2016.

penuntutan 8.022 perkara.54 Namun, intensitas dan tindakan masif penegak hukum dalam pemberantasan korupsi tidak diimbangi dengan praktik penanganan perkara terhadap korporasi.

Salah satu penyebab sedikitnya perhatian aparat penegak hukum terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi dikarenakan persoalan legislasi, khususnya terkait penempatan korporasi sebagai subjek hukum berikut pertanggungjawaban pidananya. Dalam KUHP yang berlaku saat ini subjek hukum masih tertuju pada manusia alamiah (naturlijke persoon). Hal itu tercermin dari penggunaan unsur “barangsiapa” dalam berbagai rumusan delik dalam KUHP, jadi tertuju pada subjek hukum manusia alamiah atau orang perseorangan.

Dalam kerangka pertanggungjawaban pidana, di samping pertanggungjawaban pidana dari manusia alamiah (natural person), secara umum diatur pula pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal responsibility) atas dasar teori identifikasi, mengingat semakin meningkatnya peranan korporasi dalam tindak pidana, baik dalam bentuk crime for corporation yang menguntungkan korporasi maupun dalam bentuk corporate criminal, yaitu korporasi yang dibentuk untuk melakukan kejahatan atau untuk menampung hasil kejahatan. Dalam hal ini korporasi dapat dipertanggungjawabkan bersama-sama pengurus (by-punishment provision) apabila pengurus korporasi (manusia alamiah) yang memiliki key positions dalam struktur kepengurusan korporasi memiliki wewenang untuk mewakili, mengambil keputusan dan mengontrol korporasi, melakukan tindak pidana untuk keuntungan korporasi yang bertindak baik secara individual atau atas nama korporasi. Jadi ada power decision dan decision accepted by

corporation as policy of the corporation. Dalam

hal ini mens rea dari manusia alamiah pengurus diidentifikasikan sebagai mens rea korporasi.55 54 Widyopramono, “Pidana Kejahatan Korporasi”, Suara

Merdeka, 22 Juli 2014, http://berita.suaramerdeka.com/ kejahatan-korporasi-diidentifikasi-dari dua-hal/, diakses tanggal 27 Maret 2016.

55 Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption,

Menurut Alvi Syahrin, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, korporasi bukan sesuatu yang fiktif, mereka sangat kuat dan nyata serta dalam kenyataannya dapat mengakibatkan kerugian bagi individu dan masyarakat luas. Secara hukum korporasi diakui memiliki aset (harta), dapat membuat kontrak, menggugat, menuntut bahkan memiliki hak konstitusional. Korporasi juga dapat melakukan pelanggaran hukum dalam melaksanakan bisnisnya, seperti menyuap, pelanggaran anti trust, menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan lain-lain.56 Penjatuhan hukuman bagi korporasi merupakan konsekuensi dari pelanggaran hukum yang dilakukannya yang menyebabkan kerugian terhadap individu maupun masyarakat luas serta ketidakmampuan korporasi dalam mencegah terjadinya pelanggaran hukum dimaksud dan korporasi mendapat keuntungan atas pelanggaran hukum tersebut.57

Masyarakat dirugikan secara materiil dan immateriil akibat pelanggaran hukum oleh korporasi dan sebagian di antaranya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, demi perlindungan hukum masyarakat, mencegah terjadinya viktimisasi oleh perbuatan korporasi, dan meningkatkan pendapatan negara bersumber dari sektor pajak, tidak dipungkiri bahwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana yang berpotensi untuk menimbulkan akibat secara massal.58

Pemidanaan terhadap pengurus korporasi saja dianggap tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, mengingat dalam 56 Disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang

“Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU KUHP”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 27 April 2016.

57 Disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang “Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU KUHP,” Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 27 April 2016.

58 Mudzakkir, FGD Pembuatan Proposal Penelitian tentang “Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 147

kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi. Dipidananya korporasi dengan ancaman pidana ialah salah satu upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.59 Korporasi mendapat keuntungan dari perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh pengurusnya.

Untuk mengatasi permasalahan dalam mempertanggungjawabkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, pada 29 Desember 2016. Perma ini dikeluarkan sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dan mengisi kekosongan hukum terkait prosedur penanganan kejahatan tertentu yang dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya. Perma ini tidak hanya untuk menjerat korporasi dalam tindak pidana korupsi, tetapi juga untuk korporasi yang dipertanggungjawabkan secara pidana oleh undang-undang khusus lainnya.

Perma No. 13 Tahun 2016 berisi rumusan kriteria kesalahan korporasi yang dapat disebut melakukan tindak pidana; siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korporasi; tata cara pemeriksaan (penyidikan-penuntutan) korporasi dan atau pengurus korporasi; tata cara persidangan korporasi; jenis pemidanaan korporasi; putusan; dan pelaksanaan putusan.

Dalam hal kriteria kesalahan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tertentu atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan korporasi. Kedua, korporasi membiarkan 59 Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007, hal. 59.

terjadinya tindak pidana. Ketiga, korporasi tidak mengambil langkah-langkah pencegahan atau mencegah dampak lebih besar dan memastikan kepatuhan ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.

