• Tidak ada hasil yang ditemukan

80 33,33 0 20 40 60 80 100 120 Nonfortifikasi Fortifikasi Pe rs e n ta se Rumah Tangga Jasa Boga

Tabel 16 Sebaran responden rumah tangga dan jasa boga berdasarkan tingkat kesukaan terhadap produk gorengan dari minyak goreng curah nonfortifikasi dan fortifikasi

Tingkat Kesukaan Nonfortifikasi Fortifikasi Rumah Tangga (%) Jasa Boga (%) Rumah Tangga (%) Jasa Boga (%) Tidak Suka 0 3,33 40,00 33,33

Agak tidak suka 0 13,33 26,67 30,00

Biasa 0 0 3,33 6,67 Agak suka 3,33 3,33 13,33 6,67 Suka 96,67 80,00 16,67 23,33 Total 100 100 100 100 Tidak Menerima 0 16,67 66,67 63,33 Dapat Menerima 100 83,33 33,33 36,67 Total 100 100 100 100

Lebih dari separuh responden rumah tangga dan jasa boga, yaitu masing- masing 66,67% dan 63,33%, tidak dapat menerima produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi. Alasan ketidaksukaan responden baik rumah tangga maupun jasa boga terhadap produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi terutama disebabkan oleh warna, aroma, dan rasa produk gorengan tersebut. Persentase penerimaan responden rumah tangga dan jasa boga terhadap produk gorengan dari minyak goreng curah nonfortifikasi dan fortifikasi melalui metode HUT disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Penerimaan responden terhadap produk gorengan pada HUT 100 33,33 83,33 36,67 0 20 40 60 80 100 120 Nonfortifikasi Fortifikasi Pe rs e n ta se Rumah Tangga Jasa Boga

Berdasarkan uji Friedman, terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kesukaan responden rumah tangga dan jasa boga terhadap produk gorengan yang digoreng dengan minyak nonfortifikasi dan fortifikasi (p<0,05, Lampiran 8). Hasil ini berbeda dengan tingkat kesukaan responden rumah tangga dan jasa boga terhadap produk gorengan melalui uji organoleptik. Hal ini dapat dikarenakan HUT memungkinkan pendapat dari anggota keluarga lain. Selain itu, pada HUT penggunaan minyak goreng curah di bawah kondisi normal dan bahan pangan yang digoreng bermacam-macam.

Pendapat terhadap Minyak Goreng Curah dan Produk Gorengannya

Data tentang pendapat terhadap minyak goreng curah dan produk gorengannya diperoleh dari anggota keluarga pada responden rumah tangga dan konsumen atau pembeli pada responden jasa boga. Sebanyak 6,67% anggota keluarga berpendapat bahwa minyak goreng curah nonfortifikasi tidak beraroma langu dan warnanya cerah. Sebanyak 26,67% anggota keluarga responden berpendapat bahwa warna minyak goreng curah fortifikasi terlalu kuning. Warna kuning ini dikarenakan karotenoid yang berwarna kuning dan larut dalam minyak (Ketaren 2008). Warna ini menyebabkan 3,33% konsumen jasa boga mengira bahwa minyak goreng curah fortifikasi adalah minyak goreng jelantah dan 10% konsumen jasa boga berpendapat bahwa minyak goreng curah fortifikasi seperti diberi pewarna karena warnanya yang lebih pucat dibandingkan minyak goreng curah yang biasa digunakan oleh masyarakat.

Terdapat masing-masing 3,33% anggota keluarga dan konsumen jasa boga yang berpendapat bahwa produk gorengan dari minyak goreng curah nonfortifikasi dan fortifikasi menarik atau cerah. Hal ini dikarenakan bahan pangan yang digoreng memang berwarna kuning seperti tahu dan telur dadar sehingga warna produk gorengan terlihat lebih cerah. Pada beberapa produk gorengan, menggoreng dengan minyak fortifikasi menyebabkan produk gorengan berwarna lebih gelap. Hal ini dapat menyebabkan responden mengira bahwa produk gorengannya telah matang. Padahal warna kecoklatan pada produk gorengan dikarenakan karoten yang menempel pada produk gorengan tersebut, sedangkan sebenarnya produk gorengan tersebut belum matang.

