STUDI HABITAT DAN PERILAKU MENGGIGIT
Nyamuk
Aedes
SERTA KAITANNYA DENGAN KASUS
DEMAM BERDARAH DI KELURAHAN UTAN KAYU UTARA
JAKARTA TIMUR
BONITA AYU NOVELANI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Pernyataan Mengenai Tesis dan Sumber Informasi
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul
Studi Habitat Dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah Di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakart Timur
adalah benar-benar karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun. Semua informasi yang berasal dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun yang tidak
diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Juni 2007
Bonita Ayu Novelani
ABSTRACT
BONITA AYU NOVELANI. Study Habitants and Blood Sucking Behaviour Aedes Mosquito and The Potency of Dengue Haemorraghic Faver at Utan Kayu Utara Village East Jakarta. Supervised by F.X. KOESHARTO dan UPIK KESUMAWATI HADI.
This study was aimed to asses the potency of A.aegypti and A. albopictus as the primary and secondary vectors of dengue fever. The data were gathered through adult and larva collection of mosquitoes and method of interview. The area observation was at Utan Kayu Utara village, Matraman subdistrict, East of Jakarta. Method of research was an observation of larvae and the results showed house index (HI) rate was 11.5%, container index (CI) rate was 6.5%, and Breteau index (BI) rate was 13.3 %. Method of biting rate index (indoor) and house density index of A. aegypti was the highest on May compare to the other months. Peak activity was the highest on 08.00-12.00 am and 04-06 pm. The population of A. aegypti was also dominant
compare to A. albopictus at human dwelling. Method of biting rate index (outdoor) of
ABSTRAK
BONITA AYU NOVELANI. Studi Habitat dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur. Dibimbing oleh F.X KOESHARTO dan UPIK KESUMAWATI HADI.
Penelitian A. aegypti sebagai vektor utama dan A. albopictus sebagai vektor sekunder bertujuan untuk mengetahui kemampuannya sebagai penyebab demam berdarah dengue. Data-data di peroleh melalui koleksi larva dan nyamuk dewasa serta kuisioner. Penelitian dilakukan di wilayah pemukiman penduduk Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman Jakarta Timur. Hasil pengamatan larva di perumahan RW.10 untuk indeks rumah (HI) = 11,5%, indeks kontainer (CI) = 6,5% dan indeks breteau (BI) = 13,3. Penangkapan nyamuk melalui metode umpan orang dalam (indoor) dan sedang hinggap A. aegypti, diperoleh hasil tangkapan tertinggi di lokasi perumahan pada bulan Mei dengan puncak aktif menggigit pada jam 08.00-12.00 dan 16.00-18.00. A. albopictus di kedua lokasi ini tidak ditemukan. Dengan metode umpan orang luar (outdoor) diperoleh hasil tangkapan tertinggi
A. aegypti di lokasi sekolah pada bulan Juni dengan puncak aktif menggigit pada jam 12.00-14.00 dan 14.00-16.00. Adapun A. albopictus hasil tangkapan tertinggi juga diperoleh di lokasi sekolah pada bulan April dengan puncak aktif menggigit pada jam 08.00-10.00 dan 16.0.-18.00. Suhu di lokasi penelitian antara 29,6 -31,5°C dan kelembaban 68%-80% dengan kepadatan tertinggi A. aegypti pada bulan Mei sementara A. albopictus pada bulan Juni. Masyarakat di RW.10 Kelurahan Utan Kayu Utara hampir seluruhnya mengetahui mengenai
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memberbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya
STUDI HABITAT DAN PERILAKU MENGGIGIT
Nyamuk
Aedes
SERTA KAITANNYA DENGAN KASUS
DEMAM BERDARAH DI KELURAHAN UTAN KAYU UTARA
JAKARTA TIMUR
BONITA AYU NOVELANI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Entomologi Kesehatan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Tesis : Studi Habitat dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah Di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur.
Nama mahasiswa : Bonita Ayu Novelani. Nomor Pokok : B.052040041.
Program Studi : Entomologi Kesehatan.
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. F. X. Koesharto, M.Sc Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S Ketua. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi Kesehatan
Dr.drh.Upik Kesumawati Hadi, M.S. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
PRAKATA
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunianya, sehingga proposal tesis ini dapat terselesaikan. Latar Belakang Penelitian berdasarkan kasus DBD yang terus meningkat. Serta kejadian KLB di DKI Jakarta yang setiap tahun menjadi prosentase tertinggi dalam jumlah kasus. Judul tesis yakni : Studi Habitat Dan Perilaku Menggigit Nyamuk Aedes Serta Kaitannya Dengan Kasus Demam Berdarah Di Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur.
Selama merencanakan, melaksanakan dan menyusun tesis, penulis banyak dibantu oleh para komisi pembimbing, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak DR. drh. F.X. Koesharto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu DR. drh. Upik Kesumawati Hadi, M.S sebagai anggota komisi pembimbing, atas saran dan bimbingannya, serta Ibu DR. drh. Susi Soviana, M.Si atas kesediaannya menguji dalam sidang tesis penulis.
Terima kasih kepada Bapak Prof. DR. drh. Singgih H. Sigit, M.S, Ibu DR. drh. Dwi
Jayanti Gunandhini, M.Si, Bapak DR. drh. Ahmad Arif Amin, atas Ilmu Pengetahuan yang saya peroleh selama mengikuti pendidikan. Semua pegawai Entomologi Kesehatan (Ibu Juju, Bapak Yunus, Bapak Heri, drh. Sugiarto, Ibu Een, Bapak Taufik, Bapak Nanang) atas kekeluargaan dan bimbingan praktikumnya selama ini. Teman-temanku Marisa, M.Si, Elita Agustina, M.Si (ENK’04), Nurbariah, M.Si (BRP’04), Yanie P Ritonga, M.Si dan Adnan Albahry, M.Si (TPP’04) atas bantuan dan persahabatannya.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan & Pemberantasan Penyakit Menular. Provinci Healt Project II Departemen Kesehatan RI, yang telah memberikan ijin dan biaya selama mengikuti pendidikan pada program studi Entomologi Kesehatan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua Bapak R. Ibnu Pamudjo dan Ibu. R. ngt. Darwati. yang tanpa henti-hentinya berdoa, memberikan dorongan dan pengorbanan moral maupun materil hingga selesainya studi ini.
Mas Agus dan istri (Mbak Yati), Dik Endro dan istri (Dedeh), Dik Pungki dan istri (Lia)) serta ponakan-ponakan tercinta dan terkasih (Mas Arif, Mbak Gusti, Mas Naufal, Mbak Dea, Mas Baron, Mbak Anggi dan Dik Rafa) atas Doa, cinta, semangat, bantuan, dukungan, serta keceriaan dan kegembiraan yang kalian berikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 25 Nopember 1969 dari Bapak bernama R. Ibnu Pamudjo dan Ibu bernama R. ngt. Darwati. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara (2 orang telah berpulang ke Rahmatullah).
Pendidikan Sarjana di tempuh di Teknik Lingkungan Universitas Satya Negara Indonesia 1996-2002. Pada tahun 2004, penulis melanjutkan Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Entomologi Kesehatan Institut Pertanian Bogor di Bogor dan menamatkannya pada tahun 2007, mendapat bantuan biaya dari Provincial Healt Project II (PHP II), Departemen Kesehatan RI.
Sejak tahun 1998, penulis bekerja di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKL dan PPM), berlokasi di Jl. Balai Rakyat No. 2 Cakung Timur, Jakarta Timur, merupakan satu unit kerja Pemberantasan Penyakit Menular
DAFTAR ISI
Aktifitas Menghisap Darah ... 11
Pengaruh Lingkungan Fisik ... 12
Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat ... 13
Pengendalian ... 15
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17
Metode Penelitian ... 17
Pengamatan Tempat Perindukan Larva... 17
Penangkapan Nyamuk Aedes... 18
Penangkapan Nyamuk Aedes Dengan Umpan Badan ... 21
Penangkapan Nyamuk Aedes Sedang Hinggap/ Istirahat... 22
Pengamatan Lingkungan Fisik ... 24
Pengamatan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat ... 24
Analisis Data ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN A Pengamatan Tempat Perindukan Aedes ... 25
B Kepadatan Nyamuk Aedes (Angka hinggapan) ... 30
C Nyamuk Aedes yang Tertangkap Berdasarkan Bulan Penangkapan... .. 30
D Nyamuk Aedes yang Tertangkap Berdasarkan Jam Penangkapan... .. 38
E Pengamatan Lingkungan Fisik ... 45
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Data Kasus dan Kematian Penderita Demam Berdarah Dengue
di DKI Jakarta... 3 2 Jumlah rumah dan wadah yang diperiksa serta prosentase indeks
larva di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta
Timur Tahun 2005 ... 25 3 Prosentase jenis-jenis tempat penampungan air yang positif larva di
perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur
Tahun 2006 ... 27 4 Prosentase bahan dasar tempat penampungan air yang positif
larva/pupa di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara,
Jakarta Timur Tahun 2006... 28 5 Prosentase warna tempat penampungan air yang positif larva/pupa
di perumahan RW.10 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur
Tahun 2006... 29 6 Rata-rata dan prosentase nyamuk Aedes yang tertangkap dengan
metode umpan orang dalam rumah, sekolah dan kantor (UOD) di Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d Agustus 2006...
