• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman membaca puisi adalah pengalaman berhadapan dengan teror kata-kata yang bisa mempesonakan

Ab du l Ha d i W. M . :

D ar i P u i s i Ke Te or i

Sosok Abdul Hadi W.M sangat dikenal sebagai penyair

sufi. Kesufiannya itu tergambar dari pembawaannya

yang tenang dan meneduhkan kesannya. Namun, jika kita sudah bergaul lebih jauh, kesan itu bergeser, ia benar-benar penyair yang tegas dan tidak kenal kompromi. Apalagi jika itu menyangkut masalah kualitas karya. Mungkin tepat jika dia digambarkan juga sebagai sosok pribadi Abdul Hadi W.M. yang berprinsip. Tak mengherankan juga jika banyak yang memplesetkan nama belakangnya W.M. atau Widji Muthari menjadi Wong Madura sebab pria kelahiran 24 Juni 1946 ini memang berasal dari keturunan saudagar Tionghoa yang hijrah dan menetap di Sumenep. Sejak kecil oleh ayahnya K. Abu Muthar dan ibunya RA. Martiya, Abdul Hadi sudah diperkenalkan pada bacaan dan pemikiran tokoh-tokoh seperi Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, Muhammad Iqbal.

Sosok yang tegas yang selalu berkorelasi dengan kedisiplinan ditunjukkan Abdul Hadi yang saat ini menjadi Profesor di Universitas Paramadina, kampus tempat Abdul Hadi mengabdikan dirinya sebagai guru besar dan pengajar. Kedisiplinanya ditunjukkan pada suatu kesempatan dalam penjurian Hadiah Sastra Mastera, kami berjanji menjemputnya pukul 15.00 di kampusnya. Sampai di Paramadina ternyata Abdul Hadi sudah menunggu tepat sesuai waktu sehingga kami tidak perlu menunggu.

Kedisiplinan ditambah dengan kecerdasannya dalam berkarya atau berproses kreatif inilah yang membuatnya meraih beberapa penghargaan.

Penghargaan yang belum lama diterimanya adalah Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia (2010) dari Presiden Bambang Yudoyono yang diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Penghargaan sebelumnya di antaranya Hadiah

Buku Puisi Terbaik DKJ (1978), South-East Asia (SEA) Write Award, Bangkok, Thailand (1985), Penghargaan Sastra Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) (2003) untuk karya nonkreatif berkat bukunya yang berjudul Tasawuf yang Tertindas.

Penghargaan-penghargaan itu layak diterima dalam perjalanan kariernya sebab ia penyair dan pemikir budaya yang aktif dalam berbagai kegiatan. Sejak mahasiswa dia menjadi redaktur Gema Mahasiswa (1967-1968), redaktur Mahasiswa Indonesia (1969-1974), Budaya Djaja (1977-1978), Umul Qur’an, dan harian Berita Buana. Ia juga pernah menjadi redaktur Balai Pustaka (1981-1983). Melalui media ini Abdul Hadi berhasil mengajak pembacanya menyelami aspek religiusitasnya. Lirik puisinya yang sangat mudah diingat adalah Tuhan kita begitu dekat. Melalui karya-karyanya Abdul Hadi menyebarkan pengetahuan keagamaannya yang sangat

dalam tentang dunia sufi. Dunia inilah Abdul Hadi tekankan dalam karyanya. Sufisme baginya tidak bisa

dipandang sebagai dogma agama saja. Setiap orang

harus melihat bahwa sastra sufisme ini sebagai bagian

kebudayaan yang universal termasuk peradaban dan estetikanya.

Sampai saat ini Abdul Hadi terus berkarya dan konsisten dengan gayanya. Sajaknya yang terbaru Cinta yang dibuat tahun 2011 memperlihatkan bahwa perasaan penyair semakin halus dan tambah bijaksana. Dalam sajak itu terdapat bait-bait yang menyentuh perasaan Cinta serupa dengan laut/Selalu ia terikat pada arus, Setiap kali ombaknya bertarung/Seperti tutur kata dalam hatimu sebelum mendapat bibir yang/ Mengucapkannya/ Angin kencang datang dari jiwa/Air berpusar dan gelombang naik/Memukul hati kita yang telajang//Dan menyelimutinya

kekuatan bahasa yang diungkapkan dalam pilihan kata-katanya. Misalnya Siang ternyata hanya seorang pejalan jauh/ Di atas kepalanya tak pernah teduh/ udara kosong. Dan burung-burung hanya beterbangan/Bagai kasih dan bisik-bisik kita/Bagai lembut tangan dan cita sia-sia kita/ dan kata-kata mengalir bagai sungai ke lautan biru. Dalam sajaknya “Cinta” dia mengatakan Kau di sampingku/ Aku di sampingmu/ kata-kata adalah jembatan/ Waktu adalah jembatan/ Tapi yang mempertemukan adalah kalbu yang saling memandang//

Berbeda dengan Sutardji Chalzoum Bachri yang terkenal dengan kredonya yang ingin membebaskan kata dari beban makna, Abdul Hadi justru masih berpegang pada kekuatan kata dengan beban makna yang dikenal luas. Baginya kata-kata atau bahasa merupakan sebuah media komunikasi atau alat ekspresi terpenting yang tidak dapat digantikan oleh media lain dan dengan itu, dia memandang bahasa sebagai seni kata. Baginya bahasa adalah sarana perwujudan pemikiran dan gagasan. Dengan bahasa, ia menggores pengalaman-pengalaman batin dan sejarahnya. Bahasa dipakai sebagai alat untuk menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Baginya tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa.