Keluhan terhadap Minyak Goreng Curah dan Produk Gorengannya

Sebagian responden menyampaikan keluhan mengenai minyak goreng curah baik nonfortifikasi maupun fortifikasi. Keluhan mengenai minyak goreng curah nonfortifikasi lebih banyak dijumpai pada responden jasa boga. Sebanyak 16,67% mengeluh bahwa minyak goreng curah tersebut cepat hitam. Minyak yang cepat hitam ini dapat dikarenakan penggunaan minyak goreng curah yang berulang. Minyak yang digunakan untuk menggoreng bahan pangan, khususnya pada pedagang kaki lima, praktis tidak mengalami pergantian dengan minyak baru. Para pedagang tersebut hanya menambahkan beberapa liter (0,5-1,0 liter) setiap hari ke dalam minyak goreng lama. Hal itu dilakukan agar dapat menghemat biaya produksi. Setelah 8 hari, minyak goreng akan mengalami penurunan kualitas yang ditunjukkan dengan warna yang semakin gelap dan viskositas yang meningkat (Winarno 1999). Selain itu, menurut Ketaren (2008), menggoreng daging kadang-kadang mengendap ke dasar katel dan akan hangus. Minyak sebagai medium penggoreng menjadi berwarna gelap.

Sebanyak 13,33% responden jasa boga mengeluh aroma minyak goreng curah nonfortifikasi langu. Keluhan lebih banyak dijumpai pada minyak goreng curah fortifikasi dibandingkan minyak goreng curah nonfortifikasi. Hampir separuh responden jasa boga (43,33%) mengeluh mengenai warna minyak goreng curah yang terlalu kuning. Pigmen berwarna merah jingga atau kuning disebabkan oleh karotenoid yang bersifat larut dalam minyak (Ketaren 2008).

Selain keluhan mengenai minyak goreng curah yang diujikan, juga terdapat keluhan mengenai produk gorengan. Sebanyak 6,67% responden rumah tangga mengeluh produk gorengan kurang renyah dan 13,33% responden jasa boga mengeluh produk gorengan beraroma langu pada minyak goreng curah nonfortifikasi. Keluhan lebih banyak ditemukan pada produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi dibandingkan nonfortifikasi. Keluhan yang paling banyak disampaikan responden rumah tangga mengenai produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi adalah produk gorengan menimbulkan getir. Menurut Ketaren (2008), oksidasi minyak akan menghasilkan senyawa aldehida, keton, dan senyawa aromatis yang mempunyai bau tengik dan rasa getir. Keluhan yang paling banyak disampaikan responden jasa boga adalah warna produk gorengan yang menjadi berwarna kuning.

Kelebihan Minyak Goreng Curah dan Produk Gorengannya

Selain keluhan, responden pun menyampaikan kelebihan yang dirasakan selama menggunakan minyak goreng curah yang diujikan. Kelebihan yang paling banyak dirasakan oleh responden rumah tangga dan jasa boga dari minyak goreng curah nonfortifikasi dan fortifikasi adalah minyak goreng curah tersebut tidak cepat habis. Hal ini terkait penggunaan minyak itu sendiri dan bahan pangan yang digoreng.

Kelebihan lain yang dirasakan oleh 16,67% responden jasa boga adalah warna produk gorengan menjadi cerah. Hal ini disebabkan oleh warna minyak goreng curah fortifikasi yang berwarna oranye.

Saran terhadap Minyak Goreng Curah dan Produk Gorengannya

Selain keluhan dan kelebihan yang dirasakan responden dari minyak goreng curah dan produk gorengannya, responden rumah tangga dan jasa boga pun menyampaikan saran mengenai minyak goreng curah dan produk gorengannya. Sebanyak 20% responden rumah tangga menyarankan agar minyak goreng curah nonfortifikasi lebih dijernihkan. Hal ini dapat dikarenakan minyak goreng curah yang diujikan dirasakan kurang bening oleh responden rumah tangga.Minyak goreng curah adalah minyak goreng yang dijual tanpa kemasan khusus sehingga kualitas minyak goreng tersebut kurang baik dan cepat tengik baik pada penyimpanan maupun saat pemanasan (Nugraheni 2000).