32
7 Rata-rata dan prosentase nyamuk Aedes yang tertangkap dengan metode umpan orang luar rumah, sekolah dan kantor (UOL) di Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d Agustus 2006...
34
8 Rata-rata dan prosentase nyamuk Aedes yang tertangkap dengan metode penangkapan nyamuk hinggap di dalam rumah, sekolah dan kantor di Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d Agustus 2006...
36
9 Rata-rata dan prosentase nyamuk Aedes tertangkap dengan metode umpan orang dalam rumah, sekolah dan kantor (UOD) di Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur pada jam 08.00-20.00 dalam bulan April s/d Agustus 2006...
40
10 Rata-rata dan prosentase nyamuk Aedes tertangkap dengan metode umpan orang luar rumah, sekolah dan kantor (UOL) di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur pada jam 08.00-20.00 dalam bulan April s/d Agustus 2006...
42
11 Rata-rata dan prosentase nyamuk Aedes tertangkap dengan metode penangkapan nyamuk hinggap di dalam rumah, sekolah dan kantor di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur pada jam 08.00-20.00 dalam Bulan April s/d Agustus 2006...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta Wilayah Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur... 19 2 Peta Lokasi Penelitian... 20 3 Metode Penangkapan Umpan Orang Dalam di Lokasi
Perumahan RW.10... 21 4 Metode Penangkapan Umpan Orang Luar di Lokasi Sekolah
RW.10... 21 5 Metode Penangkapan Nyamuk Istirahat di Dalam Kamar pada
Lokasi Perumahan RW.10... 22 6 Metode Penangkapan Nyamuk Istirahat di Dalam Ruangan kantor
pada Lokasi Perkantoran RW.07... 22 7 Pengamatan Suhu dan Kelembaban... 24 8 Grafik rata-rata nyamuk Aedes tertangkap dengan umpan orang
dalam rumah, sekolah dan kantor (UOD) di Kelurahan Utan Kayu
Utara April s/d Agustus 2006... 32 9 Grafik rata-rata nyamuk Aedes tertangkap dengan umpan orang luar
rumah, sekolah dan kantor (UOL) di Kelurahan Utan Kayu Utara
April s/d Agustus 2006... 34 10 Grafik rata-rata nyamuk Aedes tertangkap sedang istirahat di dalam
rumah, sekolah dan kantor di Kelurahan Utan Kayu Utara April s/d
Agustus 2006... 36 11 Grafik rata-rata nyamuk Aedes tertangkap dengan umpan orang
dalam rumah, sekolah dan kantor (UOD) di Kelurahan Utan Kayu
Utara pada jam 08.00-20.00 April s/d Agustus 2006... 40 12 Grafik rata-rata nyamuk Aedes tertangkap dengan umpan orang luar
rumah, sekolah dan kantor (UOL) di Kelurahan Utan Kayu Utara
pada jam 08.00-20.00 April s/d Agustus 2006... 42 13 Grafik rata-rata nyamuk Aedes tertangkap sedang istirahat di dalam
rumah, sekolah dan kantor di Kelurahan Utan Kayu Utara pada jam
08.00-20.00 April s/d Agustus 2006... 44 14 Grafik rata-rata nyamuk Aedes dan suhu di perumahan RW.10
Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d Agustus 2006...
46 15 Grafik rata-rata nyamuk Aedes dan kelembaban di perumahan
RW.10 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d
16 Grafik rata-rata nyamuk Aedes dan suhu di sekolahan RW.10 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d Agustus 2006...
47
17 Grafik rata-rata nyamuk Aedes dan kelembaban di sekolahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d
Agustus 2006... 47 18 Grafik rata-rata nyamuk Aedes dan suhu di perkantoran RW. 07
Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d Agustus 2006...
49
19 Grafik rata-rata nyamuk Aedes dan kelembaban di perkantoran RW. 07 Kelurahan Utan Kayu Utara, Jakarta Timur April s/d
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Karakteristik Faktor Sosial, Ekonomi, dan Budaya RW. 10 di Kelurahan
Utan Kayu Utara Jakarta Timur... 61 2 Suhu dan Kelembaban di Lokasi Penangkapan Nyamuk Aedes di
Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur... 64 3 Jumlah Sediaan Darah Aedes di Perumahan RW. 10, Sekolah dan
Perkantoran di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur ... 65 4 Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue... 66 5 Spektrum Klinis Infeksi Dengue... 67 6 Laporan Kasus Demam Berdarah Dengue di Kecamatan Matraman
Bulan Januari s/d Agustus 2006... 68 7 Data Kasus Demam Berdarah Dengue Per Bulan Tahun 2005... 69 8 Laporan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan Tanggal 1 Januari
Tahun 2007... 70 9 Kunci Bergambar Nyamuk Aedes Stegomyia dalam Kontainer Domestik
Asia Tenggara... 71 10 Kunci Bergambar Jentik/Larva Nyamuk...
72 11 Larva Aedes Yang Meperlihatkan Perbedaan Sisir Larva A. Aegypti dan
1
PENDAHULUAN
Merebaknya kasus demam berdarah dengue (DBD) yang cenderung meningkat
memperlihatkan bahwa penanganan kejadian luar biasa (KLB) sampai saat ini masih menjadi
kendala di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Semenjak adanya laporan tahun 1968 di
Surabaya dan DKI Jakarta tentang kasus DBD, pada saat itu terdapat 58 kasus dengan 24 anak
meninggal, kasus ini merupakan awal terjadinya KLB dan terus berkembang serta meluas
hampir diseluruh wilayah Indonesia (Prasittisuk et al. 1998).
Demam dengue kini menyerang golongan usia > 15 th sekitar 23,5 % pada tahun 1993 dan
meningkat menjadi 54,6 % pada tahun 2000 (DEPKES, 2002). Iklim yang berkaitan dengan
musim/bulan juga ikut berpengaruh, karena iklim tropis yang memiliki suhu optimum
25-32°C merupakan habitat yang cocok untuk perkembangbiakan nyamuk. Penyakit ini
cenderung meningkat di musim hujan karena lingkungan dengan faktor iklim yang panas dan
lembab akibat hujan.
Umur nyamuk bisa mencapai satu bulan jika berada dalam kondisi udara optimum dan
semakin panjang umur nyamuk akan semakin efektif sebagai vektor penular penyakit. Sekali
saja nyamuk ini mengandung virus dengue maka selama hidupnya akan mampu menularkan
penyakit demam berdarah. Meningkatnya suhu lingkungan di prediksi pula sebagai faktor
yang dapat memperpendek periode dari telur menjadi dewasa, sehingga cenderung
meningkatkan populasi vektor (Daryono, 2004).
Kemampuan nyamuk menjadi vektor penular penyakit berkaitan pula dengan populasi dan
perilaku waktu menggigit dan menghisap darah nyamuk tersebut. Berdasarkan penelitian,
puncak aktif nyamuk antara pukul 09.00-10.00 pagi dan pukul 16.00-17.00 sore
(DEPKES, 2002).
Dalam usaha pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD biasanya pemutusan siklus
penularan lebih dititik beratkan pada pengendalian vektor. Metode yang biasa dan lebih
disosialisasikan adalah pemberantasan sarang nyamuk (PSN-3M) dan pengendalian fisik
lainnya. Pengendalian secara kimia seperti penggunaan larvasida, obat nyamuk bakar dan
spray serta foging. Pengendalian biologi misalnya memelihara ikan, mengurangi tanaman
atau menanam tanaman pengusir nyamuk, penggunaan bakteri (Bacillus thuringiensis dan
2
Penelitian ini dilakukan sebagai studi banding terhadap hasil penelitian yang telah ada
dengan
bioekologi yang spesifik di daerah endemik dengan tujuan untuk memperoleh informasi (1) mengenai habitat utama larva dan penyebarannya, (2) aktifitas nyamuk Aedes betina
dewasa menggigit dalam bulan dan waktu, (3) pengaruh suhu dan kelembaban terhadap
kepadatan nyamuk Aedes, (4). pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap nyamuk penular
DBD di Kelurahan Utan Kayu Utara.
Manfaat penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pengambil keputusan
kebijakan terhadap pola pengendalian nyamuk Aedes di lokasi penelitian tentang jenis, bahan
dasar dan warna tempat penampungan air yang bagaimana yang terdapat larva. Tingginya
kepadatan populasi nyamuk Aedes (kecenderungan populasi musiman) dan pada jam berapa
puncak aktifitas menggigit tertinggi. Kemungkinannya terjadi kasus demam berdarah dengue
karena seringnya nyamuk kontak dengan manusia. Informasi dan data tersebut dapat
digunakan sebagai pembanding dengan data yang sudah ada dan dapat digunakan untuk
memilih tindakan pengendalian vektor yang tepat ataupun memantau efektivitas dan
efisiensinya secara berkala di daerah tersebut.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Demam Berdarah Dengue
Demam dengue ini sudah dikenal sejak abad 18 terutama di daerah tropis dan sub tropis.
