• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGANGKATAN HAKIM AGUNG OLEH KOMISI YUDISIAL

G. Pengangkatan Hakim dalam Perspektif Islam…………………........ 5 3

Al-Quran menggunakan kata hakama ketika Allah memerintahkan Nabi menjadi hakim yaitu melakukan tugas menegakkan hukum dan keadilan di tengah-tengah manusia. 69 Sebagaimana dalam Al-Quran:

                                                  

Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.(Q.S. Shaad: 26)

Pada masa permulaan Islam, yang menjadi hakim adalah Rasulullah SAW dan bisa dikatakan bahwa Rasul merupakan hakim pertama dalam Islam. Oleh sebab itu semua permasalahan yang terjadi pada saat itu langsung diselesaikan langsung olehnya. Dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapkan kepadanya Rasul berpegang pada apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT.70

Seiring perkembangan dan kemajuan Islam, akhirnya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perlu untuk mengangkat hakim-hakim di daerah-daerah kekuasaan Islam. Juga karena banyaknya permasalahan hukum yang

69

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, cet. I, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), h. 88.

70

terjadi di masyarakat sehingga membutuhkan untuk segera diselesaikan. maka urusan peradilan di daerah-daerah diserahkan kepada penguasa-penguasa yang dikirim ke daerah itu. Akhirnya Rasulullah mengizikan sahabatnya untuk bertindak selaku hakim. Hal ini merupakan petunjuk untuk memisahkan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Hakim-hakim yang pernah diangkat oleh Rasulullah adalah Muadz bin Jabal sebagai hakim di Yaman, Attab bin Asid sebagai hakim di Makkah.71

Begitu pula pada masa Umar bin Khattab, saat menjadi khalifah beliau sekaligus juga menjadi hakim. Dan dalam perkembangannya Umar pun mengangkat orang lain untuk menjadi hakim seiring dengan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi. Pada masa Umar ini pertama kali dipisahkan antara yudikatif dan eksekutif. Oleh karena tugas peradilan adalah kewenangan umum dari kepala negara, maka menjadi wewenangnya untuk mengangkat hakim-hakim.

Saat itu hakim hanya diberi kewenangan menangani perkara perdata saja. Sedangkan untuk perkara pidana tetap ditangani oleh khalifah sendiri, atau oleh penguasa daerah. Khalifah juga selalu mengawasi tindakan para penguasa daerah dan hakim-hakimnya, serta selalu memberi petunjuk dan

71

T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. V, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2005), h. 10.

bimbingan. Bahkan di masa itu sempat dibuat undang-undang yang dikenal dengan “Dustur Umar” yang menjadi dasar asasi bagi peradilan Islam.72

Dalam mengangkat hakim, para penguasa berpedoman pada kriteria tertentu. Di antara kriteria itu adalah hakim diangkat dari orang yang banyak ilmu, yang takwa kepada Allah, wara‟, adil, dan cerdas. Hakim -hakim yang diangkat oleh penguasa mempunyai hak otonomi dan kebebasan penuh. Putusan-putusannya tidak dipengaruhi oleh Khalifah. Sebagai wakil dari kepala negara, hakim tetap melaksanakan tugasnya untuk memeriksa dan mengadili seandainya yang terlibat dalam perkara itu adalah khalifah.73 72 Ibid., 11. 73 Ibid., 15.

BAB III

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 27/PUU-XI/2013 TENTANG SELEKSI CALON HAKIM AGUNG DI DPR

A. Kewenangan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR

1. Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan

Setelah keluarnya putusan MK Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, pada dasarnya tidak ada kewenangan KY yang berubah. Kewenangan KY tetap tetap sama seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UU KY, yaitu:

Komisi Yudisial mempunyai wewenang:

a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan

d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Dari hasil putusan tersebut, KY hanya merubah kuota calon hakim agung yang nantinya akan diserahkan kepada DPR, dari 3 (tiga) calon hakim agung untuk setiap 1 (satu) lowongan, menjadi 1 (satu) calon hakim agung untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim

agung. Sesuai dengan amar putusan MK pada bagian 5 (lima) angka 1.7 dan 4, yaitu:74

Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung selengkapnya menjadi:

(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.

(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu) orang dari 1 (satu) nama calon untuk setiap lowongan.

(4) Persetujuan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial selengkapnya menjadi:

74

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR Pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. h. 53.

Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 1 (satu) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden”.

2. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pasca Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-XI/2013 telah memangkas kewenangan DPR dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009 serta Pasal 18 ayat (4) UU KY karena dipandang bertentangan dengan norma Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Dengan adanya putusan ini, kewenangan DPR bukan lagi memilih calon hakim agung yang diusulkan KY, tetapi sekedar memberi persetujuan atas calon yang diajukan.

