• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Terhadap Pembiayaan

BAB III PENERAPAN SISTEM JUAL BELI MURABAHAH TERHADAP

B. Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Terhadap Pembiayaan

Rumah/Properti Pada Bank BNI Syariah Pada Bank BNI Syariah.

Berdasarkan wawancara dengan staff pemasaran pada Bank BNI Syariah Cabang Medan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/properti (sistem pembiayaan murabahah) pada Bank BNI Syariah Cabang Medan dapat digambarkan sebagai berikut:76

1. Tahap permohonan dan pengajuan persyaratan.

Pada tahap ini nasabah menghadap kepada Bank untuk mengutarakan keinginannya untuk memperoleh pembiayaan guna membiayai pembelian suatu bidang tanah berikut bangunan rumah yang terdapat diatasnya.

Atas permohonan tersebut maka;

a) Petugas bank akan menanyai nasabah dan mewawancarai secara umum, mengenai objek dan keperluan pembiayaan serta hal-hal yang bersangkutan dengan pekerjaan/usaha, penghasilan dan hal-hal yang berhubungan dengan persyaratan pembiayaan seperti:

1) Harga dari barang yang akan dibeli

2) Besarnya pembiayaan sendiri (Self Financing) yang dapat disediakan nasabah.

76

Wawancara dengan Penyelia Pemasaran, Bank BNI Syariah Cabang Medan, Pada tanggal 28 Mei 2007.

3) Lamanya jangka waktu pembiayaan.

4) Dan lain-lain yang berhubungan dengan permohonan pembiayaan nasabah.

b) Setelah itu bank akan memberikan formulir permohonan pembiayaan untuk diisi oleh nasabah beserta persyaratan-persyaratan pembiayaan yang diperlukan dan harus dipenuhi nasabah, baik persyaratan yang umum maupun persyaratan khusus. Persyaratan umum disini maksudnya ialah persyaratan standar yang biasanya dimintakan bank dalam transaksi-transaksi pembiayaan. (Selengkapnya lihat pada lampiran).

Adapun persyaratan khusus untuk pembiayaan murabahah terhadap rumah atau properti adalah:

1) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

2) Fotocopy Sertifikat tanah yang akan dibeli oleh nasabah.

3) Fotocopy Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang - Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) tahun berjalan dan bukti pelunasan pembayarannya.

4) Penawaran harga dari penjual. 2. Tahap Pemeriksaan dan Analisa Oleh Bank

Pada tahap ini bank akan memeriksa kelengkapan dokumen nasabah, dan pemeriksaan kelapangan mengenai objek yang akan dibiayai, keadaan usaha/pekerjaan nasabah dan verifikasi data-data yang disampaikan nasabah dengan kondisi dilapangan.

Selanjutnya bank akan menganalisa kelayakan nasabah untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan dengan sistem jual beli murabahah.

Proses pemeriksaan dan anlisa pada Bank BNI Syariah Cabang Medan dilakukan oleh Bagian Pemasaran (Pengelola Pemasaran) dan keputusan atas pembiayaan yang diajukan nasabah diputuskan oleh Kelompok Pemutus Pembiayaan. Keputusan tersebut dapat berupa persetujuan atau penolakan terhadap permohonan pembiayaan yang diajukan, yang dituangkan dalam suatu surat keputusan yang disebut Surat Keputusan Pembiayaan (SKP). 3. Tahap Keputusan Pembiayaan

Setelah melalui proses pemeriksaan dan analisa, kemudian berkas permohonan nasabah beserta hasil pemeriksaan dan analisa disampaikan kepada Kelompok Pemutus yang terdiri dari Penyelia Pemasaran Bisnis (PPB) dan Pemimpin Cabang serta Pejabat Syariah Fund Risk Management (SFRM) dan untuk pinjaman dalam jumlah besar diatas Rp.250.000.000,- akan diteruskan dan diputuskan oleh Divisi Usaha Syariah Bank BNI.

Keputusan atas permohonan pembiayaan dapat berupa persetujuan atau penolakan, yang akan dibuatkan dalam suatu Surat Keputusan Pembiayaan(SKP) yang akan disampaikan kepada nasabah.