Penyakit Demam Berdarah ditemukan pertama kali di Manila (Filipina) pada tahun 1950
penyakit ini meluas ke beberapa negara di Asia Tenggara. Di Thailand terjadi outbreak pada
tahun 1958, kemudian masuk ke India pada tahun 1963, di Indonesia 1968, Myanmar pada
tahun 1970, Pada tahun 1971 meluas ke Pasifik Barat seperti Melanesia, Polinesia dan Papua
Nugini serta pada tahun 1972-1973 (Prasittisuk et al. 1998).
Kasus demam berdarah dengue mewabah di Indonesia pada tahun 1968 dan pada tahun
2003 total kasus di seluruh propinsi Indonesia mencapai 52.566, tahun 2004 sebanyak
(79.408), tahun 2005, 61.988 dan pada tahun 2006, 84.932. Penyakit ini selalu menjadi kasus
tertinggi di DKI Jakarta. Perkembangan demam berdarah dengue sejak tahun 2003 sampai
dengan tahun 2006 di DKI Jakarta terekam dalam Tabel 1 (DEPKES, 2003-2006).
Tabel 1 Data Kasus dan Kematian Penderita Demam Berdarah Dengue
No Propinsi Tahun Kasus
Berdasarkan laporan terakhir penderita demam berdarah dengue Januari tahun 2007 kasus
lebih rendah namun jumlah kematian lebih tinggi dibandingkan Januari tahun 2006. Dengan
jumlah kasus (8.019) dan 144 orang meninggal pada bulan Januari 2007 (CFR 1,8%),
sedangkan pada bulan Januari 2006 jumlah kasus mencapai (18.236) dan 192 meninggal
(CFR 1%) (DEPKES, 2007)
Kejadian penyakit secara umum ditentukan oleh faktor patogen, vektor, inang dan
lingkungan. Faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD adalah
4
terkendali, tidak adanya kontrol vektor yang efektif di daerah endemis dan peningkatan sarana
transportasi.
Faktor yang berperan dalam menentukan dan meningkatkan angka kesakitan serta
kematian akibat DBD adalah status kekebalan inang, kepadatan vektor, virulensi virus dengue
dan kondisi geografis. Siklus penularan terjadi apabila nyamuk Aedes betina menggigit inang
yang viremia(dua hari sebelun panas sampai lima hari setelah demam timbul) saat
memerlukan darah untuk pematangan telurnya. Bila penderita digigit nyamuk maka virus ini
akan masuk ke dalam lambung nyamuk dan memperbanyak diri. Setelah melalui periode
inkubasi ekstrinsik selama 8-10 hari di dalam tubuh nyamuk, virus akan tersebar keseluruh
jaringan tubuh nyamuk dan sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi inilah yang
setiap saat siap dimasukkan ke dalam tubuh manusia untuk ditularkan. Virus yang ditularkan
pada manusia setelah masa inkubasi intrinsik selama 3-14 hari (rata-rata empat sampai enam
hari) gejala awal timbulnya penyakit secara mendadak, yang ditandai dengan demam, pusing,
nyeri otot, hilangnya nafsu makan, mual-mual dan lain-lain. Perjalanan virus di dalam tubuh
manusia tidak diketahui secara pasti, namun terdapat dua perubahan patofisiologi secara
menyolok (WHO, 2003).
Virus Dengue
Virus ini termasuk kedalam famili Flaviviridae (genus flavivirus) termasuk kelompok
B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) berukuran kecil (50nm) dan memiliki singlestandard
RNA. Virus yang menggunakan RNA sebagai genomnya bermutasi lebih cepat dari virus yang
mengandung DNA. Terdapat empat jenis serotipe yakni, 1, 2, 3 dan 4. Keempat serotipe
tersebut dapat ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Di Indonesia pengamatan virus
dangue ini dilakukan sejak tahun 1975 dan di beberapa rumah sakit menunjukan keempat
serotipe ini bersirkulasi sepanjang tahun. Tetapi serotipe yang dominan adalah
serotipe 3. Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan gejala klinis yang bervariasi
yakni, demam dengue klasik (silent dengue infection), demam berdarah dengue
(dengue haemorragic fever) dan dengue dengan rejatan (dengue shock syndrom)
5
NyamukAedes
Tergolong kedalam filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Diptera dan famili Culicidae.
Di Indonesia khususnya di pulau Jawa telah ditemukan 11 sub genera diantara sub genus
tersebut yang paling penting adalah sub genus Stegomya, oleh karena pada sub genus tersebut
terdapat spesies Aedes aegypti dan Aedes albopictus (vektor sekunder) yang merupakan
vektor penyakit demam berdarah (Ramalingan. 1974). Di Bantul, Sleman (Yogyakarta) dan
Pontianak A. albopictus berperan sebagai vektor (Gubler et al. 1978).
Nyamuk Aedes tersebar luas di seluruh Indonesia. Meskipun nyamuk ini banyak
ditemukan di perkotaan yang padat penduduknya namun juga ditemukan di daerah pedesaan.
Nyamuk ini berasal dari Afrika timur dan menyebar kearah timur dan barat ke kawasan tropis
dan sub tropis.
Nyamuk A. aegypti selain menularkan penyakit demam berdarah juga sebagai vektor
penyakit Chikungunya. Penyakit Chikungunya ini pada tahun 1982 menjadi kasus KLB di
beberapa propinsi di Indonesia. Penyakit ini mewabah lagi pada tahun 2001 sampai dengan
Februari 2003 mencapai 3. 918 kasus tanpa kematian (Kusriastuti, 2003). Menurut Oda et al.
(1983) nyamuk A. aegypti yang di koleksi dari Utan Kayu Utara Jakarta berdasarkan hasil
pengamatan ternyata ada yang mengandung virus Chikungunya.
Nyamuk Aedes dapat juga menularkan penyakit yellow fever, meskipun belum pernah
dilaporkan adanya kejadian penyakit ini di Indonesia. Karena terbukanya arus komunikasi dan
transportasi ke negara yang endemis yellow fever, serta tersedianya nyamuk Aedes sebagai
vektor tersebar luas di Indonesia, maka dikhawatirkan akan semakin besar potensi penyebaran
penyakit ini.
Penentuan nyamuk Aedes sebagai vektor dapat dilihat dari frekuensi kontak dengan
manusia, kepadatan yang tinggi, mobilitas yang tinggi, inang spesifik pada manusia dan umur
yang panjang (Pant et al. 1987). Nyamuk Aedes dapat mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Virus ini akan tetap berada dalam tubuh
nyamuk sepanjang hidupnya, oleh karenanya nyamuk Aedes yang telah menghisap virus
dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya (DEPKES, 2005).
Nyamuk Aedes hampir ditemukan pada semua daerah di perkotaan baik daerah tropis
maupun sub tropis di Asia Tenggara, Penyebaran nyamuk A. aegypti belakangan ini di daerah
pedesaan lebih dikarenakan adanya kelemahan sistem penyediaan air pedesaan dan sarana
6
kumuh kemudian rumah toko atau flat bertingkat. Sebaliknya A. albopictus keberadaannya
lebih sering ditemukan di daerah terbuka dengan banyak tanaman. Nyamuk A. albopictus ini
pada mulanya merupakan nyamuk hutan dan telah beradaptasi dengan lingkungan disekitar
manusia. Tempat berkembang biak nyamuk A. albopictus ini sering ditemukan pada tunggul
pohon, lubang pohon, ketiak daun di hutan dan pada wadah buatan di lingkungan perkotaan
(WHO, 2003).
Perkembangbiakan Aedes
Tempat berkembang biak nyamuk Aedes adalah di tempat-tempat air bersih atau
genangan-genangan air yang tidak kontak langsung dengan tanah seperti bak mandi, WC, vas
bunga, tatakan pot, tatakan kulkas, talang, tangki air, ketiak daun, lubang pohon, tumpukan
ban dan lain-lain. Berdasarkan penelitian yang telah ada nyamuk ini terbukti bisa terdapat
pula di air yang kotor seperti septik tank, tempat sampah dan tempat-tempat yang
mengandung bahan-bahan organik membusuk (DEPKES, 2004).
Agustina (2006) melaporkan A. aegypti dapat meletakan telurnya di air yang
terkontaminasi deterjen 1-10 ppm dengan perolehan telur tertinggi pada konsentrasi 2,7 ppm.
Adapun air yang terkontaminasi kaporit dengan konsentrasi antara 1-10 ppm di peroleh telur
tertinggi adalah pada konsentrasi 10 ppm. Air yang terkontaminasi feses ayam dengan
konsentrasi 10-50 gr/ml perolehan telur tertingi pada konsentrasi 10 gr/ml, sedangkan pada air
yang terkontaminasi tanah dengan konsentrasi 10 – 50 gr/ml perolehan tertinggi pada
konsentrasi 30 gr/ml.
