• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Kerangka Konseptual

2.9.4 Pengaruh Debt to Equity Ratio Terhadap Yield to Maturity Obligas

Korporasi

Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan kemampuan perusahaan dalam melunasi kewajibannya dengan menggunakan modal sendiri (ekuitas) semakin tinggi rasi DER menunjukkan tingginya hutang dibanding modal. Perusahaan dengan nilai DER yang tinggi dianggap beresiko dalam melunasi kewajibannya sebaliknya perusahaan dengan nilai DER yang rendah akan lebih dipercaya oleh investor.

Halim (2000:75) menyatakan bahwa penggunaan leverage yang tinggi akan meningkatkan modal perusahaan dengan cepat. Sebaliknya, apabila leverage

menurun maka modal perusahaan akan menurun dengan cepat pula, sehingga hal ini akan memberikan beban tersendiri karena investor merasa terbebani dengan besarnya hutang yang dimiliki perusahaan.

DER yang semakin besar akan mengakibatkan risiko financial perusahaan yang semakin tinggi. Dengan penggunaan hutang yang semakin besar akan mengakibatkan semakin tingginya risiko untuk tidak mampu membayar hutang (Indra, 2006). Semakin besar tingkat risiko maka semakin besar keuntungan yang diisyaratkan (Sartono, 2001). Dengan demikian semakin besar hutang (DER) maka YTM yang diisyaratkan juga semakin besar.

Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konseptual penelitian digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

2.10 Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka, penelitian terdahulu dan kerangka konseptual, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Suku Bunga berpengaruh signifikan terhadap Yield to Maturity

Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014.

2. Peringkat Obligasi berpengaruh signifikan terhadap Yield to Maturity

Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014.

3. Ukuran Perusahaan berpengaruh signifikan terhadap Yield to Maturity

Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014.

4. Debt to Equity Ratio berpengaruh signifikan terhadap Yield to Maturity

Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014. Tingkat Suku Bunga

Peringkat Obligasi

Ukuran Perusahaan

Debt to Equity Ratio

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan pasar modal memberi kemudahan bagi para pelaku binis dalam menjalankan usahanya terutama terkait dengan pendanaan melalui penjualan sekuritas di Bursa Efek Indonesia. Tandelilin (2010 : 26) menyatakan bahwa pasar modal adalah pertemuan antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara memperjualbelikan sekuritas. Dengan demikian, pasar modal juga bisa diartikan sebagai pasar untuk memperjualbelikan sekuritas yang umumnya memiliki umur lebih dari satu tahun, seperti saham dan obligasi. Sedangkan tempat di mana terjadinya jual-beli sekuritas disebut dengan bursa efek.

Salah satu sekuritas yang diperdagangkan dipasar modal adalah obligasi. Obligasi merupakan sertifikat atau surat berharga yang berisi kontrak antara investor sebagai pemberi dana dengan penerbitnya sebagai peminjam dana (Tandelilin, 2010:40). Menurut Tandelilin (2010:245), obligasi jika dilihat dari sisi perusahaan merupakan hutang perusahaan kepada investor (pemegang obligasi), sedangkan jika dilihat dari sisi investor, obligasi perusahaan merupakan klaim dari kreditur kepada emitem dan bukan klaim kepemilikan seperti saham biasa. Obligasi sebagai suatu instrumen investasi menawarkan yield (tingkat keuntungan) bagi investor. Yield obligasi adalah faktor terpenting sebagai pertimbangan investor dalam melakukan pembelian obligasi sebagai instrumen

investasinya. Jogiyanto, (2010:164) menyatakan bahwa Yield To Maturity dapat didefinisikan sebagai tingkat return majemuk yang akan diterima investor jika membeli obligasi pada harga pasar saat ini dan menahan obligasi tersebut hingga jatuh tempo. Yield To Maturity dapat dipengaruhi oleh bebagai faktor. Beberapa faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi Yield To Maturity diantaranya adalah tingkat suku bunga, peringkat obligasi, ukuran perusahaan, Debt to Equity Ratio.

Menurut Kasmir (2008: 131), bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh pihak bank yang berdasarkan prinsip konvensional terhadap nasabah yang membeli atau menjual produknya. Tingkat suku bunga yang ditetapkan Bank Indonesia sebagai acuan dapat mempengaruhi yield obligasi. Jika suku bunga bank tinggi, maka perusahaan penerbit obligasi cenderung akan menaikkan yield obligasi untuk menarik minat investor karena jika suku bunga bank lebih tinggi dibanding yield obligasi, maka investor akan lebih memilih menanamkan modalnya di bank dibanding membeli obligasi.

Peringkat obligasi juga merupakan ukuran default yang berpengaruh langsung dan terukur terhadap biaya modal perusahaan serta tingkat bunga obligasi (Brigham dan Houston, 2010:375). Perusahaan yang memiliki peringkat obligasi yang rendah tentunya akan menawarkan obligasi dengan imbal hasil yang tinggi untuk lebih menarik minat dari investor demikian sebaliknya, obligasi dengan peringkat tinggi akan menawarkan yield obligasi yang lebih rendah.