Proses transformasi pengisian jabatan hakim agung memang sangat dinamis dan mengalami perubahan yang signifikan. Semangat perubahan ini tentu harus dimaknai sebagai wujud perkembangan demokrasi Indonesia yang sudah maju, di mana pengisian jabatan publik seperti hakim agung tidak didasarkan pada penunjukan tetapi melalui suatu proses pemilihan. Keadaan ini tentu sebagai respon atau sarana koreksi untuk melahirkan pejabat publik yang berintegritas, professional dan memiliki keahlian dan kapasitas

pengetahuan yang mumpuni dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak.

Penulis merasa sangat perlu untuk mencari dan menemukan makna persetujuan dengan menggunakan sudut pandang sistematika peraturan perundang-undangan. Pertama, UUD 1945 melalui Pasal 24A ayat (3) menegaskan bahwa calon hakim agung diusulkan oleh KY kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Kemudian, Pasal 24A ayat (3) memberikan ruang yuridis untuk pengaturan lebih lanjut mengenai susunan dan kedudukan Mahkamah Agung, termasuk pula prosedur pelaksanaan dari Pasal 24A ayat (3) tersebut. Atas dasar itu, lahirlah UU Mahkamah Agung yang telah dua kali mengalami perubahan, terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009.

Penulis lebih mengkhususkan untuk melihat ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2), (3) dan (4) UU No. 3 Tahun 2009, karena ketentuan tersebut yang menjadi pokok inti terdapatnya indikasi pergeseran penjabaran makna persetujuan oleh DPR. Terlebih dahulu ayat (2) menjelaskan bahwa calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh KY. Kemudian, ayat (3) mempertegas bahwa calon hakim agung yang diusulkan KY tersebut dipilih 1 (satu) orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan.

Ketentuan pada ayat (3) tersebut menghendaki adanya proses pemilihan oleh DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY. Proses itu sebenarnya memiliki pijakan logika yuridis yang kuat karena di sisi lain KY mengajukan 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan. Artinya, sebelum memberikan persetujuan, pembentuk undang-undang menghendaki DPR untuk melakukan pemilihan terlebih dahulu. Singkatnya, jika terdapat 2 (dua) lowongan hakim agung, maka KY mengusulkan 6 (enam) nama, untuk dipilih 2 (dua) diantaranya.

Sebagaimana yang disampaikan DPR melalui Sarifuddin Sudding,75 bahwa Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 telah mengatur secara umum dan tegas mekanisme pegangkatan hakim agung, yaitu diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR-RI untuk mendapatkan persetujuan, kemudian ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Lanjutnya, bahwa frasa untuk mendapatkan persetujuan DPR terhadap calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial dalam Pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945 bermakna DPR mempunyai kewenangan konstitusional untuk dapat memberikan persetujuan atau tidak dapat memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang

75

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR, h. 37.

diusulkan oleh KY tidak serta-merta harus disetujui oleh DPR. Harus ada proses penilaian, harus ada proses pemilihan untuk dapat disetujui atau tidak dapat disetujui oleh DPR.

Apakah persetujuan DPR yang dimaksudkan oleh Pasal 24A UUD NRI 1945 harus dengan proses pemilihan? Apakah pembentuk undang-undang menghendaki penjabaran makna yang sama antara persetujuan dan pemilihan? Secara terminologi tentu tidak. Ada baiknya kita melihat perbandingan penggunaan kata persetujuan dan pemilihan dalam konteks kewenangan yang dimiliki oleh DPR. Penulis menemukan perbedaan penggunaan kata persetujuan dan pemilihan tersebut dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), terkhusus pada Pasal 71 tentang tugas dan wewenang DPR. Lihat bagan berikut:

Tabel 2

Klasifikasi Tugas dan Wewenang DPR Dalam Pasal 71 UU MPR, DPR, DPD, dan DPR

Persetujuan Pemilihan Persetujuan Bersama (DPR dengan Presiden) Pertimbangan Huruf b Huruf g Huruf j Huruf o Huruf p Huruf r Huruf m Huruf q Huruf a Huruf d Huruf e Huruf k Huruf l

Keterangan :

 Pasal 71 huruf b : Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Perppu yang diajukan Presiden untuk menjadi undang-undang.

 Pasal 71 huruf g : Memberikan persetujuan atas RUU APBN yang diajukan oleh Presiden, setelah dibahas bersama terlebih dahulu.

 Pasal 71 huruf j : Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya.

 Pasal 71 huruf o : Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota KY.

 Pasal 71 huruf p : Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan oleh KY.

 Pasal 71 huruf r : Memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara.

 Pasal 71 huruf m : Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

 Pasal 71 huruf q : Memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi.

 Pasal 71 huruf a : Persetujuan bersama dalam hal pembentukan undang-undang.

 Pasal 71 huruf d : Persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang, termasuk tehadap RUU yang diajukan oleh DPD.

