• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar dalam Teori Strukturalisme Semiotik

AJARAN MORAL DAN SEMIOTIKA ROLAND BARTHES

B. Pengantar dalam Teori Strukturalisme Semiotik

Sebagai makhluk sosial, manusia butuh berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia yang lain untuk dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhannya ataupun sekedar untuk menyampaikan apa yang menjadi keinginannya dan menyatakan apa yang ada dalam pikirannya. Satu-satunya media yang dapat digunakan adalah bahasa, baik bahasa verbal ataupun non-verbal. Sebagian besar manusia di dunia menghabiskan waktunya dengan bahasa, kenyataan ini menempatkan bahasa sebagai salah satu elemen terpenting dalam kehidupan manusia. Bahkan bahasa bisa menjadi alat sebagai penggerak dan pengontrol tingkah laku individu10.

Meskipun bahasa tercipta dari atau melalui akal budi manusia, fenomena itu bukanlah hasil kehendak secara individual, namun terbentuk dan terjadi begitu saja secara sosial, dan tidak ada individu yang dapat mengubah atau menciptakan kondisi seperti itu. Bahkan bahasa ada sebelum kelahiran dan sesudah kematian seseorang. Bahasa hadir sebagai suatu kaidah sosial yang bersifat memaksa terhadap individu ketika dia harus berpikir, bertutur, atau berbicara. Tidak ada individu yang mampu berbicara di luar kaidah bahasa yang telah tercipta secara sosial tersebut. Karena ciri-cirinya yang seperti itulah bahasa dipandang oleh Saussure sebagai institusi sosial11.

Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis, sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi dan interaksi. Bahasa juga merupakan sistem

10 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Cet. III, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 271-272.

tanda, yakni suatu keterjalinan tanda-tanda menurut suatu aturan tertentu yang memungkinkan bahasa menjalankan fungsi hakikinya sebagai sarana representasi dan komunikasi12. Sedangkan tanda sendiri dapat dipahami sebagai realitas indrawi yang mengandung suatu signifikansi atau dapat diartikan juga sebagai sesuatu yang mempresentasikan sesuatu yang lain13. Tanda dapat dipahami jika seseorang dapat menangkap citra atau kesan mental yang berbeda-beda atas suatu fenomena lahiriah-indrawi yang digunakan untuk menandai suatu konsep yang berbeda-beda pula. Namun, tidak semua tanda dengan sendirinya dapat dipahami (kecuali tanda alamiah seperti asap yang berarti ada api). Di sinilah orang mengenal adanya tanda alamiah (natural) dan tanda konvensional.

Selain manusia memakai tanda atau simbol untuk menandai konsep-konsep tertentu (berbahasa) dalam kehidupannya sehari-hari, manusia juga mampu mengembangkan tanda atau simbol tersebut ke dalam taraf-taraf tertentu di luar konvensi bahasa pada umumnya. Seorang penyair misalnya, dia tidak lagi menggunakan bahasa konvensional –yang tercipta secara sosial- untuk menuangkan ide atau pemikirannya dalam sebuah karya puisi. Namun dia “menciptakan” bahasanya sendiri dengan mensiasati atau mengeksploitasi bahasa konvensional menjadi gaya dan bentuk bahasa baru yang mempunyai persepsi dan makna-makna yang segar dan unik. Begitu juga halnya dengan bahasa yang digunakan dalam bentuk-bentuk karya sastra yang lain seperti novel, cerpen, roman, sya’ir, sajak, drama dan lain sebagainya. Dengan demikian, karya sastra mempunyai sistem bahasa tersendiri yang khas dan unik di luar sistem bahasa pada umumnya.

Karena sastra mempunyai konvensi sistemiknya sendiri yang dibangun di atas sistem bahasa konvensional, yakni bahasa konvensional sebagai sistem tanda

12 Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotik, dan Analisis Framing, (Cet. II, Bandung; Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 42. 13 Alex Sobur, Analisis, ..., hlm. 44.

pertama (primer) dan konvensi sastra sebagai sistem tanda kedua (sekunder), maka penguasaan akan bahasa (konvensional) saja tidaklah cukup untuk memahami sastra. Contoh sederhana dapat dilihat dari satu sya’ir lagu yang berjudul “Bunga Jiwaku” dinyanyikan oleh Yovie & Nuno. Pemaknaan secara denotatif atas kalimat tersebut tidak dapat dilakukan lagi. Pemaknaan secara harfiah yang berarti “ada bunga yang tumbuh dalam jiwa atau jiwa yang dapat ditumbuhi bunga” adalah sesuatu yang tidak wajar dan tidak masuk akal. Atau dengan kata lain tataran semantik bahasa Indonesia dalam kalimat tersebut tidak dapat diterima (tidak ada bunga atau tanaman apapun juga yang dapat tumbuh dalam jiwa). Dengan demikian, perlu adanya perangkat-perangkat atau metode kritik sastra tertentu untuk membantu menembus dinding penghalang makna yang disebut konvensi sistemik sastra tersebut.