Telur
Telur yang masih baru berwarna putih tetapi setelah satu atau dua jam berubah menjadi
hitam berbentuk oval. Dinding luar telur (exochorion) mempunyai bahan yang lengket
(glikoprotein) yang akan mengeras bila kering (Christophers, 1960).
Banyaknya telur yang dihasilkan berdasarkan penelitian di Sam Hughes (Amerika)
dengan menggunakan wadah yang telah di cat hitam dan diberi kertas saring yang sebagian
menyentuh air untuk peletakkan telur. Selama 4 bulan dengan 300 ekor nyamuk A. aegypti
7
Pengamatan di laboratorium Institut Pertanian Bogor terhadap 200 ekor nyamuk
A. aegypti dengan menggunakan beberapa media terpolusi, sebagai perangsang untuk
meletakan telur menunjukkan bahwa, telur A. aegypti terbanyak diperoleh dari wadah yang
terpolusi tanah 30 gr/ml sebesar 6001, 0 butir. Kemudian pada wadah yang terpolusi feses
ayam 10 gr/ml sebesar 2671,3 butir, pada wadah yang terpolusi deterjen 2,7 ppm sebesar
173,7 butir dan pada wadah yang berisi air sumur sebesar 43,7 butir. Perolehan telur
yang paling sedikit terdapat pada air yang terpolusi kaporit 10 ppm sebanyak 34,3 butir
(Agustina, 2006).
Rumini (1980) melaporkan bahwa nyamuk A. albopictus rata-rata meletakkan 52 butir,
setiap kali bertelur tiga sampai empat hari sesudah menghisap darah. Nyamuk Aedes
dapat menghasilkan 80-125 butir (rata-rata 100 butir) telur, setelah menghisap darah
(Hoedojo, 1993). Jumlah telur yang diletakkan oleh A. aegypti lebih banyak dari A. albopictus
pada suatu wadah (Russell et al. 1996). Kualitas dan kuantitas telur yang dihasilkan oleh
seekor nyamuk tergantung dari banyaknya darah yang dan jenis darah dihisap
(Bahang, 1978).
Faktor suhu dan kelembaban sekitarnya juga sangat penting dalam penetasan telur. Pada
suhu antara 23°C - 30°C dan kelembaban 60-80 % telur akan menetas selama satu sampai tiga
hari, sedangkan pada suhu 16°C memerlukan waktu menetas selama 7 hari setelah kontak
dengan air selanjutnya menjadi larva. Telur A. aegypti pada kondisi optimum dan dalam
keadaan kering dapat bertahan selama enam bulan (Christophers, 1960).
Semakin lama telur yang disimpan dalam keadaan kering maka akan menunjukkan
kemampuan daya tetas telur rendah. Telur yang disimpan selama 12 minggu (tiga bulan)
masih menunjukan kemampuan untuk menetas walaupun sangat rendah (Soedomo, 1971).
Womack (1993) menyatakan telur dapat bertahan satu bulan dalam keadaan kering dan
masih dapat menetas dengan baik pada saat bersentuhan dengan air.Telur akan menetas
selama dua sampai tiga hari menjadi larva pada suhu 25-30°C (Mallis, 1997).
Telur dapat bertahan pada keadaan kering dalam waktu lebih dan satu tahun. Kemampuan
bertahan memberikan keuntungan bagi kelangsungan hidup spesies tersebut selama kondisi
iklim yang tidak menguntungkan (WHO, 2003). Berdasarkan pengamatan di laboratorium
Institut Pertanian Bogor telur yang disimpan selama dua minggu sudah mulai mengkerut
8
waktu penetasan telur yang masih dalam keadaan segar (baru) dan kondisi juga lebih baik
(Agustina, 2006).
Larva
Larva A. aegypti berbentuk silindrik dengan kepala membulat, antena pendek dan halus,
bernafas menggunakan pekten yang berada di ruas ke delapan dari abdomen, sedangkan
untuk mengambil makanan menggunakan rambut-rambut yang ada di kepala yang berbentuk
seperti sikat (Christophers, 1960). Morfologi larva A. albopictus mirip dengan larva
A.aegypti. Perbedaan yang terlihat adalah pada bentuk sisir yang terdapat di segmen abdomen
ke delapan.Pada A. albopictus tidak terdapat adanya pertumbuhan duri. Perbedaan larva
A.aegypti dan A. Albopictus dapat dilihat pada lampiran 11 (Hoedojo, 1993). Tahap larva
terdiri dari empat instar dan pergantian kulit terjadi empat kali, lama stadium larva ini enam
sampai sembilan hari. Pada tahap pertama terjadinya exuviae setelah 24 jam telur menetas
(Christophers, 1960). Lamanya larva mengalami molting dan besar kecilnya larva tergantung
dari nutrisi atau makanan yang di peroleh (Rumini, 1980).
Kondisi larva saat berkembang dapat mempengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Untuk larva yang di pelihara makanan yang dibutuhkan biasanya mengandung
karbohidrat, protein dan asam amino. Berdasarkan hasil laporan bila kekurangan protein dan
asam amino ternyata tidak mencapai instar ke dua (Christophers, 1960). Larva yang dipelihara
dengan ekstrak hati, vitamin B dan ragi lamanya pada fase ini antara empat sampai delapan
hari (Bahang, 1978).
Pada umumnya di alam makanan larva berupa mikroba dan jasad renik yakni flagelata,
ciliata dan rhizophora (zooplankton dan fitoplankton). Pendapat ini di dukung oleh hasil
analisa bahwa kandungan pencernaan larva nyamuk, umumnya mengandung mikroorganisme
(Rumini, 1980).
Di dalam tempat perindukan nyamuk biasanya terdapat organisme air yang merupakan
sumber makanan, predator atau kompetitor dan parasit bagi larva, yang mempengaruhi
populasi nyamuk dewasa yang dihasilkan (Russel et al. 1993). Keterbatasan makanan di
dalam suatu tempat penampungan air dapat mempengaruhi perkembangan larva. Terjadinya
kompetisi dan kemampuan bertahan hidup mempengaruhi populasi nyamuk dewasa
9
Selain makanan larva juga dipengaruhi oleh suhu, pada suhu air yang optimum 23- 27°C
dari instar ini menjadi dewasa hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua minggu
(WHO, 1982). Larva A. aegypti dapat bertahan hidup pada suhu air dibawah minus
-2°C selama 2-10 jam dan akan mati bila terpapar lebih dari 11 jam (Bates, 1970).
Larva A. aegypti yang dipelihara dengan ekstrak hati, ragi dan vitamin B pada suhu 28°C
lamanya stadium larva memerlukan waktu empat sampai delapan hari (Bahang, 1978)
Perkembangan larva juga di pengaruhi oleh pH yang merupakan faktor dalam menentukan
sebaran populasi larva. Larva A. aegypti dapat hidup dalam wadah yang mengandung air
dengan pH 5.8-8.6 dan tahan terhadap air yang mengandung kadar garam dengan konsentrasi
10.0-59.5 g klor/ltr (Hoedojo, 1993).
Menurut Agustina (2006) larva A. aegypti dapat hidup di wadah yang mengandung
air dengan pH 5.0-7.0 dan kekeruhan 0.75-75.0 NTU. Dengan air yang mengandung kaporit
1-10 mg/lt, mengandung deterjen 1-10 mg/lt, mengandung feses ayam 10-30 gr/lt dan
mengandung tanah 10-50 gr/lt.
Pupa
Pupa Aedes berbentuk koma, dalamfase ini tidak makan. Pupa mula-mula berwarna putih
kemudian menjadi coklat dan sebelum menjadi dewasa sudah menjadi hitam. Pupa ini
memiliki tabung pernapasan berbentuk seperti segitiga yang merupakan ciri khas alat
pernapasan pada nyamuk Aedes. Kepala dan toraksnya tebal, abdomennya melengkung ke
bawah dan ke belakang hanya dapat bergerak vertikal setengah lingkaran.
Pupa nyamuk A. albopictus mirip A. aegypti akan tetapi pada ruas abdomen kedelapan
mempunyai jumbai panjang dan bulu nomor tujuh di ruas abdomen kedelapan tidak
bercabang. Lamanya tahap pupa menjadi dewasa membutuhkan 1-2 hari. Perbedaan pupa
nyamuk Aedes dengan nyamuk lain dan perbedaan pupa A. aegypti dengan A. albopictus
dapat dilihat pada lampiran 12 (Hoedojo, 1993).
Pada tahap ini pupa tidak makan dan tergantungpenyimpanan energi pada saat fase larva.
suhu 23-27°C waktu yang diperlukan untuk menjadi nyamuk dewasa adalah selama 45 jam
untuk jantan dan 60 jam untuk betina (Christophers, 1960). Pada suhu 22°C lama fase larva
antara 72-96 jam, pada suhu 23°C antara 48-72 jam dan pada suhu ruang antara 30-50 jam.
(Amdjad, 1984). Pada suhu 47°C beberapa pupa dapat hidup selama 5 menit dan pada suhu
10
laboratorium Institut Pertanian Bogor, pupa dapat berkembang dengan baik pada media air
yang terkontaminasi feses ayam 30 gr/ml dengan kemampuan ekslosi dari pupa menjadi
dewasa 100 %.
