• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mikroba, dan Nisbah C/N.

Pada penelitian ini pengukuran CO2 hasil respirasi bahan gambut yang

telah diberi pupuk urea sesuai dengan dosis perlakuan dan diinkubasi selama satu minggu diukur dengan metode titrasi. Fluks CO2 tanah merupakan salah satu

parameter yang sering digunakan untuk menggambarkan aktivitas kehidupan biologi tanah. Pendekatan respirasi lebih komprehensif karena didalamnya tercakup informasi variasi populasi, ukuran, dan aktivitas yang secara bersamaan mempengaruhi produksi CO2dari dalam tanah.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO2dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu (Lampiran 64-

66). Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO2 gambut pada berbagai tingkat kematangan gambut baik

gambut dari kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong, Desa Suak Raya, maupun Desa Cot Gajah Mati. Namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi, fluks CO2 pada masing-masing tingkat kematangan gambut dari ketiga lokasi

penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Fluks CO2 gambut fibrik

masih meningkat dengan meningkatnya dosis urea, sedangkan fluks CO2 pada

gambut hemik dan saprik sudah mengalami penurunan dengan bertambahnya dosis urea dari 4 g/100 g gambut menjadi 16 g/100 g gambut (Gambar 15).

0 20 40 60 80 100 120 0 4 8 12 16

Dosis urea (g/100 g gambut)

F lu k s C O2 b ah an g am b u t (m g C O 2 k g t an ah -1 h ar i -1 )

Fibrik SP Hemik SP Saprik SP

Fibrik SR Hemik SR Saprik SR

Fibrik CGM Hemik CGM Saprik CGM

Gambar 15. Fluks CO2bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea

Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa meningkatnya dosis pupuk urea akan meningkatkan respirasi. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa meningkatnya respirasi akibat pemupukan urea tersebut dapat mencapai 10 kali setelah gambut diinkubasi selama satu minggu, namun respons tersebut tergantung pada tingkat kematangan gambut dan dosis pupuk urea. Zhang et al. (2007) melaporkan peningkatan respirasi akibat penambahan pupuk N pada marsh di timur laut Cina dapat mencapai 140%.

Meningkatnya respirasi akibat penambahan pupuk urea menunjukkan adanya percepatan laju aktivitas mikrob karena tersedianya sumber energi yang lebih besar dengan meningkatnya dosis pupuk urea yang diberikan. Menurut Silva et al.(2008), dampak dari meningkatnya respirasi dengan penambahan urea adalah peningkatan produksi dan emisi CO2, namun Yang dan Chang (1998)

melaporkan bahwa peningkatan respirasi dapat menghambat produksi metan. Penelitian lain melaporkan bahwa pada tanah yang jarang diberi pupuk, penambahan urea akan meningkatkan pH tanah dan menurunkan produksi CH4

(Shine et al., 1995). Pemupukan urea pada tanah salin tidak mempengaruhi produksi metan, walaupun pemupukan urea akan merangsang pertumbuhan tanaman yang mampu mengeluarkan lebih banyak sekresi bahan organik (seperti gula terlarut, asam-asam organik dan asam amino) yang merupakan substrat untuk produksi CH4 di lapisan bawah (Lindau et al., 1991).

Dari dua metode pengukuran hilangnya C menunjukkan hasil yang berbeda. Dengan pengukuran kadar abu dapat diketahui bahwa peningkatan dosis urea sampai dengan dosis 16 g urea/100 g bahan gambut basah menyebabkan 0,1% C gambut hilang, namun dengan metode titrasi untuk menghitung fluks CO2

dapat diketahui bahwa kehilangan CO2 sebesar 2% dalam inkubasi selama satu

minggu.

Hasil penelitian terhadap nisbah C/N menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut juga terjadi terhadap nisbah C/N (Lampiran 67-69). Secara umum penambahan dosis urea akan menurunkan nisbah C/N gambut, namun besarnya penurunan tergantung pada tingkat kematangan gambut dari masing-masing lokasi penelitian. Gambut saprik mengalami penurunan nisbah C/N lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik.

Respons gambut akibat penambahan dosis urea pada nisbah C/N menunjukkan bahwa penambahan urea sampai dengan dosis 16 g/100 g gambut, menurunkan nisbah C/N, namun besarnya masing-masing penurunan tergantung pada tingkat kematangan gambut tersebut (Gambar 16).

