• Tidak ada hasil yang ditemukan

PETA WILAYAH KELURAHAN UTAN KAYU UTARA JAKARTA TIMUR

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes

Hasil pengamatan tempat perindukan Aedes pada 20 RT di perumahan RW. 10. Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur ditemukan 31 rumah positif larva Aedes dari 270 jumlah rumah yang di kunjungi (HI = 11,5%). Dari 556 jumlah kontainer yang diperiksa ditemukan 36 kontainer positif larva (CI = 6,5%) dan (BI= 13,3), (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah rumah dan wadah yang di periksa serta prosentase indeks larva di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara - Jakarta Timur, tahun 2006

No Komponen Jumlah

1 Rumah yang diperiksa 270

2 Rumah Positif 31 (+)

3 House indeks (HI) 11,5%

4 Kontainer yang diperiksa 556

5 Kontainer positif 36 (+)

6 Container indeks (CI) 6,5%

7 Breteau indeks (BI) 13,3

Keterangan : (+) = rumah tangga dan TPA positif ditemukan larva/pupa

Bila dibandingkan dengan pengamatan jentik di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur pada kasus kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2003 menunjukkan angka jentik/larva HI = 22,6%, CI = 11,4%, BI = 30,3 (Hasyimi et al. 2003). Di Kelurahan Papanggo RW.04, Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara pada tahun 2001 menunjukkan angka jentik/larva HI = 100%, CI = 55% dan BI = 319,3. Pada lokasi, tahun dan waktu yang sama di RW.05, angka jentik/larva yang diperoleh lebih rendah dari RW.05 HI = 27,3% , CI = 17,9% dan BI = 33,7 (Hasyimi & Soekirno, 2001). Di desa Cikarawang Bogor HI = 7,6%, CI = 13,4% dan BI = 14,8 (Agustina, 2006). Hasil pengamatan di lokasi penelitian termasuk ke dalam risiko rendah.

Menurut indikator WHO angka indeks larva termasuk dalam risiko rendah karena berada pada skala 3 yaitu yang mempunyai ambang batas untuk indeks rumah antara 8-17%, indeks kontainer 6-9% dan indeks breteau 10-19. Dari ketiga indeks larva tersebut diatas breteau indeks merupakan prioritas terbaik yang digunakan untuk memperkirakan densitas karena

26

sudah mengkombinasikan keduanya baik rumah dan wadah (Chan, 1985). Suatu wilayah dengan BI = 2 atau kurang termasuk dalam risiko aman, bila BI = 5-20 (risiko rendah), bila BI = 20-35 (risiko sedang) dan bila BI = 35-50 atau lebih (risiko tinggi) (WHO, 1994).

Rendahnya risiko di lokasi penelitian diasumsikan berhubungan dengan adanya perilaku masyarakat di lokasi penelitian yang rutin melakukan PSN setiap jumat, sehingga vektor tidak sempat berkembangbiak. Hampir semua masyarakat di lokasi penelitian menggunakan air olahan (PAM), sehingga tidak memerlukan penyimpanan air dalam tempat yang besar dan dalam waktu yang lama.

Focks dan Cladee (1997) mengatakan bila persediaan air terjamin dan sanitasinya lebih baik dengan demikian wadah yang positif larva Aedes berkurang sehingga dapat

meminimalkan nyamuk Aedes dewasa. Walaupun kepadatan larva tidak dapat

menggambarkan kepadatan nyamuk Aedes dewasa karena ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk perkembangan dari fase larva menjadi dewasa. Perkembangan larva dipengaruhi oleh kondisi air seperti salinitas, suhu air, oksigen, pH dan zat-zat kimia maupun mikroorganisme yang terkandung di dalamnya.

Namun demikian diharapkan dengan mengetahui keberadaan dan penyebaran larva kita bisa memprediksi kemungkinan adanya kasus dan cara pengendaliannya sebelum terjadi wabah.