Dewasa
Morfologi nyamuk Aedes dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Cx.quinquefasciatus,
ujung abdomennya lancip, berwarna hitam dengan belang-belang putih pada seluruh bagian
tubuhnya termasuk kaki-kakinya. Nyamuk A. aegypti pada mesonotumnya terdapat bulu-bulu
halus berwarna putih yang membentuk lire sedangkan pada A. albopictus bulu-bulu
halus yang berwarna putih tersebut membentuk garis putih tebal yang lurus/memanjang.
Perbedaan antara nyamuk dewasa A. aegypti dengan A.albopictus dapat dilihat pada lampiran
13 (Hoedojo, 1993).
Nyamuk jantan selalu keluar lebih dulu dari fase pupa, walaupun pada akhirnya
perbandingan jantan dan betina (1:1). Nyamuk jantan setelah berumur satu hari siap
melakukan kopulasi dengan nyamuk betina. Nyamuk jantan umumnya mempunyai ukuran
lebih kecil dari nyamuk betina dan pada antenanya terdapat rambut-rambut tebal yang
berbentuk seperti sisir (Womack, 1993).
Nyamuk Aedes jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk kebutuhan
hidupnya, sedangkan nyamuk betina siap menghisap darah ± setelah 24 jam menjadi dewasa.
Nyamuk betina memerlukan darah sebagai sumber protein untuk mematangkan telur agar
dapat dibuahi oleh sperma nyamuk jantan (Christophers, I960).
Kemampuan terbang nyamuk Aedes betina rata-rata 50 meter, maksimal 100 meter,
namun demikian nyamuk Aedes dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah
± 1000 m dari permukaan air laut. Penelitian terbaru di Puerto Rico menunjukkan bahwa
nyamuk betina dewasa menyebar lebih dari 400 meter untuk mencari tempat bertelur
(WHO, 2003).
Lama hidup nyamuk dipengaruhi oleh kemampuannya untuk memilih tempat perindukan,
tempat istirahat dan tempat mencari darah. Ketiga lokasi tersebut saling terkait untuk
menunjang kelangsungan hidup nyamuk sebagai tempat yang sesuai untuk berkembangbiak
(Christophers, 1960). Lama hidup juga merupakan waktu yang diperlukan oleh nyamuk
Aedes untuk mengembangkan virus dengue dalam tubuh nyamuk yang selanjutnya dapat
11
Kelangsungan hidup A. aegypti di laboratorium sangat dipengaruhi jenis makanan,
nyamuk yang tidak diberi makan dapat bertahan hidup selama 7 hari. Di beri larutan
gula dapat bertahan hidup selama 20 hari, bila diberi larutan susu dicampur gula
dapat bertahan selama 19 hari dan bila diberi makan darah umur nyamuk dapat mencapai
93 hari. (Christophers, 1960). Pengamatan yang dilakukan di laboratorium Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagian nyamuk A. aegypti yang diberi air gula
dapat bertahan hidup sampai dua bulan (Hoedojo, 1993).
Aktifitas Menghisap Darah Aedes
Nyamuk Aedes betina menghisap darah di dalam rumah (endofagik) tetapi tidak menutup
kemungkinan di luar rumah (eksofagik). Hospes yang dipilih biasanya adalah manusia, bila
nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling dulu disekitar hospes baru
menggigit. Nyamuk ini bersifat diurnal dan penularan penyakit hanya melalui gigitan nyamuk
betina pada saat memerlukan darah untuk pematangan dan perkembangan telurnya. Darah
secara keseluruhan meliputi sel darah dan plasma darah yang merupakan bahan yang penting
untuk menghasilkan telur.
Pada umumnya nyamuk Aedes menggigit pada pukul 9.00-10.00 WIB dan 16.00-17.00
WIB. Keadaan ini dapat berubah oleh pengaruh angin, suhu dan kelembaban udara
dalam menambah atau mengurangi aktivitas di dalam menggigit (DEPKES, 2002).
Menurut Oda et al. (1983) di Jakarta menyatakan nyamuk Aedes sebenarnya melakukan
penghisapan darah di sepanjang hari sejak matahari terbit hingga menjelang matahari
terbenam. Seringnya nyamuk kontak memungkinkan semakin mudahnya transmisi virus
dengue dapat terjadi. Perilaku menggigit vektor sangat aktif sekali, dalam beberapa menit
saja gigitannya berpindah-pindah. Sehingga nyamuk Aedes ini merupakan vektor dengan daya
tular yang tinggi (Daryono, 2004). Nyamuk seringkali belum berhasil menghisap darah atau
sedikit menghisap darah sehingga nyamuk tersebut berpindah-pindah dari satu orang ke orang
lain yang mengakibatkan risiko penularan virus semakin tinggi (Womack, 1993).
Inang yang disukai pada nyamuk spesifik tetapi tidak menutup kemungkinan bila inang
yang disukai tidak ada maka dia akan mencari alternatif lain. Di alam bebas nyamuk Aedes
menghisap darah hewan vertebrata berdarah panas lainnya, bahkan pernah dilaporkan dapat
12
(Christophers, 1960). Di Tuckson, Amerika Ginley (2001) melaporkan nyamuk A.aegypti
dapat menggigit manusia dan hewan dengan proporsi yang sama.
A. aegypti dan A. albopictus dapat menularkan virus dengue secara transovarial dari
nyamuk betina melalui telur hingga turunannya (Rosen et al. 1983). Berdasarkan hasil
penelitian pada 10 lokasi pengambilan sampel telur dan larva yang dikoleksi dari alam dan
dipelihara di laboratorium, menghasilkan 10.987 ekor nyamuk A. aegypti dewasa yang
sebagian besar terinfeksi dengue strain 4. Ini membuktikan bahwa virus dapat ditularkan
secara transovarial (Hull et al. 1984). Penelitian yang sama dari Rangoon melaporkan bahwa
dua nyamuk A. aegypti jantan terinfeksi virus dengue dari 7.730 nyamuk yang di isolasi dan
sebagian besar larva terinfeksi oleh virus dengue strain 2 (Khin et al. 1983).
Pengaruh Lingkungan Fisik
Secara geografis Indonesia merupakan negara yang terdiri dari pulau-pulau dengan teluk
dan selat.yang di tumbuhi berbagai tanaman. Topografi ketinggian dan lingkungan fisik
berbeda-beda dapat mempengaruhi kehidupan jentik-jentik nyamuk. Menurut Thomas (1940)
suhu rata-rata perkembangan nyamuk optimum antara 25-27°C dengan kelembaban
lebih dari 70%. Di Indonesia memiliki dua tipe pola hujan yakni pola munsun
dimana curah hujan relatif tinggi biasanya pada bulan Oktober sampai dengan
Maret, sedangkan pola equatorial mencapai puncaknya pada bulan Maret sampai dengan
Oktober (Koesmaryono, 1999).
Sejak tahun 1991 pola ini sering menyimpang, hal ini terlihat dan makin meningkat pada
abad ini. Periode kurang hujan dan kekeringan makin panjang, sebaliknya pada musim hujan
atau basah muncul badai, hujan deras, banjir, tanah longsor dimana-mana (Daryono, 2004).
Perubahan curah hujan ini berpengaruh terhadap jumlah habitat tempat perkembangbiakan
vektor, sehingga akan mengurangi atau meningkatkan kepadatan populasi vektor. Hal ini
merupakan asumsi pengaruh terhadap jumlah kasus DBD yang terjadi. Dengan curah
hujan yang tinggi dapat menyebabkan banjir dan menghanyutkan tempat perindukan
nyamuk sehingga tempat perindukan akan berkurang. Curah hujan yang sedang tetapi
waktunya panjang akan menambah tempat perindukan dan meningkatnya populasi nyamuk
13
Pada suhu 20°C dan kelembaban 70% umur nyamuk jantan kurang lebih 35 hari, nyamuk
betina dapat mencapai lebih dari 100 hari bila menghisap darah (Gubler, 1970). Pada suhu
28°C dengan kelembaban 80% dan diberi air gula A. aegypti dapat hidup selama 2 bulan
(Hoedojo, 1993). Di Malaysia rata-rata lama hidup nyamuk A. aegypti antara tiga sampai
enam minggu pada suhu 28°C dan kelembaban nisbi antara 80-90%. Usia nyamuk A. aegypti
akan berkurang pada suhu 35°C. Dengan suhu rendah antara 15-20°C dengan kelembaban
90% akan memperpanjang jangka hidupnya (Gould et al. 1988).
Suhu udara selain berpengaruh pada vektor juga dapat mempengaruhi pertumbuhan
patogen dalam tubuh vektor. Pertumbuhan patogen di dalam tubuh nyamuk tidak mungkin
pada suhu lebih rendah dari 15°C, sehingga penularan hampir tidak mungkin terjadi walaupun
potensi nyamuk sebagai vektor terdapat dalam jumlah banyak (DEPKES, 2001).