Untuk permohonan pinjaman yang disetujui, maka SKP tersebut menjadi dasar atau bagian yang tidak terpisahkan dari Akad Perjanjian Pinjaman yang akan dibuat dan ditandatangani oleh peminjam dan bank.

Apabila permohonan disetujui, selanjutnya bank akan melakukan negosiasi ulang dengan nasabah berkenaan dengan persyaratan yang harus dipenuhi nasabah sebagaimana yang tercantum dalam SKP.

Dalam negosiasi ini apabila tidak tercapai kata sepakat, maka para pihak dapat memilih untuk tidak melanjutkan transaksi. Namun apabila tercapai kata sepakat diantara kedua pihak maka transaksi akan dilanjutkan dengan penandatanganan Akad Perjanjian Pembiayaan.

4. Tahap penandatanganan akad

Penadatanganan akad dilakukan dalam satu majelis dengan dihadiri oleh para pihak yang akan melakukan transaksi yaitu pihak nasabah, bank, pemilik rumah, Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan saksi-saksi.

Pada kenyataannya isi dari akad pembiayaan murabahah dapat saja berbeda- beda antara satu bank syariah dengan bank syariah lainnya. Hal ini didasarkan atas asas kebebasan berkontrak dalam lapangan hukum perdata. Pada asasnya orang bebas untuk memperjanjikan sesuatu, selama itu tidak terlarang. Hal itu didasarkan atas pemikiran hukum di bidang keperdataan pada umumnya adalah hukum yang sifatnya pelengkap. Karena itu hukum membiarkan sedapat mungkin individu mengurus dan menyelenggarakan kepentingan privatnya sendiri selama tidak bertentangan dengan hal-hal yang terlarang.77 Namun setidak-tidaknya dalam akad pembiayaan murabahah tersebut harus memuat rukuan dan syarat jual beli menurut syariat Islam.

77

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku II, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 148.

Adapun akad-akad yang ditandatangani berkenaan dengan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah secara berturut-turut adalah:

a. Akad murabahah

Sebelum akad murabahah diselenggarakan, bank terlebih dahulu melakukan jual beli barang/rumah dengan suplier. Jual beli ini hanya dilakukan secara lisan.

Setelah terjadi jual beli antara bank dengan suplier segera setelah itu diselenggarakan akad murabahah. Akad ini dibuat dalam bentuk dibawah tangan, ditandatangani oleh nasabah dengan bank yang diwakili oleh pemimpin cabang, dan saksi-saksi.

b. Akta Jual Beli

Akta ini dibuat dalam bentuk otentik dihadapan pejabat umum yang berwenang, ditandatangani oleh nasabah, pemilik rumah, saksi-saksi, dan pejabat umum tersebut.

c. Akad-akad lainnya, seperti Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, dan Akta Pemberian Hak Tanggungan

C. Penyimpangan Dalam Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank BNI Syariah.

Apabila kita bandingkan penerapan pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah cabang Medan tersebut dengan sistem jual beli murabahah yang ideal berdasarkan Fatwa DSN No. 04/DSN/MUI/IV/2000 Jo PBI No. 7/46/PBI/2007 maka kita akan mendapati kejanggalan-kejanggalan dalam penerapan pembiayaan

murabahah tersebut. Dengan kata lain penerapan pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah cabang Medan masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam penerapan pembiayaan murabahah tersebut dapat dikatakan terjadi penyimpangan, terutama sekali terjadi pada tahap ketiga yaitu tahap penandatanganan akad murabahah. Penyimpangan mana akhirnya memberi pengaruh juga terhadap tahap sebelumnya.

Pada tahap terakhir yaitu tahap penandatanganan kontrak baru terlihat adanya kejanggalan dalam pelaksanaan pembiayaan murabahah pada Bank BNI Syariah.

Penandatanganan akad murabahah dilakukan berdasarkan kesepakatan awal antara kedua pihak yang telah dilalui pada tahap-tahap sebelumnya. Sedangkan sebelum dilakukan penandatanganan akad murabahah bank telah terlebih dahulu melakukan jual beli secara lisan dengan pemilik barang.