Selanjutnya ukuran perusahaan dapat mempengaruhi minat investor untuk membeli obligasi yang diterbitkan perusahaan. Perusahaan besar umumnya akan

lebih dipercaya dibanding perusahaan berskala kecil karena pihak saham dominan dinilai lebih memiliki kendali atas perusahaan dibanding perusahaan kecil seperti dikemukakan oleh Riyanto (2008: 299), yang menyatakan suatu perusahaan yang besar di mana sahamnya tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai pengaruh kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya kontrol dari pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Sebaliknya perusahaan yang kecil di mana sahamnya hanya tersebar di lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak dominan terhadap perusahaan yang bersangkutan. Dengan demikian, perusahaan besar dinilai lebih stabil dalam hal pemegang kendali perusahaan dibanding perusahaan kecil yang rentan atas bergesernya pemegang kendali perusahaan.

Demikian halnya dengan Debt to Equity Ratio (DER). Perusahaan dengan nilai DER yang tinggi dianggap beresiko dalam melunasi kewajibannya sebaliknya perusahaan dengan nilai DER yang rendah akan lebih dipercaya oleh investor seperti dikemukakan oleh Halim (2006:75) yang menyatakan bahwa penggunaan

leverage yang tinggi akan meningkatkan modal perusahaan dengan cepat. Sebaliknya, apabila leverage menurun maka modal perusahaan akan menurun dengan cepat pula, sehingga hal ini akan memberikan beban tersendiri karena investor merasa terbebani dengan besarnya hutang yang dimiliki perusahaan. Pada pra penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pendanaan melalui penjualan obligasi masih lebih kecil dibanding pendanaan melalui penjualan saham dan kredit perbankan. Bursa Efek Indonesia mencatat bahwa dana yang

diraup pasar modal Indonesia dari IPO sekitar 30 perusahaan dan penerbitan obligasi sepanjang tahun 2013 adalah sekitar 97 trilliun. Angka ini didominasi oleh penerbitan obligasi sebesar 52 trilliun. Dibandingkan dengan total kredit perbankan yang sebesar 3.293 trilliun sepanjang tahun 2013, angka ini sangat kecil. Ini mencerminkan peran pendanaan lewat pasar modal di Indonesia masih

jauh dari signifika)

Untuk penerbitan obligasi korporasi sampai dengan akhir tahun 2014, tercatat sebesar Rp45,07 triliun atau mengalami penurunan sebesar 22,87% yoy dari tahun sebelumnya dengan jumlah seri baru sebanyak 88 seri. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total penerbitan obligasi pada 2013 dan 2014 masing- masing hanya sebesar Rp 57,76 triliun dan Rp 48,64 triliun. Kondisi ini mencerminkan masih rendahnya minat investor untuk berinvestasi pada obligasi khususnya obligasi korporasi. Pada Gambar 1.1 berikut dapat dilihat pertumbuhan nilai obligasi korporasi pada periode 2011-2014.

Sumber: OJK Statistik Pasar Modal Indonesia Minggu Ke III Desember 2014 (data diolah)

Gambar 1.1

Pertumbuhan Nilai Obligasi Tahun 2011-2014

Pada Gambar 1.1 terlihat bahwa obligasi korporasi ditahun 2011 sebesar Rp. 45,64 Trilyun, kemudian meningkat menjadi 65,66 Trilyun ditahun 2012, namun

ditahun mengalami penurunan di tahun 2012-2014 masing-masing menjadi 55,29 Trilyun dan 45,62 Trilyun.

Selanjutnya pada Tabel 1.1 dapat dilihat tingkat kesesuaian antara suku bunga, peringkat obligasi, size, dan DER terhadap Yield to Maturity pada beberapa perusahaan penerbit obligasi korporasi di Bursa Efek Indonesia periode 2011- 2014.

Tabel 1.1

Tingkat Suku Bunga, Rating, Size, DER, dan YTM Pada Beberapa Perusahaan Penerbit Obligasi di Bursa

Efek Indonesia Tahun 2011-2014

Emiten Kode Obligasi Jatuh Tempo Tahun BI Rate Peringkat Oblogasi Log (SIZE) DER (%) YTM (%)

APLN APLN01B 25-Agust-16

2011 6,60% idA 7,03 115,49 11,67 2012 5,77% idA 7,18 139,34 11,67 2013 6,44% idA 7,29 172,85 11,67 2014 7,54% idA 7,37 179,88 11,67

BNLI BNLI02SB 16-Des-16

2011 6,60% idAA 8,01 1009,04 8,74 2012 5,77% idAA 8,12 954,77 8,74 2013 6,44% idAA 8,22 1073,91 8,74 2014 7,54% idAA 8,27 984,26 8,74

ADMF ADMF01CCN1 28-Jun-18

2011 6,60% idAA 7,23 282,00 7,51 2012 5,77% idAA 7,41 405,59 7,51 2013 6,44% idAA 7,49 414,69 7,51 2014 7,54% idAA 7,48 635,84 7,51

Pada Tabel 1.1 terlihat bahwa obligasi korporasi PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) jatuh tempo pada tahun 2016 dengan peringkat idA (Kuat) artinya memiliki kemampuan finansial obligasi yang kuat. Pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) obligasi jatuh tempo pada tahun 2016 dengan peringkat obligasi idAA (Sangat Kuat) sedangkan obligasi pada PT. Adhira, Tbk (ADMF) obligasi jatuh tempo pada tahun 2018 dengan peringkat obligasi idAA (Sangat Kuat).

