• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

II. Pengaruh Cassapon dan CRM pada Domba KS dan BC

A. In Vitro Pengaruh Cassapon dan CRM

Percobaan in vitro dilakukan terhadap ransum A,B,C, dan D. Prosedur in vitro dilakukan dengan beberapa tahapan sebagai berikut (berdasarkan Theodorou dan Brooks (1990) dan Thalib et al. (2000):

1. Membuat larutan basal yang terdiri atas larutan penyangga (buffer), makromineral, mikromineral, resazurine dan reducing agent

(komposisi bahan di lampirkan di lampiran 1). Larutan basal non reducing agent dialirkan gas CO2 selama satu jam untuk kondisi

anaerob.

2. Menimbang substrat konsentrat dan rumput gajah giling dengan komposisi masing-masing 0.5 gram. Kemudian substrat dituang ke botol in vitro.

3. Larutan resazurine yang telah dialiri gas CO2 kemudian dituang ke

botol in vitro sebanyak 86 ml dan mikromineral sebanyak 4 ml. Kemudian botol in vitro dialiri gas CO2. Botol ditutup dan dikocok

untuk kemudian disimpan di refrigerator dengan suhu 5°C selama satu hari.

4. Cairan inokulan atau cairan domba fistula segar 10 ml dituang ke botol

in vitro kemudian dialiri gas CO2 supaya terjaga dalam kondisi

anaerob. Botol in vitro kemudian diletakkan di penangas air dengan suhu 39°C sesuai dengan suhu tubuh domba.

5. Pengukuran produksi gas metana dilakukan dengan waktu 3, 6, 12, 24, dan 48 jam. Prosedur pengukuran gas metana disajikan pada subpeubah.

6. Pengukuran kecernaan bahan kering in vitro (IVDMD) dan kecernaan bahan organik in vitro (IVOMD) mulai dilakukan setelah pengambilan gas metana selesai (hari ketiga). Prosedur disajikan pada subpeubah. 7. Pengukuran pH dan dilakukan langsung setelah pengukuran gas

metana selesai.

8. Pengukuran bakteri, protozoa dan N-NH3 dilakukan pada hari keempat.

Prosedur pengukuran disajikan pada subpeubah.

9. Pengukuran VFA dilakukan setelah pengukuran gas metana selesai dengan contoh inokulan beku.

Yij = µ + αi+ βj+ (αβ)ij + ρk+ ε ijk

Keterangan :

Yij = Respons yang diamati sebagai akibat faktor A taraf ke-i, faktor B

taraf ke-j dan kelompok ke-k µ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama faktor A (bangsa domba) taraf ke-i

βj = Pengaruh utama faktor B (perlakuan pakan) taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ρk = Pengaruh kelompok ke-k

ε ijk = Galat percobaan atau pengaruh acak yang menyebar normal

B. In Vivo Pengaruh Cassapon dan CRM

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan acak kelompok (RAK) pola faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama adalah faktor ransum yang terdiri atas 4 perlakuan, yaitu: kontrol (A), campuran onggok (B), campuran CRM (C) dan campuran cassapon (D). Faktor kedua adalah faktor bangsa domba yang terdiri dari dua perlakuan, yaitu: domba komposit sumatera (KS) dan domba persilangan barbados (BC).

Model matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Yij = µ + αi+ βj+ (αβ)ij + ρk+ ε ijk

Keterangan :

Yij = Respons yang diamati sebagai akibat faktor A taraf ke-i, faktor B

taraf ke-j dan kelompok ke-k µ = Rataan umum

αi = Pengaruh utama faktor A (perlakuan ransum) taraf ke-i

βj = Pengaruh utama faktor B (bangsa domba) taraf ke-j

(αβ)ij = Pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j

ρk = Pengaruh kelompok ke-k

ε ijk = Galat percobaan atau pengaruh acak yang menyebar normal

Peubah yang diamati

1. Pertambahan Bobot Badan

Data bobot badan dihitung setiap dua minggu sekali dengan menggunakan timbangan dengan kapasitas 112 kg dan skala 200 gram merk Patterson®. Penghitungan bobot badan dilakukan hingga akhir percobaan yang dilakukan di kandang metabolis untuk dihitung pertambahan bobot badan harian. Penghitungan bobot badan harian adalah sebagai berikut :