Pada suhu 26°C diperlukan waktu 25 hari untuk virus dari saat terinfeksi ke dalam tubuh
nyamuk sampai dengan virus tersebut berada dalam kelenjar ludahnya dan siap ditularkan,
sedangkan pada suhu 30°C hanya di perlukan waktu 10 hari untuk siap menularkan kembali
(Daryono, 2004).
Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Terhadap Nyamuk Penular DBD di Kelurahan Utan Kayu Utara, Kecamatan Matraman Jakarta Timur
Kejadian penyakit bergantung kepada agen (virus dengue), vektor (nyamuk Aedes),
host/inang (manusia) serta lingkungannya. Secara alamiah organisme tersebut di atas
dalam individu maupun populasi dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, sosial ekonomi
dan budaya. serta imunitas pada inang. Pada suatu lokasi ke lokasi yang lain dan sepanjang
tahun berbeda derajat endemisnya.
Program pemberantasan/pengendalian secara kimia, fisik, biologik dan pengelolaan
lingkungan serta manajemen penanganan penderita, sudah dilakukan tetapi hingga kini
hasilnya belum seperti yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh belum adanya kesadaran
masyarakat untuk terlibat secara aktif dengan program yang telah dicanangkan oleh
pemerintah, kurangnya penyuluhan serta pemantauan di derah-daerah yang rawan kasus
demam berdarah, kurangnya dana untuk melakukan pememeriksaan dan pemantauan secara
14
Kegagalan dalam mencapai atau mempertahankan upaya pemberantasan tidak hanya
dipengaruhi oleh tingginya derajat penularan. Tetapi juga oleh perubahan lingkungan yang
terjadi selama kegiatan pengendalian berlangsung (Sukana, 1993).
Demam berdarah di Indonesia merupakan suatu endemi yang sampai saat ini masih
menjadi kasus disetiap tahun, maka untuk mengantisipasinya upaya pemberantasan
dan penanggulangan penyakit ini merupakan tugas seluruh lapisan masyarakat secara
bersama-sama dan berkesinambungan (Riyadina, 1999).
Menurut Sukana (1993) faktor yang menjadi permasalahannya adalah faktor kesehatan
lingkungan. Faktor tersebut sangat berkaitan dengan perilaku masyarakat dan pelaksanaannya.
Perubahan lingkungan tersebut dapat berdampak positif atau negatif sesuai dengan peranan
faktor masing-masing. Faktor sosial mencakup pendidikan dan pengetahuan seseorang yang
berkaitan dengan sumber daya manusia, sehingga pemahaman terhadap pandangan maupun
cara hidup dan derajat kesehatan termasuk pemberantasan sarang nyamuk dapat ditingkatkan.
Faktor ekonomi merupakan faktor yang juga menyulut timbulnya kasus penyakit demam
berdarah. Di daerah yang untuk memperoleh air sangat sulit. Bahkan harus membeli untuk
kebutuhan sehari-hari dan menadah air pada musim hujan, maka pekerjaan menguras tempat
penampungan air seminggu sekali sangat memberatkan mereka (Sukana, 1993).
Kemampuan daya beli masyarakat yang tidak memungkinkan, maka untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit apalagi harus membeli segala sesuatu yang berkaitan
dengan pembasmi serangga.
Faktor budaya meliputi kebiasaan sehari-hari dan sifat perilaku individu. Keadaan tidak
mengenakan baju, duduk diam berjam-jam karena menganggur tidak ada kerjaan, atau
semakin tidak aktif seseorang (lebih banyak dalam posisi diam), maka semakin mudah
didatangi nyamuk, terutama pada saat puncak menggigit (Sintorini, 2006).
Perilaku para urbanisasi yang mencari nafkah di ibukota, membuat mereka mencari
tempat tinggal sesuai dengan pendapatan mereka. Dengan demikian banyak terdapat
lingkungan kumuh yang tatanan maupun sanitasinya jauh dari persyaratan kesehatan.
Terjadinya kepadatan penduduk yang memungkinkan terjadinya penularan lebih mudah dan
15
Pengendalian
Pengendalian dan pencegahan nyamuk Aedes merupakan cara utama, karena vaksin untuk
mencegah dan obat untuk membasmi virusnya sampai saat ini belum ditemukan. Oleh karena
itu pengendalian nyamuk Aedes baik nyamuk dewasa maupun larva merupakan satu upaya
penanggulangan penyakit demam berdarah yang utama.
Pengendalian Larva Aedes
Pengendalian terhadap jentik dengan cara memusnahkan habitat larva ini sering
disebut sebagai pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Cara ini dikenal juga dengan 3 M
(menguras, menutup dan mengubur), menguras bak mandi dan bak WC atau tempat-tempat
penampungan air dalam waktu sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Penanggulangan
dengan PSN ini merupakan penanggulangan jangka panjang yang apabila dilakukan oleh
seluruh masyarakat diharapkan dapat mengendalikan populasi nyamuk Aedes.
PSN ini pada dasarnya untuk memberantas larva sehingga tidak sempat menjadi dewasa
atau mencegah agar nyamuk tidak berkembangbiak. Mengingat habitat Aedes tersebar luas,
maka pemberantasanya memerlukan peran serta masyarakat, khususnya di rumah dan
lingkungannya masing-masing, terutama di dalam menjaga kebersihan lingkungan dan
sanitasinya (Sukana, 1993).
Penggunaan larvasida diberikan untuk membunuh larva nyamuk Aedes. Larvasida yang
biasa digunakan adalah temephos, dengan takaran 1 ppm (10 gr untuk 100 lt air).
Pemanfaatan ikan pemakan jentik (ikan kepala timah dan ikan gupi), Bacillus thuringiensis
H-14 (Bti H-14) atau Bacillus sphaericus (Bsi), cyclopoids juga dapat digunakan untuk
pengendalian larva.
Pengendalian Nyamuk Aedes.
Penggunakan Insektisida seperti obat nyamuk semprot, obat nyamuk bakar sehari-hari
sering di gunakan terutama di lingkungan rumah tangga. Foging dilakukan hanya bila didapati
kasus dan kejadian luar biasa demam berdarah dengue. Insektida yang biasa digunakan untuk
pengasapan (foging) biasanya dari golongan organophospat, pyretroid sintetik dan karbamat.
Cara ini disebut sementara karena jumlah nyamuk dewasa cepat kembali dalam jumlah
16
penyemprotan (tidak menyebabkan kematian pada tahap pradewasa). Tetapi cara ini dapat
pula mengakibatkan efek samping, resistensi nyamuk tersebut terhadap zat aktif dari bahan
pestisida tersebut. Efek samping lain pada manusia khususnya yang mempunyai penyakit
saluran pernapasan dan alergi. Penggunaan cara tersebut akan memperburuk keadaan
kesehatannya (Riyadina, 1999).
Menurut Aminah et al. (2000) insektisida sebagai repelen juga telah banyak digunakan
seperti yang telah beredar di pasaran, dan dengan penemuan baru yakni ekstrak
tanaman Sapindus rarak De (lerak) dan Elipta protasta (urang-aring) sebagai repelen untuk
nyamuk A. aegypti. Efikasinya setelah pengamatan selama lima jam masing-masing
mempunyai kemampuan yang hampir sama dalam menangkal gangguan nyamuk A. aegypti.
Upaya lain untuk mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan semacam lotion
(cairan) yang mempunyai aroma pengusir nyamuk seperti minyak cengkeh, minyak kayu
putih Cairan ini selain aman terutama untuk anak-anak juga bisa didapatkan dengan mudah
17
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur sebagai studi
bioekologi nyamuk di daerah yang endemik DBD. Pelaksanaan penelitian mulai dari bulan
April sampai dengan Agustus 2006 (Gambar 1 dan 2).
Metode Penelitian
Pengambilan larva dengan menggunakan 270 sampel rumah di RW. 10, meliputi 20 RT.
Penangkapan nyamuk Aedes dilakukan pada empat rumah di RW.10, pada dua sekolah yang
berada di RW10 dan dua perkantoran yang berada di RW 7. Pembatasan pada pembagian
lokasi penangkapan tersebut disesuaikan dengan adanya dana penelitian yang ada.
Pembagian dan pengisian kuisioner serta pengamatan lingkungan di wilayah Kelurahan
Utan Kayu Utara Kecamatan Matraman Jakarta Timur.
Pengamatan Tempat Perindukan Aedes
Pengambilan larva dilakukan satu bulan sekali pada rumah di RW.10 (20 RT) dengan
mencatat bentuk, jenis, bahan dan warna wadah tempat ditemukannya larva. Sampel diperoleh
dari tempat penampungan air (TPA) yang masih terpakai atau tidak yang berada di dalam
maupun di luar rumah. Pencarian di lakukan oleh 10 orang jumantik dibagi dalam lima
kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas dua orang.
Untuk memeriksa tempat penampungan yang berukuran besar seperti bak mandi, drum
dan bak penampungan air lainnya jika pada penglihatan pertama tidak menemukan larva,
tunggu kira-kira setengah sampai satu menit untuk memastikankeberadaannya. Koleksi larva
dilakukan dengan memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes dengan menggunakan senter untuk mengetahui keberadaan
larva.
Untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil vas bunga, botol yang
airnya keruh dipindahkan ke tempat yang lain yang bersih. Setiap tempat/wadah yang berisi
air perlu diamati bila terdapat larva diambil menggunakan ciduk (gayung) dan pipet. Sampel
yang di peroleh dimasukkan ke dalam plastik/botol yang sudah diberi label waktu dan tempat,
18
Perhitungan Metode Single Larva
Ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik/larva
1. House Index (HI):
Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik X 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
2. Container Index (CI):
Jumlah kontainer dengan jentik X 100%
Jumlah kontainer yang diperiksa
3. Breteau Index (BI)
Jumlah kontainer/wadah yang infektif larva per seratus rumah
Penangkapan Nyamuk Aedes
Penangkapan dilakukan oleh empat kolektor masing-masing kolektor satu rumah, kolektor
penangkap nyamuk sekaligus sebagai umpan. Penangkapan dilakukan 10 hari sekali selama
lima bulan. Penangkapan dibagi atas enam periode mulai dari jam 08.00 sampai jam 20.00
WIB dengan setiap periode penangkapan adalah dua jam.
Setiap periode di bagi atas empat bagian ; 30 menit pertama penangkapan dengan
umpan orang dalam rumah (Gambar 3), 30 menit kedua penangkapan dengan umpan orang
luar rumah (Gambar 4), 30 menit ketiga penangkapan nyamuk sedang hinggap/istirahat di
dalam rumah(Gambar 5 dan 6) dan 30 menit keempat untuk istirahat kolektor.
Penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam dan di luar rumah/gedung, diperoleh
dengan menangkap nyamuk Aedes yang sedang menggigit manusia. Penangkapan nyamuk
hinggap/istirahat di peroleh pada tempat yang lembab dan gelap seperti pada gantungan baju,
rak piring, tirai, rak buku-buku.
Nyamuk Aedes dengan ketiga metode tersebut diatas ditangkap menggunakan aspirator
dan senter. Aspirator yang digunakan terbuat dari pipa karet lentur yang tersambung pada
pipa gelas dengan garis tengah lubang bagian dalam pipa 8-12 mm. Panjang pipa karet/selang
19
PETA WILAYAH KELURAHAN UTAN KAYU UTARA
JAKARTA TIMUR
Gambar 1 Peta Wilayah Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur
Keterangan : Orange = RW.01 Abu-abu = RW.06
Biru tua = RW.02 Coklat = RW.07
Hijau muda = RW.03 Orange = RW.08
Biru muda = RW.04 Hijau tua = RW.09
20
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian
Bagian dalam ujung pipa gelas yang tersambung dengan pipa karet diberi kawat kasa,
agar nyamuk yang dihisap tidak masuk kedalam mulut kolektor. Pada ujung pipa karet diberi
pipa gelas atau selang plastik yang lebih kecil, untuk mempermudah mulut kolektor untuk
menghisap nyamuk yang ditangkap.
Nyamuk yang sudah ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam paper cup yang telah
diberi label. Pada bagian atas paper cup ini ditutup dengan kain kasa yang sudah dilubangi
bagian atasnya dan diberi kapas, untuk memudahkan kolektor membuka dan menutup pada
saat memasukan nyamuk. Nyamuk yang sudah tertangkap dimatikan dengan kloroform dan di
pin serta diidentifikasi lebih lanjut menggunakan mikroskop. Setelah itu dipisahkan antar
21
Penangkapan Nyamuk Aedes Dengan Umpan Badan
Penangkapan dengan umpan badan ini terdiri dari dua metode yaitu umpan orang dalam
rumah, sekolah dan kantor(UOD) dan umpan orang luar rumah, sekolah dan kantor (UOL).
Penangkapan ini dilakukan untuk mengamati perilaku nyamuk Aedes menghisap darah.
Pada lokasi perumahan pengambilan sampel dilakukan di dua tempat yaitu 30 menit
pertama untuk penangkapan nyamuk Aedes di dalam rumah dan 30 menit kedua untuk
penangkapan di luar rumah.
Di lokasi sekolah dilakukan selama 30 menit pertama di ruang kelas, di ruang guru,
perpustakaan, dan musolah (umpan orang dalam sekolah) dan 30 menit kedua di beranda dan
di kantin(umpan orang luar sekolah).
Gambar 3 Metode Penangkapan Umpan Orang Dalam Rumah di lokasi perumahan RW.10
22
Di lokasi perkantoran dilakukan selama 30 menit pertama di ruang kerja, di ruang tamu,
perpustakaan, dapur dan di musolah (umpan orang dalam kantor) dan 30 menit kedua di
beranda (umpan orang luar kantor).
Penangkapan Nyamuk Aedes Sedang Hinggap (istirahat)
Penangkapan nyamuk sedang istirahat di dalam rumah, sekolah dan kantor ini dilakukan
pada 30 menit ketiga pada setiap periode penangkapan, di setiap lokasi. Tempat yang biasa di
peroleh nyamuk hinggap (istirahat) adalah tempat baju-baju tergantung, buku-buku, tanaman,
peralatan dapur dan tirai.
Gambar 5 Metode penangkapan nyamuk istirahat dalam kamar di lokasi Perumahan RW.10.
23
Perhitungan Aedes dewasa betina (perolehan basil tangkapan dalam bulan)
Rata-rata nyamuk mengigit umpan orang dalam (UOD)
Jumlah Aedes betina tertangkap umpan orang
Jumlah penangkapan x Jumlah jam penangkapan x Jumlah kolektor
Rata-rata nyamuk mengigit umpan orang luar (UOL)
Jumlah Aedes betina tertangkap umpan orang
Jumlah penangkapan x Jumlah jam penangkapan x Jumlah kolektor
Rata-rata nyamuk hinggap/istirahat dalam per 100 rumah/bangunan (HD)
Jumlah Aedes betina tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap
Jumlah penangkapan x Jumlah jam penangkapan x Jumlah rumah/gedung
Perhitungan Aedes dewasa betina (perolehan hasil tangkapan periode dua jam)
Rata-rata nyamuk menggigit umpan orang dalam (UOD)
Jumlah Aedes betina tertangkap umpan orang
Jumlah penangkapan x Bulan penangkapan x Jam penangkapan x Jumlah kolektor
Rata-rata nyamuk mengigit umpan orang luar (UOL)
Jumlah Aedes betina tertangkap umpan orang
Jumlah penangkapan x Bulan penangkapan x Jam penangkapan x Jumlah kolektor
Rata-rata nyamuk hinggap istirahat per rumah/bangunan (HD)
Jumlah Aedes betina tertangkap pada penangkapan nyamuk hinggap
24
Pengamatan Lingkungan Fisik
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan alat thermohygrometer untuk mengetahui
suhu dan kelembaban di lokasi selama penelitian berlangsung. Gambar ini menunjukan cara
peletakkan dan pemasangan alat. Alat termohygrometer yang digunakan adalah yang
ditunjukkan oleh tanda lingkaran merah dibawah ini (Gambar 7)
Gambar 7 Pengamatan Suhu dan Kelembaban di Lokasi Penelitian.
Pengamatan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat
Pengamatan dilakukan dengan membagikan kuisioner untuk mengetahui seberapa besar
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di lokasi penelitian terhadap vektor penyebab
penyakit demam berdarah.
Analisis Data
Analisis dilakukan secara deskriptif kemudian dianalisa dengan menggunakan tabel
distribusi, prosentase dan grafik. Adapun pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat di
54
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Studi habitat di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara Jakarta Timur
menemukan tempat penampungan air (TPA) rumah tangga denganbahan dasar yang paling
banyak dipergunakan adalah dari plastik, dan pada bahan dasar inilah banyak ditemukan
larva Aedes (55,6%) paling sedikit semen (19,4%). Jenis tempat penampungan air yang paling
banyak ditemukan larva adalah bak mandi (50%) dan paling sedikit yakni saluran air lain
(2,8%). Warna yang paling banyak ditemukan larva/pupa yakni warna biru (41,75%) dan
paling sedikit warna hijau(2,8%).
Ragam spesies nyamuk Aedes yang ditemukan adalah A aegypti dan A. albopictus.
Pengamatan Aedes menghisap darah menunjukkan belum adanya perubahan perilaku
menggigit nyamuk Aedes. Sebagian besar A. aegypti bersifat endofagik atau menghisap
darah di dalam rumah/gedung, meskipun dari hasil pengamatan selama penelitian spesies
ini juga menggigit di luar, sedangkan A. albopictus bersifat eksofagik atau menghisap darah di
luar.
