HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2. Prevalensi Demam Tifoid
4.3.4 Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap penyakit tifoid
Meningkatkan pemeliharaan dan kualitas barang sehingga tidak cepat
menjadi sampah
Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan baku
Meningkatkan bahan yang dapat terurai secara alamiah, misalnya pembungkus plastic diganti dengan pembungkus kertas.
4.3.4 Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap penyakit tifoid
seorang tokoh dunia kedokteran hipocrates (460 -377) adalah tokoh yang pertama berpendapat bahwa penyakit ada hubungannya dengan fenomena alam dan lingkungan. Dari segi ilmu kesehatan lingkungan, penyakit terjadi karena adanya interaksi anatara manusia dan lingkungan hidupnya. (Susanna D,2000)
Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, penyediaan air bersih, pembuangan sampah, sanitasi dan sebagainya.
Masalah kesehatan lingkungan muncul sebagai akibat adanya dua keadaan, yakni:
1. Faktor keditaktahuan penduduk
2. Terdapatnya faktor lingkungan yang jika ditinjau dari sudut kesehatan kurang menguntungkan.
41 Gambar 4.2. Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
Sumber: Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI. Keempat faktor tersebut selain berpengaruh langsung terhadap kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula (Susanna, 2000).
The Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 1979): Kematian dini (premature death) pada populasi AS dipengaruhi oleh:
1. Gaya hidup dan perilaku individu (50%) 2. Genetik (20%)
3. Faktor lingkungan dan sosial (20%)
4. Akses ke pelayanan kesehatan inadekuat (10%)
Syarat-syarat lingkungan yang sehat dilihat dari berbagai factor A. Perumahan
Faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun suatu rumah
Keturunan Pelayanan kesehatankes ehatan Prilaku Lingkungan : fisik Social ekonomi Budaya Status kesehatan
42 1. Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan
social.
2. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat 3. Tekhnologi yang dimiliki masyarakat
4. Kebijaksanaan pemerintah yang menyangkut tata guna tanah B. Penyediaan air bersih
Air adalah sangat penting bagi kehidupan manusia. Didalam tubuh manusia itu sendiri sebagian besar terdiri dari air. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci dan sebagainya. Diantara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah kebutuhan untuk minum (termasuk untuk masak). Oleh karena itu, untuk keperluan minum air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia.
Syarat-syarat air minum yang sehat: a. Syarat fisik
Bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu dibawah suhu udara di luarnya.
b. Syarat bekteriologis
Harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri pathogen. Cara untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri pathogen, adalh dengan memeriksa sampel (contoh) air tersebut. Dan bila dalam pemeriksaan 100cc air tersdapat kurang dari 4 bakteri E.Coli maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.
43 c. Syarat kimia
Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu didalam jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia di dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia. Bahan-bahan atau zat kimia yang terdapat dalam air yang ideal antara lain sebagai berikut:
Tabel 4.4. Bahan-bahan yang Terkandung Dalam Air
Jenis bahan Kadar yang dibenarkan (mg/liter) Fluor (F) 1-1,5 Chlor (Cl) 250 Arsen (As) 0,05 Tembaga (Cu) 1,0 Besi (Fe) 0,3 Zat organik 10 Ph (keasaman) 6,5-9,0 CO2 0
44 C. Pembuangan Kotoran Manusia
Yang dimaksud kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan ini berbentuk tinja (feses), air seni (urin) dan CO2 sebagai hasil dari proses pernapasan.
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sesuai dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Sedangkan kotoran manusia merupakan sumber penyebaran penyakit. 4.4 Keterbatasan Penelitian
Selama melakukan penelitian ini, ada beberapa keterbatasan yang dihadapi peneliti. Dan keterbatasan tersebut diantaranya adalah :
1. Penghitungan sampel dilakukan dengan cara, mengencek dan menghitung buku kunjungan pasien di Poli Anak, Poli Umum, Poli Mahasiswa, dan Poli Interna. Selain cara tersebut, pencarian dapat dilakukan melakukan melalui pencarian di komputer yang datanya berasal dari data tiap status pasien yang berobat ke rumah sakit. Peneliti hanya melakukan cara pertama, sehingga data kemungkinan masih kurang.
2. Beberapa faktor yang berpengaruh pada penelitian ini, tidak diteliti secara benar. Faktor-faktor tersebut berupa pola makan mahasiswa dan masryarakat di daerah wilayah rumah sakit dan aktifitas yang dilakukan pada bulan juli, serta status kebersihan warung makan di sekitar kampus.
45 BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan 134(54,9%) jenis kelamin laki – laki dan 110(46,1%) jenis kelamin perempuan dari total keseluruhan sampel yang menderita tifoid.
Berdasarkan data yang diambil di Bagian Rekam Medik Syarif Hidayatullah, pada bulan Juli 2008 hingga bulan Juli 2009. Pasien rawat jalan demam tifoid paling banyak pada bulan Juli 2009, sebanyak 138 pasien.