PBBH =

1

14((BB2-BB1)+ (BB3- BB2) + …. +(BBi- BB(�−1)) i

Keterangan: i adalah frekuensi penimbangan, jumlah penimbangan yang dilakukan adalah 15 selama penelitian berlangsung.

2. Respons Fisiologis Ternak

Respons fisiologis yang diamati adalah laju denyut jantung, laju respirasi, suhu rektal, dan suhu permukaan kulit.

a. Denyut Jantung

Pengukuran denyut jantung dilakukan dengan mengukur jumlah detakan di bagian dada kiri atas (dekat lengan) dekat tulang axilla sebelah kiri dengan menggunakan stetoskop. Penghitungan denyut jantung dengan cara menghitung jumlah denyutan jantung selama satu menit. Hitungan diulang sebanyak tiga kali dalam setiap pengambilan data denyut jantung. Data denyut jantung adalah rata-rata dari ketiga penghitungan (Schmidt-Nielsen 1997).

b. Laju Respirasi

Penghitungan proses respirasi dilakukan dengan menghitung aliran napas pada rongga dada dengan stetoskop. Penghitungan laju respirasi dilakukan dengan cara menghitung frekuensi napas selama satu menit. Penghitungan diulang sebanyak tiga kali dalam setiap pengambilan data frekuensi respirasi. Data frekuensi respirasi adalah rata-rata dari ketiga penghitungan (Schmidt-Nielsen 1997).

c. Suhu Rektal

Suhu rektal diukur dengan memasukkan termometer klinis ke rektal domba ± 1 menit. Kemudian dihitung suhu tubuhnya berdasarkan rumus St = 0.86 Sr + 0.14 Sk (St = suhu tubuh, sk = suhu permukaan kulit) (Schmidt-Nielsen 1997).

d. Suhu Permukaan Kulit

Panas tubuh dihitung dengan menembakan sinar uv dari alat penghitung panas tubuh empat titik lokasi pengukuran, yaitu di bagian punggung tepat di belakang pundak (A), bagian dada tepat di belakang ketiak (B), tungkai kaki depan bagian atas (C), dan tungkai kaki depan bagian bawah (metacarpus) (D). Rataan suhu permukaan kulit dihitung berdasarkan rumus Sk = 0.25 (A + B) + 0.32 C + 0.18 D (Schmidt- Nielsen 1997).

3. Kondisi lingkungan

Temperature Humidity Index (THI) dihitung menggunakan rumus Marrai

et al. (2007) dan LPHSI (1990):

THI = Tbk− (0.55 − 0.55 RH)( Tbk– 55.8)

Keterangan: Tbk = Suhu termometer bola kering (°F)

Tbb = Suhu termometer bola basah (°F)

Nilai THI < 82 = Tidak terdapat cekaman panas Nilai THI 82-84 = Cekaman panas normal Nilai THI 84-86 = Mulai terjadi cekaman panas Nilai THI >86 = Cekaman panas berlebih

4. Nilai Dugaan Komposisi Tubuh

Nilai dugaan komposisi tubuh dihitung dengan metode urea space. Prosedur urea space adalah dengan cara mengambil sampel darah pada bagian vena jungularis, penyuntikan urea ke tubuh domba dan diambil kembali sampel darah yang telah terdapat kandungan urea tubuh. Selisih antara pengambilan sampel sebelum dan sesudah penyuntikan urea adalah kandungan protein yang terabsorbsi. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut (Warsiti 2004; Astuti & Sudarman 2009):

a. Pengambilan sampel darah domba sebanyak 5 ml melalui vena jugularis menggunakan syringe sebelum diinjeksi dengan larutan urea (menit ke-0).

