• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV : Setelah pembahasan mengenai diskursus ayat-ayat pluralisme agama yang berkaitan dengan kebebasan beragama dan

HERMENEUTIK HISTORIS

C. Lingkaran Hermeneutik

1. Pengarang, teks dan pembaca

Konsentrasi para pengkaji hermeneutik adalah berkisar seputar segitiga, yaitu teks, pengarang, dan pembaca (hermeneut). Dari lingkaran ini maka akan menimbulkan perekembangan interpretasi, karena ketigannya saling berkaitan. Adapun hubungan di antara tiga sisi adalah berpusat paka teks, sebab ialah produk yang dihasilkan oleh pengarang dan itulah tema yang menjadi konsentrasi pembaca untuk bisa menghasilkan penafsiran. Karena itu gerakan ketiga komponen hermeneutik ini pada umumnya dapat terwujud dalam bentuk berikut:134

132 F.Budi Hardiman, Seni Memahami Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida,..., hal. 93.

133 Richard E. Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi,..., hal. 137.

134 Fahmi Salim, Kritik Terhadap Studi al-Qur‟an, Depok: Gema Insani, 2017, hal.

143.

a. Pengarang

Mazhab romansisme sangat menekankan pada posisi pengarang, karena subjek pengarang adalah pusat kerja inovasi secara keseluruhan, kehadirannya dalam bentuk teks ibarat ruh yang sangat dominan. Akan tetapi, mazhab struktalisme dan teori-teori lain telah

“membunuh” pengarang, dan sebaliknya, memberikan teks nilai yang tinggi, karena tujuannya adalah mengungkap sistem yang menjadi pondasi utama dari sebuah sistem linguistik.

Tidak adanya perhatian terhadap pendekatan kritis ini telah memberikan peringatan kepada sebagian kritikus modern untuk mengampanyekan agar pengarang juga diperhatikan di dalam teks, begitu juga tujuan pengarang tersebut. Hal Itu dilakukan oleh hermeneut Amerika E.D.JR Hirs dalam bukunya Validity in Interpretation yang di dalamnya dia mempioritaskan pengarang dalam teks dan ingin mengembalikan maksud pengarang sebagai kunci memaknai teks. Dalam kedua bukunya yaitu Validasi Penafsiran dan Tujuan-tujuan Penafsiran, ia mengumumkan bahwa kita tidak dapat berbicara mengenai sebuah takwil tertentu selama kita belum mengetahui tujuan dan maksud dari seseorang pengarang yang mengarahkan kepada motiv untuk menuliskarangan tersebut.

Metode Hirsh adalah metode paling konservatif untuk sampai kepada tujuan makna bahwa seorang pengarang karya sastra sudah pasti lebih baik dibandingkan pembaca. Akan tetapi, tugas yang paling berat dari seorang pembaca (hermeneut) adalah mengembalikan tujuan pengarang dan niatnya dari karya itu.135

Fungsi aplikasi dari teori Hirsh adalah untuk mengukuhkan bahwa pembaca yangsudah ahli sajalah yang dapat mengembalikan maksud dari pengarang, sedangkan pembaca pemula maka dia sangat sulit sekali berhasil mengetahui maksud dari pengarang.

Adapun tokoh yang menguatkan teori Hirsh dalam fokus masalah mengembalikan maksud penulis adalah Emilio Betti yang melihat keharusan memperhatikan makna teks untuk sampai pada makna yang objektif yang tidak ada campur tangan pembaca untuk menginterfensi maksud dari teks.136

Di sisi lain, Roland Barthes (1915-1980 M) mengambil sikap menentang teori ini. Dia berpendapat bahwa “pengarang sudah mati”

karena pengarang tidak membawa kita kepada dasar atau tujuan teks

135 Abdul Qadir ar-Ruba‟i, At-Ta‟wȋl Dirȃsah Fi Afȃq al-Musthalah, Majalah Âlam al-Fikr, edisi 2 jilid 31, 2003, hal. 168.

136 Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyȃt al-Qur‟an Âliyyȃt at-Ta‟wȋl, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1992, hal. 39.

apa pun. Oleh karena itu, bagi pembaca bebas untuk memberikan interpretasi teks dengan tanpa harus mengetahui latar belakang penulis.137

b. Teks

Mazhab-mazhab kritik sastra berbeda pandangan dalam mendefinisikan dan membatasinya. Swenski berkata, “Setiap manusia intelek memiliki gambaran tentang teks yang berhubungan secara lingustik dengan lingkungan yang menjadi tempat hidupnya.138 Oleh sebab itu, kita berusaha mengetahui dengan sempurna pemikiran-pemikiran penting seputar teks, termasuk perbedaan-perbedaan pemikiran.

Sebagai pakar yang berusaha membuat definisi-definisi teks terbagi menjadi dua kelompok yang saling berhadapan.