0 25 50 75 100 125 150 175 200 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Dosis urea (g/100 g gambut)

N is b a h C /N

Fibrik SP Hemik SP Saprik SP

Fibri SR Hemik SR Saprik SR

Fibrik CGM Hemik CGM Saprik CGM

Gambar 16. Nisbah C/N bahan gambut yang diberi perlakuan dosis urea pada berbagai tingkat kematangan gambut

Dari analisis unsur N dapat diketahui bahwa penambahan dosis urea akan menambah ketersediaan N pada bahan gambut dan kandungan N pada gambut saprik baik dengan maupun tanpa penambahan urea ternyata lebih tinggi daripada gambut hemik dan fibrik. Hal ini menyebabkan nisbah C/N pada gambut saprik lebih rendah daripada gambut hemik dan fibrik, karena kandungan unsur N merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju proses dekomposisi. Semakin banyak N, maka laju proses dekomposisi semakin cepat. Berglund (1995) melaporkan bahwa gambut yang kaya unsur N akan memiliki nisbah C/N rendah, namun emisi CO2lebih tinggi daripada gambut yang memiliki nisbah C/N

tinggi. Nilai nisbah C/N pada gambut miskin berada pada kisaran 20 – 100, sedangkan pada gambut kaya dari kisaran 15 – 35 (Berglund, 1995).

Nilai nisbah C/N hasil penelitian tergolong tinggi. Tingginya nisbah C/N mengakibatkan kandungan N total yang tinggi tidak diikuti oleh tingginya ketersediaan N. Hal ini berdampak pada kehidupan mikrob tanah yang selanjutnya berpengaruh terhadap emisi CO2 dari lahan gambut. Menurut

Klemedtsson et al. (1997), gambut dengan nisbah C/N yang tinggi mendukung tingginya rata-rata produksi CO2karena C selulose labil.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan penambahan dosis urea dan tingkat kematangan gambut terhadap total populasi mikrob dari bahan gambut yang telah diinkubasi selama satu minggu (Lampiran 70-72). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan dosis urea sampai dengan 1 g/100 g gambut, jumlah total populasi mikrob meningkat, namun dengan penambahan dosis urea yang lebih tinggi berdampak penurunan jumlah total populasi mikrob pada gambut saprik, sedangkan jumlah populasi mikrob pada gambut hemik dan fibrik ada yang masih menunjukkan peningkatan, namun ada yang sudah menurun (Gambar 17).

0 25 50 75 100 125 150 175 200 0 4 8 12 16

Dosis urea (g/100 g gambut)

T o ta l p o p u la si m ik ro b a (S P K / g g am b u t)

Fibrik SP Hemik SP Saprik SP

Fibrik SR Hemik SR Saprik SR

Fibrik CGM hemik CGM Saprik CGM

Gambar 17. Total populasi mikrobbahan gambut yang diberi perlakuan dosis

urea pada berbagai tingkat kematangan gambut

Pupuk N merupakan salah satu faktor pengendali terpenting dalam reaksi- reaksi biologi dalam tanah, meliputi mikroorganisme heterotropik dan akar tanaman, yang memproduksi gas CO2ke atmosfer. Dalam penelitian Zhang et al.

(2007) ternyata respirasi pada lahan yang dipupuk lebih tinggi daripada yang tidak dipupuk, karena pemupukan meningkatkan respirasi biomas di atas permukaan tanah. Peningkatan biomass akibat pemupukan N dapat mencapai 250% (Lai et al., 2002), 20 - 40 % (Makipaa et al., 1998).

Secara umum, pemupukan urea akan meningkatkan emisi CO2 dengan

jalan memacu pertumbuhan akar, jumlah populasi mikrob, dan aktivitas mikrob. Pengaruh pemupukan urea terhadap fluks CO2, jumlah total populasi mikrob, dan

nisbah C/N pada penelitian ini menunjukkan pola yang sama antar lokasi penelitian. Pada masing-masing tingkat kematangan gambut, potential fluks CO2

berkorelasi erat dengan total populasi mikrob. Jumlah populasi mikrob Semakin banyak dengan penambahan urea sampai dengan dosis 4 g/100 g gambut dan akan diikuti oleh semakin tinginya CO2 hasil respirasi. Penambahan dosis urea

meningkatkan laju dekomposisi bahan organik baik pada gambut fibrik, hemik, maupun saprik. Hal ini terbukti dengan semakin menurunnya nilai nisbah C/N gambut dengan semakin meningkatnya dosis pupuk urea yang ditambahkan.

Kesimpulan

Dari serangkaian percobaan laboratorium yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tingkat kematangan gambut berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar abu, namun dosis pupuk urea tidak berpengaruh nyata. Kadar air gambut fibrik (780-880%) > hemik (425-530%) > saprik (225-250%). Kadar abu gambut saprik > hemik = fibrik.

2. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan C-organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. C-organik fibrik > hemik > saprik. Penurunan kandungan C- organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,57x + 56,72 (R2= 0,98), hemik Y= -0,61x + 56,38 (R2= 0,97), dan saprik Y= - 0,57x + 55,70 (R2= 0,99).

3. Perlakuan dosis urea dan tingkat kematangan gambut mempengaruhi kandungan bahan organik, namun tidak terdapat interaksi antara kedua perlakuan. Bahan organik fibrik > hemik > saprik. Penurunan kandungan bahan organik mengikuti persamaan regresi untuk gambut fibrik Y=-0,98x + 97,80 (R2= 0,98), hemik Y=-1,06x + 97,20 (R2= 0,97), saprik Y=-0,99x + 96,03 (R2= 0,99).

4. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap fluks CO2 gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis

4 g/100 g gambut ternyata meningkatkan fluks CO2, namun pada dosis

urea yang lebih tinggi, respons fluks CO2 tergantung pada tingkat

5. Terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut terhadap nisbah C/N dan total populasi mikrob. Respons penurunan nisbah C/N dengan penambahan dosis urea tergantung pada tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea sampai dengan dosis 1 g/100 g gambut ternyata meningkatkan total populasi mikrob, namun pada dosis urea yang lebih tinggi, respons total populasi mikrob tergantung pada tingkat kematangan gambut.

YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN

Rasional

Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO2 dan CH4. Konversi hutan gambut ini

mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO2dan CH4.

Besarnya emisi CO2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan

beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas. Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO2 sangat

menentukan jumlah konsentrasi CO2yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh

terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO2.

Dalam pengukuran emisi CO2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait

dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO2sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut.

Besarnya emisi CO2 dan CH4sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan

gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO2 dan CH4 (Nyman dan DeLaune, 1991;

akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO2

dan CH4. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif)

dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut

dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Gambut juga

dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat,

propionat, dan butirat sebagai donor elektron (Morril et al., 1982), namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH4(Rinnan et al., 2003).

Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. (1998), ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya.

Daerah perakaran (rhizosfer) khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO2dan CH4di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi

di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman (bulk soil). Hal ini disebabkan oleh (1) meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, (2) meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C- organik terlarut (Ekberg et al., 2007). Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO2

merupakan produk akhir dari proses dekomposisi.

Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO2

akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan

bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO2 dari dalam tanah ke atmosfer,

terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO2. Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer

melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman.

Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dengan

mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom et al., 2005), tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO2dan CH4yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar

dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk:

(1) mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO2.

(2) mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO2 pada musim hujan dan musim

kemarau.

(3) Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2

dan CH4di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit.

(4) Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2.

(5) Mengevaluasi emisi CO2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman

yang berbeda.

(6) Mengevaluasi emisi CO2 pada 3 tipe penggunaan lahan..

Bahan dan Metode

Tahapan kegiatan analisis fluks CO2 di lapang diawali dengan penentuan

lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon

kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun dan b) transek ke-2; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun.

2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a) transek ke-3; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun b) transek ke-4; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c) transek ke-5; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d) transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e) transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun.

3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a) transek ke-8; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b) transek ke-9; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. Pada pengamatan bulan Mei-Juni 2008 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan Oktober- November sungkup tersebut hilang.

4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a) transek ke-10; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada

lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan b) transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama.

Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Sungkup rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 20 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup (Gambar 25b). Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 10 tahun (Gambar 23a), 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan < 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 25a), hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama (Gambar 26a).

Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 10 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO2 juga mampu mendeteksi CH4sekaligus.

Dari data perubahan konsentrasi CO2 dan atau CH4 antar waktu

pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt). Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu,

dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO2 dan CH4.

Perhitungan fluks gas CO2 dan CH4 didasarkan pada metode Hue et al. (2000),

dengan rumus:

F = m/A/t

F = ρ x H x dc/dt (mg CO2-C m-2jam-1 atau mg CH4- C m-2 jam-1)

F = (44/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CO2-C m-2jam-1)

F = (16/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CH4- C m-2 jam-1)

Dengan lambang notasi:

F = fluks CO2atau CH4(mg CH4-C m-2jam-1 atau mg CH4-C m-2jam-1)

ρ = kerapatan CO2-C atau CH4-C pada suhu absolut (g dm-3),

H = tinggi efektif sungkup (m)

dc/dt = perubahan konsentrasi CO2atau CH4-C antar waktu (ppm jam-1)

t = rata-rata suhu dalam sungkup (oC)

Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 50 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib dengan frekuensi pengambilan 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalamsyringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH 0,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO2 dilakukan titrasi

pada larutan KOH 0,2N yang telah menyerap sampel gas CO2dengan larutan HCl

0,1N dengan menggunakan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut:

1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K2CO3 + HCl KCl + KHCO3

2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KHCO3 + HCl KCl + H2O + CO2

Perhitungan jumlah CO2 dengan metode titrasi diperoleh dengan

menggunakan persamaan:

Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko

t = normalitas HCl (tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl) r = (a-b) x t

Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh

musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2 dengan

menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan.

Disamping pengukuran konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada sungkup

rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: (1) membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, (2) lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, (3) memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter (cm).

Data emisi CO2 dan CH4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer,

pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9,1 untuk mengetahui: (1) regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4, (2) regresi dan korelasi antara ketebalan gambut

Dokumen terkait