b. Injeksi larutan urea (20% w/v) sebanyak 0.65 ml untuk setiap kilogram bobot badan metabolis melalui vena jugularis selama 2 menit secara perlahan.

c. Injeksi cairan saline (0.9% NaCI) sebanyak 3 ml melalui vena jugularis dengan tujuan untuk mendorong larutan urea. Penentuan waktu nol untuk injeksi larutan urea dilakukan dengan menghitung titik tengah antara waktu mulai injeksi urea sampai dengan waktu selesai injeksi saline.

d. Mengambil sampel darah sebanyak 5 ml melalui vena jugularis dengan

syringe pada saat menit ke-12 setelah urea diinjeksikan, selanjutnya sampel darah tersebut langsung dimasukkan ke dalam tabung evendorf

yang mengandung bubuk EDTA.

e. Sampel darah yang telah diambil kemudian langsung disentrifus dengan kecepatan 10.000 x g dan suhu 5°C selama 10 menit, setelah itu diambil plasma darahnya untuk dianalisis kadar ureanya dengan menggunakan kit (Human Gaselchaft-Germany). Apabila tidak dapat dianalisis pada hari itu juga, sampel plasma darah disimpan di dalam freezer.

f. Urea space atau ruang urea dihitung dengan menggunakan rumus Astuti dan Sudarman (2009); Panaretto dan Till (1963):

Urea Space (%) = Konsentrasi urea yang disuntikan

10 x BB x Selisih konsentrasi urea

x 100%

Setelah itu dihitung kandungan protein, lemak, dan air tubuh domba dengan menggunakan rumus Astuti dan Sudarman (2009); Panaretto dan Till (1963):

Air Tubuh (%) = 59.1 + (0.22 US) – 0.04 BB Protein tubuh (%) = (0.265 Air Tubuh) – 0.47

Lemak tubuh (%) = 98 – (1.32 Air tubuh) 5. Konsumsi Nutrien Ransum (BK, BO, NDF, GE, SK, PK)

Konsumsi ransum, diukur dengan menghitung selisih antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan yang tidak dimakan. Perhitungannya adalah dengan mengalikan hasil analisis proksimat bahan dengan pemberian ransum kemudian dikurangi dengan sisa ransum yang telah dikalikan dengan hasil analisis proksimat (AOAC 1995).

Konsumsi nutrien = Pemberian nutrien ransum – Sisa nutrien ransum 6. Kecernaan Nutrien Ransum (BK, BO, NDF, GE, SK, PK)

Penghitungan kecernaan nutrien ditentukan dengan metode koleksi total pada kandang metabolis. Masa adaptasi kandang dilakukan selama tiga hari dan pengumpulan data selama tujuh hari. Pencatatan jumlah ransum yang diberikan dan sisanya dicatat, demikian juga feses dan urin yang dikeluarkan. Setiap pemberian ransum diambil contoh untuk dianalisis. Seusai penelitian semua contoh ransum dikomposit dan diambil 10% untuk dianalisis komposisi zat-zat makanannya. Feses yang keluar dikumpulkan dan ditimbang bobotnya, kemudian dioven 60oC selama 2 hari. Setelah kering, feses ditimbang dan disimpan dalam kantong plastik yang tertutup rapat. Selesai penelitian, semua sampel dikomposit dan diambil 10% untuk dianalisis komposisi kimianya. Hal yang sama juga dilakukan terhadap urine, tetapi pada urine ditambahkan H2SO4 10%

sebanyak 100 ml per hari ke dalam ember penampungan agar nitrogen dalam urine tidak menguap. Selanjutnya, dianalisis kandungan N totalnya.