Pertama, teks dijadikan sebuah hasil dari pembacaan-pembacaan atau tulisan-tulisan seseorang yang menjadikan ilmu linguistik sebagai titik awal serta menganggap bahasa sebagai media dan tujuan.

Kedua, teks menjadi sebuah aliran yang dapat menimbulkan perbedaan, yang berusaha untuk mengeluarkan teks dari ketertutupannya, sehingga teks dapat melampaui dirinya menuju lingkupnya dan faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya.

Dengan demikian, teks menjadi terbuka bagi para penerimanya sehingga mereka dapat berbeda-beda pendapat dan kecenderungan.

Dr. Shalah Fadhl telah menyatakan pendapat yang sama dia membagi teks ke dalam 2 bagian.

Bagian pertama, teks statis yang tetap. Ia adalah produk hasil kerja para strukturalis analisis untuk menemukan unsur-unsur yang potensial dalam sistem hubungan susunanya.

Bagian kedua, teks dinamis yang bergerak. Ia adalah yang menjadi kegemaran para dekontruktor dan berkonsentrasi pada apa yang dimaksud dengan at-tanash (intelektualitas).

Gadamer memusatkan perhatiannya pada “teks yang tertulis”

karena tulisan memberikan kepada bahasa sebuah tubuh kemampuan untuk berpisah dari perbuatan yang membentuknya. Pasalnya, pada waktu ia ditulis maka semua yang dikutip akan menjadi kontemporer bagi semua yang hadir. Kemudian bahasa juga memberikan spirit pada waktu penulisan, sebab pemahaman yang sudah mengerti telah sampai pada puncaknya untuk menghadapi warisan yang tertulis.

137 Hose Maria, Nazhariyyat al-Lughah al-Adabiyyah, diterjemahkan Hamid Abu Hamd, t.tt: Maktabah Gharib, 1991, hal. 163.

138 Said Bukhari, „Ilm Lughat an-Nash: al-Mafahim wa al-Ijttijȃhȃt, t.tt., Asy-Syirkah al-Misriyah Li an-Nasyr, 1997, hal. 3.

Jadi, pemahaman yang dibaca adalah bias pada kondisi di mana ia dibaca. Pada kenyataannya, semua yang ditulis adalah objek hermeneutis dengan keistimewaanya.139

Dalam konteks ini, Hose Maria telah mengumpulkan tujuh prediksi teks menurut Roland Barther yang merupakan ringkasan dari dua bukunyadiantaranya:

1) Teks dipilih karena ia menjadi sebuah produk yang menerima untuk dipindah dalam sebuah kerjaan atau beberapa kerjaan.

2) Teks menjalani penundaan yang tidak berakhir dan itu adalah selalu meluas.

3) Teks terbentuk dari bagian-bagian interteks, pemindahan, gema, dan bahasa-bahasa kultual. Ia bukan untuk menjawab tentang kebenaran lebih pada pemberian data (diseminasi).

4) Teks akan hidup dengan hilangnya sang pengaran, atau dengan kematiannya.

5) Teks bersifat terbuka dan akan diproduksi melalui pembaca dalam sebuah kerja yang aktif.140

c. Pembaca/Penakwil (Hermeneut)

Kita akan beralih pada tema yang paling penting dalam alian-aliran hermeneutik modern.

Dilthey dahulu pernah menarik perhatian pada kedudukan pembaca atau menakwil dalam menafsirkan teks, setelah sebelumnya peran pembaca tidak diperhatikan sehingga sekian lama.

Dilthey percaya bahwa di sana ada sesuatu yang tergabung antara penerima dan teks sastra, yaitu eksperimen hidup. Eksperimen ini, menurut Dilthey adalah sesuatu yang subjektif enurut penerima, tetapi ia dapat membatasi syarat-syarat epistimologis yang tidak dapat dilewati. Dengan arti lain, pembaca tergadai oleh syarat teks, sehingga dia tidak bisa keluar dari teks.141

Ketika Barthes mengatakan “kematian pengarang”, maka yang dia maksud pada intinya adalah “menghidupkan kehidupan yang ada pada diri pembaca”. Pasalnya pembaca menurut ungkapan Barthes adalah angkasa (kosong) yang akan diukir semua teks yang membentuk sebuah tulisan. Kesatuan teks bukanlah seperti yang dikatakan pada awal kemunculannya, tetapi pada perjalanan selanjutnya dan cakupannya. Perpanjangan cakrawala teks tidak mungkin bersifat personal atau terbatas pada orang per orang. Di

139 Paul Riccour, An-Nassh wa at-Ta‟wȋl, terjemahan Munshif „Abd Haqq, Majalah Al-„Arab wa al-Fikr al-“alami, edisi 3, 1988, hal. 37.