Hampir separuh (43,33%) responden rumah tangga dan 26,67% responden jasa boga menyarankan agar warna minyak goreng curah fortifikasi dibuat lebih cerah. Hal ini disebabkan oleh warna minyak goreng curah fortifikasi yang berwarna oranye, berbeda dengan warna minyak goreng curah yang biasa digunakan. Padahal warna oranye pada minyak goreng curah fortifikasi bukan menandakan bahwa minyak goreng tersebut kurang baik, namun karena karotenoid berwarna oranye yang larut dalam minyak.

Sebanyak 6,67% responden rumah tangga yang menyarankan sebaiknya minyak goreng curah fortifikasi digunakan dalam menggoreng tahu dan tempe. Selain itu, minyak goreng curah tersebut sebaiknya digunakan untuk menggoreng ikan, telur, dan bawang. Beberapa responden jasa boga (6,67%) menyampaikan bahwa minyak goreng curah fortifikasi sebaiknya digunakan untuk menumis sayur. Hal ini terkait warna yag dihasilkan pada produk gorengan tersebut dapat diterima dan disukai oleh responden.

Perbedaan Minyak Goreng Curah

Responden rumah tangga dan jasa boga diminta untuk membedakan minyak goreng curah yang diuji dibandingkan dengan minyak goreng curah yang biasa digunakan oleh responden. Selain membandingkan minyak goreng curah yang diujikan, responden pun diminta membandingkan produk gorengan dari minyak goreng curah yang diujikan dengan produk gorengan dari minyak goreng curah yang biasa digunakan responden. Sebaran responden rumah tangga dan jasa boga berdasarkan keberadaan perbedaan pada minyak goreng disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Sebaran responden rumah tangga dan jasa boga berdasarkan keberadaan perbedaan pada minyak goreng curah

Keberadaan perbedaan

Minyak Nonfortifikasi Minyak Fortifikasi Rumah Tangga (%) Jasa Boga (%) Rumah Tangga (%) Jasa Boga (%) Berbeda 73,33 50 93,33 96,67 Tidak Berbeda 26,67 50 6,67 3,33 Total 100 100 100 100

Sebagian besar responden rumah tangga (73,33%) dan 50% responden jasa boga menyatakan minyak goreng curah nonfortifikasi berbeda dari minyak goreng curah yang biasa digunakan responden. Perbedaan ini dapat dikarenakan warna dan aroma minyak goreng curah yang dirasakan berbeda oleh responden rumah tangga (Tabel 17). Hampir seluruh responden rumah tangga (93,33%) dan jasa boga (96,67%) menyatakan bahwa minyak goreng curah fortifikasi berbeda dengan minyak goreng curah yang biasa digunakan oleh responden. Hal ini terutama karena warna dan aroma minyak goreng curah tersebut. Sebaran responden rumah tangga dan jasa boga berdasarkan keberadaan perbedaan pada produk gorengan disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18 Sebaran responden rumah tangga dan jasa boga berdasarkan keberadaan perbedaan pada produk gorengan

Keberadaan perbedaan Nonfortifikasi Fortifikasi Rumah Tangga (%) Jasa Boga (%) Rumah Tangga (%) Jasa Boga (%) Berbeda 66,67 50 96,67 76,67 Tidak Berbeda 33,33 50 3,33 23,33 Total 100 100 100 100