Perma ini tidak hanya mengatur pertanggungjawaban pidana yang dilakukan satu korporasi atas dasar hubungan kerja atau hubungan lain, tetapi juga dapat menjerat grup korporasi dan korporasi dalam penggabungan (merger), peleburan (akuisisi), pemisahan, dan akan proses bubar. Namun, korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana. Tetapi, terhadap aset milik korporasi (yang bubar ini) diduga digunakan melakukan kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan, maka penegakan hukumnya dilaksanakan sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan.

Perma ini menentukan pemeriksaan korporasi dan atau pengurusnya sebagai tersangka dalam proses penyidikan dan penuntutan baik sendiri ataupun bersama-sama setelah dilakukan proses (surat) pemanggilan. Surat panggilan ini memuat: nama korporasi; tempat kedudukan; kebangsaan korporasi; status korporasi dalam perkara pidana (saksi/ tersangka/terdakwa); waktu dan tempat pemeriksaan; dan ringkasan dugaan peristiwa pidana. Ketentuan ini menjadi solusi bagi aparat penegak hukum dalam kesulitan menentukan identitas pelaku tindak pidana korporasi.

Pasal 12 Perma mengatur bentuk surat dakwaan yang sebagian merujuk pada Pasal 143 ayat (2) KUHAP dengan penyesuaian isi surat dakwaan memuat: nama korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/ akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan korporasi, jenis korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili. Selain itu, memuat uraian secara cermat, jelas, lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

Sistem pembuktian penanganan tindak pidana korporasi ini masih mengacu KUHAP dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus

dalam undang-undang lain. Seperti halnya keterangan terdakwa, keterangan korporasi merupakan alat bukti sah dalam persidangan. Sementara penjatuhan pidana korporasi yakni pidana pokok berupa pidana denda dan pidana tambahan sesuai dengan UU yang berlaku, seperti uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.

KUHAP memang tidak menentukan petunjuk teknis penyusunan surat dakwaan ketika subjek hukum pidana yang pelakunya adalah korporasi. Praktiknya, penyidik dan penuntut umum enggan atau tidak berani melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan lantaran kesulitan menyusun dan merumuskan surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi.60 Pengadilan pun ketika mengadili perkara kejahatan korporasi sangat bergantung surat dakwaan yang diajukan penuntut umum.

KPK dan Kejaksaan pernah mencoba menuntut korporasi turut serta membayar kerugian negara, tetapi kerap gagal lantaran hakim menganggap korporasi dimaksud tidak dijadikan terdakwa dalam dakwaan. Kasus korupsi yang diperiksa oleh pengadilan, yang pertama kali menghukum korporasi adalah kasus korupsi PT GJW.

Selama ini, korporasi yang dijerat tindak pidana masih bisa dihitung dengan jari. Aparat penegak hukum, baik polisi dan jaksa maupun hakim mengakuinya dalam beberapa kesempatan. Salah satu penyebabnya, perbedaan pandangan di kalangan penegak hukum, terutama berkaitan dengan hukum acara.61 Salah satu perkara yang sering dijadikan contoh adalah PT GJW di PN Banjarmasin. Perkara ini sudah berkekuatan hukum tetap.

Perma tersebut dianggap mampu mengurangi keraguan dan kegamangan aparat penegak hukum dalam menggunakan hukum acara pidana untuk menjerat korporasi. Sebelum ada Perma, penegak hukum ragu meskipun sudah ada aturan yang mengatur 60 Kejaksaan Negeri Sidoarjo, 12 Agustus 2016.

61 “Perma No. 13 Tahun 2006 Momentum untuk Menjerat Korporasi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt58819a2232c04/perma-no-13-tahun-2016-momentum-untuk-mulai-menjerat-korporasi, diakses tanggal 17 Maret 2017.

pemidanaan terhadap korporasi. Perma itu juga melengkapi peraturan Jaksa Agung tentang pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi yang terbit sejak 2014.

Kedudukan Perja Tahun 2014 dan Perma No. 13 Tahun 2016 tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya hirarki peraturan perundang-undangan. Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan lebih rendah. Pengaturan mengenai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, berbunyi sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Namun, keberadaan kedua jenis peraturan tersebut termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 berbunyi sebagai berikut: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat;

PUTERI HIKMAWATI: Kendala Penerapan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi... 149

(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Walaupun dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) tidak menyebut Jaksa Agung, tetapi dengan kedudukan Jaksa Agung sebagai Pembantu Presiden, yang setingkat dengan Menteri, maka keberadaan Perja tetap diakui keberadaannya. Demikian pula, kedudukan Perma yang diakui keberadaannya dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Namun, kedua peraturan tersebut mengikat ke dalam, artinya Perja untuk lingkungan Kejaksaan dan Perma untuk lingkungan Kehakiman, sehingga kurang kuat untuk dijadikan dasar acuan bagi penegak hukum pada umumnya. Oleh karena itu, perlu diatur dalam UU Tipikor secara khusus dan secara umum diadopsi dalam revisi KUHAP.