Bila pelaksanaan pembiayaan murabahah tersebut dikaitkan dengan Fatwa DSN No.04/DSN-MUI/IV/2000 pada angka 3 menyatakan bahwa bank terlebih dahulu membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pemebelian ini harus sah.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa akad yang pertama ditandatangani pada tahap penandatanganan kontrak adalah akad murabahah, dimana substansi dari akad tersebut adalah bank berdasarkan akad tersebut menjual sebuah rumah secara murabahah kepada nasabah dengan syarat-syarat tertentu.

Yang menjadi permasalahan disini adalah apakah jual beli rumah yang dilakukan secara lisan tersebut adalah sah, mengingat objek yang diperjual belikan

adalah rumah yang peralihannya telah diatur sedemikian rupa dalam PP No.24 Tahun 1997 Jo. Peraturan menteri Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.

Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena mengenai sah atau tidaknya jual beli yang pertama akan menentukan pula sah atau tidaknya jual beli yang terjadi kemudian.

Bank syariah sesuai dengan namanya tentulah harus sedapat mungkin menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam setiap kegiatan operasionalnya. Berkenaan dengan itu kita tentunya sama-sama mengetahui bahwa dalam fiqih Islam terdapat kaedah bahwa seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimilikinya pada waktu transaksi berlangsung pada objek transaksi.78

Ibnu Abidin menjelaskan sebagaimana ditulis oleh Husain dan Siddiq bahwa termasuk salah satu syarat dari jual beli adalah objek transaksinya harus dimiliki secara penuh oleh penjual dari apa yang ia jual untuk dirinya.79 Maka tidak diperkenankan menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya, dan para ulama sudah sepakat mengenai hal ini.

Sebenarnya, membahas masalah filantropi atau kedermawanan sosial di Indonesia adalah ibarat membicarakan anggur lama dam botol baru, karena pada dasarnya kegiatan berderma merupakan kebiasaan masyarakat Indonesia yang menjadi pola hidup yang dapat ditemukan pada berbagai suku yang ada di Indonesia. Hanya saja pada saat itu kegiatan seperti ini berjalan secara sangat sederhana dan tradisional.

78

Husain Syahathah Dan Siddiq Muhammad al-Amin ad-Dhahar, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam, Diterjemakan Oleh: Saptono Budi Satryo Dan Fauziah R, Penerbit Visi Insani Publishing, Jakarta, 2005, hal. 237.

79

Ibid. Lihat juga M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 124., Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok

Akhirnya sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan pola pikir masyarakat, kegiatan ini semakin mengalami perkembangan dan dituntut untuk dilakukan secara lebih terstruktur. Hal inilah yang mungkin pada akhirnya mendorong masyarakat untuk membentuk suatu lembaga yang dapat menjadi wadah kegiatan sosial masyarakat yang kita kenal dengan nama yayasan.

Seperti yang telah diuraikan oleh Penulis sebelumnya, bahwa memang lembaga yayasan telah dikenal dan banyak digunakan di tanah air sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai Indonesia menjadi negara merdeka dan berdaulat, namun tidak ada peraturan hukum yang mengatur tentang yayasan,80 hal inilah yang membuat tidak jelasnya pengertian ataupun definisi tentang yayasan itu sendiri.

Yayasan sendiri, dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Stichting, yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Foundation. Pengertian yayasan sebagai Foundation menurut Black’s Law Dictionary sebagai berikut 81:

“Permanent fund established and maintained by contribution for

charitable, educational, religious, research or other benevolent purpose.

An Institution or association given to rendering financial aid to colleges,

schools, hospitals and charities and generally supported by gifts for such

purposes.

The founding or building of a college or hospital.

80

Maksudnya ialah, sebelum akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 dan perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004.

81

Henry Chambell Black, M A, “Black’s Law Dictionary”, Cet 6, St. Paul Minnesotta: USA, West Publishing Co, 1990, hal. 656.

The incorporation or endowment of a college or hospital is the

foundation; and he who endows it with land or other property is the

founder.