Berdasarkan Tabel 18, sebagian besar responden rumah tangga (66,67%) dan 50% responden jasa boga menyatakan bahwa produk gorengan dari minyak goreng curah nonfortifikasi berbeda dengan produk gorengan dari

minyak goreng curah yang biasa digunakan oleh responden rumah tangga. Perbedaan yang dirasakan dapat dikarenakan oleh warna dan aroma dari produk gorengan. Hampir seluruh responden rumah tangga (96,67%) dan 76,67% responden jasa boga menyatakan bahwa terdapat perbedaan pada produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi dengan produk gorengan dari minyak goreng curah yang biasa digunakan responden. Hampir seluruh responden rumah tangga (96,67%) dan jasa boga (80%) menyatakan bahwa minyak goreng curah nonfortifikasi lebih baik dari minyak goreng curah fortifikasi. Hampir seluruh responden rumah tangga (96,67%) dan 76,67% responden jasa boga menyatakan bahwa produk gorengan dari minyak nonfortifikasi lebih baik dari minyak fortifikasi. Hal ini terutama karena warna minyak fortfifikasi yang berwarna oranye dari karotenoid yang larut dalam minyak, berbeda dengan minyak goreng curah yang biasa digunakan responden.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Rata-rata penggunaan minyak goreng curah responden rumah tangga adalah 185,35+70,21 gram/hari, sedangkan pada responden jasa boga lebih tinggi (rata-rata adalah 3,87 + 2,46 kg/hari). Penggunaan minyak goreng curah responden jasa boga lebih besar dari rumah tangga karena responden jasa boga menggunakan minyak goreng curah dalam pengolahan pangannya untuk memenuhi pesanan konsumen.

Sebagian besar responden rumah tangga (73,33%) dan jasa boga (66,66%) tidak dapat menerima minyak yang difortifikasi karoten RPO. Sebagian besar responden rumah tangga (66,67%) dan jasa boga (63,33%) tidak dapat menerima produk gorengan dari minyak goreng yang difortifikasi karoten dari RPO. Warna minyak goreng curah fortifikasi adalah oranye. Responden rumah tangga dan responden jasa boga menilai aroma minyak goreng curah fortifikasi adalah agak langu. Warna produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi antara kuning keemasan dan cokelat. Aroma dan rasa produk gorengan dari minyak goreng curah nonfortifikasi dan fortifikasi hampir sama, yaitu memiliki aroma agak harum dan rasa agak enak. Tekstur produk gorengan dari minyak goreng curah fortifikasi adalah biasa dan kurang renyah.

Hampir seluruh responden baik rumah tangga maupun jasa boga lebih memilih minyak goreng curah nonfortifikasi. Separuh (50%) responden rumah tangga dan 54,84% responden jasa boga memilih produk gorengan dari minyak goreng curah nonfortifikasi.

Keluhan yang terbanyak disampaikan mengenai minyak goreng curah fortifikasi adalah warnanya yang terlalu kuning (oranye) dan warna tersebut menempel pada produk goreng yang menyebabkan warnanya menjadi kekuningan. Keluhan terbanyak mengenai produk gorengan dari minyak fortifikasi adalah produk gorengan berwarna kuning.

Saran

Saran penelitian penerimaan dan preferensi rumah tangga dan jasa boga terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari RPO antara lain:

1. Minyak goreng curah yang difortifikasi karoten dari RPO sebaiknya digunakan untuk menggoreng bahan pangan yang relatif tipis seperti telur dadar dan menumis sayur serta produk gorengan yang hasilnya berwarna gelap seperti tempe goreng dan ikan goreng.

2. Sebaiknya konsumen diberikan edukasi mengenai minyak goreng yang difortifikasi karoten dari RPO dan cara menyimpan serta menggunakan minyak goreng tersebut.

3. Berdasarkan hasil penelitian, penerimaan minyak goreng curah fortifikasi rendah, maka dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai proses pembuatan RPO dengan metode refining yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1995. Minyak Goreng – SNI 01-3741-1995. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

____________________________. 1998. Tahu – SNI-01-3142-1998. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

[GAPKI] Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia. 2011. Sustainable Oil Palm Development: Challenges for Food Security. http://www.gapkiconference.org [13 April 2012].

[IOM] Institute of Medicine. 2001. Dietary Reference Intakes for vitamin A, vitamin K, Arsenic,Boron, … [et al.]. US: Standing Committee on the Sciencetific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food, and Nutrition Board. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Andarwulan N. 1992. Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali.

Ball GFM. 1988. Fat-Soluble Vitamin Assays in Food Analysis. USA: Elsevier Applied Science.