Kecernaan nutrien dapat dihitung dengan rumus (AOAC 1995; Pond et al. 1995), yaitu :

Kecernaan nutrien = Nutrien yang dikonsumsi (g) – Nutrien dalam feses (g)

Nutrien yang dikonsumsi (g) x 100%

Keterangan :

Nutrien yang dikonsumsi = ∑ konsumsi BK x kandungan nutrien ransum

Konsumsi BK = jumlah konsumsi ransum (As fed) x kadar BK ransum

Nutrien dalam feses = % nutrien dalam feses x BK feses x ∑ produksi

feses

Penghitungan Uji Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik In vitro

a. Substrat rumput gajah giling dan konsentrat ditimbang berturut–turut sebanyak 0.5g : 0.5 g. Substrat dimasukkan ke dalam cawan porslen kemudian dioven 105°C selama 24 jam.

b. Cawan porselen didinginkan di dalam deksikator ± 2 jam. Penimbangan cawan porslen.

c. Cawan porslen tersebut ditanur dengan suhu 500°C selama 8 jam. Selanjutnya cawan porslen didinginkan ke dalam desikator ± 3 jam untuk ditimbang data. Data ini sebagai blanko DMD dan OMD.

BK (DM) = Bobot kering

Bobot sampel dan BO (OM) =

Bobot kering − Bobot abu Bobot kering d. Penyaringan cairan rumen + substrat hasil inkubasi untuk mendapatkan

substrat dengan metode vakum menggunakan cynter glass. Setelah itu mengikuti prosedur yang sama dengan urutan a, b dan c sebelumnya. Hasil yang didapat dihitung sebagai kecernaan bahan kering (KCBK atau IVDMD) dan bahan organik (KCBO atau IVOMD).

IVDMD = DM .Bobot Sampel –(Bobot Kering−Blanko )

(DM .Bobot Sampel ) x 100%

IVOMD = DM .OM . Bobot Sampel − (Bobot kering−blanko − Abu−Blanko )

7. Rasio Konversi Pakan (FCR)

Rasio konversi pakan adalah perbandingan antara konsumsi pakan dengan pertambahan bobot badan harian.

8. Kadar Metabolit Rumen

Pengambilan cairan rumen dilakukan setelah koleksi total selesai dengan menggunakan pompa vacum yang dimasukkan dari mulut. Cairan rumen ditampung dengan botol film dan selanjutnya dianalisis di laboratorium. Pengamatan dilakukan terhadap :

a. Tingkat keasaman (pH) cairan rumen.

Tingkat keasaman (pH) cairan rumen diukur dengan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi dengan larutan pH 4 dan pH 7.

b. Kadar VFA total dan Parsial

VFA total dan parsial diukur dengan teknik gas kromatografi (GC Chrompack CP 9002) yang dilengkapi dengan komputer. Cairan rumen dimasukkan ke dalam tabung eppendorf sebanyak 1 ml ditambah 0.003g asam sulfo-5-salisilat dihidrat, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm selama sepuluh menit. Sebanyak 0.4 µl cairan jernih diinjeksi ke kromatografi dan hasilnya dapat dilihat pada layar monitor. Sebelum injeksi sampel, terlebih dahulu diinjeksi dengan larutan VFA standar. Perhitungan konsentrasi dalam sampel dilakukan dengan menggunakan rumus :

VFA parsial (mM) = Area VFA contoh x Konsentrasi standar x 1000 Area standar x BM

Keterangan:

BM = bobot molekul VFA parsial

VFA Total = jumlah dari semua VFA parsial dalam sampel c. Kadar N-amonia (N-NH3) cairan rumen

Kadar N-amonia akan ditentukan dengan teknik mikro difusi Conway (AOAC 1995). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan di alur sebelah kiri sekat cawan conway dan 1 ml larutan NaOH ditempatkan di alur sebelah kanan. Pada cawan kecil di bagian tengah diisi asam borat

berindikator merah metil 3 ml. Kemudian cawan conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin lalu digoyang-goyang sehingga supernatan bercampur dengan NaOH. Larutan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Amonia yang terikat dengan asam borat dititrasi dengan HCl 0.0114 N sampai warna kemerah-merahan. Kadar NH3 dapat dihitung

dengan rumus sebagai berikut :