 Pasal 71 huruf e : Persetujuan bersama dalam pembentukan undang-undang, terhadap RUU yang diajukan DPR atau Presiden yang berkaitan dengan otonomi daerah,

 Pasal 71 huruf k : Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi.

 Pasal 71 huruf l : Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar.

Dari bagan tersebut, dapat dilihat bahwa pembentuk undang-undang sendiri menggunakan istilah persetujuan dan pemilihan dalam batasan tugas dan wewenang DPR. Bahkan untuk lebih

mempertegas, terdapat istilah persetujuan bersama dan pertimbangan. Penggunaan istilah-istilah tersebut tentunya bukan tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Cara termudah untuk menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara persetujuan dan pemilihan, ialah dengan melihat tugas dan wewenang DPR dalam konteks yang lebih spesifik, yakni dalam hal pengangkatan anggota lembaga negara.76

Pada pengangkatan hakim agung dan anggota KY, DPR memiliki wewenang untuk memberikan persetujuan, sedangkan pada pengangkatan anggota BPK dan hakim konstitusi, DPR memiliki wewenang untuk melakukan pemilihan. Logika sederhananya, jika pembentuk undang-undang menginginkan mekanisme yang sama untuk keempat jabatan tersebut, mengapa tidak digunakan istilah yang sama untuk semua jabatan yang dimaksud.

Pembentuk undang-undang justru menggunakan istilah yang berbeda yakni persetujuan dan pemilihan. Artinya, memang peruntukan dan pemaknaan istilah persetujuan berbeda dengan pemilihan, khususnya dalam konteks wewenang DPR dalam proses

76

Anggota lembaga negara yang dimaksud ialah anggota Komisi Yudisial (huruf o), Hakim Agung (huruf p), anggota Badan Pemeriksa Keuangan (huruf m), dan Hakim Konstitusi (huruf q).

pengisian jabatan negara, terlebih lagi pada wewenang lain yang dimiliki DPR. Sehingga seharusnya, istilah “mendapatkan persetujuan DPR” dalam proses pengisian jabatan hakim agung tidaklah dapat disama-artikan dengan pemilihan.

Inkonsistensi atau keragu-raguan pembentuk undang-undang dalam memaknai Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, pada UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), tetap digunakan istilah “memberikan persetujuan”, tetapi dalam UU Mahkamah Agung dan UU KY justru menggunakan istilah “dipilih oleh DPR”.

Setelah dicermati, pemaknaan persetujuan mengalami pergeseran ke arah pemilihan disebabkan karena adanya ketentuan lain yang mengatur bahwa KY mengusulkan 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan, yakni Pasal 18 ayat (5) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang KY, yang dijadikan dasar pengaturan pengangkatan hakim agung dalam UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dari ketentuan tersebut, DPR memandang bahwa perlu dilakukan proses pemilihan untuk kemudian menentukan calon hakim agung yang nantinya akan disetujui dan ditetapkan sebagai hakim agung.

Padahal, konsep persetujuan sendiri memiliki proses yang berbeda dengan konsep pemilihan. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh

Khusnu Abadi,77 bahwa ketentuan pengisian jabatan publik dengan mempergunakan frasa memperoleh persetujuan DPR mempunyai pengertian dan makna hanya memberikan pilihan kepada DPR untuk:

a) Memberikan persetujuan, atau

b) Menolak, atau tidak memberikan persetujuan dengan kewajiban pihak yang mengusulkan untuk mengusulkan calon yang baru.

Dari penjelasan tersebut, kita menemukan perbedaan mendasar konsep persetujuan dengan pemilihan, artinya kandungan makna dan tujuan pada ketentuan Pasal 24A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 memang berbeda dengan kandungan pada Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Meskipun MK telah mengurangi kewenangan DPR yang terdapat pada ketentuan perundang-undangan, yang tidak lagi melakukan proses pemilihan tetapi sekedar memberi persetujuan, namun demikian DPR tetap melakukan fit and proper test. Proses fit and proper test tersebut tentu harus dipahami dan dilakukan dalam konteks memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan

77

Khusnu Abadi menyampaikannya dalam keterangan sebagai ahli pada perkara Pengujian UU Mahkamah Agung dan UU Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi, pada hari Kamis, 16 Mei 2013. Dalam menjelaskan konsep tersebut, Khusnu Abadi mengutip dan membandingkan berbagai ketentuan pengisian jabatan publik yang berkenaan dengan makna frasa persetujuan DPR, seperti pengangkatan Kapolri, pengangkatan Panglima TNI, pengangkatan gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia.

terhadap calon hakim agung yang diusulkan oleh KY, bukan dalam kaitan memilih calon hakim agung yang diusulkan KY.78

Dalam relasi kekuasaan negara, proses politik yang dilakukan oleh DPR tentu tidak bisa dinafikan sebab konstitusi sudah memberi kewenangan konstitutif yang bersifat atribut dalam memberi persetujuan atau tidak memberi persetujuan terhadap calon hakim agung yang diusulkan KY.