140 Hose Maria, Nazhariyyat al-Lughah al-Adabiyyah,..., hal. 162-164.

141 Nashr Hamid Abu Zaid, Isykâliyyat al-Qirâ‟ah wa Aliyât at-Ta‟wȋl, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al‟Arabi, 1992, hal. 27.

sinilah pentingnya memperhatikan pembaca karena pembaca tidak memiliki sejarah dan perjalanan hidup. Pembaca adalah setiap manusia yang mampu menyatukan semua pengaruh yang dikandung teks tertulis di dalam sebuah lahan yang satu.142

Barther menolak pandangan klasik dalam tafsir yang mengatakan bahwa pengarang adalah asal mula teks dan hanya kepadanya saja penakwilan kembali. Dia memberikan kebebasan kepada pengkritik bagi teks untuk masuk dari sisi mana saja, sebab tidak ada jalan yang shahih. Dalam ide Barther adalah “pembaca bebas untuk membuka proses kerja teks dan ketertutupannya tanpa memperhitungkan petanda (madlȗl), dan pembaca merdeka dalam menerima baginya yang nikmat dari teks”.143

Berangkat dari peran penting pembaca di dalam pemikiran kritik modern, Fernando Latharo (1984 M) berpendapat bahwa kekuatan syair yang bernilai retoris adalah sebuah panggilan bagi pembaca agar membawa pesannya dengan anggapan bahwa itu adalah khusus untuknya. W. Oman (1975 M) telah berkata bahwa periode maksud suatu karya bukan pada periode maksud suatu karya bukan pada periode penulisnya tetapi pada masa ketika teks itu dibaca.144

Adapun Paul Ricouer (1913-2005) berpendapat bahwa hubungan antara pembaca dan pengarangnya adalah hubungan yang berdasarkan pada perbedaan dan bukan dialog. Pasalnya, tidak cukup dalam pandangannya untuk mengatakan bahwa pembaca adalah dialog bersama pengarangnya melalui hasil karangannya. Akan tetapi, kita harus mengatakan bahwa hubungan pembaca dan penulis adalah hubungan yang selalu berbeda selamanya. Seorang pembaca akan selalu dalam ketiadaan dari kerja penulisan secara keseluruhan sebagaimana penulis selalu dalam ketiadaan dari kerja pembaca.

Demikianlah teks dan dalil yang saling terkait antara pembaca dan penulis secara bersamaan.145

Umberto Eco adalah orang yang begitu memperjuangkan peran pembaca, dia menamakannya sebagi “pembaca ideal”, yaitu pembaca yang mempunyai skill seperti skillsebuahteks. Pasalnya, semua pembacaan adalah perpindahan yang selalu bersambung antara kecakapan pembaca dan semacam kecakapan yang dituntut oleh teks.

Hal itu agar dia membacanya dengan jalan yang mederat. Ketika

142 Abdul Qadir ar-Ruba‟i, At-Ta‟wȋl Dirâsah fi Afâq al-Mushthalah,..., hal. 171.

143 Raman Seldn, An-Nazhariyyah al-Adabiyyah al-Mu‟ashirah, terjemah Said al-Ghanimi, al-Mu‟assasah al-„Arabiyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr, 1996, hal. 114-115.

144 Hose Maria, Nazhariyyat al-Lughah al-Adabiyyah,..., hal. 242.

145 Paul Riccoeur, An-Nassh il al-Fi‟li Abhats at-Ta‟wȋl, Terjemahan Munshif „Abd.

Haqq, Majallah al-„Arab wa al-Fikr al-„Alami, edisi 3, 1988, hal. 37.

seorang pengarang menulis teks untuk sejumlah pembaca, maka dia mengetahui bahwa dia akan menakwil tidak seperti yang dia maksud tapi sesuai strategi yang kompleks tergabung dari saling kerja yang juga melibatkan pembaca. Pengetahuannya dengan bahasa, seperti tradisi kemasyarakatan, tidak seperti sejumlah kaidah-kaidah gramatika.146

Aliran Fenomenologi yang dipimpin oleh Hussrel (1859-1938 M) sangat menyambung pembaca-penerima. Ia memberi pembaca peran yang sentral di dalam menentukan makna mana yang merupakan kandungan-kandungan perasaan dan bukan tema-tema alam yang eksternal. Hussrel memberikan stimulus untuk melakukan bentuk kritik yang memasukan pekerjaan penulis agar sampai pada pemahaman tentang alam atau hakikat batin dari tulisan-tulisannya sebagaimana menjadi jelas bagi perasaan pengkritik.147

Sementara itu, Gadamer membedakan antara pembaca “asli” dan pembaca teks atau penakwilnya. Petama adalah mereka yang dituju oleh pesan yang maknanya sampai kepadanya, tetapi dia adalah pembaca yang tetap. Sementara penakwil teks (pembacanya) maka dia akan berubah dalam zaman dan tempat. Perubahan itu memberikan teks sebuah pembenaran, koreksi, dan perkembangan.148