N-NH3 (mg/ml) = (ml HCl x 17 x N HCl x 1000)

N-NH3 (mM) = (ml HCl x N HCl x 1000) mM d. Konsentrasi Gas Metana

Produksi gas metana ditentukan dengan cara perhitungan stoikiometri VFA dengan menggunakan cairan rumen dari masing-masing domba percobaan in vivo berdasarkan rumus Owen dan Goetsch (1988); Widiawati dan Thalib (2009):

Gas CH4 (mol) = 0.5(mol Asetat)+0.5(mol Butirat)-0.5(mol propionat)

Prosedur pengamatan produksi gas metana secara in vitro dengan menggunakan inokulum atau cairan rumen domba fistula. Waktu inkubasi dilakukan dengan interval 3, 6, 12, 24, dan 48 jam. Prosedur penyiapan bahan telah dijelaskan sebelumnya pada halaman 33. Gas metana diukur dengan cara menampung gas hasil fermentasi dengan

syringe pengukur volume. Dengan sistem konektor T, gas dalam siring tersebut diinjeksikan ke dalam dua tabung yang dihubungkan secara serial dan keduanya berisi larutan NaOH 5 N, dan selanjutnya gas CH4

lepas dan ditampung oleh syringe pengukur volume yang kedua (Thalib et al. 2000 dan Tjandraatmaja 1981).

Gas CH4 (% v/v) =

Gas CH4

Gas Total

Laju gas fermentasi (CH4, CO2, dan Gas Total) dihitung dengan rumus

(McDonald 1981) menggunakan perangkat lunak NEWAY®: Y = a+b(1-e-ct)

Keterangan:

a = Jumlah cairan fermentasi yang hilang (bila digunakan) atau

measured washing loss

B = potensi rumen terdegradasi atau potential degradation for non- water soluble material dihitung (a+b)-A

c = laju produksi gas (ml/jam)

t = waktu inkubasi atau fermentasi (jam) e = bilangan natural (2,718)

e. Jumlah koloni bakteri

Jumlah koloni bakteri dihitung dengan metode anaerob (Ogimoto & Imai 1981). Cairan rumen 0.5 ml dimasukkan ke dalam tabung pengencer yang berisi 4.5 ml larutan pengencer (10 kali pengenceran), pengenceran diulang sampai tujuh kali. Untuk tabung yang ke-7 diambil 0.5 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi media, kemudian diputar dengan roller hingga kering (agar diam tidak berubah). Selanjutnya diinkubasi selama 14 hari, tetapi pada hari ke-5 mulai dihitung koloni bakterinya dan diulang pada hari ke-14.

Jumlah koloni bakteri (TPC) = 2 x (Jumlah koloni hari ke−5 + hari ke−14

2 ) x 10

7

koloni f. Jumlah protozoa

Jumlah protozoa total dihitung dengan menggunakan haemositometer (Ogimoto & Imai 1981). Sebanyak 0.5 ml cairan rumen dimasukkan ke dalam larutan MFS (Methylgreen Formal-Salin), kemudian di teteskan pada haemositometer dan jumlah protozoa dapat dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali.

Cara penghitungan :

Digunakan 25 kotak besar haemositometer dengan ukuran masing- masing 1/250 mm3, sehingga 25 kotak = 1/10 mm3 atau 10-4 ml. Jika dalam 25 kotak terdapat protozoa sebanyak B, artinya dalam 10-4 ml cairan rumen terdapat protozoa sebanyak B x 101. Maka dalam 1 ml cairan rumen akan terdapat protozoa sebanyak B x 101 x 104 = B x 105

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila terdapat hasil

berbeda nyata (P≤0.05) analisis dilanjutkan dengan uji kontras ortogonal (Mattjik & Sumertajaya 2006). Semua data dianalisis dengan SAS V.9.1 dan Minitab V.15.1.

Dokumen terkait