B. Pertimbangan Hakim Konstitusi dalam Memberi Putusan Nomor 27/PUU-XI/2013 tentang Seleksi Calon Hakim Agung di DPR

1. Kewenangan Mahkamah

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili permohonan a quo berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di mana salah satu kewenangan konstitusional MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan

78

. Tjatur Sapto Edy, makalah Peran dan Tanggung Jawab DPR dalam Seleksi Calon Hakim Agung , (Jakarta: 20 Mei 2014), h. 6.

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD.

Sedangkan Pengujian yang dimohonkan oleh para Pemohon adalah Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY, terhadap Pasal 24A ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, maka MK berwenang untuk mengadili permohonan tersebut.

2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon

Menurut hukum acara pengujian Undang-Undang pada Mahkamah Konstitusi, legal standing adalah kemampuan subyek hukum untuk memenuhi persyaratan menurut Undang-Undang untuk mengajuan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD kepada Mahkamah Konstitusi.79 Legal standing merupakan adaptasi dari istilah personae in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan di depan pengadilan.80

Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan

79

Arifin, Firmansyah. Julius Wandi. Merambah Jalan Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, 2003) h. 11.

80

Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa: Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008) h. 176.

konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:

a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara;

Para Pemohon dalam pengujian Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA dan Pasal 18 ayat (4) UU KY, terhadap Pasal 24A ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu Dr. Made Dharma Weda, S.H., M.H., Dr. RM. Panggabean, S.H., M.H dan Dr. ST. Laksanto Utomo, SH., MH. adalah warga negara Indonesia yang mempunyai kepedulian dan hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam menegakkan hukum secara nyata dengan menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) namun gagal pada proses fit and proper test di DPR. Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menyatakan:

 Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA:

(2) Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.

(3) Calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat 1 (satu)

orang dari 3 (tiga) nama calon untuk setiap lowongan.

(4) Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sidang terhitung sejak tanggal nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.

 Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menyatakan:

Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak berakhirnya seleksi uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.

Menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:

 Pasal 24A ayat (3):

Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.

 Pasal 28D ayat (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Alasan Pemohon pada pokoknya sebagai berikut:

a. Para Pemohon adalah warga negara Indonesia yang mempunyai kepedulian dan hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam menegakkan hukum secara nyata, dengan menjadi hakim agung di Mahkamah Agung (MA); b. Bahwa untuk melaksanakan hak konstitusionalnya tersebut,

para Pemohon pernah mendaftar dan dinyatakan lulus pada beberapa tahapan seleksi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY). Pemohon II sudah beberapa kali mengikuti

seleksi yang sama dan telah diusulkan oleh KY kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendapatkan persetujuan, akan tetapi oleh karena dalam UU MA memberikan wewenang kepada DPR untuk memilih calon hakim yang diusulkan oleh KY, DPR bukannya memberikan persetujuan sebagaimana yang ditentukan oleh Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, tetapi melakukan pemilihan, sehingga Pemohon II tidak dipilih oleh DPR;

c. Bahwa Undang-Undang yang menjadi objek permohonan para Pemohon telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk memilih calon hakim agung yang sudah dinyatakan lolos dan diusulkan oleh KY telah merugikan hak konstitusional Pemohon II yang juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon I dan Pemohon III apabila mendaftarkan diri kembali sebagai calon hakim agung karena para Pemohon akan berhadapan dengan ketidakpastian hukum dalam pengisian lowongan hakim agung.

Berdasarkan dalil para Pemohon yang telah disebutkan di atas, MK berpendapat para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional dan hak konstitusionalnya tersebut dapat dirugikan dengan berlakunya Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY. Oleh karena itu, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo.

3. Pendapat Hakim Mahkamah Konstitusi tentang Pokok Permohonan

Para Pemohon mengajukan pengujian materiil Pasal 8 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU MA, dan Pasal 18 ayat (4) UU KY yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:81

a. Mekanisme pengangkatan hakim agung dan kewenangan DPR dalam UU MA dan UU KY yang diuji oleh para Pemohon telah dirumuskan secara berbeda dan tidak sesuai dengan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi warga negara Indonesia yang hendak menggunakan hak konstitusionalnya untuk menjadi hakim agung, khususnya para Pemohon;

b. Keterlibatan DPR dalam pengangkatan hakim agung memang diatur dalam UUD 1945, akan tetapi keterlibatan DPR tersebut hanya dalam bentuk memberikan persetujuan terhadap calon hakim agung yang diajukan oleh KY sebelum ditetapkan oleh Presiden

Dokumen terkait