Adapun tingkat suku bunga bank rata-rata pada tahun 2011 sebesar 6,60% kemudian menurun menjadi 5,77% ditahun 2012, dan kembali meningkat menjadi 6,44% ditahun 2013 dan 7,54% ditahun 2014. Ukuran perusahaan (Size) pada masing-masing perusahaan cenderung mengalami peningkatan disetiap tahunnya sedangkan Debt to Equity Ratio (DER) pada PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) dan PT. Adhira, Tbk (ADMF) cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2011-2014 namun pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) justru berfluktuasi. Selanjutnya, Yield to Maturity (YTM) tertinggi pada obligasi PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) sebesar 11,67% pertahun, kemudian pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) sebesar 8,74% dan terendah pada PT. Adhira, Tbk (ADMF) sebesar 7,51% pertahun.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa tingkat suku bunga bank yang berlaku sama untuk setiap perusahaan, ternyata masing-masing perusahaan memiliki tingkat YTM yang berbeda-beda, sedangkan pada peringkat obligasi terdapat kesesuaian antara tingkat yield dengan peringkat obligasi seperti terlihat bahwa obligasi korporasi yang diterbitkan oleh PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) memiliki peringkat yang paling rendah dibanding peringkat obligasi yang diterbitkan oleh PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) dan PT. Adhira, Tbk (ADMF) sehingga tingkat yield yang disyaratkan (YTM) pada obligasi PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding YTM pada obligasi PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) dan PT. Adhira, Tbk (ADMF). Hal ini mencerminkan bahwa obligasi dengan peringkat yang lebih rendah umumnya menawarkan tingkat YTM yang lebih tinggi agar menarik investor membeli

obligasi. Namun meskipun peringkat obligasi pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) dan PT. Adhira, Tbk (ADMF) sama sama berada pada peringkat idAA (Sangat Kuat) ternyata YTM pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) tetap lebih tinggi dibanding YTM pada PT. Adhira, Tbk (ADMF).

Selanjutnya size terendah pada PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) sehingga memiliki tingkat YTM yang paling tinggi untuk menarik investor, namun PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) dan PT. Adhira, Tbk (ADMF) terdapat ketidaksesuaian meskipun size pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) lebih besar dibanding size pada PT. Adhira, Tbk (ADMF) YTM pada PT. Bank Permata, Tbk (BNLI) lebih tinggi dibanding YTM pada PT. Adhira, Tbk (ADMF). Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan karena perusahaan yang lebih besar umumnya menarik bagi investor karena memiliki sejumlah aset yang besar yang dapat digunakan untuk menghasilkan keuntungan yang besar pula serta memiliki kemampuan yang lebih besar dalam melunasi kewajibannya sehingga YTM obligasnya umum lebih rendah dibanding YTM pada perusahaan yang lebih kecil karena pada perusahaan yang lebih kecil dinilai lebih berisiko dalam melunasi kewajibannya dibanding perusahaan yang lebih besar.

Selanjutnya meskipun PT. Agung Podomoro Land, Tbk (APLN) memiliki tingkat

Debt to Equity yang lebih rendah, namun tingkat yield yang disyaratkan merupakan yang paling tinggi dibanding dua perusahaan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian karena umumnya, antara DER dengan YTM memiliki korelasi yang positif semakin tinggi DER mencerminkan tingginya penggunaan hutang dibanding modal sendiri yang dikhawatirkan

berdampak pada ketidakmampuan perusahaan melunasi kewajibannya sehingga hal ini akan mendorong meningkatnya YTM untuk menarik minat pembeli obligasi.

Berdasarkan uraian tersebut, Penulis tertarik untuk menganalisis lebih jauh dengan memilih judul penelitian “Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Peringkat Obligasi, Size, dan Debt to Equity Ratio Terhadap Yield to Maturity Obligasi Korporasi Di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah Tingkat Suku Bunga berpengaruh secara signifikan terhadap Yield to Maturity Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014? 2. Apakah Peringkat Obligasi berpengaruh secara signifikan terhadap Yield to

Maturity Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014? 3. Apakah Ukuran Perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap Yield to

Maturity Obligasi Korporasi di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2014? 4. Apakah Debt to Equity Ratio berpengaruh secara signifikan terhadap Yield to

Dokumen terkait