Yayasan yang diartikan seperti tersebut diatas menekankan pada adanya suatu dana permanen yang dibuat dan dipelihara berdasarkan kontribusi.82

Scholten83 mengatakan: “ Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu pernyataan sepihak. Pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu kekayaan untuk suatu tujuan tertentu, dengan penunjukan, bagaimanakah kekayaan itu diurus dan digunakan”.

Menurut Abdul Muis, pengertian yayasan adalah 84:

“Yayasan merupakan suatu lembaga yang mempunyai suatu tujuan idial, yaitu tujuan sosial bagi kesejahteraan masyarakat yang sampai saat ini dinegara kita tidak atau belum diatur dalam Undang-Undang secara khusus. Lembaga ini hidup dan berkembang semata-mata berdasarkan hukum yang tidak tertulis, berdasarkan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat”.

Pengertian yayasan menurut Prof. Drs, C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil, SH, MH adalah 85: “Yayasan; Stichting (Bld), suatu badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial”.

82

Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, SH, “Hukum Yayasan Di Indonesia (Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan)”, Indonesia Legal Center Publishing, Cet 2, PT. Abadi, Jakarta, 2003, hal. 13.

83

Disitir dari Ali Rido SH, “Badan Hukum Dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf”,

84

H. Abdul Muis, “Yayasan Sebagai Wadah Kegiatan Masyarakat (Suatu Tinjauan Menganai Yayasan Sebagai Badan Hukum Dalam Menjalankan Kegiatan Sosial)”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1991, hal. 2.

Dari beberapa pengertian tentang yayasan yang telah diuraikan tersebut, maka kita setidaknya dapat menarik kesimpulan bahwa yayasan adalah merupakan suatu lembaga yang bergerak di bidang sosial yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Hal mana berkaitan erat dengan kegiatan amal (filantropi) yang merupakan bentuk ideal dari lembaga yayasan.

Sedangkan menurut UUY dalam pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa: “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam yayasan adalah: a. Yayasan terdiri atas kekayaan yang dipisahkan.

b. Kekayaan yayasan digunakan untuk mencapai tujuan yayasan.

c. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan.

Pada dasarnya yayasan harus dapat berperan sebagai wadah untuk mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Berdasarkan UUY, yayasan harus bersifat sebagai berikut;

a. Sosial. b. Keagamaan. c. Kemanusiaan.

85

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, SH dan Christine S.T. Kansil, SH, MH, “Kamus Istilah Aneka Hukum, Cet 1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal. 198.

Sesuai dengan pasal 1 angka 1 UUY, penjelasan umum dan penjelasan pasal 3 ayat 2, sifat-sifat tersebut diatas harus tercermin dalam maksud dan tujuan serta kegiatan yayasan.

Dengan mengacu pada definisi yayasan yang diberikan oleh Black’s Law

Dictionary, maka yayasan bertujuan untuk kegiatan amal (charity), pendidikan

(educational), keagamaan (religious), atau tujuan kedermawanan lainnya (or other benevolent purpose).86

Berdasarkan Yuripudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 8 Juli 1975 No. 476/K/Sip/1975 (yang menjadi acuan untuk penentuan tujuan yayasan sebelum berlakunya UUY ), dimana pertimbangan Pengadilan Negeri dibenarkan oleh Pengadilan Tinggi dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, dari putusan Mahkamah Agung tersebut jelas bahwa yayasan mempunyai tujuan untuk “membantu”. Perkataan membantu ini ditafsirkan sebagai kegiatan sosial.

Dengan berlakunya UUY, maka maksud dan tujuan dari yayasan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut 87:

a. Untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan (pasal 1 angka 1 UUY ).

b. Maksud dan tujuan yayasan harus bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan (penjelasan pasal ayat 2 UUY ).

c. Maksud dan tujuan yayasan harus dicantumkan dalam anggaran dasar yayasan (pasal 14 ayat 2 UUY).

86

Ibid., hal. 656.