Pemilihan nyamuk betina pada media untuk bertelur di pengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban, cahaya, jarak terbang, indera penglihatan, penciuman (aroma) dan fisik media tempat meletakan telur (Tilak et al. 2005). Seperti yang telah dikatakan oleh Fock dan Cladee (1997) bahwa untuk keperluan pemberantasan penyakit demam berdarah, di Vietnam survei entomologi sudah diorientasikan pada identifikasi tempat penampungan air dan surveilans kepadatan nyamuk dewasa, ternyata lebih bermanfaat dari pada data angka larva.

Jenis-jenis wadah yang paling banyak terdapat larva di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3. Dari tabel tersebut diketahui perolehan larva tertinggi pada jenis bak mandi sebesar (50%), kemudian tempayan (19,4%), dan yang terendah pada saluran air buangan lain (2,8%). Untuk jenis wadah drum dan dispenser perolehan larva sama yaitu (8,3%) demikian pula dengan jenis wadah ember dan vas bunga keduanya memperoleh hasil yang sama yaitu (5,6%).

Angka-angka tersebut diatas menunjukan jenis wadah bak mandi mempunyai prosentasi paling tinggi karena sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian menggunakan bak mandi,

27

kemudian tempayan, kedua jenis wadah tersebut biasanya mempunyai volume air yang besar. Paling sedikit pada saluran air lain karena hanya beberapa rumah saja yang mempunyai saluran air lain di rumahnya. Prosentase yang sama antara drum dan dispenser juga antara ember dan vas bunga disebabkan larva yang ditemukan di masing-masing jenis wadah tersebut mempunyai prosentasi yang sama dalam memfasilitasi adanya larva di lokasi penelitian.

Tabel 3 Prosentase jenis-jenis tempat penampungan air yang positif larva/pupa di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara - Jakarta Timur, tahun 2006

No Jenis Kontainer Jumlah (+) (%)

1 Bak mandi 18 50 2 Tempayan 7 19,4 3 Drum 3 8,3 4 Ember 2 5,6 5 Vas Bunga 2 5,6 6 Dispenser 3 8,3

7 Saluran Air Lain 1 2,8

Total 36 100

Keterangan : Jumlah (+) = Jumlah TPA positif ditemukan larva/pupa

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian di Bogor jenis wadah tempat penampungan air yang paling tinggi ditemukan positif larva A aegypti adalah pada wadah jenis drum 27,5% (Sigit & Koesharto, 1998). Hasil studi di Kelurahan Papanggo RW.04 Kecamatan Tanjung Priok paling banyak ditemukan larva Aedes adalah pada wadah jenis bak mandi 65,4%, sedangkan di RW.05 pada wadah jenis tempayan 66,7% (Hasyimi & Soekirno, 2001). Di Kecamatan Pasar Rebo tempat penampungan air yang paling banyak ditemukan larva adalah pada wadah jenis bak mandi 31,8% (Hasyimi et al. 2003) dan Agustina (2006) di desa Cikarawang, Bogor jenis wadah yang paling banyak ditemukan larva A. aegypti yaitu pada tangki air 33,3%. Perbedaan hasil penentuan jenis wadah yang memfasilitasi larva Aedes tertinggi pada lokasi penelitian dan pembanding, disebabkan masing-masing wilayah tertentu mempunyai kesenangan akan pemilihan jenis tempat penampungan air yang digunakan. Tetapi dari pengamatan di lokasi penelitian dan pembanding dari angka-angka yang diperoleh

28

jenis wadah yang paling banyak ditemukan larva adalah bak mandi, drum, tempayan dan tangki air yang merupakan jenis wadah dengan volume air yang besar.

Menurut Focks dan Cladee (1997) jenis-jenis tempat penampungan air yang paling sering ditemukan larva yakni tempayan, drum dan bak mandi dalam memfasilitasi perolehan larva Aedes. Ketiganya termasuk tempat penampungan air berukuran besar yang sulit untuk mengganti airnya, sehingga keberhasilan perkembangbiakan nyamuk Aedes didukung oleh ukuran tempat penampungan air yang cukup besar dan air yang berada didalamnya cukup lama (Hasyimi & Soekirno, 2001).