Berdasarkan hasil pengamatan dengan metode penangkapan umpan orang dalam rumah
dan nyamuk hinggap/istirahat di dalam rumah merupakan lokasi perolehan tertinggi
dibandingkan lokasi sekolah dan kantor. Kepadatan A. aegypti tertinggi terjadi pada bulan
Mei. Adapun hasil tangkapan A. aegypti dengan umpan orang luar rumah kepadatan tertinggi
terdapat pada bulan Juni, dengan puncak aktif menggigit di sepanjang hari dari jam
08.00-18.00 di dalam maupun di luar. Kepadatan nyamuk. A. albopictus tertinggi ditemukan
di bulan April hanya pada metode umpan orang luar sekolah, sedangkan puncak aktif
menggigit terdapat pada jam 08.00-10.00 dan 16.00-18.00 dengan penangkapan diluar rumah,
sekolah dan kantor.
Di lokasi penelitian dengan suhu antara 29,6°C-31,5°C dan kelembaban antara 68%-80%
hasil pengamatan ini memperlihatkan bahwa bulan yang memiliki kelembaban tinggi, maka
nyamuk yang diperoleh juga lebih banyak dibandingkan dengan bulan yang memiliki
kelembaban rendah.
Dari hasil pengamatan di lokasi penelitian dengan kesadaran masyarakat akan peran
sertanya di dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan pengendalian nyamuk dewasa
55
Saran
Pengamatan lebih lanjut mengenai infestasi larva dan sebarannya serta aktivitas nyamuk
dewasa mencari darah dan berkembang biak perlu di lakukan secara berkala. Untuk
menentukan strategi pengendalian yang tepat sebelum terjadinya wabah terutama di wilayah
yang masih endemik.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh tinggi rendahnya kelembaban
terhadap kepadatan Aedes dan hubungan antara kepadatan Aedes dengan adanya kasus.
Penelitian ini perlu di lakukan di beberapa tempat yang berbeda dengan membandingkan
beberapa lokasi dalam waktu yang sama dan menggunakan metode yang sama. Agar data dan
informasi yang di dapat lebih lengkap dan akurat.
Untuk mengurangi kemungkinan kontak dengan nyamuk dan kembali menjadi wilayah
endemik. Masyarakat di lokasi penelitian disarankan selalu melakukan pencegahan gigitan
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengamatan Tempat Perindukan Aedes
Hasil pengamatan tempat perindukan Aedes pada 20 RT di perumahan RW. 10. Kelurahan
Utan Kayu Utara Jakarta Timur ditemukan 31 rumah positif larva Aedes dari 270 jumlah
rumah yang di kunjungi (HI = 11,5%). Dari 556 jumlah kontainer yang diperiksa ditemukan
36 kontainer positif larva (CI = 6,5%) dan (BI= 13,3), (Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah rumah dan wadah yang di periksa serta prosentase indeks larva di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara - Jakarta Timur, tahun 2006
No Komponen Jumlah
1 Rumah yang diperiksa 270
2 Rumah Positif 31 (+)
3 House indeks (HI) 11,5%
4 Kontainer yang diperiksa 556
5 Kontainer positif 36 (+)
6 Container indeks (CI) 6,5%
7 Breteau indeks (BI) 13,3
Keterangan : (+) = rumah tangga dan TPA positif ditemukan larva/pupa
Bila dibandingkan dengan pengamatan jentik di Kecamatan Pasar Rebo Jakarta Timur
pada kasus kejadian luar biasa (KLB) pada tahun 2003 menunjukkan angka jentik/larva
HI = 22,6%, CI = 11,4%, BI = 30,3 (Hasyimi et al. 2003). Di Kelurahan Papanggo RW.04,
Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara pada tahun 2001 menunjukkan angka jentik/larva
HI = 100%, CI = 55% dan BI = 319,3. Pada lokasi, tahun dan waktu yang sama di RW.05,
angka jentik/larva yang diperoleh lebih rendah dari RW.05 HI = 27,3% , CI = 17,9% dan
BI = 33,7 (Hasyimi & Soekirno, 2001). Di desa Cikarawang Bogor HI = 7,6%, CI = 13,4%
dan BI = 14,8 (Agustina, 2006). Hasil pengamatan di lokasi penelitian termasuk ke dalam
risiko rendah.
Menurut indikator WHO angka indeks larva termasuk dalam risiko rendah karena berada
pada skala 3 yaitu yang mempunyai ambang batas untuk indeks rumah antara 8-17%, indeks
kontainer 6-9% dan indeks breteau 10-19. Dari ketiga indeks larva tersebut diatas breteau
26
sudah mengkombinasikan keduanya baik rumah dan wadah (Chan, 1985). Suatu wilayah
dengan BI = 2 atau kurang termasuk dalam risiko aman, bila BI = 5-20 (risiko rendah), bila
BI = 20-35 (risiko sedang) dan bila BI = 35-50 atau lebih (risiko tinggi) (WHO, 1994).
Rendahnya risiko di lokasi penelitian diasumsikan berhubungan dengan adanya perilaku
masyarakat di lokasi penelitian yang rutin melakukan PSN setiap jumat, sehingga vektor tidak
sempat berkembangbiak. Hampir semua masyarakat di lokasi penelitian menggunakan air
olahan (PAM), sehingga tidak memerlukan penyimpanan air dalam tempat yang besar dan
dalam waktu yang lama.
Focks dan Cladee (1997) mengatakan bila persediaan air terjamin dan sanitasinya
lebih baik dengan demikian wadah yang positif larva Aedes berkurang sehingga dapat
meminimalkan nyamuk Aedes dewasa. Walaupun kepadatan larva tidak dapat
menggambarkan kepadatan nyamuk Aedes dewasa karena ada beberapa hal yang perlu
dipertimbangkan untuk perkembangan dari fase larva menjadi dewasa. Perkembangan larva
dipengaruhi oleh kondisi air seperti salinitas, suhu air, oksigen, pH dan zat-zat kimia maupun
mikroorganisme yang terkandung di dalamnya.
Namun demikian diharapkan dengan mengetahui keberadaan dan penyebaran larva kita
bisa memprediksi kemungkinan adanya kasus dan cara pengendaliannya sebelum terjadi
wabah.
Pemilihan nyamuk betina pada media untuk bertelur di pengaruhi oleh faktor suhu,
kelembaban, cahaya, jarak terbang, indera penglihatan, penciuman (aroma) dan fisik media
tempat meletakan telur (Tilak et al. 2005). Seperti yang telah dikatakan oleh Fock dan Cladee
(1997) bahwa untuk keperluan pemberantasan penyakit demam berdarah, di Vietnam survei
entomologi sudah diorientasikan pada identifikasi tempat penampungan air dan surveilans
kepadatan nyamuk dewasa, ternyata lebih bermanfaat dari pada data angka larva.
Jenis-jenis wadah yang paling banyak terdapat larva di lokasi penelitian disajikan pada
Tabel 3. Dari tabel tersebut diketahui perolehan larva tertinggi pada jenis bak mandi sebesar
(50%), kemudian tempayan (19,4%), dan yang terendah pada saluran air buangan lain (2,8%).
Untuk jenis wadah drum dan dispenser perolehan larva sama yaitu (8,3%) demikian pula
dengan jenis wadah ember dan vas bunga keduanya memperoleh hasil yang sama yaitu
(5,6%).
Angka-angka tersebut diatas menunjukan jenis wadah bak mandi mempunyai prosentasi
27
kemudian tempayan, kedua jenis wadah tersebut biasanya mempunyai volume air yang besar.
Paling sedikit pada saluran air lain karena hanya beberapa rumah saja yang mempunyai
saluran air lain di rumahnya. Prosentase yang sama antara drum dan dispenser juga antara
ember dan vas bunga disebabkan larva yang ditemukan di masing-masing jenis wadah
tersebut mempunyai prosentasi yang sama dalam memfasilitasi adanya larva di lokasi
penelitian.
Tabel 3 Prosentase jenis-jenis tempat penampungan air yang positif larva/pupa di perumahan RW. 10 Kelurahan Utan Kayu Utara - Jakarta Timur, tahun 2006
No Jenis Kontainer Jumlah (+) (%)
Keterangan : Jumlah (+) = Jumlah TPA positif ditemukan larva/pupa
Bila dibandingkan dengan hasil penelitian di Bogor jenis wadah tempat penampungan air
yang paling tinggi ditemukan positif larva A aegypti adalah pada wadah jenis drum 27,5%
(Sigit & Koesharto, 1998). Hasil studi di Kelurahan Papanggo RW.04 Kecamatan
Tanjung Priok paling banyak ditemukan larva Aedes adalah pada wadah jenis bak mandi
65,4%, sedangkan di RW.05 pada wadah jenis tempayan 66,7% (Hasyimi & Soekirno, 2001).
Di Kecamatan Pasar Rebo tempat penampungan air yang paling banyak ditemukan larva
adalah pada wadah jenis bak mandi 31,8% (Hasyimi et al. 2003) dan Agustina (2006) di desa
Cikarawang, Bogor jenis wadah yang paling banyak ditemukan larva A. aegypti yaitu pada
tangki air 33,3%. Perbedaan hasil penentuan jenis wadah yang memfasilitasi larva Aedes
tertinggi pada lokasi penelitian dan pembanding, disebabkan masing-masing wilayah tertentu
mempunyai kesenangan akan pemilihan jenis tempat penampungan air yang digunakan.