Pada penelitian ini diperoleh kesan, bahwa perbedaan jenis kelamin bukanlah factor seseorang terjangkitnya demam typoid, factor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid antara lain adalah kesehatan lingkungan, penyedian air minum yang bersih dan pembuangan sampah yang teratur dan juga kebiasaan dan cara makan .
5.2 Saran
1. Karena faktor kebersihan makanan dan minuman, pembuangan sampah, kesehatan lingkungan berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid, maka disarankan perlu adanya penyuluhan terhadap masyrakat tentang demam tifoid dan faktor yang mempengaruhinya.
46 2. Menjelaskan pada masyrakat agar memperhatikan kebersihan makanan
dan minuman, pembuangan sampah dan lingkungan tempat tinggalnya. 3. Mengantisipasi kontaminasi makanan dan minuman dari air yang tercemar
Salmonella typhi dengan pencucian alat-alat masak, alat makan dan minum dengan baik kemudian memasak makanan dan minuman pada suhu diatas 60ºC.
4. Perlu adanya komitmen petugas kesehatan , untuk menjadikan masalah demam tifoid sebagai salah satu masalah prioritas yang harus di tanggulangi.
5. Menhindari kontaminasi sumber air bersih melalui pencemaran dari tinja dapat dilakukan dengan menggunakan metode pembuangan tinja yang memenuhi persyaratan sanitasi.
6. Mengingat bahwa demam tifoid merupakan penyakit endemik sehingga dalam menentukan upaya penanggulangan masalah demam tifoid yang lebih efektif sesuai dengan faktor penyebabnya
47 DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1986. The Widal slide agglutination tes, a valuable rapid diagnostic tes in typhoid fever patients at the infectious disease hospital of Jakarta. Am J of Epidemiology, 123; 869-79
Baron EJ, Peterson R, FinegoId SM, 1994.
Enterobactericeae.In:BaileyandScott’sDiagnostic Microbiology.
Ditjen Yanmedik, Depkes RI.
Fuad Amsyari.1986. Masalah pencemaran lingkungan.cet 3. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Gasem MH, Dolmans WMV, Keuter M, Djokomoeljanto R. Poor food hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia. vol 6. Tropical Medicine and International Health, p. 484-490.
Gladwin M, Trattler B. 1999. The enteric. In: Clinical Microbiology Made Ridiculously Simple. Miami: Med Master Inc, p.54-61.
Handojo I. 1982. Kuliah serologi klinik FK Unair. Surabaya: Laboratorium Patologi Kiinik RSUD Dr. Soetomo, p. 29-37
48
http://www.tangerangselatankota.go.id/compilation_geografis.php. 2008.
Jawetz E, Melnick J, Adelverg E.1996. Mikrobiologi Kedokteran. Ed 20. Jakarta:EGC, p. 244-245
Juwono R. Demam tifoid. 1996. Dalam: Penyakit DaIam I. Ed ke 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, p. 435- 42.
Koneman EW, Allen SD, Janda WM. 1992. Color Atlas and Text book of Diagnostic Microbiology. 5th ed. Philladelphia: Lippincott Company, p. 12 8.
Loho T, Sutanto, Silman E. 2000. Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan terapi. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI, p. 22-42
Lubis B. 1990. Demam tifoid makna pemeriksaan laboratorium dan pencegahan. Medika, p.366 .
Nasronuddin, et al. 2007. Penyakit Infeksi di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, p. 121-24.
National Center for Infectious Diseases. 2004. Typhoid fever-Health Information for International Travel.
49 Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Ilmu kesehatan masyarkat prinsip-prinsip dasar.cet 2. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Pang T, Levine MM, Ivanoff B. 1997. In The Third Asia Pacific Symposium on typhoid fever and other Salmonellosis. Bali: Indonesia, p. 119-21.
Putranto HK, Susanna D. 2000. Kesehatan Lingkungan.Depok: FKM UI.
Senewiratne B, Chir B, Senewiratno K.. 1977. Reassesment of the Widal test in the diagnosis of typhoid. Gastroenterology, p. 23-3 6.
Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH dkk. 1987. Epidemiologi demam tifoid di suatu daerah pedesaan di Paseh Jawa Barat. Cermin Dunia Kedokteran, 45: 16-18.
Soewondo ES. 2002. Demam tifoid deteksi dini dan tatalaksana. Makalah lengkap: Seminar Kewaspadaan terhadap demam pada penyakit typhus Abdominalis, DBD dan Malaria Serta Penggunaan Tes Diagnostik Laboratorium untuk Deteksi Dini. Surabaya:Tropical Diseases Centre UNAIR.
Sudigdo S. 2002. dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto, p. 311-21.
50 Theodore Curtis, MD. 2006. Typhoid Fever.eMedicine Clinical Reference.
Widodo D, Hasan I. 1999. Perkembangan diagnosis laboratorium demam tifoid. Majalah Kedokteran Indonesia. 49:25-62.