Kemampuan jenis-jenis tempat penampungan air sebagai tempat tersedianya organisme air dapat bertindak sebagai sumber makanan, kompetitor, predator dan parasit yang di prediksi akan mempengaruhi perkembangan larva menjadi dewasa, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.

Bahan dasar wadah yang ditemukan larva disajikan pada Tabel 4. Sebagian besar di lokasi penelitian ditemukan larva pada wadah yang terbuat dari bahan dasar plastik (55,6%), keramik (25,0%) dan paling sedikit pada bahan dasar semen (19,4%). Di lokasi penelitian sebagian besar masyarakat menggunakan wadah dengan bahan dasar plastik untuk bak, tempayan, drum dan ember sehingga perolehan larva dengan bahan dasar ini lebih tinggi dari pada yang lainnya.

Tabel 4 Prosentase bahan dasar tempat penampungan air yang positif larva/pupa yang pada perumahan RW.10 Kelurahan Utan Kayu Utara - Jakarta Timur, tahun 2006

No Bahan Dasar Jumlah (+) (%)

1 Keramik 9 25,0

2 Plastik 20 55,6

3 Semen 7 19,4

Total 36 100

Keterangan : Jumlah (+) = jumlah bahan dasar positif ditemukan larva/pupa

Hal ini berbeda dengan pengamatan Hasyimi dan Soekirno (2001) di Tanjung Priok Jakarta Utara. Prosentase perolehan larva tertinggi pada bahan dasar logam 45,2%. Agustina

29

(2006) melaporkan di desa Cikarawang, Bogor prosentase paling banyak ditemukan larva pada wadah dengan bahan dasar semen 20,0%.

Angka kematian terendah terdapat pada wadah yang terbuat dari semen dan yang tertinggi pada wadah yang terbuat dari keramik. Hal ini terjadi karena mikroorganisme yang menjadi makanan larva lebih mudah tumbuh pada dinding wadah yang kasar (Sungkar, 1994). Banyak sedikitnya larva yang diperoleh diduga berkaitan dengan makanan jentik yang tersedia. Sedangkan makanan yang tersedia biasanya dipengaruhi oleh bahan dasar tempat penampungan air (Katyal et al. 1997).

Warna wadah yang ditemukan larva disajikan pada Tabel 5. Dari tabel diketahui ternyata wadah yang positif larva lebih banyak dijumpai pada wadah berwarna biru (41,7%), kemudian pada warna putih, abu-abu dan coklat hasil larva yang diperoleh sama (13,9%), warna merah (8,3%), warna hitam (5,5%) dan yang paling sedikit pada warna hijau (2,8%).

Tabel 5 Prosentase warna tempat penampungan air yang mengandung positif larva/pupa di Perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara - Jakarta Timur, tahun 2006

No Warna Kontainer Jumlah (+) (%)

1 Putih 5 13,9 2 Abu-abu 5 13., 3 Merah 3 8,3 4 Biru 15 41,7 5 Hijau 1 2,8 6 Coklat 5 13,9 7 Hitam 2 5,5 Total 36 100

Keterangan : Jumlah (+) = Jumlah warna TPA ditemukan larva/pupa

Menurut Harwood dan James (1979) daya tarik nyamuk betina meletakkan telurnya dipengaruhi oleh warna wadah, suhu, kelembaban, cahaya dan kondisi lingkungannya. Penelitian lain di Buenos Aires, Argentina menemukan tempat penampungan air dari bahan dasar plastik berwarna hitam banyak mengandung larva A. aegypti 82,1% (Vezzani et al. 2002). Perbedaan hasil perolehan antara peneliti dan pembanding karena

30

penampungan air yang berbeda-beda baik dalam jenis, bahan dasar dan warna yang digunakan. Di perkirakan dapat mempengaruhi prosentase perolehan larva pada setiap wilayah tersebut.

Dokumen terkait