• Tidak ada hasil yang ditemukan

THEORY OF POVERTY

LIBERAL AND NEO LIBERAL

5.6. Determinan Kemiskinan

5.6.1. Pengaruh Belanja Publik terhadap Kemiskinan di Kabupaten Barru

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memuat semua kebijakan yang terbagi ke dalam belanja aparatur dan belanja publik. Dalam

155 penelitian ini difokuskan pada belanja publik dalam 4 (empat) komponen besar yang meliputi belanja di bidang pendidikan, belanja di bidang kesehatan, belanja di bidang pertanian, dan belanja di bidang infrastruktur. Ke empat bidang ini menerima alokasi anggaran terbesar selama periode 1990-2008. Alokasi anggaran yang dialokasikan untuk ke empat komponen belanja publik tersebut, sejalan dengan tujuan fungsi alokasi dan fungsi distribusi, yaitu mensejahterakan masyarakat. Di Kabupaten Barru sendiri memperlihatkan kecenderungan yang semakin baik dalam pengelolaan anggaran (better budget) yang ditandai dengan meningkatnya alokasi anggaran belanja publik dari tahun ke tahun. Persentase belanja publik dua tahun terakhir beralih dari belanja aparatur ke belanja publik, dimana pada tahun 2007 alokasi anggaran untuk belanja publik adalah 42,36 persen masih lebih kecil dibanding dengan belanja aparatur, namun pada tahun 2008 mengalami pergeseran, dimana alokasi belanja publik menjadi 59,39 persen atau lebih besar dibanding dengan belanja aparatur (termasuk dana yang bersumber dari dana alokasi khusus yang di daerahkan dan tertuang dalam APBD Kabupaten Barru).

Implikasi dari semakin membaiknya pengelolaan anggaran dan semakin meningkatnya proporsi anggaran belanja publik dibanding belanja aparatur adalah mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat dan dapat mereduksi kemiskinan. Terbukti dari hasil pendugaan variabel belanja publik menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan anggaran belanja publik dapat mereduksi rumah tangga miskin sebanyak 0,0000122 persen. Dengan perkataan lain peningkatan Rp. 100 Milyar anggaran belanja publik yaitu dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur dapat menurunkan rumah tangga miskin sebanyak 0.0012 persen per tahun pada tahun ke tiga (t-3), ceteris paribus. Artinya, belanja publik yang dilaksanakan tidak secara otomatis berdampak pada tahun tersebut, akan tetapi pengaruhnya terhadap penurunan jumlah penduduk miskin baru dirasakan pada tahun ke tiga.

Alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan ditujukan untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia. Alokasi anggaran pendidikan diprioritaskan pada pendidikan dasar dengan berbagai skenario untuk mendukung wajib belajar

156 sembilan tahun. Program dan kegiatan bidang pembangunan yang dilakukan meliputi pembangunan sarana dan prasarana pada semua level pendidikan, pemberian beasiswa, dan pelaksanaan pendidikan gratis pada tingkat SD yang disertai dengan penyediaan buku tulis secara gratis pada semua murid SD. Sedangkan untuk bidang kesehatan diarahkan juga untuk sarana dan prasarana kesehatan terutama pembangunan rumah sakit, pembangunan puskesmas dan puskesmas pembantu pada wilayah terpencil dan pegunungan yang dibarengi dengan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas secara gratis.

Kalau dikaitkan dengan analisis deskriptif dan analisis kerentanan sebelumnya, maka belanja publik di bidang pendidikan dan kesehatan masih perlu dilakukan sinkronisasi dan integrasi yang lebih kuat. Dalam bidang pendidikan misalnya masih perlu perbaikan pemerataan distribusi pelayanan pendidikan terutama pendidikan menengah atau SMP ke atas ke semua wilayah. Sedangkan untuk pelayanan di bidang kesehatan, belanja publik juga perlu penekanan bukan hanya kepada pelayanan kesehatan dasar, akan tetapi juga memberi jaminan kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan biaya besar seperti operasi terutama bagi penduduk miskin.

Selain itu, alokasi anggaran di bidang pertanian mencakup pengembangan produktivitas pada semua sektor pertanian, seperti pertanian tanaman pangan, perikanan dan kelautan, peternakan dan kehutanan. Sedangkan belanja di bidang infrastruktur mencakup pembangunan jalan dan jembatan, irigasi dan irigasi desa, dan sarana dan prasana pendukung aktivitas ekonomi lainnya. Hal tersebut sejalan dengan Daimon (2001) yang menemukan bahwa belanja publik yang diarahkan kepada bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur yang dapat mendukung perkembangan ekonomi antar sektor dan antar wilayah secara langsung memberi peluang kepada penduduk miskin untuk memperoleh peluang-peluang di bidang ekonomi.

