• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Dual-Task Training (Motor-Cognitive) terhadap Memori Jangka Pendek

B. Pembahasan

3. Pengaruh Dual-Task Training (Motor-Cognitive) terhadap Memori Jangka Pendek

3. Pengaruh Dual-Task Training (Motor-Cognitive) terhadap Memori

Neuroplastisitas yaitu kemampuan otak untuk mengubah, merombak dan mengatur ulang dirinya untuk beradaptasi dengan situasi baru (Demarin V et al., 2014). Keadaan ini akan terjadi seumur hidup, tetapi tingkat efektivitasnya lebih tinggi pada usia anak-anak dan dianggap kurang plastis pada orang dewasa.

Telah diketahui bahwa jaringan saraf bekerja secara dinamis sepanjang hidup, tergantung pada pengalaman. Saat berulang kali mempraktikkan satu aktivitas seperti urutan gerakan atau masalah matematika, sirkuit neuronal sedang dibentuk dan mengarah ke kemampuan yang lebih baik untuk melakukan tugas yang dipraktekkan dengan penggunaan energi yang lebih sedikit. Begitu kita berhenti mempraktikkan aktivitas tertentu, otak akan mengarahkan ulang sirkuit neuron ini dengan prinsip “use it or lose it”. Neuroplastisitas menyebabkan banyak kejadian yang berbeda, seperti pembiasaan, kepekaan terhadap posisi tertentu, toleransi obat, bahkan pemulihan setelah cedera otak (Demarin V et al., 2014).

Efek yang diberikan dari dual-task training (motor-cognitive) adalah guided plasticity facilitation yang memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan latihan motorik atau kognitif yang dilakukan sendiri-sendiri.

Ketika latihan fisik (motorik) menginduksi proses neurogenesis (pembentukan dan perkembangan neuron baru pada otak), maka latihan kognitif yang menginisiasi ketahanan hidup dari sel-sel baru tersebut (Fissler et al., 2013).

Aktivitas fisik atau latihan dapat merangsang pematangan daerah motorik di otak yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan motorik dan meningkatkan kecepatan konduktansi impuls saraf. Aktivitas fisik juga merangsang peningkatan sekresi neurohormonal (zat yang diproduksi oleh neuron hipotalamus dan diangkut oleh darah atau cairan serebrospinal), yang memiliki dampak signifikan pada rangsangan neuron yang membentuk sinapsis (Van der Fels et al., 2015).

Latihan dual-task yang terdiri dari latihan motorik (tugas primer) dan kognitif (tugas sekunder) membutuhkan perhatian ekstra jika dibandingkan dengan hanya melakukan satu tugas saja. Terdapat beberapa teori untuk menjelaskan efek tugas ganda.

Teori pembagian kapasitas mengusulkan bahwa kapasitas perhatian terbatas dan harus dibagi antara dua tugas sehingga salah satu atau kedua tugas menjadi terganggu dan ketika terlalu banyak dipelajari, sebagian besar akan menjadi otomatis (Myoung-Ok, 2018). Teori bottleneck mengusulkan bahwa penurunan kinerja selama tugas ganda tergantung pada jaringan saraf yang terlibat atau jumlah energi yang digunakan untuk melakukan suatu tugas. Menurut teori ini, gangguan dalam tugas motorik atau kognitif terjadi jika jaringan saraf yang terlibat dalam dua proses tumpang tindih (Moraes et al., 2011).

Menurut teori hypofrontality, penurunan tugas kognitif yang lebih tinggi selama latihan dual-task (motor-cognitive) dapat dikaitkan dengan pengalihan metabolisme menuju area motorik, dan akibatnya pengurangan metabolisme di area frontal. Menurut teori kognitif-energetik, gangguan

dalam kinerja kognitif dapat terjadi ketika latihan dan tugas kognitif bersaing untuk kapasitas energi dan usaha (Moraes et al., 2011). Namun, saat ini tidak ada kesepakatan tentang teori mana yang paling menjelaskan proses kognitif dan efek tugas ganda.

Meskipun berjalan sudah dianggap sebagai kegiatan otomatis dengan hanya sedikit melibatkan proses kognitif. Namun, penelitian yang menggunakan paradigma dual-task menunjukkan bahwa gaya berjalan dipengaruhi secara negatif ketika individu diminta untuk berjalan dan melakukan tugas bersamaan, menunjukkan bahwa berjalan membutuhkan kapasitas kognitif (Gill, 2015), begitupun terhadap anak (Myoung-Ok, 2018). Jadi dapat dikatakan bahwa fungsi kognitif tetap diperlukan dalam melakukan tugas motorik.

Hasil analisis data pada tabel 6 menunjukkan bahwa sudah terdapat pengaruh yang bermakna antara dual-task training terhadap perubahan memori jangka pendek pada minggu ke-1 dengan nilai p=0,014. Akan tetapi, nilai pengaruh paling tinggi terjadi pada minggu ke-3 dengan nilai p=0,0001. Hal inipun ditunjukkan pada tabel 4 dimana selisih nilai tertinggi terjadi antara minggu ke-3 dan ke-2 sebesar 0,5334. Grafik perubahan nilai digit span test terhadap 30 responden juga menunjukkan hal yang sama dimana jumlah responden paling banyak meningkat pada minggu ke-3 sebanyak 9 orang. Hal ini mungkin disebabkan karena pada minggu ke-3 (setelah 9 kali latihan) jaras atau sirkuit dari neuron baru yang terbentuk sudah semakin kuat sehingga penghantaran impuls menjadi lebih cepat dan waktu pemprosesan yang digunakan juga semakin singkat.