V. PENUTUP

Korporasi sebagai subjek hukum pidana telah ditetapkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Walaupun UU Tipikor menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana, namun hanya sedikit aparat penegak hukum yang menetapkan korporasi sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi dan menghukumnya. Hal ini disebabkan karena aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam menjerat korporasi. Salah satu penyebabnya adalah kurang lengkapnya ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum dalam UU Tipikor. Selain itu, penyidik mengalami kesulitan untuk mencari bukti dan menentukan identitas pelaku korporasi.

Penyebab lainnya, KUHP masih menetapkan manusia sebagai subjek hukum, yang tercermin dari unsur “barangsiapa” dalam berbagai rumusan deliknya. Tak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum dalam KUHP, mengakibatkan ketika

terjadi kejahatan yang melibatkan korporasi, maka hanya orang perorangan dari korporasi itulah yang dimintai pertanggungjawaban pidananya.

Untuk mengatasi permasalahan dalam penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi, ditetapkan Peraturan Jaksa Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi dan Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menjerat korporasi dan mengisi kekosongan hukum terkait proses penanganan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi, yang dilakukan oleh korporasi dan/atau pengurusnya. Kedua peraturan tersebut tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun keberadaan Perja dan Perma tetap diakui, sebagai ketentuan yang mengikat ke dalam, artinya Perja berlaku untuk lingkungan Kejaksaan dan Perma diberlakukan untuk lingkungan Kehakiman, sehingga kurang kuat untuk dijadikan dasar acuan bagi penegak hukum pada umumnya. Oleh karena itu, perlu diatur dalam UU Tipikor secara khusus dan secara umum diadopsi dalam revisi KUHAP.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal dan Artikel/KTI

Bettina Yahya dkk., “Kedudukan dan Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi”, Hasil Penelitian, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, 2016.

Candace Anastasia P. Limbong, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Umum (Studi Kasus Irzen Octa Vs. Citibank Indonesia dan Muji Harjo Vs. PT UOB Buana Indonesia)”, Skripsi, FHUI, Depok, 2012.

Didik Endro Purwoleksono, “Tindak Pidana Korporasi: Catatan Kritis Pengaturannya dalam Undang-Undang”, disampaikan pada saat FGD Penelitian tentang “Pembaharuan Hukum Pidana: Pertanggungjawaban Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana dalam RUU KUHP”, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 14 Agustus 2016. Eddy Rifai. “Perspektif Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi sebagai Pelaku Tindak Pidana”, FH Universitas Lampung, Bandar Lampung, Mimbar Hukum Vol. 26, No. 1, Feb 2014.

Ermanto Fahamsyah dan I Gede Widhiana Suardi, “Implementasi Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Kaitannya dengan Kejahatan Korporasi”, FH Universitas Jember, Mimbar

Hukum, Vol. 18, No. 2, Juni 2006.

Evan Elroy Situmorang, “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Korban Kejahatan Korporasi”,

Law Reform Universitas Diponegoro, Vol. 4

No. 2, 2009.

Jimmy Tawalujan, “Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Korban Kejahatan”,

Lex Crimen Vol. I/No. 3/ Jul – Sept/2012.

Kristian, “Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke 44 No. 4 Oktober – Desember 2013.

Sri Lestariningsih, Ismail Navianto, dan Alfons Zakaria, “Rekonstruksi Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Perundang-undangan di Indonesia”, Hasil Penelitian, Universitas Brawijaya, Malang, 2013.

Undang Mugopal, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi (Persoalan dalam Praktik)”, makalah disampaikan dalam Seminar tentang “Kedudukan dan Tanggung jawab Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi”, Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Selasa, 15 November 2016, Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat.

Yudi Krismen, “Pertanggungjawaban Korporasi dalam Kejahatan Ekonomi”, Jurnal Ilmu

Hukum, Volume 4 No. 1, Tahun, 2013.

Yulius, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang”, Skripsi, FH Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2012.

Buku

Ali, Mahrus. Asas-asas Hukum Pidana Korporasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013. Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum

Pidana, Jakarta: Rajawali Pers, 2002.

Earl, Stephanie. “Ascertaining the Criminal

Liability of a Corporation”, New Zealand Business Law Quarterly, 2007.

Hanafi. Strict Liability dan Vicarious Liability

dalam Hukum Pidana, Yogyakarta: Lembaga

Penelitian, UII, 1997.

Muladi dan Diah Sulistyani. Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi, Bandung: PT Alumni,

2013.

Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010.

Priyatno, Dwidja, Kebijakan Legislasi tentang

Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Bandung: CV Utomo, 2004.

Reksodiputro, Mardjono. Kemajuan Pembangunan

Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta: Pusat

Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI, 1994.

Shofie, Yusuf. Tanggung Jawab Pidana Korporasi

dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,

2011.

Sjahdeini, Sutan Remy. Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi, Jakarta: Grafiti Pers, 2007.

Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,