Berbicara tentang metode kritik sastra, strukturalisme adalah satu dari sejumlah pisau bedah yang banyak digunakan para pengkaji sastra dewasa ini. Dalam dunia sastra, analisis struktural dilakukan dengan cara mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik sastra yang bersangkutan. Dengan begitu, analisis struktural tidak sekedar memecah struktur cerita menjadi fragmen-fragmen yang tidak berhubungan, tetapi harus dapat dipahami sebagai bagian dari keseluruhan14. Akan tetapi, analisis struktural dalam dunia sastra yang menekankan pada unsur intrinsik tersebut, justru mengundang kritik dari para pengkaji sastra yang lain. Mereka menganggap analisis struktural atas sastra merupakan pendekatan yang kering dan buntu, karena hanya berputar-putar pada unsur intrinsik saja, dan hanya akan menghasilkan pemaknaan pada level bahasa biasa. Oleh karenanya, untuk menghindari penafsiran seperti itu, mereka mengusulkan semiotika sebagai metode untuk menganalisis karya sastra. Karena bagi mereka, semiotika sangat efektif digunakan untuk menemukan tafsiran makna pada level sastranya.

Terutama semiotika konotasi yang lebih menekankan pada analisis sistem tanda bahasa kedua.

Dalam penelitian ini, strukturalisme dan semiotika seperti halnya dua sisi mata uang koin. Suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya sama pentingnya dalam penafsiran karya sastra, dan akan menjadi lebih baik jika keduanya terintegrasikan dalam proses penafsiran. Analisis struktural digunakan untuk menangkap kebulatan makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya tersebut. Sedangkan analisis semiotik berguna untuk menemukan tafsiran makna sastranya melalui sistem tanda yang telah terstruktur dalam karya sastra.

Analisis yang meniscayakan proses kerja strukturalisme dan semiotika secara integral ini, sebenarnya tergambar dalam teori-teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes (1915-1980). Roland Barthes adalah salah seorang strukturalis yang memegang peranan penting dalam perkembangan strukturalisme ke arah semiotik. Berdasar pada linguistik struktural Saussure, Barthes mengembangkan dua sistem penandaan berlapis, yang terdiri dari sistem denotasi dan sistem konotasi. Sistem denotasi adalah sistem penandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep abstrak di baliknya. Sedangkan sistem konotasi merupakan sistem penandaan tingkat kedua. Pada sistem konotasi, rantai penanda dan petanda pada sistem denotasi berubah menjadi penanda. Begitu seterusnya berkaitan dengan petanda yang lain pada rantai penandaan yang lebih tinggi15.

Dalam teori mitologinya, Barthes juga memaparkan sistem tanda yang dipakai dalam sebuah mitos yang juga memanfaatkan bahasa biasa sebagai sistem tanda pertama untuk menghasilkan sebuah wacana dengan menggunakan sistem tanda kedua. Dalam pengertian Bathes, mitos adalah sebuah jenis pembicaraan atau wicara (a type of speech) yang dapat terbentuk dari berbagai

hal (things), dengan ketentuan disampaikan sebagai wacana, dan mitos tidak ditetapkan oleh obyek pesannya, tetapi oleh caranya menyampaikan pesan16. Dengan demikian karya sastra pun, dalam pengertian Barthes termasuk dalam mitos seperti itu.

Al-Qur’an –dan juga kitab suci yang lain- yang juga menggunakan bahasa sebagai media penyampai makna, tentu saja tidak lepas dari kajian linguistik modern. Jika menggunakan terminologi Saussurean, maka dapat dikatakan bahwa al-Qur’an dapat dibedakan ke dalam parole (kala>m), yaitu berupa inspirasi atau firman Tuhan, dan langue (lugha>t/lisa>n), yaitu instrumen yang digunakan Tuhan untuk mengkomunikasikan firman-firman-Nya, yang berupa bahasa arab17. Selain itu, sebagaimana salah satu mukjizat al-Qur’an adalah dalam penggunaan gaya bahasanya yang indah dan mengandung nilai sastra yang tinggi, tentunya dapat menjadi ladang garap bagi disiplin-disiplin ilmu pengetahuan seperti linguistik, strukturalisme, dan bahkan juga semiotika atau semiologi.

Terkait dengan penelitian ini, untuk mendapatkan tafsiran makna sekunder yang dimiliki Surat Yusuf, peneliti akan menerapkan teori semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes sebagaimana yang telah sedikit disinggung di atas, dengan cara menganalisis struktur sistem tanda kedua Surat Yusuf. Dengan asumsi dasar bahwa selain menjadi kitab suci ketuhanan, al-Qur’an juga merupakan sebuah karya yang memuat nilai sastra yang sangat tinggi dan asumsi bahwa teks kitab suci pun tidak lepas dari bidikan kerja semiotik.

16

Roland Barthes, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa; Semiotika atau Sosiologi Tanda,

Simbol, dan Representasi, (Cet. III, Yogyakarta, Jalasutra, 2010), hlm. 295-297.

17 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur’an, (Cet. II, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 166.

Dokumen terkait