Menurut Schaefer S (2018), latihan atau aktivitas fisik yang awalnya sulit untuk dilakukan karena harus memperhatikan setiap gerakan atau tindakan (misalnya ketika belajar mengendarai sepeda karena harus fokus cara berbelok, menjaga keseimbangan, dan bagaimana mengayuh pedal secara terkoordinasi), setelah beberapa saat dan dengan lebih banyak latihan, secara otomatis akan terbentuk memori prosedural (memori otomatis) sehingga perhatian dalam dual-task training akan lebih ditujukan pada tugas kognitif.

Choi, et al. (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh dual-task training pada keseimbangan dan kognitif pada pasien sub acute post-stroke dan menemukan bahwa perhatian pendengaran dan memori visuospasial jangka pendek meningkat secara signifikan dari sebelum pemberian latihan ke pasca-pelatihan dalam kelompok tugas ganda tetapi tidak pada kelompok kontrol.

Penelitian yang dilakukan oleh Myoung-Ok dan Sang-Heon (2018) tentang efek latihan tugas ganda kognitif-motor (CMDT) dikombinasikan dengan pelatihan sinkronisasi motorik pendengaran (AMST) terhadap fungsi kognitif pada pasien stroke kronis, menunjukkan bahwa terapi kombinasi CMDT dan AMST dapat digunakan untuk meningkatkan perhatian, memori, dan fungsi eksekutif untuk penderita stroke.

Adapun responden yang tidak mengalami peningkatan sebanyak 8 orang yang ditunjukkan pada grafik. Hal ini bisajadi terjadi karena faktor yang telah disebutkan di atas seperti usia perkembangan, nutrisi, lingkungan, genetik, suasana latihan dan lain-lain yang dapat

menimbulkan stress atau kecemasan pada saat menjalani latihan sehingga latihan menjadi tidak maksimal. Adapun hal lain yang peneliti lihat selama penelitian adalah bahwa anak-anak di sekolah yang menjadi tempat penelitian, setiap hari mengkonsumsi makanan instan (seperti mie, snack, minuman ringan, dll) yang berpengaruh terhadap kognitif anak.

Konsumsi mie instan dapat menyebabkan terhambatnya kemampuan tubuh untuk menyerap nutrisi dari makanan lain yang dibutuhkan oleh tubuh dan otak karena mie instan tidak hancur dalam dua jam proses pencernaan dan juga mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh jika dikonsumsi dalam jangka panjang (Wicaksono K, 2015). Kandungan lemak dan natrium serta kurangnya serat dalam mie instan merupakan penyebab utama obesitas (Wahyuningsih, 2013 dalam Sari, 2017).

Sebuah penelitian dilakukan oleh Jin Young Kim dan Seung Wan Kang tahun 2017 terhadap 317 anak-anak dan remaja Korea Selatan (6-18 tahun) tentang hubungan antara asupan makanan dan fungsi kognitif pada anak dan remaja Korea sehat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsumsi mie menunjukkan korelasi negatif dengan tes neurokognitif seperti SDMT (Span Digit Memory Test), memori verbal, atensi, dan hasil penalaran (p<0,05). Konsumsi makanan cepat saji menunjukkan korelasi negatif dengan SDMT dan hasil tes penalaran (p<0,05). Konsumsi minuman Coca-Cola menunjukkan korelasi negatif dengan hasil tes memori verbal (p<0,05). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa konsumsi makanan sehat seperti jamur, kacang-kacangan, dan yang

mengandung vitamin dan mineral memiliki korelasi yang positif terhadap fungsi kognitif.

Hal lain yang mungkin menjadi penyebab tidak meningkatnya memori jangka pendek pada sebagian anak adalah karena pada saat latihan terdapat gangguan dari teman-teman di sekitar tempat latihan sehingga memungkinkan efek yang tadinya diharapkan untuk mencapai automatisasi gerak tidak terjadi. Selain itu, perhatian atau fokus anak-anak mudah terpecah, sehingga pada saat melakukan post-test untuk mengukur tingkat memori jangka pendek, mereka menjadi tidak fokus dalam mendengarkan instruksi.

Hasil uji statistik serta grafik perubahan memori jangka pendek terhadap 30 responden secara keseluruhan menunjukkan adanya perubahan memori jangka pendek mulai sejak minggu ke-1 sampai minggu ke-4 (setelah 12 kali latihan) kearah yang positif dengan menggunakan alat ukur digit span test. Akan tetapi, belum ada penelitian sebelumnya yang menjelaskan adanya perubahan bermakna yang terjadi terhadap pemberian latihan tugas ganda terhadap memori jangka pendek setelah pemberian 3 kali, 6 kali, dan 9 kali latihan. Peneliti hanya menemukan pengaruh dual-task training terhadap kognitif pada penelitian yang durasi latihannya lama.

Meskipun demikian, beberapa penelitian menemukan bahwa tingkat kinerja kognitif selama pelatihan fisik dikaitkan dengan intensitas dan lamanya latihan dimana beban moderat memberikan manfaat terhadap kognisi, sementara beban rendah dan tinggi memberikan hasil negatif

(Moraes et al., 2011 dan Smith et al., 2016). Untuk itu, semakin lama pemberian latihan, maka hasil yang didapatkan akan semakin bagus.

4. Perbandingan Perubahan antara Digit Span Forward dan Digit Span

Dokumen terkait