Beberapa temuan penelitian lainnya menunjukkan hal yang sama bahwa peningkatan belanja publik yang diarahkan untuk meningkatkan aktivitas ekonomi dan peningkatan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi berpengaruh secara nyata terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, namun magnitudnya

157 berbeda (Suryadarma dan Suryahadi 2007; Yudoyono, 2004; World Bank 2006; dan Hirawan 2007). Lebih lanjut, Yudoyono (2004) menunjukkan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial terutama dalam mengurangi kemiskinan.

Berbeda dengan belanja publik, belanja langsung yang diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan walaupun arahnya negatif, akan tetapi pengaruhnya tidak signifikan secara statistik. Belanja langsung terhadap kemiskinan dalam penelitian ini meliputi program dan kegiatan yang diarahkan secara langsung untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Program dan kegiatannya meliputi program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP), program penaggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM), pilot proyek penanggulangan kemiskinan terpadu (PIK-PAKET), dan gerakan pembangunan dan pengentasan kemiskinan (GERBANG TASKIN), serta pembinaan keterampilan dan peningkatan kelembagaan penduduk miskin dari semua instansi yang sumber pembiayaannya berasal dari APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten yang dirangkum dari tahun 1990-2008.

Tidak signifikannya pengaruh belanja langsung terhadap kemiskinan, diindikasikan oleh desain program yang ada masih didominasi oleh pemerintah atau masih bersifat top-down, walaupun dalam implementasinya sebagian sudah melibatkan masyarakat dalam proses. Selain itu, banyaknya program yang digelontorkan oleh departemen teknis, diterjemahkan secara parsial di daerah menyebabkan terjadinya ego sektoral yang berdampak pada tidak tepatnya sasaran dan tidak efektif, dan bahkan beberapa rumah tangga miskin terlibat dalam beberapa kegiatan, di sisi lain banyak rumah tangga tidak tersentuh dengan program penanggulangan kemiskinan sama sekali. Kondisi demikian menyebabkan semakin meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah dan munculnya kecemburuan sosial yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) oleh sebagian masyarakat.

Desain program dan kegiatan berorientasi pada pendekatan proyek atau masa tahun anggaran, dan diperparah oleh kurangnya strategi pengalihan program

158 sehingga dengan selesainya tahun anggaran maka selesailah program dan kegiatan tersebut, padahal keberlanjutan dari program perlu dijaga sampai si miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri. Untuk menjaga orang miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri perlu dilakukan pendekatan dan desain program dan kegiatan secara komprehensif dimulai dari menemukan rumah tangga miskin sampai memperkuat kapasitas institusi masyarakat miskin, sehingga dapat berkembang menjadi institusi yang sehat, kuat, dan mandiri.

Sejalan dengan itu, beberapa kajian dan pengalaman membuktikan bahwa untuk menjaga orang miskin keluar dari kemiskinan secara mandiri perlu dilakukan beberapa tahapan dengan berpusat pada beberapa prinsip dasar sebagai berikut (Setiabudi, 2002; SNPK, 2005; Smeru, 2008; dan Yunus, 2007): (i) Menemukan rumah tangga miskin berdasarkan kriteria lokal; (ii) Penumbuh-kembangan kesadaran; (iii) Partisipatif; (iv) Keberlanjutan; dan (v) Kemandirian.

Implikasi dari temuan ini menunjukkan bahwa kalau pengentasan kemiskinan ingin dipercepat, maka belanja langsung yang diarahkan kepada penanggulangan kemiskinan (budgeting pro poor) harus ditingkatkan. Namun, di sisi lain perlu adanya komitmen yang kuat antar stakeholder terutama bagi masyarakat miskin itu sendiri serta perlu peningkatan kapasitas kelembagaan terutama bagi aparat pelaksana yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan pada semua level pemerintahan. Hal ini diperlukan karena dengan komitmen yang tinggi dan kapasitas yang baik dari pelaksana atau pendamping di lapangan, penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

Beberapa kajian dan pandangan menjelaskan bahwa, belanja langsung yang diarahkan bagi rumah tangga miskin berupa perbaikan kualitas sumberdaya manusia (modal manusia) yakni perbaikan keterampilan melalui pelatihan dan kursus serta penyediaan modal usaha dalam bentuk Skim usaha mikro pengaruhnya sangat besar dalam mereduksi kemiskinan (Smeru, 2006, World Bank 2005, dan Todaro dan Smith 2006).