Boskou D, Elmadfa I. 1999. Frying of Food: Oxidation, Nutrient and Non-Niutrient Antioxidants, Biologically Active Compounds and High Ttemperatures. USA: CRC.

Butt MS, Sharif K, Huma N, Mukhtas T, Rasool J. 2004. Storage Studies Of Red Palm Oil Cookies. Proquest Agriculture. J Nutrition and Food Science 34(6):272

Briawan D, Karmini M. 2004. Acuan Label Gizi. Di dalam Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Carlier C, Coste J, Etchepare M, periquet B, Amedee-Manesme O. 1993. A

Randomised Controlled Trial To Test Equivalence Between Retinyl Palmitate And Β Carotene For Vitamin A Deficiency. British Medical Journal : 1106-10.

Choo YM et al. 1989. Palm Oil Carotenoid: Chemistry And Technology. Proc. Of. Int. Palm Oil Conf. PORIM, Kuala Lumpur.

Muhilal, Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Fiedler JL, Afidra R. 2010. Vitamin A Fortification in Uganda: Comparing The Feasibility, Coverage, Costs, And Cost-effectiveness of Fortifying Vegetable Oil And Sugar. Food and Nutrition Bulletin 31 (2). USA: The United Nations University

Fillion L dan Henry CJK. 1998. Nutrition Losses And Gains During Frying: A Review. International Journal Of Food Sciences And Nutrition 49(2):157 Gallagher ML. 2004. Vitamins. Di dalam: Mahan LK, Escott-Stump E . Krause’s

Food, Nutrition, & Diet Therapy. USA: Elsevier.

Hadi S. 2010. Quatitative Descriptive Analysis (QDA) mie instan dengan Red Palm Olein (RPO) sebagai seasoning oil ingridien [skripsi]. Bogor: IPB. Hardinsyah. 2002. Konsumsi Minyak Goreng di Indonesia. Di dalam: Hardinsyah,

Amalia L, dan Setiawan B. Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Jakarta: Komisi Fortifikasi Nasional

Hariyadi P. 2002. Kelayakan Teknis Fortifikasi Vitamin A Pada Minyak Goreng. Di dalam: Hardinsyah, Amalia L, dan Setiawan B. Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Jakarta: Komisi Fortifikasi Nasional

Heymann H, Lawless HT. 2010. Sensory Evaluation of Food, 2nd Edition. USA: Springer.

Indiarto N, Slamet M, Soetrisna N. 1996. Analisis Struktur Industri dan Usaha Minyak Goreng. Di dalam: Amang B, Simatupang P, Rachman A. Ekonomi Minyak Goreng. Bandung: IPB Press.

Jatmika A, Guritno P. 1997. Sifat Fisiko Kimia Minyak Goreng Sawit Merah dan Minyak Goreng Sawit Biasa. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 5(2):127-138 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 715/Menkes/SK/V/2003

Ketaren. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI . 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Khomsan et al. 2006. Studi Tentang Pengetahuan Gizi Ibu dan Kebiasaan

Makan pada Rumah Tangga di Daerah Dataran Tinggi dan Pantai. Jurnal Pangan dan Gizi 1(1):23-28

Kritchevsky D. 2000. Impact Of Red Palm Oil On Human Nutrition And Health. Food and Nutrition Bulletin, 21 (2). USA: United nations university press Lietz et al. 2001. Comparison Of The Effect Of Supplemental Red Palm Oil And

Sunflower Oil On Maternal Vitamin A Status. Am J Clin Nutr 74:501-9 Lotfi M et al. 1996. Micronutrient Fortification of Foods. Netherland: International

Manorama R, Brahmam GNV, Rukmini C. 1995. Red Palm Oil As Source Of β- Carotene For Combating Vitamin A Deficiency. Plan Foods for Human Nutrition 49: 75-82.

Martianto et al. 2005. Possibility of Vitamin A Fortification of Cooking Oil in Indonesia: A Feasibility Analysis. Jakarta: Koalisi Fortifikasi Indonesia Matthaus B. 2007. Use oil for frying in comparison with other high-stability oils.