Dengan pemikiran itu, Abdul Hadi memanfaatkan kekuatan bahasa semaksimal mungkin sebagai alat ucapnya dalam berestetika seperti yang terlihat dalam karya-karyanya yang sudah diciptakannya sejak tahun 1970-an, di antaranya dalam Arjuna in Meditation dan Meditasi, Tergantung pada Angin. Cermin, dan Tergatung pada Angin, Anak Laut Anak Angin. Dengan bahasa ia mengajak pembaca masuk ke dalam perjalanan religiusnya yang bermuara pada kalbu. Abdul Hadi juga memandang betapa kalbu mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan. Dalam kalbu bersemayam rasa ketuhanan sehingga dalam salah satu sajaknya

api dengan panasnya, seperti kain dengan kapasnya”. Kedekatan itulah yang membawanya pada pemikiran

dan nyanyian sufi.

Bagi kaum sufi, estetika bukan hanya sebagai seni atau

gaya, melainkan juga pemikirannya yang dikenal dengan

estetika sufi. Kaum sufi menganggap seni, termasuk

sastra dipakai sebagai media untuk meningkatkan pengalaman-pengalaman kerohanian dan keagamaan yang tidak diperoleh melalui ritual-ritual lainnya. Dalam

dunia sufi dikenal istilah tajarrud, suatu cara untuk membebaskan diri dari dunia materi ke dunia spiritual. Berbagai media, termasuk alat-alat musik menjadi sarana untuk naik ke alam kerohanian, pusat keimanan. Baginya keimanan ada di dalam alam rohani, bukan alam material ini. Bukan jasad yang beriman, tapi kalbu. Bagi Abdul Hadi kalbu harus dididik, salah satunya melalui kesenian. Dengan begitu bukan hanya tubuh yang dibuat disiplin, tapi juga kalbu. Pendidikan kalbu inilah yang sangat sarat dalam perjalanan kepenyairannya.

Konsep tersebut menjadi ruh dalam karya-karyanya. Dia dengan kesadaran penuh mengajak para pembacanya untuk mengalami perjalanan religiusnya sebagai seorang

sufi yang banyak membahas masalah waktu, kesepian,

dan kematian. Pemikiran-pemikiran yang mendalam itu dipelajari dari bacaannya yang sejak masa muda sudah digeluti. Bukan hanya pemikiran dari tokoh Rabindanath Tagore, Muhammad Iqbal, dan Imam Gazali saja yang digeluti, ia juga akrab dengan pemikir-pemikir tanah air, khususnya Jawa, Sunda, Aceh, dan Melayu, seperti Hamzah Fansuri dan Ronggowarsito.

Dalam kesehariannya, Abdul Hadi juga sangat dekat dengan dunia pesantren, di Madura bersama Zawawi Imron dan A. Fudhali Zaini, ia mendirikan Pesantren aB-Naba, sebuah pesantren yang banyak mengajarkan

berbagai seni, mulai dari seni sastra, seni rupa, kaligrafi,

mengukir, sampai seni musik. Seni baginya dapat menembus hati, alam rohani dalam diri manusia,

tempat iman bersemayam. Oleh sebab itu, pendidikan seni sangat penting sebab pendidikan tidak hanya bersentuhan dengan etika dan moral, melainkan juga membawa suasana hati penikmatnya menjadi baik.

Kini di samping terus berkarya, Abdul Hadi lebih banyak menyiarkan ilmunya dalam dunia pendidikan. Di sini dia banyak mengajarkan pemikiran-pemikirannya yang semakin matang ke dalam bentuk teori. Dunia ini semakin dihayati sejak ia kembali dari Universitas Sains Malaysia, universitas yang telah menjadikannya seorang doktor dengan membahas karya Hamzah Fansuri. Karya-karyanya yang bersifat ilmiah dan teoritis ini dituangkan dalam buku, Kembali ke Akar

Kembali ke Sumber: Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik

(Pustaka Firdaus, 1999), Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya (Pustaka Firdaus, 1999), Tasawuf Yang Tertindas, serta Hermeneutika Sastra Barat dan Timur (Pusat Bahasa, 2009). Dalam buku terakhir itu, Abdul Hadi membahas pentingnya hermeneutika sebagai salah satu cabang

filsafat yang memberi perhatian pada estetika. Estetika

memainkan peranan yang penting dalam kehidupan manusia dan sejarah peradaban, khususnya dalam membentuk tradisi suatu bangsa (Mu’jizah).

MASTERA

Dokumen terkait