87

Menurut Chatamarrasjid 88, yayasan tidak dapat dan tidak boleh menjadi badan hukum seperti perseroan terbatas yang bertujuan untuk mencari keuntungan. Akan tetapi, tentu saja yayasan boleh untuk memperoleh keuntungan, dan berarti melakukan kegiatan usaha atau mendirikan badan usaha, agar tidak bergantung selamanya dari sumbangan, tetapi keuntungan yang diperoleh haruslah semata-mata dipergunakan atau diperuntukkan bagi tujuan sosial dan kemanusiaan.

Pendapat diatas bertolak dari pandangan bahwa tiap bentuk badan hukum yang diciptakan mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada 1 (satu) bentuk badan hukum yang dapat mencakup tujuan dan struktur semua bentuk badan hukum lain.89

Sedangkan maksud dan tujuan yayasan tertentu, artinya maksud dan tujuan tersebut harus jelas batasannya untuk hal-hal yang sudah ditentukan dan bersifat khusus. Jadi, maksud dan tujuan yayasan disini tidak dapat bersifat umum. Tujuan yayasan ini merupakan hal yang penting, karena tujuan yayasan dapat berpengaruh terhadap bubarnya suatu yayasan, hal ini sesuai dengan bunyi pasal 62 huruf (b) Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 yang menyatakan: “Yayasan dapat bubar karena; tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah tercapai atau tidak tercapai”. Oleh karena itu, yayasan harus berhati-hati dalam menetapkan tujuannya. Jangan sampai tujuan tersebut terlalu umum/luas ataupun terlalu berat sehingga sulit untuk mencapai atau memenuhinya, yang akhirnya dapat mengakibatkan yayasan tersebut dibubarkan. Hal-hal mengenai bubarnya suatu yayasan, akan kita bicarakan pada sub bab berikutnya.

88

Chatamarrsjid, “Badan Hukum Yayasan” (Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal 41.

89

UUY sendiri tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan tujuan sosial dan kemanusiaan, tapi hanya memberikan contoh kegiatan yang dapat dilakukan oleh yayasan. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 8 UUY maupun penjelasannya.

Pasal 8 UUY menyebutkan:

Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan pasal 8:

Kegiatan usaha dari badan usaha yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan. Dalam UUY yang diperbaharui pun pasal ini tidak termasuk ke dalam pasal- pasal yang direvisi, sehingga tetap tidak ada acuan mengenai kegiatan sosial dan kemanusiaan.

Oleh karena itu untuk menilai/memutuskan apakah kegiatan usaha yang dilakukan oleh yayasan yang tidak tercantum dalam penjelasan pasal 8 adalah sesuai dengan tujuan sosial dan kemanusiaan, seandainya kegiatan yayasan diragukan bertujuan sosial dan kemanusiaan, barangkali keputusannya diserahkan kepada Pengadilan.90

90

Seperti yang telah kita ketahui, yayasan telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman penjajahan kolonial Belanda sampai Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, namun tidak ada satupun peraturan yang tegas yang mengatur tentang keberadaan yayasan. Sebenarnya ada beberapa peraturan yang menyebutkan tentang keberadaan yayasan sebelum lahirnya Undang-Undang Yayasan, antara lain:

- Pasal 335 KUH Perdata.

- Pasal 365 dan 365 (a) KUH Perdata. - Pasal 899 ayat (1) KUH Perdata. - Pasal 900 KUH Perdata.

- Pasal 1680 KUH Perdata. - Pasal 6 ayat 3 Rv.

- Pasal 236 Rv.

Di negeri Belanda sendiri, yang merupakan kolonial dari Indonesia, yang produk-produk hukumnya banyak diadopsi menjadi hukum nasional Indonesia, telah menetapkan yayasan sebagai badan hukum melalui hukum perdata tertulisnya dengan diundangkannya Wet op de Stichtingen dalam Staatsblad Nomor 327 tahun 1956 yang kemudian pada tahun 1976 Undang-Undang tersebut dikompilasikan ke dalam buku ke dua Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda.