Eur J Lipid Sci. Technol. 109: 400-409.

Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques, 3rd edition. USA: CRC

Muchtadi TR. 1996. Peranan Teknologi Pangan Dalam Peningkatan Nilai Tabah Produk Minyak Sawit Indonesia. Bogor: IPB

Mukherjee S, Mitra A. 2009. Health Effect of Palm Oil. J Hum Ecol 26(3):197-203 Nagendran B, Unnithan UR, Choo YM, Sundram K. 2000. Characteristics Of Red

Palm Oil, A Carotene-And Vitamin E-Rich Refined Oil For Food Uses. Food and Nutrition Bulletin, 21 (2). USA: United nations university press Nugraheni S. 2000. Pengaruh penambahan antioksidan terhadap stabilitas

minyak goreng curah selama pemanasan minyak goreng curah selama pemanasan dan penyimpanan [skripsi]. Bogor:IPB

Olson JA. 1990. Vitamin A. Di dalam: LJ Machlin, editor. Handbook of Vitamins (2nd ed.) (hlm 1-58). New York: Marcel Dekker

Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.87 Tahun 2010. Tata cara pendaftaran usaha jasa makanan dan minuman.

Puspitasari-Nienaber NL. 2002. Stability of carotenoids in red palm oil and its effects on their bioavailability, provitamin a activity and toxicity [Disertasi]. USA: Ohio State University

Puysuwan L, Chavasit V, Sungpuang P, Hediger D, Punyichai T. 2007. Feasibillity and use of vitamin A-fortified vegetable oils among consumers of different sosioeconomic status in Thailand. Food and Nutrition Bulletin, 28,(2). USA: United nations university press

Rao BSN. 2000. Potential Use Or Red Palm Oil In Combating Vitamin A Deficiency In India. Food and Nutrition Bulletin, 21 (2). USA: United nations university press.

Resurreccion AVA. 1998. Consumer Sensory Testing For Product Development. United States of America: Aspen Publisher

Sanghvi T, Dary O, Houston R. 2007. How Can Vitamin And Mineral Deficiences Be Reduced?. Food and Nutrition Bulletin, 28 (1). USA: The United Nations University

Scrimshaw NS. 2000. Nutritional Potential Of Red Palm Oil For Combating Vitamin A Deficiency. Food and Nutrition Bulletin, 21 (2). USA: United nations university press.

Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori Untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor:IPB Press

Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik. Jakarta: Bhratara Karya Aksara Soekirman. 2008. Fortifikasi Pangan: Program Gizi Utama Masa Depan?.

Jakarta: Koalisi Fortifikasi Indonesia

Stone JL, Sidel H. 2004. Sensory Evaluation of Food: Principles and Practices. USA: Elsevier

Sukandar D. 2007. Studi Sosial Ekonomi, Aspek Pangan, Gizi, dan Sanitasi. Bogor: IPB

Sulaeman A, Giraud DW, Keeler L, Taylor SL, Driskerll JA. 2002. Stabilitas Karotenoid Provitamin A Dalam Keripik Wortel Selama Penggorengan dan Penyimpanan. Di dalam: Hardinsyah, Amalia L, dan Setiawan B. Fortifikasi Tepung Terigu dan Minyak Goreng. Jakarta: Komisi Fortifikasi Nasional

Trimulyono H. 2008. Penerimaan konsumen terhadap minyak goreng curah yang difortifikasi vitamin a [skripsi]. Bogor: IPB.

Van Stuijvenberg ME, Dhansay MA, Lombard CJ, Faber M, Benade AJS. 2001. The Effect Of A Biscuit With Red Palm Oil As A Source Of β-carotene On The Vitamin A Status Of Primary School Children: A Comparison With β- Carotene From A Synthetic Source In A Randomised Controlled Trial. European Journal of Clinical Nutrition 55: 657-662.

WHO. 1991. Diet Nutrition, and The Prenvention of Chronic Disease. WHO Technical Report Series 797. Geneva: WHO

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press .1999. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. Bogor: IPB.

.1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia

Dokumen terkait