Sebenarnya Undang-Undang Yayasan di Indonesia tidak lahir tiba-tiba, karena banyak orang yang mengasumsikan bahwa Undang-Undang Yayasan lahir karena adanya desakan dari pihak IMF terhadap pemerintah Indonesia yang menginginkan adanya pengaturan yang lebih tegas terhadap keberadaan yayasan

karena IMF melihat praktek kerja beberapa yayasan milik pemerintah, institusi militer dan milik beberapa kelompok tertentu (rezim orde baru) telah menyalahi fungsi dan tujuan ideal dari yayasan dengan menggunakan lembaga ini sebagai kedok untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa membayar pajak, yang ditengarai sangat merugikan keuangan negara. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Letter of Intent

(LoI) untuk kepentingan pemerintah dalam memperoleh pinjaman dari IMF.

Begitulah memang keadaan bangsa kita, tidak akan berbuat kecuali untuk hal yang terpaksa. Setidaknya seperti itulah gambaran tentang keadaan bangsa ini berkenaan dengan latar belakang lahirnya UUY.

Seperti Penulis sebutkan tadi, bahwa sebenarnya UUY tidak lahir secara prematur. Karena konon Departemen Kehakiman telah memiliki rancangannya sejak tahun 1976.91

Akhirnya pada tanggal 6 Agustus 2001, pemerintah dengan persetujuan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dengan harapan dapat memastikan yayasan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat.92

Dalam menangani organisasi nirlaba, pemerintah punya dua format atau sudut pandang yang berbeda. Aspek organisasi yang terkait dengan ideologi dan ketertiban umum ditangani oleh Departemen Dalam Negeri, sedangkan aspek sosial yang menyangkut penggalangan dan pendayagunaan dana sosial masyarakat, serta usaha

91

Op Cit., Chatamarrasjid, “ Tujuan Sosial Yayasan dan…”, hal. 7. Menurut Chtamarrsjid, tidak banyak perubahan antara Undang-Undang Yayasan dan rancangan-rancangan sebelumnya – lihat Chatamarrasjid, “Badan Hukum Yayasan, Suatu Analisis Mengenai Yayasan Sebagai Suatu Badan Hukum Sosial (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002) hal. 169.

92

Lihat Undang-Undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, “Menimbang”, huruf C, alinea 6 Penjelasan Umum, Penjelasan pasal 49 (2) dan 52 (2).

peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat ditangani oleh Departemen Sosial. Sementara aspek “pembinaan teknis” diserahkan pada departemen atau non departemen yang terkait dengan bidang kerja organisasi nirlaba. Masing-masing pembina itu punya aturan main, yang umumnya sangat kooptatis dan birokratis, yang harus ditaati oleh organisasi-organisasi tersebut. Sehingga sampai hari ini, dengan terbitnya UU No. 16/2001 tentang Yayasan pun masih menyisakan berbagai kerancuan.93

Mungkin karena itu pulalah mengapa pemerintah buru-buru mengajukan usulan untuk segera merevisi UUY. Adanya usul dari pemerintah untuk segera melakukan perubahan terhadap UUY, semakin memberikan kesan bahwa memang Undang-Undang tersebut lahir karena adanya tekanan dari pihak IMF dan keadaan sosial politik pada saat itu. Oleh karenanya, UUY banyak mendapat kritikan dari para pegiat yayasan maupun oleh para akademisi karena klausul-klausulnya dianggap tidak aspiratif, malah terkesan menyulitkan yayasan untuk menjalankan dan mempertahankan roda organisasinya, terutama untuk yayasan-yayasan kecil. Pasal- pasal dalam Undang-Undang ini justru menunjukkan intervensi pemerintah yang terlalu berlebihan terhadap yayasan.

Akhirnya revisi Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 disetujui yang disahkan menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2004. Sebenarnya revisi RUU Yayasan sudah disusun Pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehakiman dan HAM, sejak pertengahan 2002. Karena meski di atas kertas UUY dinyatakan berlaku efektif sejak

93

Lihat artikel, Zaim Zaidi dan Hamid Abidin (Filantropi dan Hukum Di Indonesia), Jurnal Hukum “JENTERA”, edisi Hukum & Yayasan, 2003.

Dokumen terkait